• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Spirit kebersihan masyarakat Penglipuran Bali: Konvergensi nilai keberagamaan dan kearifan lokal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "View of Spirit kebersihan masyarakat Penglipuran Bali: Konvergensi nilai keberagamaan dan kearifan lokal"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

SOSIOHUMANIORA, 9(2), Agustus 2023, pp. 155-168 2579-4728 (E-ISSN) | 2443-180X (P-ISSN)

Spirit kebersihan masyarakat penglipuran Bali: Konvergensi nilai keberagamaan dan kearifan lokal

Fathorrahman1*, Muh. Syamsuddin2

1Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Jl. Laksda Adisucipto, Sleman, Indonesia

2Badan Riset dan Inovasi Nasional, Jl. M.H. Thamrin No.8, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Indonesia Correspondance: fathorrahman@uin-suka.ac.id

Received: 25 January 2023; Reviewed: 15 March 2023; Accepted: 7 April 2023

Abstract: This paper explains the spirit of cleanliness which is constructed in the life of the people of Penglipuran Bali. By synergizing local wisdom and religious spirit, the Penglipuran community manifests a culture of clean behavior and good environmental care. Various religious concepts that refer to the Hindu belief system, Penglipuran people derive transcendental concepts such as Tri Hita Karana in their daily lives and in their sphere of life. This paper poses two important questions as the basis for the analysis of the problem. First, What is the concept of environmental cleanliness according to the Penglipuran community. Second, is there a meeting point for the value of local wisdom and the spirit of religion in guiding public awareness in realizing environmental cleanliness. The writer analyzed this problem using a sociological approach in the perspective of interpretive understanding. From the research process carried out, the authors found that the meaning of cleanliness constructed by the Penglipuran community is based on value of religiousity. Through Hindu teachings that emphasize the concept of Tri Hita Karana, the people derive it from various spheres of their lives in protecting the environment and building a culture of clean behavior. On the other hand, Penglipuran community also uses local wisdom as a way of looking at, how to behave, and how to act in maintaining the cleanliness and beuty of the Penglipuran environment

Keywords: Penglipuran, local wisdom, Tri Hita Karana, cleanliness

Abstrak: Tulisan ini menjelaskan spirit kebersihan yang dikonstruksi dalam kehidupan masyarakat Penglipuran Bali. Dengan menyinergikan kearifan lokal dan spirit keberagamaan, masyarakat penglipuran memanifestasikan budaya perilaku bersih dan merawat lingkungan dengan baik. Berbagai konsep keberagamaan yang mengacu pada sistem kepercayaan Hindu, masyarakat Penglipuran menderivasi konsep transendental seperti Tri Hita Karana dalam keseharian dan di lingkup kehidupannya. Ada dua pertanyaan penting sebagai pijakan analisis masalahnya. Pertama, Bagaimana konsep kebersihan lingkungan menurut masyarakat Penglipuran. Kedua, Adakah titik temu nilai kearifan lokal dan spirit keberagamaan dalam memandu kesadaran masyarakat dalam mewujudkan kebersihan lingkungan. Untuk menganalisis pertanyaan tersebut, penulis menggunakan pendekatan sosiologis dalam perspektif interpretative understanding. Dari proses telaah yang dilakukan, penulis menemukan bahwa spirit kebersihan yang dikonstruksi oleh masyarakat penglipuran berbasis pada nilai keberagamaan.

Melalui ajaran Hindu yang menekankan pada konsep Tri Hita Karana, masyarakatnya menderivasikannya ke berbagai lingkup kehidupan mereka dalam menjaga lingkungan dan membangun budaya perilaku bersih. Selain itu, masyarakat penglipuran juga menggunakan kearifan lokal sebagai cara pandang, cara bersikap, dan cara bertindak dalam menjaga kebersihan dan keasrian lingkungan penglipuran.

Kata Kunci: penglipuran, kearifan lokal, Tri Hita Karana, kebersihan

© 2023 The Authors

https://doi.org/10.30738/sosio.v9i2.14180 This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License

(2)

PENDAHULUAN

Pada tahun 2016, Executive Director World Tourism Organization (UNWTO) Shanzhong Zhu merilis hasil survey tentang desa paling bersih di dunia. Peringkat pertama diduduki oleh desa Giethoorn yang terletak di Overijssel, Belanda. Peringkat kedua diraih desa Mawlynnong Meghalaya india. Adapun peringkat ketiga diduduki oleh desa Penglipuran Bali. Prestasi kebersihan lingkungan yang diraih oleh ketiga desa tersebut, terutama desa Penglipuran Bali tentu menjadi kebanggaan semua masyarakat.

Desa Penglipuran Bali yang secara administratif berada di kabupaten Bangli Bali dan secara geografis berada dalam negara kesatuan Indonesia tentu akan mengharumkan nama Indonesia di kancah dunia (Wibowo, 2019). Meskipun tak dapat dipungkiri, keberadaan Bali sudah terkenal dan meluas citra baiknya, terutama di bidang pariwisata, sudah mengharumkan nama Indonesia sejak puluhan tahun yang lalu.

Namun, predikat kebersihan lingkungan peringkat tiga yang diperoleh desa Penglipuran Bali akan menambah deretan prestasi dan prestisius negara Indonesia. Apalagi torehan prestasi ini diulas detail oleh sebuah situs terkemuka di dunia maya seperti situs www.bombastis.com.

Dalam kaitan ini, torehan prestasi kebersihan lingkungan yang diraih desa Penglipuran bukan diperoleh secara tiba-tiba. Akan tetapi ada pengkondisian ekosistem yang memadai dan sistemik yang dilakukan oleh masyarakat Penglipuran hingga akhirnya dicatat sebagai desa terbersih (Sudiarta & Nurjaya, 2017). Pengkondisian ini meliputi keinginan bersama dan kepedulian berbagai lapisan masyarakat untuk merawat infrastruktur papan yang diwarnai corak kediaman tradisional yang antik dan dilingkupi oleh taman-taman yang eksotis (Doherty, 2005). Bahkan sarana mobilitas masyarakat banyak ditempuh dengan alat transportasi yang ramah lingkungan dan melarang keberadaan yang memicu polusi udara (Adi, 2004). Ditambah lagi kesadaran masyarakat yang melestarikan nilai-nilai kearifan lokal dengan menggunakan bambu sebagai bahan utama dalam pembuatan rumah, tempat belanja, dan ruang publik lainnya (Pitana, 2002).

Di samping itu, partisipasi masyarakat dalam mengkondisikan corak kehidupan yang harmonis, budaya lokal dan pola kohesi sosial seperti hubungan kekerabatan, kekeluargaan, dan interrelasi sosial antar anggota masyarakat di desa yang mencerminkan katakter keindonesiaan berpengaruh besar terhadap penciptaan iklim kehidupan yang rukun, damai, saling menghormati, dan penuh toleransi (Park, 2012).

Perpaduan antara ekosistem lingkungan yang dibuat secara natural dan pelestarian interrelasi sosial yang dikondisikan secara harmonis semakin memperkuat keseimbangan kosmologis desa Penglipuran (Paramita & Naba, 2022) hingga diakui sebagai desa terbersih ketiga di dunia. Hadirnya keterlibatan warga ini tentu dilatari kesadaran bersama bagaimana menumbuhkan spirit kebersihan lingkungan dengan cara

(3)

mengkonvergensikan antara kearifan lokal dan spirit keberagamaan hingga tercipta iklim kehidupan yang nyaman (Bramwel, 1989; Tucker & Grim, 2003).

Perpaduan antara ekosistem lingkungan dan pelestarian interrelasi sosial ini menjadi penopang utama hingga bisa menggerakkan berbagai lapisan masyarakat Penglipuran untuk peduli dan berpartisipasi secara rerata dalam mewujudkan kebersihan lingkungan secara berkelanjutan (Faturrahman, 2020). Dalam hal ini, prestasi kebersihan lingkungan desa Penglipuran yang sudah mengharumkan nama Indonesia, tentu perlu dikaji dan diteliti dengan masif agar semua masyarakat di Indonesia bisa mewarisi nilai-nilai keteladanan yang dilakukan masyarakat Penglipuran dalam menciptakan desa yang sangat bersih.

Melalui perpaduan tersebut, desa penglipuran mempunyai keunikan dan ke- khasan dengan berbagai desa lainnya (Sudiarta & Nurjaya, 2017). Karakter lingkungannya yang masih asri dan sejuk, karakter warganya yang masih menampilkan peradaban asli Bali, sistem sosialnya yang diatur oleh adat, dan keramahan warganya yang begitu hangat bertemu dengan siapapun. Kesemua ini mencerminkan modal sosial yang menjadi titik tolak bagi setiap warga untuk meneguhkan komitmen diri sebagai warga yang peduli kepada lingkungan. Oleh karena itu, menjadi wajar bila pada tahun 2005 desa penglipuran pernah diganjar Kalpataru oleh pemerintah dan pada tahun 2018 dinobatkan sebagai desa terbersih ketiga di dunia oleh situs bombastic magazine.

Torehan prestasi baik yang dimiliki oleh penglipuran tersebut, baik yang diberikan dari pihak eksternal maupun eksotisme dan kebersihan penglipuran yang begitu terjaga, tentu tidak lepas dari peran serta pemangku adat yang sejak berpuluh tahun tahun menjadi garda terdepan dalam melestarikan nilai-nilai kearifan di Penglipuran.

Keberadaan bendesa adat (Ketua Adat) menjadi unsur sangat penting dalam memelihara aturan-aturan palemahan yang bisa diikuti oleh warga penglipuran. Seruan moral tentang betapa pentingnya menjaga kebersihan dan merawat lingkungan di semua kawasan penglipuran dijadikan sebagai pegangan dan pedoman oleh setiap warganya untuk membiasakan diri berperilaku bersih.

Dalam kaitan ini, di satu sisi kearifan lokal yang begitu dijaga oleh ketua adat dan di sisi lain spirit keberagamaan yang berbasis pada keyakinan Hindu dilestarikan, maka lambat laun dua sisi tersebut menjadi sebuah entitas yang saling menafasi dan mewarnai tumbuhnya kesadaran ekologi masyarakat penglipuran. Perjumpaan dua sisi yang saling bersimetri tersebut, menciptakan sebuah tapak keteladanan bagi masyarakat Penglipuran bahwa untuk menjaga kebersihan di lingkungan bisa ditegakkan dengan dua langkah sekaligus (Taylor, 2010). Satu sisi memanifestasikan nilai-nilai keberagamaannya dan sisi lain diperkuat dengan nilai-nilai kearifan lokal. Dampaknya, antara ajaran agama dan kearifan saling berpadu menjadi role model dalam memantik dan mendorong masyarakat agar saling berlomba-lomba peduli terhadap lingkungan.

(4)

Untuk mengetahui lebih mendalam tentang peran masyarakat penglipuran dalam menjaga kebersihannya, ada dua pokok masalah yang menjadi pintu masuk dalam penelitian ini. Yaitu, pertama, bagaimana konsep kebersihan lingkungan menurut masyarakat Penglipuran. Kedua, Adakah titik temu nilai kearifan lokal dan spirit keberagamaan dalam memandu kesadaran masyarakat dalam mewujudkan kebersihan lingkungan.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian lapangan (field research). Melalui penelitian ini, penulis mencermati, mengkaji, dan melihat langsung bagaimana keterlibatan masyarakat Penglipuran Bangli, Bali secara proaktif dalam mewujudkan kebersihan lingkungan secara sistemik. Untuk memperoleh data- data yang dibutuhkan, penelitian ini menggunakan wawancara secara mendalam terhadap ketua adat atau bendesa adat dan masyarakat Penglipuran Bali. Metode analisa data yang digunakan adalah tahapan analisis data yang direkomendasikan Huberman dan Miles yaitu reduksi data, penyajian data, verifikasi data untuk menarik kesimpulan (Miles & Huberman, 1994).

HASIL DAN PEMBAHASAN Spirit kebersihan

Kebersihan yang dipahami sebagai fenomena higienitas satu sisi dikaitkan dengan kebersihan personal (personal clienship) dan kebersihan lingkungan (environmental clienship). Keduanya merupakan entitas yang saling berkaitan sekaligus menentukan corak kebersihan yang melingkupi kehidupan. Dalam konteks personal, kebersihan berhubungan erat dengan tata cara seseorang dalam memperlakukan tubuh dengan sarana yang bisa membersihkan. Misalnya, aturan mandi minimal dua kali dalam sehari, menjaga panca indera dari berbagai noda luar yang menjangkiti dalam keseharian, mengatur pola sajian makanan yang bisa menunjang kebersihan dan kesehatan tubuh, dan lain sebagainya (Kementrian Kesehatan repblik Indonesia, 2011).

Secara sistemik, ada berbagai panduan yang dibuat oleh pemerintah, seperti kementerian kesehatan yang merumuskan pola hidup bersih yang harus dilakukan oleh setiap orang. Bahkan, di luar pemerintah, banyak pula berbagai lembaga yang membuat rumusan hidup bersih yang agak berbeda yang disertai dengan tip-tip praktis untuk membentuk pribadi yang bersih. Namun semua itu mempunyai tujuan yang sama bagaimana memberi kontribusi penting perihal menciptakan pola hidup bersih pada tingkat personal.

Adapun dalam konteks lingkungan tentu terdapat pola yang agak berbeda perihal bagaimana memperlakukan kebersihan. Meskipun ada spirit dan definisi yang serupa tentang seperti apa kebersihan yang harus diciptakan dan bagaimana kebersihan itu

(5)

diperuntukan bagi kehidupan yang sesuai dengan selera kebanyakan, tentu perlu ada aturan yang menjadi pijakan bersama untuk menyepakati corak kebersihan yang memadai bagi semua pihak. Oleh karena itu, untuk mewujudkan kebersihan lingkungan tidak seperti merealisasi kebersihan pada tingkat personal, melainkan ada prosedur dan ketetapan yang bisa digunakan berdasarkan aturan masyarakat.

Semisal membuat aturan bersama perihal menciptakan kebersihan di sebuah lahan yang menjadi hunian bersama. Menentukan model kerja dalam melakukan kebersihan antar satu dengan yang lain. Bekerjasama dengan berbagai pihak, baik pemerintah maupun swasta untuk mendukung kegiatan kebersihan lingkungan.

Merumuskan pendekatan budaya agar tertanam dalam diri setiap orang perihal pentingnya kepedulian terhadap kebersihan lingkungan. Kesemua itu menjadi sebuah perangkat nilai yang bila dijalankan dengan baik akan bisa menciptakan kebersihan lingkungan dengan baik pula.

Dalam kaitan ini, untuk mewujudkan kebersihan lingkungan tentu harus dilaksanakan dengan berbagai cara dan terobosan yang inovatif agar bisa memantik kesadaran dan bisa bersama sama menjalan tugas kolektif-kolegialnya di dalam kebersihan lingkungan. Bahkan, bila dimungkinkan ada sebuah sistem yang mengatur adanya sanksi yang diperuntukkan bagi setiap orang yang tidak mendukung dan tidak menjalankan tugasnya. Sebab, bila kegiatan kebersihan lingkungan tidak ditunjang secara bersama-sama dan hanya mengandalkan segelintir orang, maka akan banyak kendala yang dihadapi untuk mewujudkan kebersihan lingkungan (Tim MKU PLH, 2014).

Selain dalam lingkungan personal dan lingkungan, makna kebersihan juga diperluas dalam konteks spiritual. Sebagai contoh penjabaran makna kebersihan di lingkup spiritual adalah menarasikan kesucian sebagai sebuah cara pandang dalam menjalankan ritual keagamaan. Dalam praktek keagamaan, kesucian dijelaskan secara luas dan beragam sekaligus disesuaikan dengan aturan internal agamanya (Sujana, 2018).

Dalam kaitan ini, di masing-masing agama biasanya menggunakan pandangan normatifnya untuk mengatur bentuk kebersihan yang mensucikan. Dengan kata lain, kebersihan personal dan lingkungan yang dimaknai sebagai bebas dari noda juga dilingkupi oleh sistem kepercayaan yang bisa menghubungkan dengan aspek transendentalnya. Sebab, dalam konteks spiritual, kebersihan tidak hanya berkaitan dengan interaksi antar individu maupun alam, akan tetapi kebersihan itu menjadi refleksi kedirian yang dipersembahkan kepada Tuhan yang diyakini dalam sistem keberagamannya.

(6)

Kebersihan dalam ajaran Hindu

Kebersihan merupakan sebuah ajaran yang ditegaskan dalam berbagai agama.

Dalam Islam, terdapat al qur’an dan dalil dalil naqli yang menjelaskan petingnya menjaga kebrsihan lingkungan serta menyerukan kepada ummat Islam untuk melestarikan lngkungan dengan pendekatan tauhid. Demikian pula dengan agama kristiani yang melalui kitab-kitab perjanjiannya secara gamblang mengulas teologis-ekologis sebagai landasan spiritual dalam menyikapi kebersihan lingkungan. Tak terkecuali dalam agama Hindu juga menekankan pentingnya menjaga kebersihan.

Dalam ajaran agama Hindu terdapat sloka-sloka Upanisad yang menjadi sumber ajaran kelestarian kebersihan lingkungan yang dihayati oleh ummat Hindu sekaligus dimanifestasikan dalam kehidupannya. Dalam kaitan ini, sloka upanisad menguraikan dzat Brahman sebagai landasan teologis yang dipersonifikasi pada segala zat seperti manusia, tetumbuhan, hewan, dan atman (Benawa, 2018). Keberadaan semua zat di dunia ini yang dipersonifikasi sebagi Brahman bertujuan untuk menyadarkan manusia bahwa semua makhluk harus diperlakukan dengan baik dan sesuai dengan kodrat.

Semisal bumi dan alam yang menjadi tempat kehidupan dan sumber penghidupan semua makhluk hidup, terutama manusia harus dikelola secara alami. Sebab, ketika manusia menyikapi bumi dan alam secara alami serta melestarikan kebersihan sebagai bagian penting bagi keseimbangan kosmologis, maka secara tidak langsung manusia menerapkan ajaran pantheisme yang menekankan pentingnya menghargai lingkungan yang di dalam zatnya dilingkupi oleh dzat Brahman.

Selain itu, ketika manusia menginginkan sebuah kebahagiaan dalam hidupnya maka sikap paling elementer yang harus dilakukan terdapat alam adalah bagaimana menerapkan rasa cinta dan penghormatan kepada bumi dan alam (Benawa, 2018).

Dengan sikap simbiosis mutualis demikian, maka menjadi keniscayaan bagi manusia untuk tidak bersikap semena mena dan eksploitatif terhadap bumi dan alam. Sebab, bila perlakuan manusia terhadap bumi dalam alam berlebihan dan berakibat pada kerusakan ekosistem yang ada pada bumi dan alam, maka kerusakan dan kesengsaraan yang dialami oleh bumi dan alam karena ditimbulkan oleh perilaku tak bertanggung jawab, akan berdampak pula pada manusia.

Dalam konteks ini, ajaran Hindu yang tertuang dalam sloka Upanisad yang menggambarkan Brahman sebagai dzat yang menafasi semua zat dan bahkan menubuh di setiap makhluk seperti bumi, alam, hewan, dan manusia. Bahkan, secara eksplisit pula dzat Brahman dijadikan sebagai landasan kepercayaan pantheisme sebagai spirit mutualisme yang menjelaskan nilai kearifan lokal bahwa “barang siapa yang menanam dia akan mengetam.” Dengan kata lain, tiada kebahagian maupun kesengsaraan akan menimpa manusia, terkecuali manusia bisa memahami dan menghayati bagaimana memperlakukan bumi dan alam dengan benar.

(7)

Selain itu, dalam ajaran sloka Upanisad ada sebuah dictum Tat Twam Asi yang tertuang dalam Cadigya Upanisad yang menjelaskan makna “Itu adalah Kamu” (Benawa, 2018). Secara semiotic, diktum ini menjelaskan sebah konsekwensi logis tentang sikap dan perilaku manusia terhadap alam. Untuk memahami diktum ini tentu membutuhkan interpretasi dan refleksi yang mendalam agar memberikan petunjuk kepada manusia bagaimana memperlakukan alam sebagaimana memperlakukan dirinya sendiri. Dalam hal ini, dictum ini sebuah ajaran tentang kehidupan dan penghidupan yang menjadi sifat alami manusia. Selain itu, dictum ini menjadi nafas hidup yang bisa menggerakkan kehidupan dan penghidupan manusia.

Spirit Kebersihan Berbasis Tri Hita Karana

Ajaran kebersihan yang dijelaskan dalam agama Hindu membentuk sebuah spiritual ekologi yang terbangun dalam masyarakat Penglipuran. Lingkungan penglipuran yang sejak dahulu hingga saat ini menampakkan wajah keasrian dan kesejukan menjadi kawasan yang strategis untuk menyatukan diri dengan alam yang dilapisi dengan nuansa sakralitas (Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia., 2004). Konsep Tri Hita Karana yang mendedahkan keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan menjadi sebuah tuntunan moral masyarakat penglipuran dalam melakoni kehidupannya. Bahkan, dalam perilaku yang lebih konkrit dan sangat dibutuhkan masyarakat luas ketika masyarakat luas sedang kebingungan menemukan solusi terbaik dan tepat dalam menyikapi dan mengatasi ancaman kerusakan lingkungan, di kalangan masyarakat penglipuran sudah terbiasa dengan upaya untuk menjadikan diri masing-masing sebagai “manusia solutif” dalam menyikapi lingkungan melalui konsep Tri Hita Karana. (wawancara dengan I Wayan 3/9/2019)

Dalam keseharian masyarakat penglipuran, konsep Tri Hita Karana menjadi titik tolak untuk menumbuhkan kesadaran transcendental dalam memanifestasikan nilai- nilai spiritualitas dalam tigas aspek paling elementer yaitu, pertama, menjaga kebersihan lingkungannya. Kedua, melestarikan hutan desa. Ketiga, melestarikan pura desa.

(wawancara dengan I Wayan 3/9/2019) Ketiga aspek ini menjadi sebuah consensus bersama yang tidak hanya dirumuskan secara top down, melainkan berawal dari partisipasi kewargaan yang menyepakati secara bottom up agar eko sistem pengluipuran terpelihara dengan baik. Konsekwensinya, setiap orang tidak boleh melakukan aktifitas ekonomi di sepanjang jalan kawasan penglipuran. Adapun batas area jual-belinya hanya di dalam pekarangan agar tidak mengganggu jalan dan merusak pemandangan kawasan penglipuran yang tertib.

Secara detail, ketiga aspek yang menjadi semacam kepakatan bersama di penglipuran sama-sama dinafasi oleh konsep Tri Hita Karana dalam perjalinan ekologi spiritualitasnya. Semisal pada aspek pertama yaitu menjaga kebersihan lingkungannya, maka lingkungan yang dimaksud adalah ketiga unsur yang terdiri dari Parhyangan, pawongan, dan pelemahan. Secara esetorik, ketiga unsur ini menjadi turunan filosofis

(8)

dari konsep Tri Hitarana yang mendedahkan keterjalinan emosional-batiniyah antara manusia, alam, dan Tuhan (Benawa, 2018).

Bagi masyarakat Penglipuran, Parhyangan adalah sebentuk bangunan fisik yang dijadikan tempat suci dan digunakan untuk ibadah. Dan menariknya, di tiap-tiap rumah yang ada di kawasan penglipuran terdapat parhyangan atau dalam istilah lain pura, sanggah, atau pamrajan. Secara implisit, keberadaan parhyangan yang berada dalam satu kawasan dengan tempat tinggal menjelaskan sebuah titik sambung kasalehan personal melalui cara pengagungan sang Hyang Widi dan sekaligus menjadikan parhayangan sebagai manifestasi atma atau paramatma dan sekaligus simbol pengingat agar selalu peduli terhadap alam sebagaimana mengekspresikan kepedulian kepada sesame manusia. Konsekwensinya, setiap orang harus memanifestasikan kepedulian lingkungannya dengan cara menjaga kebersihan dan merawat lingkungan agar selalu asri dan tidak tercemar oleh kotoran. Apalagi, kebersihan menjadi salah satu bentuk sesembahan yang diyakini oleh masyarakat penglipuran sebagai perantara ketersambungan batin antara manusia dengan sang Hyang Widi. Maka tak heran, bila di penglipuran ada semacam ritus harian yang dilakukan di pagi hari oleh setiap warga, yaitu mengawali aktifitas hariannya dengan membersihkan parhyangan lalu pawongan dan terakhir palemahan (Benawa, 2018).

Unsur lain yang menjadi derivasi spiritualitas masyarakat penglipuran dalam menjaga kebesihan adalah pawongan, yaitu tempat tinggal atau rumah (bale banjar).

Letak pawongan yang secara geoghrafis berada di belakang parhyangan, satu sisi menjadi gambar ketundukan warga penglipuran terhadap titah sang Hyang Widi untuk menjalankan tugas dan kewajibannya di dunia. Di sisi lain, pawongan menjadi semacam prana atau tempat yang menjadi salah satu sumber tumbuhnya energi seorang manusia bisa hidup. Di mana, melalui energ yang diperoleh dari pawongan atau rumah tersebut setiap orang akan bisa melakukan banyak rupa baik untuk kemasalahatan dirinya atau kemaslahatan pihak lain. (Wawancara dengan ibu ketut 3/9/2019)

Dalam hal ini, bagi masyarakat penglipuran, keberadaan pawongan yang terletak di belakangan parhyangan dan meskipun menjadi sebuah prana yang bisa memberikan energi untuk melakukan apapun saja yang terkait dengan keberlangsungan hidupnya, setiap warga harus menyinergikan dampak kesalehan yang dipancarkan dari sang hyang widi untuk kebajikan bersama. Maka, ketika setiap warga yang memperoleh energi baru dari lingkup pawongannya, namun energi tersebut harus diperuntukkan oleh kewajiban sosial lain seperti pelestarian lingkungan yang ramah dan merawat kebersihan. Oleh karena itu, menjadi wajar bila dalam keseharian, yang begtiu tampak di kawasan penglipuran adalah ada kehendak bersama antar masing warga untuk mengawali aktifitas pagi harinya dengan melakukan bersih-bersih di lingkungan. dan bersih-bersih dimulai dari parhyangan hingga pawongan. Bahkan, bersih-bersih juga merambah ke

(9)

sekitar palemahan, yang menjadi kawasan bersama masyarakat, yaitu selokan maupun jalan.

Adapun unsur terakhir yang menjadi kerangka persambungan kesadaran ekologis adalah palemahan, yaitu lingkungan ada di penglipuran. Dalam hal ini, lingkungan menjadi pondasi penting terjalinnya sebuah interaksi yang harmonis antar sesame (Dita et al., 2019). Oleh karena itu, ketika dalam sebuah palemahan menentukan sebuah kesepakatan bersama untuk menajalankan sebuah aturan hidup yang bersandar pada Sang Hyang Widi dan menjadi hamba yang bertanggung jawab pada lingkungan sosialnya, maka konsekwensi logis yang harus dilakukan adalah, bagaimana mempertanggung jawabkan komitmen tersebut dalam kesehariannya.

Nilai-nilai Kearifan Lokal

Kearifan lokal merupakan sebuah cara pandang, cara bersikap, dan cara bertindak yang dilakukan oleh seseorang maupun komunitas atau masyarakat dalam menanggapi dan mengelola perubahan sosial dan perkembangan zaman yang terjadi dalam kehidupannya. (I Ketut Ngurah Salibra, “revitalisasi kearifan lokal di Bali” makalah tidak diterbitkan) Ketika, sebuah masyarakat tetap melestarikan otentisitas lingkungannya dan dipagari dengan berbagai tradisi agar masyarakat terdorong untuk merasa memiliki terhadap otentisitas lingkungannya tersebut, maka bisa dikatakan mempunyai sadar budaya. Bahkan melalui sadar budaya tersebut akan tumbuh sebuah gagasan menjaga peradaban yang hidup dalam masyarakat hingga kapan pun baik peradaban yang berkaitan dengan sakral maupun yang profan sekalipun (Sartini, 2004).

Di tengah kuatnya arus modernisasi yang mulai merambah ke berbagi sendi kehidupan masyarakat, tidak sedikit dari berbagai kalangan yang mulai terjebak dalam kubangan modernisasi dan melakukan pembongkaran baik secara materiel maupun immaterial dengan mengatasnamakan kemajuan zaman. (David Ray Griffin; 2005). Oleh karena itu, ketika sebuah komunitas dan masyarakat selalu terdorong untuk menjaga peradaban otentisitasnya dengan berbagai cara, apalagi dinafasi dengan praktik keberagamaan untuk meniupkan ruh sakralisme dalam berbagai unsur peradabannya, maka komunitas tersebut akan selalu mempunyai daya tarik dan keunikan yang akan disenangi dan disukai banyak pihak (Fajarini, 2014).

Dalam kaitan ini, penglipuran merupakan desa yang sangat mumpuni menjaga kearifan lokal. Meskipun di banyak sisi, desa penglipuran dihadapkan dengan berbagai tantangan untuk melakukan pembenahan dan perubahan, namun ada kehendak bersama di kalangan warganya untuk merespon setiap perubahan dan perkembangan tanpa mengurangi nilai-nilai otentisitas desa Penglipuran yang sangat unik dan khas (Muliawan, 2017). Selain itu, warga penglipuran menyesuaikan dengan berbagai barang- barang modern seperti motor, mesin cuci, televisi, handphone, dan semacamnya bukan berarti merubah cara pandang dan gaya hidupnya yang dapat mempengaruhi sistem sosialnya (Kasuma & Suprijanto, 2012). Oleh karena itu, karena kegigihan dan

(10)

konsistensi masyarakat penglipuran untuk menjaga tradisinya, pada tahun 1993 penglipuran secara resmi dijadikan sebagai desa wisata. Melalui pengakuan ini maka Penglipuran termasuk kategori desa yang mandiri, desa tanpa golongan dan tanpa ikatan, serta tidak ada sistem kasta dalam kehidupan warganya. (Wawancara dengan ketua adat I Wayan Supat, 3/9/2019)

Menguatnya cara pandang warga penglipuran dalam menjaga kearifan lokal berpengaruh dalam berbagai bentuk penyikapan. Di antaranya cara menentukan bentuk pekarangan yang memuat unsur lokalitas dan otentisitas peradaban Bali yang dipengaruhi sistem kepercayaan Hindu. Dimana konsep Tri Hita Karana yang menguraikan tiga elemen dasar dalam kehidupan masyarakat Bali yaitu, Parahyangan, pawongan, dan palemahan menjadi pandangan dunia (world view) yang dilestarikan dan diderivasi hingga ke dalam praktik kesehariannya (Cahyono et al., 2018). Di antara contoh penyikapan yang sangat berperanguh dalam tata ruang pekarangannya adalah dilandasi oleh tri mandala. Di mana corak tri mandala yang dijadikan rujukan dalam menata pekarangannya dipengaruhi oleh konsep Tri Hita Karana yang satu sisi menghubungan sesama manusia (pawongan) dan menghubungkan dengan alam (palemahan) dan Tuhan (parahyangan). (Wawancara dengan Klih Eka, 3/9/2019 , baca pula, (Sahidah, 2017))

Dalam konsep Tri Mandala ada tiga ranah yang mempunyai nilai dan peruntukan yang berbeda-beda (Suryada, n.d.), yaitu. Pertama, utara mandala yang digunakan oleh warga penglipuran sebagai tempat sembahyang kepada sang Hyang Widi. Kedua, Madya Mandala yang digunakan sebagai tempat pemukiman atau rumah keluarga oleh warga penglipuran. Bahkan dalam ranah madya mandala ini terdapat beberapa ruang yang diatur oleh sedemikian rupa dengan mengikuti aturan main adat. Dalam tata ruang ini tempat tidur berada di sebelah utara, tempat keluarga atau kongkow berada di wilayah tengah, dan untuk berbagai kepentingan pembuangan hajat kotor berada di sebelah timur. Ketiga, nista mandala yang berada di bagian belakang yang berisi berbagai kebutuhan lain yang dianggap tempat yang paling cela seperti jemuran, garasi, penyimpanan barang-barang dan semacamnya.

Dalam kaitan ini, untuk menjaga konsistensi warga penglipuran dalam mengikuti aturan adat dalam menata dan mengelola berbagai dimensi teosofisme dan humanism di ruang desa maupun ruang pekarangannya, bendesa adat selalu mengingatkan setiap warga bahwa agar selalu mematuhi aturan adat dan kearifan lokal yang dijunjung tinggi di kawasan penglipuran. Sebab, secara historis-filosofis, desa penglipuran merupakan desa yang paling kuat dalam mempertahankan tradisi nenek moyang secara turun menurun. Dengan komitmen sosial warga penglipuran dalam menjaga adat dan kearifan menjadi wajar bila warga mempunyai kesadaran tinggi dalam merawat lingkungan dengan baik dan selalu siaga dalam menjaga kebersihan wilayahnya.

(11)

Kearifan lokal yang sangat kental dalam kehidupan masyarakat penglipuran akan menjadi pengikat sosial bagi semua warga (I Ketut Ngurah Salibra, “revitalisasi…makalah tidak diterbitkan) untuk menjalankan berbagai aturan yang disepakatai bersama.

Bahkan dalam menghadapi berbagai perkembanagn zaman dan perubahan sosial sekalipuan, kearifan akan menjadi tuntunan (Harirah et al., 2021) yang selalu melandasi sikap aproriasi dalam memenuhi ruang gerak perkembangan dan perubahan tersebut.

Sebab, bagi masyrakat penglipuran, kearifan lokal sudah menjadi pandangan hidup, pengetahuan, dan strategi dalam memenuhi kebutuhan mereka (Alfian, 2013).

Dampaknya, tidak berlebihan bila melalui kearifan lokal selalu memperkuat identitas diri (Alfian, 2013) mereka sebagai warga yang satu sisi memanifestasikan spirit keberagamaan dan secara bersamaan melestarikan pula nilai-nilai kearifan dalam kesehariannya (Williams, 1983).

KESIMPULAN

Dari berbagai uraian tentang makna kebersihan yang diimplementasikan masyarakat penglipuran dengan mengacu kepada spirit keberagamaan dan kearifan lokal, ada dua kesimpulan yang bisa dijabarkan di bawah ini:

Pertama, Pola pengelolaan kebersihan dan pelestarian lingkungan yang berlangsung dalam masyarakat penglipuran Bali berlangsung secara kolektif kolegial.

Antar warga saling terlibat dalam melaksanakan kewajiban sosial dalam membudayakan perilaku bersih setiap hari. Bahkan, dalam keseharian mereka, melakukan kebersihan di berbagai area, baik di dalam pekarangan rumah maupun di lingkungan seklitar menjadi tugas pertama sebelum mereka menjalankan berbagai aktifitas lainnya. Dampaknya, lingkungan desa penglipuran selalu tampak bersih dan aura lingkungannya menunjukkan keasrian yang menyejukkan. Dampak lanjutannya, menjadi wajar bila penglipuran diganjar berbagai prestasi seperti raihan kalpataru pada tahun 2015 dan dinobatkan sebagai desa terbersih ketiga di dunia setelah Belanda dan India yang dikeluarga oleh magazine bombastic. Prestasi ini tentu terwujud berkat konsistensi dan kegigihan warga penglipuran dalam membangun komitmen diri dalam menjaga lingkungan.

Kedua, Terciptanya iklim desa penglipuran yang bersih dan suasanya yang begtiu asri, ditiopang berbagai unsure yang terlibat di dalamya. Namun yang lebih utama dalam menumbuhkan kesadaran lingkungan bersih adalah kuatnya masyarakat dalam memanifestasikan spirit kearifan lokal dalam cara pandang, cara bersikap, dan cara bertindak. Berkaitan dengan cara pandang yang tumbuh di kalangan masyarakat penglipuran beririsan pula dengan spirit keagamaan Hindu. Di mana, dalam sistem kepercayaan mereka terdapat konsep Tri Hita Karana yang terdiri dari Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan. Ketiga unsure ini membangun hubungan simbiosis-mutulis yang setara dan dapat merekatkan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia

(12)

dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Secara derivasional, konsep Tri Hitarana juga dijadikan sebagai tuntunan oleh masing-maisng warga dalam mengelola ruang geraknya baik di ruang desa maupun ruang rumah tangga. Di mana melalui Tri Hita Karana dimanifestasikn dalam tiga unsure berikutnya yang dikenal dengan konsep Tri Mandala.

melalui Tri Mandala ini warga penglipuran membangun harmonisasi kosmologis dalam menjalankan tugas hariannya. Terutama yang berkaitan erat dengan tugas memelihara lingkungan agar selalu bersih.

DAFTAR PUSTAKA

Adi, P. N. (2004). Desa Wisata Penglipuran: Menuju Pemberdayaan Warga Desa.

Dalam Majalah Ilmiah Analisis Pariwisata, 6.

Alfian, M. (2013). Potensi kearifan lokal dalam pembentukan jati diri dan karakter bangsa. Prociding the 5th International Confference on Indonesian Studies:

Etnicity and Globalization.

Benawa, A. (2018). EKO-SPIRITUAL Dimensi Iman yang Lama Terabaikan. Jurnal

PASUPATI, 5(2), 153–177.

https://doi.org/https://doi.org/10.37428/pspt.v5i2.119

Bramwel, A. (1989). Ecology in The 20 century A History. Yale Press.

Cahyono, H., Miartha, I. W., & Sujana, I. W. (2018). Strategi Prajuru Hulu Apad dalam mengimplementasikan ajaran Tri Hita Karanadi desa Pakraman Penglipuran Kabupaten Bangli. Jurnal Penelitian Agama Hindu, 2(1), 214.

https://doi.org/10.25078/jpah.v2i1.472

Dita, M. A. D. P., Wiranata, I. M. R. A., Sari, K., & Sujana, I. W. (2019). Penglipuran sebagai desa edukasi berbasis Tri Hita Karana dalam pengembangan karakter SD. Indonesian Values and Character Education Journal, 2(2), 97–

105.

Doherty, B. (2005). Ideas and Actions in the Green Movement. Routledge.

https://doi.org/10.4324/9780203994108

Fajarini, U. (2014). Peran kearifan lokal dalam pendidikan karakter. SOSIO DIDAKTIKA: Social Science Education Journal, 1(2).

https://doi.org/10.15408/SD.V1I2.1225

Faturrahman, F. (2020). Budaya perilaku bersih di Desa Penglipuran Bali. Jurnal Sosiologi Reflektif, 15(1), 149. https://doi.org/10.14421/jsr.v15i1.1960 Harirah, Z., Azwar, W., & Isril, I. (2021). Melacak eksistensi kearifan lokal dalam

kebijakan pengembangan pariwisata kabupaten Siak di era globalisasi. Jurnal Ilmu Sosial Dan Humaniora, 10(1), 70. https://doi.org/10.23887/jish- undiksha.v10i1.26629

(13)

Kasuma, I. P. A. W., & Suprijanto, I. (2012). Karakteristik Ruang Tradisional pada Desa Adat Penglipuran, Bali. Jurnal Permukiman, 7(1), 40.

https://doi.org/10.31815/jp.2012.7.40-50

Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia. (2004). Wawasan budaya untuk pembangunan: menoleh kearifan lokal. Pilar Politika.

Kementrian Kesehatan repblik Indonesia. (2011). Pedoman Pembinaan Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS).

Miles, M. B., & Huberman, A. M. (1994). Data Management and Analysis Methods”, dalam Norman K. Denzim & Yvona S. Lincoln (eds.), Handbook of Qualitative and Quantitative Research. London: SAGE Publication.

Muliawan, I. W. (2017). Kearifan Masyarakat Desa Penglipuran Kabupaten Bangli dalam Melestarikan Tanaman Bambu dan Aplikasinya sebagai Bahan Bangunan. PADURAKSA: Jurnal Teknik Sipil Universitas Warmadewa, 6(1), 34–43.

Paramita, I. B. G., & Naba, I. B. (2022). Studi ekplorasi pada desa wisata Penglipuran Kabupaten Bangli. Cultoure: Jurnal Ilmiah Pariwisata Budaya Hindu, 3(2), 104–113.

Park, P. J. (2012). The Green Movementi. Refremce point press.

https://doi.org/10.1186/1687-1812-2012-146

Pitana, I. G. (2002). Pariwisata, Wahana Pelestarian Kebudayaan dan Dinamika Masyarakat Bali. Denpasar: Universitas Udayana.

Sahidah, A. (2017). Hubungan Antara Tuhan, Manusia dan Alam dalam al-Quran:

Aplikasi Semantik Toshihiko Izutsu. FIKRAH, 5(2), 287.

https://doi.org/10.21043/fikrah.v5i2.2722

Sartini, S. (2004). Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafati.

Jurnal Filsafat, 14(2), 111–120.

Sudiarta, M., & Nurjaya, I. W. (2017). Keunikan Desa Penglipuran Sebagai Pendorong Menjadi Desa Wisata Berbasis Kerakyatan. Soshum: Jurnal Sosial Dan Humaniora, 5(3), 183.

Sujana, I. M. P. (2018). Strategi Konservasi Bhisama Kesucian Pura Pada Kawasan Cagar Budaya Taman Narmada Dalam Merespons Perkembangan Pariwisata Budaya di Lombok Barat. Widya Sandhi, 9(2), 1760–1782.

Suryada, I. G. A. B. (n.d.). Konsepsi Tri Mandala Dan Sanga Mandala Dalam Tatanan Arsitektur Tradisional Bali.

Taylor, B. R. (2010). Dark green religion: Nature spirituality and the planetary future. Univ of California Press. https://doi.org/10.1525/9780520944459

(14)

Tim MKU PLH. (2014). Pendidikan Lingkungan Hidup. Universitas Negeri Semarang.

Tucker, M. E., & Grim, J. A. (2003). Agama, Filsafat dan Lingkungan Hidup.

Yogyakarta: Kanisius.

Wibowo, I. N. A. (2019). Strategi Pengelolaan Desa Wisata Penglipuran Kabupaten Bangli. Public Inspiration: Jurnal Administrasi Publik, 4(2), 91–96.

Williams, R. (1983). Culture and society. Columbia University Press.

Referensi

Dokumen terkait

Summary of CFA Hypothesis Testing Results Hypothesis Results H1 The Three=factor SESS measure is adequate Supported H2 The three factors SESS measure is psychometrically sound