• Tidak ada hasil yang ditemukan

Vol 5 No 1 Hikmatul Hadini

N/A
N/A
Marsyandah fres

Academic year: 2025

Membagikan " Vol 5 No 1 Hikmatul Hadini"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Indonesian Research Journal on Education Volume 5 Nomor 1 Tahun 2025 1472

Hubungan Self-Esteem dengan Kenakalan Remaja

Hikmatul Hadini1, Tesha Hestyana Sari2, Niken Yuniar Sari3 Universitas Riau, Indonesia

[email protected]1

Abstrak Kata Kunci:

Kenakalan, Remaja, Self- Esteem.

Jumlah remaja yang terlibat dalam kenakalan remaja (juvenile delinquency) di dunia terus meningkat, terdapat 100 juta remaja yang terlibat dalam berbagai bentuk kenakalan remaja. Salah satu faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja ialah self-esteem. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara self-esteem dan kenakalan remaja. Penelitian menggunakan desain deskriptif korelasi dengan pendekatan cross-sectional. Responden adalah 75 narapidana remaja di LPKA Pekanbaru. Self-esteem diukur menggunakan Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES), dan kenakalan diukur dengan Self-Report Delinquency (SRD). Data dianalisis menggunakan uji chi-square.

Sebagian besar remaja memiliki self-esteem rendah dengan tingkat kenakalan sedang (56,82%).

Analisis chi-square menunjukkan hubungan signifikan antara self-esteem dan kenakalan remaja (p = 0,000Terdapat hubungan signifikan antara self-esteem dan kenakalan remaja. Meningkatkan self- esteem dapat menjadi langkah untuk mengurangi kenakalan remaja.

Abstract Key Word:

Delinquency, Adolescent, Self-Esteem.

The number of teenagers involved in juvenile delinquency worldwide continues to increase, with 100 million teenagers engaged in various forms of delinquency. One of the factors influencing juvenile delinquency is self-esteem. This study aims to examine the relationship between self-esteem and juvenile delinquency. The study uses a correlational descriptive design with a cross-sectional approach. The respondents were 75 adolescent inmates at LPKA Pekanbaru. Self-esteem was measured using the Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES), and delinquency was assessed using the Self-Report Delinquency (SRD). Data were analyzed using the chi-square test. The majority of teenagers had low self-esteem, with a moderate level of delinquency (56.82%). The chi-square analysis revealed a significant relationship between self-esteem and juvenile delinquency (p = 0.000). There is a significant relationship between self-esteem and juvenile delinquency. Improving self-esteem may be a step towards reducing juvenile delinquency.

Copyright © 2025 Hikmatul Hadini, Tesha Hestyana Sari, Niken Yuniar Sari This work is licensed under an Attribution-ShareAlike 4.0 International (CC BY-SA 4.0)

PENDAHULUAN

Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2022, remaja adalah orang-orang dalam rentang usia 10 hingga 19 tahun. Remaja ialah fase pada periode pertumbuhan dan perkembangan yang pesat secara fisik, psikologis dan, intelektual. Remaja juga dianggap kelompok yang memiliki risiko secara seksual yaitu pada kesehatan reproduksi, dikarenakan mereka mempunyai rasa keingintahuan yang cukup besar serta terdapat keinginan untuk mencoba hal-hal baru. Oleh karena itu, remaja merupakan kelompok potensial yang perlu diberikan perhatian yang serius (Bancin, Sitorus & Anita, 2022). Data dari World Health Organization (2023) mengatakan terdapat 1,2 miliar remaja yang berusia 10-19 tahun dari total 7,2 miliar orang di dunia atau setara dengan 18% dari total populasi dunia. Badan Pusat Statistik Nasional (2023) juga mencatat bahwa terdapat 44,25 juta remaja di Indonesia dengan usia 10-19 tahun (Deswita, Sidaria & Sari, 2023).

Selanjutnya, Provinsi Riau juga memiliki populasi remaja yang cukup banyak yaitu mencapai 591.081 jiwa pada kelompok usia 10-14 tahun dan 568.572 jiwa pada kelompok usia 15-19 tahun (Badan Pusat Statistik Provinsi Riau, 2023). Semakin meningkatnya jumlah remaja di Indonesia, maka semakin banyak juga permasalahan yang dialami remaja dalam tahap perkembangannya (Nurliza, et.al, 2024).

Kenakalan remaja atau juga dikenal dengan juvenile delinquency menjadi salah satu masalah besar yang terus menerus melanda komunitas di dunia. Kenakalan remaja adalah perilaku kejahatan atau kenakalan yang dilakukan oleh remaja yang merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial, yang disebabkan oleh pengabaian sosial sehingga mendorong mereka untuk mengembangkan tingkah laku menyimpang (Karlina, 2020). Data dari United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) menyebutkan jumlah remaja yang e-ISSN: 2775 – 8672, p-ISSN: 2775 – 9482

Volume 5 Nomor 1 Tahun 2025 Halaman: 1472 – 1479

RESEARCH ARTICLE Web: https://irje.org/index.php/irje

(2)

Indonesian Research Journal on Education Volume 5 Nomor 1 Tahun 2025 1473 terlibat dalam kenakalan remaja (juvenile delinquency) di dunia terus meningkat. Pada tahun 2023, terdapat 100 juta remaja yang terlibat dalam berbagai bentuk kenakalan remaja. Selain itu, pada Data Badan Sensus Amerika pada tahun 2020 terdapat 60% dari populasi remaja di Amerika Serikat terpapar pada perilaku kenakalan remaja (Aazami, Valek, Ponce & Zare, 2023). Sejalan dengan peningkatan prevalensi di dunia, tingkat kenakalan remaja di Indonesia juga terbilang tinggi. Pada tahun 2022, kenakalan remaja di Indonesia mencapai 10% atau 37.297 dari 372.965 kejadian kejahatan di Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2023).

Selain itu, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Riau (2023) menyebutkan bahwa pada tahun 2022 terdapat 6 remaja menjadi tahanan dan 72 remaja menjadi narapidana di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Pekanbaru. Data menunjukkan bahwa remaja tersebut terpidana sebagai pengguna narkoba (Badan Pusat Statistik Provinsi Riau, 2023).

Menurut Andayani, Maghfiroh dan Anggraini (2021) ada tiga faktor utama yang mempengaruhi perilaku kenakalan remaja yaitu faktor pribadi, keluarga, dan, lingkungan sosial. Pada faktor pribadi terbagi menjadi dua yaitu faktor pribadi yang melekat (given) yaitu faktor yang tidak dapat dirubah dan faktor yang dapat ditingkatkan. Faktor yang tidak dapat diubah adalah faktor bawaan seperti jenis kelamin, usia, dan, urutan kelahiran. Sementara itu, faktor pribadi yang dapat ditingkatkan seperti pengetahuan, pengalaman dan, keterampilan yang mencakup kecerdasan emosi dan self-esteem (Andayani, maghfiroh & Anggraini, 2021).

Self-esteem merupakan suatu bentuk bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri secara keseluruhan, baik secara positif ataupun negatif. Self-esteem adalah cara individu atau manusia dalam hal menilai kehormatan diri, hal ini tercermin melalui sikap dan pandangan terhadap dirinya sendiri. Selain itu, self-esteem juga berperan sebagai hal yang mengatur perilaku dan motivasi individu. Oleh sebab itu, self- esteem bukan hanya penilaian melainkan pondasi yang memengaruhi berbagai aspek penting kehidupan seseorang (Hamdanah & Surawan, 2022). Menurut Rosenberg (1965 dalam Sites, 2020), self-esteem memiliki dua dimensi yaitu kesukaan terhadap diri sendiri (self-liking) dan kompetensi diri (self- competence). Dimensi kesukaan terhadap diri sendiri mencakup perasaan positif terhadap diri sendiri, penerimaan diri, dan kemampuan untuk merasa bahagia terhadap diri sendiri. Di sisi lain, dimensi kompetensi diri mencerminkan penilaian individu terhadap kemampuan diri dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk prestasi, keterampilan, dan kemampuan untuk mengatasi tantangan.

Menurut Zuhriyah dan Soetjiningsih (2019) remaja dengan self-esteem yang tinggi cenderung memiliki inisiatif, ketahanan, dan kebahagiaan yang lebih besar. Sebaliknya, mereka yang memiliki self- esteem rendah sering merasa tidak dihargai dan tidak dibutuhkan, yang dapat meningkatkan risiko perilaku menyimpang. Perasaan diri yang tidak penting di mata orang lain mendorong mereka mencari pengakuan di luar keluarga, seperti dari teman sebaya, geng, atau aktivitas sosial lainnya. Upaya mencari perhatian dan penghargaan ini dapat menjerumuskan mereka ke dalam perilaku kenakalan (Zuhriyah & Soetjiningsih, 2019).

Kenakalan remaja memberikan dampak yang cukup serius, salah satu bentuk dari akibat kenakalan remaja yang terberat adalah remaja harus masuk ke dalam sel tahanan atau tempat pembinaan atas perbuatan yang melanggar hukum dan norma-norma masyarakat. Hal ini dapat diliat dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada 26 April 2024 di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Pekanbaru (LPKA- Pekanbaru), didapatkan informasi dari ibu seksi pembinaan LPKA-Pekanbaru melalui wawancara yaitu terdapat 100 remaja sebagai narapidana yang terdata di LPKA-Pekanbaru pada tahun 2024. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara self-esteem dengan kenakalan remaja.

METODE

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain deskriptif korelasi, yaitu penelitian yang mengkaji hubungan antara dua variabel dalam suatu kelompok subjek. Pendekatan cross sectional adalah pendekatan yang mengukur variabel-variabelnya hanya pada satu waktu (Notoatmodjo, 2018).

Penelitian ini melibatkan variabel independen (bebas) dan variabel dependen (terikat). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah self-esteem, sementara variabel terikatnya adalah kenakalan remaja. Tempat penelitian dilakukan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Pekanbaru (LPKA-Pekanbaru). Penelitian ini dimulai dari bulan September 2023-Desember 2024. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh remaja narapidana di LPKA-Pekanbaru. Terdata terdapat 100 remaja sebagai narapidana pada tahun 2024 di LPKA- Pekanbaru.

Dalam penelitian ini, teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah non-probability sampling. Teknik ini berarti memberikan peluang yang sama kepada setiap anggota populasi untuk menjadi sampel, dengan jenis total sampling yang merupakan teknik di mana jumlah sampel sama dengan jumlah populasi (Sugiyono, 2017). Alasan penggunaan total sampling adalah karena, menurut Sugiyono (2017), apabila jumlah populasi kurang dari 100, maka seluruh populasi dijadikan sampel penelitian.

(3)

Indonesian Research Journal on Education Volume 5 Nomor 1 Tahun 2025 1474 Pada penelitian ini, jumlah sampel kurang dari 100 orang, yang mana total sampel ini dikurangi dengan jumlah sampel yang digunakan untuk responden studi pendahuluan dan responden uji validitas.

Adapun kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah narapidana remaja yang bersedia menjadi responden, narapidana remaja yang sedang berada di lokasi penelitian yaitu LPKA-Pekanbaru dan narapidana remaja yang diizinkan sebagai responden penelitian oleh pihak binaan LPKA-Pekanbaru. Sedangkan, kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah narapidana yang mengalami gangguan mental dan narapidana yang mengalami gangguan komunikasi (tidak bisa membaca, tunarungu dan tunanetra). Self-esteem diukur menggunakan Rosenberg Self-Esteem Scale (RSES), dan kenakalan remaja diukur dengan Self-Report Delinquency (SRD) yang sudah di uji validitas dan reliabilitas dengan hasil nilai crombach’s alpha sebesar 0,832.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Distribusi frekuensi berdasarkan karakteristik responden (n=75)

Karakteristik Frekuensi (n) Persentase (%)

Usia 15 Tahun

16 Tahun 17 Tahun 18 Tahun 19 Tahun

6 23 17 25 4

8 30,7 22,7 33,3 5,3

Jenis Kelamin Laki-Laki

Perempuan

75 0

100 0 Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah

SD SLTP SLTA

2 8 28 37

2,7 10,7 37,3 49,3

Total 75 100,0

Berdasarkan tabel 1. karakteristik responden penelitian ini lebih banyak berusia 18 tahun yakni 25 responden (33,3%), semua responden berjenis kelamin laki-laki yaitu 75 responden (100%), sedangkan tingkat pendidikan paling banyak yaitu SLTA sebanyak 37 responden (49,3%).

Tabel 2. Distribusi frekuensi self-esteem pada remaja (n=75)

Self-esteem pada remaja Frekuensi (n) Persentase (%)

Rendah 44 58,7

Normal/ Tinggi 31 41,3

Total 75 100,0

Berdasarkan tabel 2. terdapat 44 responden (58,7%) yang memiliki self-esteem rendah dan 31 responden (41,3%) yang memiliki self-esteem normal/ tinggi.

Tabel 3. Distribusi frekuensi kenakalan remaja (n=75)

Kenakalan Remaja Frekuensi (n) Persentase (%)

Rendah 12 16

Sedang Tinggi

45 18

60 24

Total 75 100,0

Berdasarkan tabel 3. terdapat 45 responden (60%) yang memiliki tingkat kenakalan remaja sedang, 18 responden (24%) memiliki tingkat kenakalan remaja tinggi dan 12 responden (16%) memiliki tingkat kenakalan rendah.

Tabel 4. Hubungan self-esteem dengan kenakalan remaja

Self-Esteem Kenakalan Remaja Total P value

Rendah Sedang Tinggi

N % N % N % N %

Rendah 1 2,27 25 56,82 18 40,91 44 100 0,000

Normal/ tinggi 11 35,48 20 64,52 0 0 31 100

Total 12 16 45 60 18 24 75 100

Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa pada self-esteem rendah terdapat 25 responden (56,82%) memiliki kenakalan remaja sedang, 18 responden (40,91%) memiliki kenakalan remaja tinggi, dan 1 responden (2,27%) memiliki kenakalan remaja rendah. Pada responden dengan self-esteem normal/tinggi terdapat 20 responden (64,52%) memiliki kenakalan remaja sedang, 11 responden (35,48%) memiliki kenakalan remaja rendah dan tidak ada responden yang memiliki kenakalan remaja tinggi (0%) pada self- esteem normal/tinggi. Selain itu, berdasarkan hasil uji statistik pada tabel diatas juga menunjukkan hasil nilai

(4)

Indonesian Research Journal on Education Volume 5 Nomor 1 Tahun 2025 1475 p value dari uji chi square yaitu 0,000 atau < α 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima, yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara variabel self-esteem dengan variabel kenakalan remaja.

Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa dari 75 responden yang ada di LPKA-Pekanbaru lebih banyak berusia 18 tahun yakni 25 responden (33,3%). Pada masa remaja (12-19 tahun), menurut Erik Erikson, remaja berada dalam tahap perkembangan Identitas vs. Kebingungan Identitas, di mana tugas utama mereka adalah membangun identitas diri yang jelas dan stabil. Remaja mengeksplorasi berbagai aspek kehidupan mereka, seperti nilai-nilai pribadi, tujuan hidup, dan hubungan sosial, untuk mengetahui siapa diri mereka sebenarnya (Picauly, 2021). Menurut Mulyadi (2005 dalam Idris, Akikah & Asrina, 2020), Lembaga Pemasyarakatan Anak adalah fasilitas yang diperuntukkan bagi para pelaku tindak pidana yang berusia di bawah 18 tahun, sehingga mayoritas penghuninya adalah narapidana yang masih remaja. Selain itu, pada penelitian Arafah, Hartini dan Palupi (2022), terdapat sebagian besar remaja di LPKA sebagai subjek penelitian berusia 16–18 tahun yaitu 42 remaja (91,3%). Self-esteem berperan penting pada usia ini, remaja yang memiliki self-esteem tinggi akan lebih percaya diri, menerima kekurangan mereka, serta merasa berharga (Permana & Praetyo, 2021). Namun, kegagalan memenuhi harapan keluarga atau masyarakat dapat berdampak negatif pada self-esteem, yang pada gilirannya mendorong remaja untuk terlibat dalam perilaku kenakalan demi mencari pengakuan atau validasi (Ginting, 2021). Pada penelitian lain memaparkan hasil yang berbeda. Penelitian oleh Rinaldi (2020), didapatkan hasil bahwa mayoritas responden di LPKA Kelas II Kota Pangkal Pinang berusia 16-17 tahun (50%) (Rinaldi, Ridho & Yuliani, 2020). Hal ini menunjukkan bahwa kenakalan remaja bisa terjadi pada berbagai usia, namun dengan dinamika psikologis yang berbeda, tergantung pada tahap perkembangan dan kondisi emosional masing-masing kelompok usia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 75 responden didapatkan 75 responden (100%) berjenis kelamin laki-laki. Sejalan dengan penelitian dari Rinaldi (2020), menunjukkan bahwa semua responden yang dia teliti di LPKA Kelas II Kota Pangkal Pinang adalah laki-laki. Hal ini mencerminkan bahwa anak laki-laki memiliki potensi yang lebih besar untuk terlibat dalam kenakalan dibandingkan dengan anak perempuan (Rinaldi, Ridho & Yuliani, 2020). Beberapa penelitian lainnya, menunjukkan bahwa laki-laki memiliki potensi yang lebih besar untuk melakukan kenakalan remaja dibandingkan dengan perempuan. Hal ini diungkapkan oleh Puspitawati (2006 dalam Andayani, Maghfiroh & Anggraini, 2021) yang menyoroti perbedaan gender dalam kecenderungan terhadap perilaku menyimpang di kalangan remaja. Pada penelitian yang dilakukan oleh Purwanty et al. (2023), di SMA Negeri 2 Gading Rejo menunjukkan bahwa self-esteem remaja laki-laki cenderung rendah. Hasil analisis mengungkapkan bahwa 4 dari 5 remaja laki-laki memiliki self-esteem yang rendah, yang menunjukkan adanya tantangan khusus bagi mereka dalam membangun rasa percaya diri. Berbeda dengan hasil pada penelitian ini, pada penelitian lain yang dilakukan oleh Fredanni (2022), menjelaskan bahwa narapidana perempuan juga banyak memiliki self-esteem rendah sehingga pada penelitian tersebut dilakukan psikologi edukasi untuk melihat keefektifan dari pemberian psikologi edukasi tersebut, yang mana sebelum diberikan edukasi narapidana perempuan pada penelitian cenderung menyendiri, sulit berkomunikasi dengan orang baru, dan tidak dapat menyelesaikan tugas atau pekerjaan yang diberikan (Fredanni & Herani, 2022). Hal ini menunjukkan baik laki-laki atau perempuan sama-sama dapat berpotensi memiliki self-esteem rendah dan berpotensi untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum seperti tindakan kenakalan remaja.

Pada segi tingkat pendidikan, pada hasil penelitian didapatkan bahwa dari 75 responden sebagian besar responden memiliki jenjang pendidikan SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas), yakni 37 remaja (49,3%). Pendidikan SLTA menjadi fase krisis bagi remaja, terutama di LPKA, karena mereka berada dalam transisi menuju kedewasaan, rentan terhadap tekanan kelompok sebaya, dan cenderung melawan norma, yang dapat memicu kenakalan dan merusak self-esteem mereka (Abdurahman, Ritonga, Atika & Siregar, 2024). Menurut Hamdanah dan Surawan (2022), remaja dengan tingkat akademik yang lebih tinggi cenderung memiliki self-esteem yang lebih baik. Namun, penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun mayoritas responden memiliki latar belakang pendidikan SLTA, masih terdapat remaja yang memiliki self- esteem rendah. Sejalan dengan itu, menurut penelitian Zuhriyah dan Soetjiningsih (2019), remaja dengan self-esteem rendah cenderung lebih rentan terlibat dalam perilaku kenakalan untuk mencari pengakuan. Pada penelitian Syifanita & Soetikno (2023), ditemukan bahwa remaja dengan pendidikan SLTA cenderung memiliki self-esteem yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang hanya berpendidikan SD. Ekajaya (2019) juga menjelaskan bahwa individu dengan tingkat pendidikan lebih rendah cenderung merasa bergantung pada orang yang lebih pintar, yang dapat mempengaruhi rendahnya self-esteem mereka. Namun, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kenakalan remaja dan self-esteem tidak selalu dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, meskipun pendidikan yang lebih tinggi umumnya mendukung pembentukan self-esteem positif pada sebagian besar remaja.

(5)

Indonesian Research Journal on Education Volume 5 Nomor 1 Tahun 2025 1476 Hasil penelitian memaparkan dari 75 responden, sebagian besar remaja di LPKA-Pekanbaru memiliki self-esteem yang rendah yakni 44 responden (58.7%), sedangkan pada self-esteem yang normal/ tinggi yaitu 31 responden (41,3%). Menurut penelitian Rosenberg (1965 dalam Srisayekti & Setiady, 2015), self-esteem adalah penilaian terhadap diri yang mencakup keyakinan diri, rasa puas, bangga, dan penerimaan diri. Pada penelitian Syifanita & Soetikno (2023), menjelaskan bahwa jarak antara pelaku kenakalan remaja dengan keluarga, rendahnya dukungan sosial, terbatasnya kegiatan yang dapat dilakukan, kurangnya rasa aman, serta perasaan selalu dicurigai oleh petugas merupakan beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya self-esteem pada pelaku kenakalan remaja (Syifanita & Soetikno, 2023). Selain itu, rendahnya self-esteem juga dapat disebabkan oleh stigma masyarakat yang beranggapan bahwa pelaku kenakalan remaja yang pernah melakukan kejahatan cenderung mengulangi nya (Fredanni & Herani, 2022). Menurut Fauziah (2022), dalam penelitiannya bahwa dengan memberikan dukungan sosial dapat meningkatkan self-esteem. Menurut penelitian Permana dan Praetyo (2021), self-esteem pada remaja merupakan salah satu komponen penting ditahap perkembangan remaja, hal ini sesuai dengan fungsi self-esteem sebagai self-assessment (penilaian diri) dan fungsi self-enhancement (peningkatan diri), yang mana dapat menentukan tujuan dan arah hidup yang tepat pada remaja serta membuat remaja termotivasi untuk mencapai potensi terbaik (Permana &

Praetyo, 2021).

Hasil pada penelitian ini menunjukkan remaja cenderung memiliki self-esteem rendah, sedangkan pada penelitian lainnya, menunjukkan hasil yang berbeda, yang mana sebagian besar remaja yang berada di LPKA memiliki self-esteem normal/ tinggi yaitu 68,3% dan 31,7% dengan self-esteem rendah (Pratiwi & Hastuti, 2017). Pada hasil penelitian ini, peneliti menyimpulkan bahwa remaja yang self-esteem rendah lebih cenderung mencari cara untuk memperoleh perhatian serta pengakuan, meskipun perilaku mereka sering kali tidak sesuai dengan norma yang berlaku. Akibatnya, mereka terjerumus dalam tindakan-tindakan yang melanggar aturan sosial, yang pada akhirnya membuat mereka berhadapan dengan sistem hukum dan masuk ke LPKA sebagai akibat dari perilaku kenakalan yang mereka tunjukkan. Meskipun pada penelitian ini juga terdapat remaja memiliki self-esteem yang normal, berbagai faktor eksternal dan internal tetap bisa mendorong mereka terlibat dalam kenakalan remaja. Pengaruh teman sebaya, tekanan sosial, serta pencarian identitas diri sering kali menjadi faktor pendorong. Selain itu, kurangnya pengawasan orang tua, stres dari masalah eksternal seperti sekolah atau keluarga, dan ketidakmampuan dalam mengelola emosi juga bisa menyebabkan perilaku berisiko. Self-esteem yang positif tidak menjamin kebebasan dari pengaruh negatif atau keputusan impulsif, yang kadang dapat mengarah pada perilaku menyimpang atau kenakalan remaja.

Hasil analisis penelitian ini memaparkan dari 75 responden, sebagian besar remaja di LPKA- Pekanbaru memiliki tingkat kenakalan yang sedang yaitu sebanyak 45 responden (60%). LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak) merupakan sebagai tempat bagi remaja yang telah terlibat dalam kenakalan remaja yang mana berfungsi sebagai fasilitas rehabilitasi dan pembinaan bagi anak-anak yang terlibat dalam pelanggaran hukum (Eleanora & Masri, 2018). Faktor-faktor penyebab kenakalan remaja, seperti yang dijelaskan oleh Kartono (2011 dalam Kather, 2023), meliputi teori biologis, psikogenis, sosiogenis, dan subkultural. Kenakalan remaja sering dipandang sebagai gejala sosial yang merugikan, dan dapat dikategorikan berdasarkan dampaknya, seperti yang disampaikan oleh Jensen (1985 dalam Hardiyanto, 2017). Keempat jenis kenakalan remaja meliputi: kenakalan yang menimbulkan korban fisik, seperti perkelahian dan kekerasan; kenakalan yang merugikan secara materi, seperti pencurian dan perusakan;

kenakalan sosial yang tidak langsung menyebabkan korban, seperti penyalahgunaan narkoba dan seks bebas;

serta kenakalan yang melawan norma atau otoritas, seperti membolos sekolah atau membangkang terhadap orang tua (Jensen 1985 & Hardiyanto, 2017). Menurut Yusri dan Jasmienti (2017), self-esteem juga mempengaruhi kenakalan remaja, yaitu remaja dengan self-esteem rendah lebih rentan untuk terlibat dalam kenakalan sebagai respons terhadap perasaan tidak berharga atau kesulitan dalam membangun identitas yang positif. Menurut Indrawati dan Rahimi (2019), kenakalan remaja dapat menimbulkan dampak psikologis dan sosial yang serius yaitu secara psikologis, remaja yang terlibat dalam kenakalan berisiko mengalami depresi, kecemasan, dan gangguan perilaku, yang dapat mempengaruhi hubungan mereka dengan keluarga, teman, dan masyarakat. Dampak sosialnya juga tidak kalah besar, karena remaja yang terlibat dalam kenakalan sering ter stigma dan dikucilkan, yang memperburuk situasi mereka dan meningkatkan kemungkinan mereka terjerumus ke dalam perilaku negatif yang lebih serius di masa depan (Indrawati & Rahimi 2019).

Hasil penelitian didapatkan hubungan self-esteem dengan kenakalan remaja di LPKA-Pekanbaru yaitu sebagian besar self-esteem rendah dengan kenakalan remaja sedang sebanyak 25 responden (56,82%) dari 75 responden. Selain itu, dari analisis penelitian juga memaparkan hasil nilai p value dari uji chi square yaitu 0,000 atau < α 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima, yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara variabel self-esteem dengan variabel kenakalan remaja. Penelitian ini sejalan dengan temuan Pratiwi dan Hastuti (2017) yang dilakukan di LPKA Kelas II Bandung, yang

(6)

Indonesian Research Journal on Education Volume 5 Nomor 1 Tahun 2025 1477 menunjukkan adanya hubungan negatif signifikan antara harga diri (self-esteem) dan kenakalan remaja.

Berdasarkan uji korelasi Pearson, ditemukan hubungan antara komunikasi orang tua dengan remaja dan harga diri, serta kenakalan remaja sebelum mereka masuk LPKA, dengan nilai r = -0,422 (Pratiwi & Hastuti, 2017). Hasil penelitian Andayani, Maghfiroh, dan Anggraini (2021) juga menunjukkan bahwa sebagian besar responden dengan harga diri tinggi tidak terlibat dalam perilaku berisiko, dengan persentase sebesar 40,5%. Hasil analisis statistik menggunakan uji Spearman rho menunjukkan nilai p = 0,000 dan nilai r = - 0,297. Nilai r yang negatif ini menunjukkan adanya hubungan berlawanan arah, yang berarti semakin tinggi harga diri remaja, semakin rendah kecenderungan mereka untuk melakukan perilaku berisiko (Andayani, Maghfiroh & Anggraini, 2021).

Berbeda dengan temuan dalam penelitian ini, Mulyadi (2017) menjelaskan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara persepsi keharmonisan keluarga dan harga diri (self-esteem) dengan kenakalan remaja.

Hasil analisis regresi menunjukkan nilai uji F sebesar 2,363 dengan p = 0,099 (p > 0,05), yang mengindikasikan bahwa kedua variabel tersebut tidak memiliki hubungan signifikan dengan kenakalan remaja. Oleh karena itu, penelitian tersebut menyimpulkan bahwa harga diri bukanlah faktor utama yang mempengaruhi perilaku kenakalan remaja. Sebaliknya, faktor-faktor lain seperti konsep diri negatif dan pengaruh lingkungan sosial dianggap memiliki peran yang lebih besar dalam membentuk perilaku kenakalan remaja (Mulyadi, 2017). Selain itu, perubahan nilai dan norma dalam masyarakat serta faktor eksternal lainnya juga turut berkontribusi dalam memicu perilaku kenakalan pada remaja (Suryandari & Desiningrum, 2024).

Self-esteem pada penelitian ini menunjukkan lebih banyak mempunyai self-esteem atau harga diri yang rendah. Berdasarkan analisa peneliti, remaja dengan self-esteem atau harga diri rendah cenderung merasa terisolasi atau tidak dihargai, yang dapat mempengaruhi keputusan mereka untuk terlibat dalam perilaku berisiko atau kenakalan sebagai upaya untuk menutupi ketidakpuasan diri atau untuk mendapatkan rasa diterima dalam kelompok teman sebaya. Kurangnya kontrol diri dan dukungan sosial yang memadai juga memperburuk kondisi ini, membuat mereka lebih rentan terhadap tekanan eksternal dan gangguan emosional. Selain itu, self-esteem yang lebih rendah dikarenakan tempat penelitian adalah di LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak), dimana dapat mempengaruhi tingkat self-esteem oleh berbagai faktor, seperti pengalaman negatif masa lalu, stigma sosial, dan keterbatasan dukungan emosional yang didapatkan remaja selama di dalam lembaga. Ketika remaja berada dalam LPKA, mereka seringkali menghadapi tekanan psikologis, seperti jarak dengan keluarga, ketidakpastian masa depan, dan perasaan dihukum, yang dapat menurunkan rasa harga diri mereka. Selain itu, remaja di LPKA seringkali terjebak dalam siklus penguatan kenakalan, di mana mereka merasa terasing dan tidak dihargai oleh masyarakat, sehingga menyebabkan mereka kurang mampu membangun self-esteem yang sehat. Akibatnya, meskipun tingkat kenakalan mereka bisa tergolong sedang, rendahnya self-esteem dapat menghambat kemampuan mereka untuk mengembangkan ketahanan diri yang optimal dan mengatasi masalah secara positif.

KESIMPULAN

Hasil dari penelitian yang telah dilakukan tentang hubungan antara self-esteem dengan kenakalan remaja di LPKA-Pekanbaru adalah responden lebih banyak berusia 18 tahun dengan semua responden berjenis kelamin laki-laki dan sebagian besar memiliki pendidikan terakhir SLTA. Self-esteem pada remaja di penelitian ini lebih banyak memiliki self-esteem yang rendah dan sebagian besar memiliki kenakalan remaja sedang. Hasil analisis lebih lanjut mengenai hubungan self-esteem dengan kenakalan remaja dengan menggunakan metode chi square didapatkan 100% expected count kategori variabel > 5, dengan nilai Asymp. Sig. (0,000), yang menunjukkan bahwa nilai Asymp. Sig. < 0,05, yang berarti menunjukkan bahwa terdapat hubungan pada kedua variabel. Adapun keterbatasan pada penelitian ini terdapat pada penggunaan kuesioner sebagai satu-satunya instrumen pengumpulan data, yang belum mampu secara efektif mengidentifikasi atau menjelaskan jenis kenakalan remaja di LPKA Pekanbaru. Selain itu, kuesioner tersebut juga belum sepenuhnya sesuai dengan konteks dan kondisi responden, yang merupakan remaja yang telah berhadapan dengan masalah hukum. Hal ini mengurangi kedalaman pemahaman terhadap karakteristik spesifik dari tingkat kenakalan pada remaja di tempat penelitian tersebut. Oleh sebab itu, hasil dari penelitian ini mungkin tidak sepenuhnya menggambarkan kompleksitas fenomena kenakalan remaja di LPKA Pekanbaru, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian lebih lanjut dengan pendekatan yang lebih relevan, serta instrumen yang lebih disesuaikan dengan kondisi lapangan, diperlukan untuk memperoleh gambaran yang lebih komprehensif tentang dinamika kenakalan remaja yang berhadapan dengan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Aazami, A., Valek, R., Ponce, A. N., & Zare, H. (2023). Risk and Protective Factors And Interventions For

(7)

Indonesian Research Journal on Education Volume 5 Nomor 1 Tahun 2025 1478 Reducing Juvenile Delinquency: A Systematic Review. Social Sciences, 12(9), 474.

Abdurahman, E. P., Ritonga, F. U., Atika, T., & Siregar, H. (2024). Pencegahan dan Penanggulangan Narkoba di Kalangan Remaja-Jejak Pustaka. Jejak Pustaka.

Andayani, S. A., Maghfiroh, N. F., & Anggraini, N. R. (2021). Hubungan Self Efficacy dan Self Esteem dengan Perilaku Berisiko Remaja. Jurnal Keperawatan Profesional, 9(2), 23–38.

Arafah, C., Hartini, T. N. S., & Palupi, I. R. (2022). Asupan Energi dan Makronutrien Serta Status Gizi Anak Didik Pemasyarakatan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Jurnal Ilmiah Gizi Kesehatan (JIGK), 4(01), 9–15.

Bancin, D., Sitorus, F., & Anita, S. (2022). Edukasi Pendidikan Kesehatan Reproduksi (Kespro) Remaja pada Kader Posyandu Remaja Lembaga Pembinaan Khusus Kelas I Medan. Jurnal Abdimas Mutiara, 3(1), 103–110.

Badan Pusat Statistik. (2023). Statistik Kriminal 2023. Statistik Kriminal 2023, 14.

Badan Pusat Statistik Provinsi Riau. (2023). Https://Riau.Bps.Go.Id/Indicator/40/73/1/Penduduk-Menurut- Jenis-Kelamin-Dan-Kelompok-Umur-Provinsi-Riau.Html

Badan Pusat Statistik Provinsi Riau. (2023b). Bps Riau 2023.

Https://Riau.Bps.Go.Id/Publication/2023/02/28/5fbd2cbd170f9bf8690c5447/Provinsi-Riau-Dalam- Angka-2023.Html

Deswita, D., Sidaria, S., & Sari, H. (2023). Kenali Adverse Childhood Experiences (Aces) untuk Menghindari Gejala Depresi pada Remaja.

Ekajaya, D. S. (2019). Hubungan Antara Kepercayaan Diri dengan Kecemasan Sosial pada Narapidana Menjelang Bebas di Lembaga Pemayarakatan Klas IIA Muaro Padang. Psyche 165 Journal, 93–102.

Eleanora, F. N., & Masri, E. (2018). Pembinaan Khusus Anak Menurut Sistem Peradilan Pidana Anak. Jurnal Kajian Ilmiah Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, 18(3), 215-230.

Fredanni, E. P., & Herani, I. (2022). Peningkatan Self Esteem pada Narapidana Perempuan Pasca Pandemi Covid-19. Seminar Nasional Psikologi UAD, 1.

Ginting, N. A. (2021). Hubungan Self Esteem dengan Kecenderungan Perilaku Bullying pada Remaja Kota Medan.

Hamdanah, H., & Surawan, S. (2022). Remaja dan Dinamika: Tinjauan Psikologi dan Pendidikan. K-Media.

Hardiyanto, S. (2017). Komunikasi Interpersonal Orang Tua dalam Mengatasi Kenakalan Remaja Geng Motor di Kota Medan. Warta Dharmawangsa, 51.

Idris, F. P., Akikah, A. D. P., & Asrina, A. (2020). Penggunaan Media Edukasi Video Terhadap Perubahan Tingkat Stress dan Depresi pada Narapidana Remaja di LPKA Kelas II Maros Tahun 2020. Prosiding Seminar Nasional Sinergitas Multidisiplin Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi, 3, 58–66.

Indrawati, E., & Rahimi, S. (2019). Fungsi Keluarga dan Self Control Terhadap Kenakalan Remaja. Ikra-Ith Humaniora: Jurnal Sosial Dan Humaniora, 3(2), 86–93.

Jensen, L. C. (1985). Adolescence: Theories, Research, Applications. West Publishing Co.

Karlina, L. (2020). Fenomena Terjadinya Kenakalan Remaja. Jurnal Edukasi Nonformal, 1(1), 147–158.

Kartono, K. (2011). Patologi Sosial Jilid 1. Jakarta: Rajawali Pers.

Kather, D. J. (2023). Kenakalan Remaja dan Solusinya. JIIP-Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, 6(9), 6972–6980.

Mulyadi, Y. B. (2017). Hubungan Persepsi Keharmonisan Keluarga Dan Self Esteem Dengan Kenakalan Remaja. Jurnal Pekan: Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, 2(1), 22–32.

Notoatmodjo, S. (2018). Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta.

Notoatmodjo, & Soekidjo. (2018). Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta.

Http://Opac.Poltekkestasikmalaya.Ac.Id/Index.Php?P=Show_Detail&Id=3190

Nurliza, A., Sari, N. Y., Karim, D., & Sari, T. H. (2024). Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Tingkat Stres pada Remaja. Jurnal Keperawatan Widya Gantari Indonesia, 8(2).

Permana, D., & Praetyo, A. F. (2021). Psikologi Olahraga Pengembangan Diri Dan Prestasi. Penerbit Adab.

Picauly, M. (2021). Pola Asuh Orang tua Berdasarkan Perkembangan Usia Anak Menurut Pemikiran Erik Erikson di Persekutuan Doa CEB Ministry. EPIGRAPHE: Jurnal Teologi dan Pelayanan Kristiani, 5(2), 324-335.

Pratiwi, I., & Hastuti, D. (2017). Kenakalan pada Remaja Andikpas (Anak Didik Lapas): Pengaruh Komunikasi Orang Tua atau Self-Esteem? Jurnal Ilmu Keluarga Dan Konsumen, 10(1), 36–46.

Https://Doi.Org/10.24156/Jikk.2017.10.1.36

Purwanty, S., Agustriyani, F., Ardinata, A., Palupi, R., & Mukhlis, H. (2023). Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Self-Esteem Pada Remaja di SMA Negeri 2 Gading Rejo. Jurnal Humaniora Dan Ilmu Pendidikan, 3(1), 51–56. Https://Doi.Org/10.35912/Jahidik.V3i1.2288

Puspitawati, H. (2006). Pengaruh Faktor Keluarga, Lingkungan Teman dan Sekolah Terhadap Kenakalan

(8)

Indonesian Research Journal on Education Volume 5 Nomor 1 Tahun 2025 1479 Pelajar di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) Di Kota Bogor.

Rinaldi, R., Kesejahteraan, P., Bandung, S., & Yuliani, D. (2020). Kondisi Psikososial Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas II Kota Pangkal Pinang. In Peksos: Jurnal Ilmiah Pekerjaan Sosial (Vol. 19, Issue 2).

Rosenberg, M. (1965). Rosenberg Self-Esteem Scale. Journal Of Religion And Health.

Sites, U. S. N. (2020). Peran Harga Diri Terhadap Fear Of Missing Out pada Remaja Pengguna Situs Jejaring Sosial. Jurnal Psikologi Teori Dan Terapan, 10(2), 127–138.

Srisayekti, W., & Setiady, D. A. (2015). Harga-Diri (Self-Esteem) Terancam dan Perilaku Menghindar. Jurnal Psikologi, 42(2), 141–156.

Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Alfabeta.

Sugiyono, D. (2019). Statistika untuk Penelitian (Cetakan Ke-30). Bandung: Cv Alfabeta.

Suryandari, S., & Desiningrum, N. (2024). Hubungan Harga Diri (Self Esteem) dengan Kenakalan Remaja Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP). EDUKASIA: Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran, 5(1), 1083–1088

Syifanita, S., & Soetikno, N. (2023). The Role Of Self-Esteem In Improving The Resilience Of Juvenile

Offenders. Philanthropy: Journal of Psychology, 7(2), 190.

Https://Doi.Org/10.26623/Philanthropy.V7i2.8262

Zuhriyah, A., & Soetjiningsih, C. H. (2019). Hubungan Antara Sexual Self-Esteem dengan Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja Akhir.

.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 52 ibu yang memiliki bayi usia &gt;6 bulan hingga 24 bulan di Desa Pekutatan, Kecamatan Pekutatan, Kabupaten

Dari hasil penelitian Mujiyati (2015) memaparkan bahwa Siswa yang memiliki tingkat self esteem rendah cenderung menjadi korban bullying bagi temannya yang merasa

demikian, hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa hasil belajar piano mahasiswa yang memiliki kecerdasan musikal rendah dan diajar dengan menggunakan Multimedia

Partisipan dalam penelitian ini merupakan dua orang perempuan lajang dengan rentang usia 35-45 tahun; memiliki skor harga diri yang tergolong cukup, rendah, dan sangat

Berdasarkan hasil observasi yang sudah dilakukan kepada Mawar, Melati, Anggrek dan Pangeran dapat diketahui bahwa siswa tersebut memiliki masalah self esteem yang rendah, hal

Hasilnya menunjukkan bahwa self esteem memiliki hubungan negatif dengan kinerja individual dan hasil ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Brockner (1988) yang

Menurut penelitian yang dilakukan Rosenberg, menunjukkan bahwa remaja yang berasal dari keluarga broken home memiliki self esteem rendah daripada mereka yang memiliki keluarga yang

Paxton 2006 menjelaskan jika seorang remaja perempuan mempunyai self esteem yang rendah, ia akan mempunyai penilaian diri yang negatif, yang akan mengarah pada penilaian negatif