• Tidak ada hasil yang ditemukan

View/Open

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "View/Open"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

Misalnya, suatu entitas ekonomi membuat pernyataan tentang aktivitas dan peristiwa ekonomi yang disajikan dalam laporan keuangan, dan auditor melakukan audit atas laporan yang dibuat oleh entitas ekonomi tersebut. Akuntansi adalah proses mengidentifikasi, mengukur dan menelusuri informasi ekonomi yang diungkapkan dalam laporan keuangan yang umumnya terdiri dari lima laporan keuangan dasar. Misalnya, auditor independen memberikan pernyataan bahwa laporan keuangan yang disajikan suatu perusahaan adalah wajar dalam semua hal yang material sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.

Bukti audit kompeten yang cukup diperoleh melalui inspeksi, observasi, pertanyaan, dan konfirmasi obyektif selama pelaksanaan tugasnya sebagai dasar yang cukup untuk menyatakan kesimpulan atas laporan keuangan auditan. Audit akuntansi dilakukan untuk mengetahui apakah laporan keuangan (informasi yang diverifikasi) telah disampaikan sesuai dengan kriteria tertentu (prinsip akuntansi). Auditor independen merupakan akuntan profesional yang memberikan jasanya kepada masyarakat, khususnya dalam bidang audit laporan keuangan yang disusun oleh kliennya.

Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.

Kemampuan Interpersonal

Menurut Suraida (2005), pengalaman auditor dalam melakukan audit laporan keuangan, baik dari segi durasi dan jumlah penugasan yang ditangani serta jenis perusahaan yang ditangani. Suraida (2005) juga menjelaskan bahwa pengalaman seorang auditor dapat diukur dari lamanya ia bekerja sebagai auditor, jumlah penugasan yang diselesaikan dalam satu tahun, dan jenis perusahaan yang ditangani dalam satu tahun. Tanpa adanya ciri ketekunan, tanggung jawab dan ketelitian, seorang auditor tidak akan memperoleh pengetahuan, pengalaman baru, karena kepribadian baik seseorang nantinya akan membentuk keterampilan atau keahlian individu tersebut (Wardhani, 2014).

Seorang akuntan harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik agar tidak timbul kesalahpahaman antara satu pihak dengan pihak lainnya. Seorang auditor harus mempunyai tingkat kepercayaan diri yang tinggi, agar auditor dalam proses audit yakin akan hasil pekerjaannya.

Gender

Perbedaan gender ini tertanam dalam cara pandang kita, sehingga seringkali kita lupa bahwa itu adalah sesuatu yang permanen dan abadi, seperti halnya sifat biologis perempuan dan laki-laki yang bersifat permanen dan abadi (Puspitawati, 2012). Wanita cenderung memandang pelanggan dari sisi emosionalnya, termasuk bahasa tubuh dan isyarat non-verbal pelanggan, tidak demikian halnya dengan pria yang tidak terlalu memperhatikan isyarat non-verbal pelanggan. Sebagian dari mereka beranggapan bahwa auditor perempuan akan lebih berhati-hati dalam menyelidiki bukti-bukti audit dan tidak akan mudah mempercayai klien.

Sementara itu, auditor laki-laki cenderung berpikir logis ketika menanggapi pernyataan kliennya, tanpa memperhatikan isyarat nonverbal atau gerakan tubuh kliennya. Dengan demikian, perbedaan tersebut akan menimbulkan skeptisisme profesional dan perbedaan pendapat antara auditor perempuan dan auditor laki-laki (Kushasyandita, 2012).

Skeptisme Profesional

Seorang auditor mempunyai sikap skeptisisme profesional yang penting karena sikap ini dapat membantunya mendeteksi kecurangan. Skeptisisme profesional seorang auditor merupakan suatu sikap auditor dalam melaksanakan tugas audit, dimana sikap tersebut mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan menilai secara kritis bukti-bukti audit. Karena bukti audit dikumpulkan dan dievaluasi selama proses audit, skeptisisme profesional harus diterapkan selama proses audit, dan oleh karena itu skeptisisme profesional harus diterapkan sepanjang proses (IAI. 2001, SA pasal 230).

Berdasarkan SPA 200, auditor harus menjaga skeptisisme profesional sepanjang audit, mewaspadai kemungkinan terjadinya salah saji material akibat kecurangan, meskipun pengalaman masa lalu auditor menunjukkan adanya kecurangan dan integritas manajemen entitas dan pihak yang bertanggung jawab. dengan manajemen (IAPI. 2013, SPA pasal 240). Dalam praktiknya, sikap skeptisisme profesional ini sulit dipertahankan karena, meskipun baru-baru ini terdapat banyak contoh kecurangan laporan keuangan, kecurangan yang material relatif jarang terjadi dibandingkan dengan jumlah audit laporan keuangan yang dilakukan setiap tahun. Ketika informasi atau keadaan lain yang mengindikasikan adanya salah saji material akibat kecurangan diungkapkan, auditor harus menyelidiki permasalahan tersebut secara mendalam, memperoleh bukti tambahan jika diperlukan, dan berkonsultasi dengan anggota tim lainnya.

Auditor juga harus berhati-hati untuk tidak merasionalisasi atau berasumsi bahwa salah saji tersebut merupakan kejadian yang terisolasi. Auditor harus mengevaluasi alasan kesalahan penyajian ini, menentukan apakah hal tersebut tidak disengaja atau merupakan kecurangan, dan mempertimbangkan apakah kesalahan penyajian tersebut mungkin terjadi (Arens et al, 2006). Auditor yang memiliki skeptisisme profesional yang cukup akan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: (1) Apa yang harus saya ketahui? 2) Bagaimana saya bisa mendapatkan informasi ini dengan baik.

Skeptisisme profesional akuntan akan membuatnya mempertanyakan sinyal apa pun yang menunjukkan kemungkinan terjadinya kecurangan (Louwers, 2005 dalam Noviyanti, 2008). Seorang auditor harus mempunyai rasa ingin tahu untuk terus memperoleh pengetahuan tentang bukti-bukti yang ada selama proses audit. Seorang auditor harus memutuskan secara individual kapan informasi yang cukup telah diperoleh untuk memuaskannya secara pribadi.

Pendeteksian Kecurangan .1 Pengertian Kecurangan

  • Jenis - Jenis Kecurangan
  • Fraud Tree
  • Faktor – Faktor Penyebab Terjadinya Kecurangan
  • Pendeteksian Kecurangan

Pengertian di atas dapat diartikan bahwa kecurangan adalah suatu kekeliruan yang disengaja atas suatu kebenaran atau keadaan tersembunyi dari suatu fakta material yang dapat mempengaruhi orang lain untuk melakukan tindakan atau perbuatan yang merugikan dirinya, biasanya merupakan kesalahan, namun dalam beberapa hal kasus (apalagi dilakukan dengan sengaja) ada kemungkinan merupakan tindak pidana. Sedangkan definisi menurut G. Jack Bologna, Robert J. Lindquist dan Joseph T. Wells mengartikan kecurangan “Fraud is kriminal penipuan untuk tujuan keuntungan finansial bagi penipu (1993)”. Dari beberapa pengertian atau penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penipuan adalah suatu penipuan yang dilakukan oleh seseorang yang dapat merugikan korban penipuan dan menguntungkan orang yang melakukan penipuan tersebut.

Terkadang sulit dipercaya bahwa seseorang yang kita anggap jujur, religius, terpelajar, dari lingkungan sosial terpandang, bahkan dari kalangan kaya sekalipun, ternyata terlibat atau terlibat dalam tindakan penipuan (modul pembelajaran Revizija golufij, 2008) . Hal ini terjadi karena adanya insentif untuk berbuat curang yang disebut teori segitiga penipuan. Kebutuhan ini seringkali dipandang sebagai kebutuhan yang tidak dapat dibagikan kepada orang lain untuk diselesaikan secara bersama-sama, sehingga harus diselesaikan secara diam-diam dan pada akhirnya berujung pada penipuan.

Kegagalan untuk memiliki prosedur yang memadai untuk mendeteksi aktivitas penipuan juga meningkatkan risiko penipuan. Rasionalisasi merupakan bagian dari segitiga penipuan yang paling sulit diukur (Skousen et al., 2009 dalam Norbarani, 2012). Menurut Kumaat (2011), deteksi penipuan adalah upaya untuk memperoleh petunjuk awal yang memadai tentang tindakan penipuan dan untuk mengurangi ruang lingkup pelaku penipuan.

Kemampuan mendeteksi kecurangan merupakan suatu keterampilan atau keahlian yang dimiliki oleh auditor untuk menemukan indikasi terjadinya kecurangan (Anggriawan, 2014). Berdasarkan literatur yang ada, dapat ditentukan empat faktor yang menyebabkan sulitnya mendeteksi kecurangan sehingga auditor gagal dalam upaya mendeteksinya. Namun, faktor-faktor ini bukan alasan untuk menghindari upaya deteksi penipuan terbaik.

Selain itu, karena penipuan biasanya dilakukan berulang kali dan dalam jangka waktu yang lama, individu yang melakukan penipuan sering kali menunjukkan perubahan perilaku terkait stres. Selain itu menurut Pangestika (2014), deteksi kecurangan diukur dengan indikator pemahaman sistem pengendalian internal. Menurutnya, penting untuk memahami sistem pengendalian internal klien sebelum melakukan audit.

Gambar 2.1  Fraud Tree
Gambar 2.1 Fraud Tree

Penelitian Terdahulu

Kushasyandita (2012) melakukan penelitian yang bertujuan untuk menguji pengaruh tidak langsung antara variabel pengalaman, keahlian situasi audit, etika dana gender terhadap keakuratan pemberian opini auditor melalui skeptisisme profesional auditor. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuesioner yang disampaikan kepada 200 auditor Kantor Akuntan Publik “Big Four” di Jakarta (Deloitte, Ernst and Young, KPMG-Klynveld Peat Marwick Goerdeler dan PriceWaterhouseCoopers), kuesioner yang terisi sebanyak 88 (44%). sepenuhnya dan dapat diproses. Hasil penelitian ini memberikan bukti bahwa gender mempunyai pengaruh langsung yang signifikan terhadap keakuratan opini auditor.

Wardhani (2014) melakukan penelitian yang menguji pengaruh komponen keahlian akuntan yang terbagi menjadi pengetahuan, kemampuan pemecahan masalah, kemampuan individu dan faktor eksternal dalam tugasnya mendeteksi kecurangan. Penelitian ini menggunakan data primer dengan menyebarkan kuesioner kepada auditor KAP dan BPK di Semarang. Dengan signifikansi sebesar 0,10, hasil uji t pada analisis regresi menunjukkan bahwa pengetahuan, kemampuan berpikir, perilaku etis dan keterampilan interpersonal mempunyai pengaruh positif terhadap deteksi kecurangan.

Aggriawan (2014) melakukan penelitian yang menguji pengaruh pengalaman kerja, skeptisisme profesional dan tekanan waktu terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh auditor independen di Daerah Istimewa Yogyakarta yang berjumlah 133 orang. Pengaruh pengalaman, keahlian, situasi audit, etika dan gender terhadap keakuratan pemberian opini auditor melalui skeptisisme profesional.

Hasil penelitian ini memberikan bukti bahwa gender mempunyai pengaruh langsung yang signifikan terhadap keakuratan pemberian opini auditor dan situasi audit berpengaruh signifikan terhadap keakuratan pemberian opini auditor. 71,6% deteksi kecurangan dijelaskan oleh komponen keterampilan auditor seperti pengetahuan, strategi pengambilan keputusan, kemampuan berpikir, analisis tugas, kemampuan individu dan perilaku etis. Pengalaman kerja, skeptisisme profesional dan tekanan waktu secara bersama-sama mempengaruhi kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan.

Tabel 2.2   Penelitian Terdahulu
Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu

Kerangka Penelitian

Untuk lebih memahami faktor-faktor yang dapat mempengaruhi deteksi penipuan, diperlukan kerangka penelitian.

Pengembangan Hipotesis

  • Pengaruh Pengalaman Auditor Terhadap Pendeteksian Kecurangan Pengalaman adalah keseluruhan perjalanan yang di petik oleh seseorang
  • Pengaruh Kemampuan Interpersonal Terhadap Pendeteksian Kecurangan
  • Pengaruh Gender Terhadap Pendeteksian Kecurangan
  • Skeptisme Profesional Memoderasi Pengaruh Pengalaman Auditor Terhadap Pendeteksian Kecurangan
  • Skeptisme Profesional Memoderasi Pengaruh Kemampuan Interpersonal Terhadap Pendeteksian Kecurangan
  • Skeptisme Profesional Memoderasi Pengaruh Gender Terhadap Pendeteksian Kecurangan

Hipotesis ini akan menjelaskan hubungan antara pengalaman auditor, keterampilan interpersonal, gender dan deteksi kecurangan dengan skeptisisme profesional sebagai variabel moderasi. Nasution (2012) juga menyatakan bahwa auditor yang mempunyai pengalaman tinggi akan mempunyai tingkat deteksi kecurangan yang tinggi pula. Selain itu, Aulia (2013) juga menyatakan bahwa pengalaman auditor berpengaruh positif dan signifikan terhadap deteksi kecurangan.

Wardhani (2014) menyatakan bahwa keterampilan interpersonal atau interpersonal skill berpengaruh positif terhadap deteksi penipuan, artinya semakin tinggi keterampilan interpersonal seorang audiens maka semakin tinggi pula tingkat deteksi penipuan. Namun hasil tersebut berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Pertiwi (2010) yang menyatakan bahwa karakteristik psikologis atau keterampilan interpersonal tidak mempunyai pengaruh nyata terhadap pendeteksian kecurangan. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Martondang (2010) menunjukkan bahwa keahlian profesional mempunyai pengaruh yang signifikan dan mempunyai hubungan positif terhadap pencegahan dan deteksi kecurangan penyajian laporan keuangan.

Namun menurut Nasution (2012) auditor laki-laki mempunyai keahlian mendeteksi kecurangan lebih tinggi dibandingkan auditor perempuan. Nasution (2012) menggunakan variabel gender sebagai variabel kontrol yang menyatakan bahwa laki-laki terbukti meningkatkan kemampuannya dalam mendeteksi kecurangan ketika menghadapi gejala kecurangan dibandingkan dengan auditor perempuan, hal ini berarti gender mempunyai dampak terhadap pendeteksian kecurangan. Namun hasil tersebut berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Agustina (2014) yang menyatakan bahwa gender tidak berpengaruh terhadap deteksi kecurangan.

Jadi, dengan sikap skeptisisme profesional membuktikan bahwa seorang auditor mempunyai pengalaman yang cukup, sehingga proses pendeteksian kecurangan akan semakin baik. Oleh karena itu, memiliki skeptisisme profesional akan mendorong seorang auditor untuk memiliki keterampilan interpersonal yang lebih baik sehingga proses pendeteksian kecurangan akan semakin baik. Perbedaan sikap yang ada pada laki-laki dan perempuan tercermin pada saat pekerjaan dilakukan terutama pada proses pendeteksian kecurangan.

Gambar

Gambar 2.1  Fraud Tree
Gambar  diatas  menujukan  bahwa  klasifikasi  fraud  terbagi  menjadi  tiga  cabang utama yaitu :
Tabel 2.2   Penelitian Terdahulu

Referensi

Dokumen terkait

Konpl HADII MDUL IlADJID en IIARAH SO.DIII p."aL.o •• a.. WEST -SUMATRA-APOTHEEK IIAUI