• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA SELF ESTEEM DENGAN BODY DISSATISFACTION PADA REMAJA PEREMPUAN - Repository UMBY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA SELF ESTEEM DENGAN BODY DISSATISFACTION PADA REMAJA PEREMPUAN - Repository UMBY"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Masa remaja adalah masa peralihan antara masa kanak-kanak dan kedewasaan. Masa remaja awal (12-15 tahun), remaja pertengahan (15-18 tahun), dan remaja akhir (18-21 tahun) merupakan pembagian masa remaja (Monks, Knoers, & Haditono, 2014). Transisi yang terjadi sepanjang masa remaja, menurut Santrock (2012) mengakibatkan remaja mengalami perubahan kognitif, biologis, serta sosioemosional. Perubahan fisik pada remaja dimulai dengan terjadinya pubertas.

Jason (2019), menjelaskan bahwa pubertas juga indikasi dari perjalanan seseorang ke masa remaja adalah pubertas. Pubertas remaja dapat terjadi pada berbagai tanggal untuk remaja yang berbeda. Ada remaja yang mengalami pubertas lebih cepat, remaja yang mengalami pubertas sesuai jadwal, dan remaja yang mengalami pubertas lebih lambat dari remaja lainnya. Karena perubahan komposisi tubuh, peningkatan massa lemak, kenaikan tinggi badan, pertumbuhan payudara serta rambut pada alat kelamin, remaja perempuan mengalami penambahan berat badan selama masa pubertas. Sebaliknya, remaja laki-laki mengalami peningkatan massa otot, berubahnya bentuk penis, testis, serta rambut kelamin. Perubahan biologis yang terjadi selama masa ini merangsang munculnya minat tentang citra tubuh (Santrock, 2002). Menurut Santrock (2007), masa remaja terjadi antara usia 10 dan 13 tahun serta berakhir antara usia 18 dan 22 tahun. Pada usia ini, remaja

(2)

sangat memperhatikan tubuhnya. Perhatian inilah yang membuat para remaja ingin mengubah tampilan agar terlihat lebih ideal.

Penelitian oleh Puspitasari & Ambarini (2017), menjelaskan bahwa citra tubuh ideal yang berkembang di Indonesia lebih cenderung mengadopsi citra tubuh dari negara barat, yakni memiliki tubuh kurus serta berkulit putih. Melihat standar kecantikan ini, kebanyakan remaja perempuan yang mempunyai ketertarikan tinggi terhadap body image membuat para remaja sangat sibuk mengecek perubahan bentuk tubuhnya, sebab penambahan berat badan akan membuat citra tubuhnya menjadi kurang ideal. Kemudian akan tidak puas dengan bentuk fisiknya atau body dissatisfaction (Puspitasari & Ambarini, 2017).

Body dissatisfaction jika di artikan dalam bahasa Indonesia adalah ketidakpuasan tubuh. Tariq & Ijaz (2015) menjelaskan bahwa body dissatisfaction adalah pengalaman tidak puas seseorang terhadap citra tubuhnya. Cash & Pruzinsky (2002) juga menyatakan, body dissatisfaction yaitu penilaian negatif terhadap ukuran dan bentuk tubuh, bentuk otot, serta berat badan. Umumnya, penilaian yang tidak positif ini disertai oleh perbedaan antara persepsi individu dengan orang lain mengenai fisik atau tubuh ideal.

Menurut Prima & Sari (2013), body dissatisfaction lebih sering muncul pada masa remaja sebab masa tersebut sebagai masa transisi dan pencarian jati diri. Body dissatisfaction terjadi karena hal ini berkaitan dari salah satu ciri perkembangan remaja, yakni perubahan bentuk fisik (Sari dkk, 2010). Seiring dengan berubahnya tubuh remaja, citra dan penilaian diri mulai terbentuk.

(3)

Cahyaningtyas (2009), menemukan bahwa remaja berusia antara 18 dan 22 tahun memiliki tingkat body dissatisfaction yang tinggi sebab pada usia tersebut sebagai masa peralihan dari remaja akhir ke dewasa awal. Akibatnya, remaja sering memperhatikan tubuhnya masing-masing, body dissatisfaction berkaitan dengan citra tubuh individu. Pada umumnya remaja perempuan tidak puas terhadap bentuk tubuh dirinya dan mempunyai citra tubuh yang lebih negatif daripada remaja laki- laki (Mueller dalam Santrock, 2011). Sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2003 di Jakarta, Indonesia, menunjukkan bahwa 40% perempuan dengan usia 18- 25 tahun tidak puas dengan tubuhnya berada pada kategori tinggi, serta 38% pada kategori sedang (Suprapto dan Aditomo, 2007). Munculnya kesenjangan antara bentuk tubuh yang ideal berdasarkan budaya dan bentuk tubuh yang sebenarnya membuat banyak perempuan mengalami ketidakpuasan tubuh saat ini (Asri dan Setiasih, 2004).

Tariq & Ijaz (2015), menjelaskan bahwa ada terdapat beberapa dimensi mengenai body dissatisfaction untuk perempuannyaitu; 1) bentuk tubuh dan berat badan adalah dimensi yang berkaitan dengan berat badan secara keseluruhan dan beberapa area tubuh tertentu. Contohnya, tidak memiliki pinggang yang langsing, berat badan yang tidak sesuai dengan tinggi badan. 2) struktur rangka adalah dimensi mengenai ukuran serta bentuk tubuh yang berbeda dan secara langsung bisa terlihat oleh orang lain. Contohnya, bertubuh pendek, tidak memiliki otot. 3) fitur wajah merupakan dimensi yang terdiri dari ciri-ciri tubuh yang mudah diamati oleh orang lain. Contohnya, memiliki lingkaran hitam disekitar mata.

Besarnya perbedaan antara citra tubuh ideal dan citra tubuh nyata sebagai

(4)

salah satu indikator body dissatisfaction. Sejalan dengan pendapat Grogan (2008), yang menjelaskan bahwa remaja yang mengalami body dissatisfaction disebabkan penilaian negatif terhadap tubuhnya dan terdapat kesenjangan antara penilaian seseorang pada tubuh yang sebenarnya dengan gambaran tubuh ideal.

Ketidakpuasan bentuk tubuh memotivasi wanita untuk selalu berusaha meningkatkan daya tarik fisiknya (Melliana, 2006). Hal ini didukung oleh semakin banyaknya wanita yang tertarik dengan berbagai jenis olahraga fitness center, antara lain aikido, aerobik, body sculpting, serta yoga dengan tujuan untuk memperbaiki serta mendapatkan penampilan fisik yang diinginkan. Serangkaian olahraga tersebut peminatnya tinggi bukan hanya karena trend, tetapi juga karena dipercaya dapat membantu wanita dalam menjaga bentuk tubuhnya supaya selalu tampil menarik (Defika, 2016).

Havighurst (dalam Santrock, 2007) menjelaskan bahwa salah satu tugas perkembangan remaja ialah menerima keadaan fisiknya dan mempergunakan tubuhnya dengan baik. Sejalan dengan hal itu, pendapat Gongora (2014) juga menjelaskan bahwa remaja seharusnya bisa menghindari ketidakpuasan terhadap tubuhnya agar dapat memiliki tingkat kepuasan hidup yang tinggi. Kemudian, dijelaskan lagi oleh Brannan & Petrie (2011), kepuasan hidup yang tinggi dapat mengurangi dampak body dissatisfaction sehingga dapat menghasilkan keadaan psikologis yang lebih sehat.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan remaja perempuan tidak puas dan membenci perubahan fisik yang terjadi setelah pubertas lebih dari laki-laki (Gatti, dkk, 2014). Hal ini sesuai dengan pernyataan Cash dan Pruzinsky

(5)

(2002) bahwa antara 40 sampai 70 % remaja perempuan merasa tidak puas dengan setidaknya dua elemen tubuh yang dimiliki, hal ini disebabkan terkait penambahan massa lemak tubuh di bagian pantat, pinggul, perut, serta paha. Tentu saja hal ini bertentangan pada salah satu tugas perkembangan remaja, remaja seharusnya bisa menerima fisiknya dan membangun self esteem yang baik sehingga tidak berdampak pada dirinya sendiri, dan tidak sampai mengalami ketidakpuasan tubuh, namun berdasarkan fakta di lapangan menunjukkan hal yang sebaliknya.

Brooks dan Paikoff (Santrock, 2007) menjelaskan bahwa remaja perempuan memiliki kepuasan tubuh yang lebih rendah daripada laki-laki. Hal ini sesuai dengan pernyataan Philips (Santrock, 2007) bahwa remaja perempuan mengalami peningkatan lemak tubuh, tetapi remaja laki-laki mengalami peningkatan massa otot. Green & Pritchard (2003) juga menyatakan perempuan lebih sering mengalami body dissatisfaction yang tinggi dibandingkan laki-laki. Hal ini dikarenakan pada kenyataan bahwa standar kecantikan yang ideal lebih menuntut perempuan untuk selalu berubah (Grogan, 2008). Perempuan akan terlihat lebih menarik jika mempunyai tubuh yang kurus, sebab ini menandakan kemampuan dan kemewahan dalam mengendalikan diri (Green & Pritchard, 2003). Berat badan dan ukuran tubuh sebagai standar ideal kecantikan yang biasanya disebut sebagai

"ketidakpuasan normatif", artinya hampir seluruh perempuan tidak puas dengan berat badan dan ukuran tubuhnya (Cash & Smolak, 2011).

Penelitian oleh Yuanita, Elizabeth, & Monique (2013), menjelaskan mayoritas (74%) responden remaja menyatakan tingkat body dissatisfaction yang sangat tinggi. Kemudian responden dewasa awal menyatakan body dissatisfaction

(6)

tingkat tinggi (52%) dan sedang (34%). Sementara beberapa responden dewasa madya memiliki body dissatisfaction pada kelompok sedang (60%). Penelitian yang dilakukan Budianti & Nawangsih (2020), menunjukkan bahwa remaja perempuan memiliki tingkat body dissatisfaction yang tinggi sebanyak 56,63%

dan remaja perempuan memiliki tingkat body dissatisfaction yang rendah sebanyak 43,37%. Dalam penelitian lain yakni Aprilianti (2011) mengungkapkan bahwa 59,7% remaja tidak puas dengan bentuk fisiknya. Pada akhirnya, ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh muncul sebagai masalah bagi remaja di masa perkembangan, sebab remaja merasa bahwa tubuhnya tidak sempurna dan tidak menarik.

Peneliti kemudian melakukan wawancara secara online melalui via whatsapp pada tanggal 25 April 2022 dengan beberapa remaja perempuan sebanyak 8 orang dengan rentang usia 12 – 21 tahun. Peneliti menyusun pertanyaan wawancara berdasarkan aspek-aspek body dissatisfaction dengan menggunakan teori dari Tariq & Ijaz (2015) yakni bentuk tubuh dan berat badan, struktur rangka, serta fitur wajah. Hasil wawancara pada dimensi pertama yaitu bentuk tubuh dan berat badan bahwa ke 8 subjek semuanya pernah merasakan ketidakpuasan pada bentuk tubuh seperti merasa kelebihan atau kekurangan berat badan, pada dimensi kedua yaitu struktur rangka 6 dari 8 subjek merasa tidak puas terhadap ukuran dan bentuk tubuh yang dimilikinya. Ada beberapa subjek yang percaya bahwa subjek mempunyai tubuh yang terlalu pendek dan kurus, artinya subjek merasa tidak mempunyai fisik yang ideal seperti yang diinginkan subjek, sedangkan 2 sisanya merasa baik-baik saja dengan bentuk tubuh yang dimiliki, dan pada dimensi ketiga

(7)

yaitu fitur wajah 7 dari 8 subjek tidak menyukai kulit yang menarik sesuai dengan subjek inginkan dan tidak menyukai lingkaran hitam yang ada disekitar mata subjek.

Secara keseluruhan, peneliti menemukan bahwa 7 dari 8 subjek remaja memiliki perasaan tidak aman (insecure) saat di lingkungan sosial ataupun ketika bertemu orang lain karena mengalami body dissatisfaction, beberapa subjek merasa bahwa tubuh yang dimiliki terlalu gemuk atau terlalu kurus, beberapa juga merasakan bahwa tubuhnya tidak menawan, tidak menarik, dan tidak ideal seperti yang diharapkan. Sebagian besar juga, para subjek sudah mencoba melakukan perubahan seperti melakukan diet, mencoba untuk merubah penampilan fisik, mencoba belajar memakai make-up dan skincare untuk wajah, melakukan olahraga, dan mengubah pola makan agar menjadi lebih sehat, tetapi ada juga yang hanya berdiam diri dan tidak melakukan perubahan meskipun beberapa dari para subjek sudah melakukan perencanaan-perencanaan untuk melakukan perubahan, tetapi perencanaan tersebut tidak berjalan sesuai dengan yang diharapakan. Meskipun begitu, ada juga satu atau dua subjek yang sudah merasa puas dengan tubuh yang dimilikinya sekarang, sehingga para subjek tidak perlu melakukan perubahan yang signifikan terhadap tubuhnya, walaupun beberapa subjek pernah merasa ketidakpuasan terhadap tubuh yang dimilikinya, tetapi pada akhirnya para subjek bisa menerima tubuhnya secara utuh. Jadi, berdasarkan hasil wawancara ke 8 subjek, peneliti bisa menarik kesimpulan yaitu 7 dari 8 remaja terindikasi mengalami body dissatisfaction.

Menurut Hurlock (1999), mayoritas remaja sekarang cukup sulit dalam

(8)

menerima keadaan fisiknya sebab, sepanjang masa kanak-kanak, remaja sudah diajarkan untuk memikirkan tentang penampilan. Permasalahan mengenai body dissatisfaction kepada remaja pun dijelaskan oleh Gunn & Pikoff (dalam Santrock, 2007) bahwasanya selama masa pubertas, remaja tidak menyukai tubuhnya, terlebih pada perempuan daripada remaja laki-laki; karenanya, remaja mempunyai citra tubuh yang negatif. Remaja yang diharapkan dapat menerima keadaan tubuhnya, namun ternyata hal ini tidak sama dengan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.

Ketidakpuasan yang dialami remaja mengenai kondisi fisiknya bertentangan terhadap salah satu tugas perkembangan yang harusnya diselesaikan sepanjang masa remaja, yakni menerima keadaan tubuhnya dan menggunakannya secara efektif (Izzaty, dkk, 2008). Denich & Ifdil (2015), juga menyatakan bahwa disaat remaja merasa keadaan tubuhnya tidak menurut konsep ideal, maka remaja tersebut merasa memiliki kekurangan secara fisik walaupun sudah dianggap menarik bagi orang lain. Menurut website (hellosehat.com, 2017), dampak negatif body dissatisfaction berpengaruh terhadap kesehatan mental seseorang. Ketidakpuasan tubuh yang terus-menerus akan menyebabkan depresi, kecemasan, harga diri yang rendah, dan kualitas hidup yang berkurang (Cash & Pruzinsky, 2002). Body dissatisfaction dapat menyebabkan gangguan makan seperti anoreksia serta bulimia nervosa, dan penyakit klinis yang lebih serius, gangguan dismorfik tubuh (BDD) (Melliana, 2006).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi body dissatisfaction menurut Green dan Pritchard (2003) yaitu media, keluarga, gender, dan self esteem.

Menurut penelitian Paxton (2006), self esteem merupakan salah satu aspek risiko

(9)

yang berkontribusi terjadinya body dissatisfaction remaja. Harter (2000), dalam penelitiannya menemukan bahwa penampilan fisik pada remaja merupakan kontributor yang paling berpengaruh pada self esteem. Hasil penelitian Nourmalita (2016) juga menjelaskan bahwa remaja perempuan yang memiliki self esteem yang rendah merasa tidak puas dengan penampilan fisik dan meningkatkan gambaran tubuh negatif dalam hal ini yaitu body dissatisfaction. Menurut Paxton (2006), jika self esteem seorang remaja rendah, ia akan mempunyai penilaian diri yang negatif, yang akan mempengaruhi penilaian dirinya terhadap bentuk tubuh yang dimilikinya. Inilah yang akan menciptakan ketidakpuasan remaja dalam bentuk fisik atau body dissatisfaction (ketidakpuasan tubuh).

Self-esteem biasanya disebut penilaian terhadap diri. Menurut Rosenberg (Murk ,2006) menyatakan bahwa self esteem adalah penilaian sikap berdasarkan rasa menghargai terhadap individu, yang mungkin positif ataupun negatif dan berkaitan tidak hanya dengan masalah pribadi dan psikologis tetapi juga dengan hubungan sosial. Menurut Refnadi (2018) self esteem adalah evaluasi keseluruhan seseorang tentang dirinya, yang mungkin positif atau negatif, dan akhirnya memperoleh rasa harga diri dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Menurut Myers (2012), seseorang mempunyai self esteem yang tinggi apabila seseorang tersebut puas dengan domainnya (penampilan fisik, kecerdasan, dll.) yang seseorang tersebut anggap penting untuk self esteem-nya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Verplanken dan Tangelder (2011), yaitu bahwa penampilan fisik seseorang merupakan faktor yang signifikan pada kehidupan sekarang.

Rosenberg (Tafarodi & Milne, 2002), menjelaskan bahwa terdapat 2 aspek

(10)

self-esteem pada individu, yakni; 1) self competence yaitu aspek yang menjelaskan tentang penilaian atau persepsi mengenai dirinya yang beranggapan bahwa dirinya mampu, berpotensi, efektif, bisa dikontrol dan dapat diandalkan. Dan 2) self liking yaitu hal yang sebagai perasaan berharga yang dimiliki seseorang tentang dirinya di lingkungan sosialnya, terlepas dari apakah seseorang tersebut orang baik atau buruk.

Beberapa aspek self-esteem yang dijelaskan oleh Rosenberg (Tafarodi &

Milne, 2002), terdapat 2 aspek, salah satunya adalah self competence yang merupakan aspek mengenai penilaian atau persepsi mengenai dirinya yang beranggapan bahwa dirinya mampu, berpotensi, efektif, terkontrol serta dan diandalkan. Rosenberg (Tafarodi & Milne, 2002) mengemukakan bahwa self competence yang positif dikaitkan dengan kecenderungan bahwa seseorang mempunyai kemampuan yang sangat baik dan kepuasan dengan kemampuan yang dimilikinya. Sejalan oleh penelitian Hurlock (2006) yang menggambarkan kepuasan terhadap fisik yang dimiliki tentu menghasilkan sikap positif yang dinyatakan pada bentuk kepercayaan, keyakinan, serta konsep diri yang sehat.

Paxton (2006) menjelaskan jika seorang remaja perempuan mempunyai self esteem yang rendah, ia akan mempunyai penilaian diri yang negatif, yang akan mengarah pada penilaian negatif terhadap tubuhnya, seperti percaya bahwa bentuk tubuhnya tidak ideal dan tidak menarik. Hal ini akan mengakibatkan ketidakpuasan bentuk tubuh pada remaja perempuan tersebut. Pun sebaliknya, jika remaja perempuan mempunyai self esteem yang positif, remaja tersebut akan percaya bahwa bentuk tubuhnya ideal dan menarik, sehingga menghasilkan kepuasan tubuh yang

(11)

dimilikinya.

Penelitian yang dilakukan oleh Paxton (2006) yang menjelaskan bahwa jika self esteem seorang remaja rendah, maka indivitu itu akan mempunyai penilaian diri yang negatif. Penilaian diri yang dimiliki remaja adalah bagian dari penilaian terhadap penampilan fisiknya secara keseluruhan, seperti keyakinan bahwa para remaja mempunyai bentuk tubuh yang kurang ideal dan tidak menarik, sehingga penilaian terhadap bentuk tubuh juga akan menjadi negatif. Inilah yang pada akhirnya menyebabkan self esteem mempengaruhi body dissatisfaction pada remaja perempuan.

Berdasarkan pemaparan mengenai permasalahan body dissatisfaction pada remaja perempuan serta penjelasan terkait faktor pengaruh terbentuknya body dissatisfaction pada diri remaja di atas, peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan antara self-esteem dengan body dissatisfaction pada remaja perempuan.

Menurut latar belakang permasalahan diatas, maka bisa dirumuskan terkait rumusan permasalahan yaitu; “Apakah ada Hubungan antara Self Esteem dengan Body Dissatisfaction Pada Remaja Perempuan”.

B. Tujuan Dan Manfat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada Hubungan antara Self Esteem dengan Body Dissatisfaction Pada Remaja Perempuan..

2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

(12)

Manfaat secara teoritis pada penelitian adalah memberikan sumbangan pengetahuan serta pada umumnya kontribusi bagi pengembangan ilmu psikologi, psikologi klinis dan sosial terkait hubungan diantara self-esteem dengan body dissatisfaction pada remaja perempuan khususnya.

b. Manfaat Praktis

Manfaat secara praktis pada penelitian ini adalah diharapkan dapat memberikan wawasan dan masukan kepada masyarakat, khususnya remaja perempuan yang mengalami body dissatisfaction, agar kedepannya para remaja khususnya remaja perempuan yang pada saat mengalami pubertas dapat memposisikan diri mereka agar bisa menerima kondisi fisiknya.

(13)

Referensi

Dokumen terkait

HUBUNGAN ANTARA SELF ESTEEM DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA

Penelitian ini bertujuan untuk untuk menguji adanya hubungan antara self-esteem dengan perilaku seksual pada remaja awal.Subjek dalam penelitian ini adalah siswa SMPN

Pertama, seseorang yang memiliki self esteem yang tinggi, ia akan memiliki ciri-ciri seperti; dapat menerima dan mengapresiasikan dirinya sendiri dalam kondisi apapun,

(2016), yang meneliti mengenai self-esteem pada laki-laki dan perempuan di Amerika, menemukan bahwa peningkatan keterkaitan usia self-esteem dari remaja akhir ke masa

Pada penelitian ini ditemukan juga, ada pengaruh stigma positif terhadap self esteem remaja perempuan yang mengikuti ektrakurikuler tari Bali yang dibuktikan

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh korelasi dengan nilai sebesar rs = - 0,417 maka terdapat hubungan yang negatif antara Self Esteem dengan compulsive

Apakah terdapat perbedaan social comparison, self-esteem, dan gratitude antara remaja yang menggunakan Instagram dengan intensitas rendah, sedang, dan tinggi di Kota

Individu yang mempunyai attachment yang aman dengan orangtua maka ia mempunyai harga diri yang tinggi, sedangkan orang tua dengan attachment tidak aman pada remaja akan memiliki harga