THE RELATIONSHIP BETWEEN SELF-ESTEEM AND BINGE DRINKING RISK BEHAVIOR IN ADOLESCENTS
Johana Eka Dyah Fetri
ABSTRACT
This research aimed to examine the relationship between self-esteem and binge drinking risk behavior in adolescents. The proposed hypothesis is that there is a negative and significant correlation between self-esteem and binge drinking risk behavior. The subjects were 60 outer-province college students aged seventeen to twenty-five year old, consisting of twenty-eight females and thirty-two males. The sampling technique used purposive sampling. The data were collected by self-esteem scale and binge drinking scale. The data were analyzed employing Spearman Rank correlation technique. The correlation coefficient r = - 0.275, p = 0.017 (one-tailed significance), which means <0.05. The result shows that the research hypothesis proved that there is a negative and significant relationship between self-esteem and binge drinking risk behavior in adolescents.
iv
HUBUNGAN ANTARA SELF-ESTEEM DAN PERILAKU BERISIKO BINGE DRINKING PADA REMAJA RANTAU
Johana Eka Dyah Fetri
ABSTRAK
Penelitian korelasional ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
self-esteem dan perilaku berisiko binge drinking pada remaja rantau. Hipotesis menyatakan ada hubungan yang negatif dan signifikan antara self-esteem dan perilaku berisiko binge drinking. Subjek penelitian adalah 60 orang mahasiswa perantau berusia 17 sampai 25 tahun, terdiri dari 28 perempuan dan 32 laki-laki. Pemilihan subjek melalui teknik purposive sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan skala self-esteem dan skala binge drinking. Analisis data memanfaatkan teknik korelasi Spearman Rank. Hasil analisis menunjukkan koefisien korelasi r = - 0,275 dengan nilai p = 0,017 (signifikansi one-tailed) yang berarti nilai p<0,05. Hasil menunjukkan adanya hubungan negatif dan signifikan antara self-esteem dan perilaku berisiko binge drinking pada remaja rantau.
HUBUNGAN ANTARA SELF-ESTEEM DAN PERILAKU BERISIKO BINGE DRINKING PADA REMAJA RANTAU
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh :
Johana Eka Dyah Fetri
119114041
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
HALAMAN MOTTO
“ If size
mattered
, the elephant would be
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Teruntuk:
“Mereka yang senantiasa mengingat dan membisikkan namaku dalam senyap,
vii
HUBUNGAN ANTARA SELF-ESTEEM DAN PERILAKU BERISIKO BINGE DRINKING PADA REMAJA RANTAU
Johana Eka Dyah Fetri
ABSTRAK
Penelitian korelasional ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
self-esteem dan perilaku berisiko binge drinking pada remaja rantau. Hipotesis menyatakan ada hubungan yang negatif dan signifikan antara self-esteem dan perilaku berisiko binge drinking. Subjek penelitian adalah 60 orang mahasiswa perantau berusia 17 sampai 25 tahun, terdiri dari 28 perempuan dan 32 laki-laki. Pemilihan subjek melalui teknik purposive sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan skala self-esteem dan skala binge drinking. Analisis data memanfaatkan teknik korelasi Spearman Rank. Hasil analisis menunjukkan koefisien korelasi r = - 0,275 dengan nilai p = 0,017 (signifikansi one-tailed) yang berarti nilai p<0,05. Hasil menunjukkan adanya hubungan negatif dan signifikan antara self-esteem dan perilaku berisiko binge drinking pada remaja rantau.
viii
THE RELATIONSHIP BETWEEN SELF-ESTEEM AND BINGE DRINKING RISK BEHAVIOR IN ADOLESCENTS
Johana Eka Dyah Fetri
ABSTRACT
This research aimed to examine the relationship between self-esteem and binge drinking risk behavior in adolescents. The proposed hypothesis is that there is a negative and significant correlation between self-esteem and binge drinking risk behavior. The subjects were 60 outer-province college students aged seventeen to twenty-five year old, consisting of twenty-eight females and thirty-two males. The sampling technique used purposive sampling. The data were collected by self-esteem scale and binge drinking scale. The data were analyzed employing Spearman Rank correlation technique. The correlation coefficient r = - 0.275, p = 0.017 (one-tailed significance), which means <0.05. The result shows that the research hypothesis proved that there is a negative and significant relationship between self-esteem and binge drinking risk behavior in adolescents.
x PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas
berkatnya yang luar biasa melimpah penulis mampu menyelesaikan penyusunan
skripsi berjudul “Hubungan Antara Self-esteem dengan Perilaku Berisiko Binge
Drinking pada Remaja Rantau”. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi syarat kelulusan mata kuliah Penulisan Skripsi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta. Penulis akui bahwa butuh kerja keras, rasa tanggung jawab, dan
kesabaran yang luar biasa untuk menyelesaikan karya ini. Penulis juga menyadari
bahwa karya ini tidak akan selesai tanpa orang-orang terkasih di sekeliling penulis
yang telah memberikan sumbangsih, baik moral maupun materil.
Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada :
1. Orangtua terbaik yang pernah ada, Papa Dwi Irianto Basuki dan Mama Leticia
Clara Rettob. Terima kasih atas kesabaran, dukungan, dan doa-doa yang tiada
henti bagi penulis.
2. Dekan Fakultas Psikologi, Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si.
3. Kepala Program Studi Psikologi, Ibu Ratri Sunar Astuti, M, Si.
4. Dosen pembimbing skripsi, Dr. A. Priyono Marwan, S. J. Terima kasih atas
waktu dan kesabaran yang luar biasa kepada penulis.
5. Dosen pembimbing akademik, Prof. Dr. Agustinus Supratiknya.
6. Mas Gandung dan Bu Nanik yang telah memberikan dukungan dan motivasi,
serta membantu penulis dalam mempersiapkan syarat-syarat pengajuan karya ini.
7. Pak Gik yang ramah dan baik hati.
8. Adik-adikku tersayang, Ganang Wilis Satiaji dan Finisha Maria Soelastri, terima
kasih atas pengertian dan dorongannya bagi penulis.
9. Rekan sosialita, Virlis Tonika dan Sabrina Handayani Tambun. Terima kasih
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……….. i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ……….… ii
HALAMAN PENGESAHAN ………... iii
HALAMAN MOTTO ………...…...… iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ……….……….… v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………..… vi
ABSTRAK ………..………. vii
ABSTRACT ………. viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ……….… ix
xiii
C. Remaja Rantau ………...… 15
1. Definisi Remaja ………... 15
2. Definisi Rantau ………..….. 21
xiv
A. Pelaksanaan Penelitian ……….……… 40
B. Gambaran Umum Subjek Penelitian ……… 40
1. Jenis Kelamin ………...……… 40
2. Usia …………..……… 41
3. Tempat Asal ….……… 42
4. Lama Merantau ……… 42
5. Frekuensi Mengonsumsi Alkohol ……… 43
6. Pengalaman Pertama Mengonsumsi Alkohol ………..………… 43
7. Jumlah Uang Saku Per Bulan ………..……… 44
C. Hasil Penelitian ……….………...……… 45
1. Hasil Perhitungan Korelasi ………..…… 45
2. Kategorisasi Subjek Berdasarkan Skor Tiap Skala….….……… 46
D. Pembahasan ……….……….……… 48
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN……… 50
A. Kesimpulan ……...……… 50
B. Keterbatasan Penelitian ……… 50
C. Saran ……….……… 50
1. Bagi Subjek Penelitian ……….……… 50
2. Bagi Peneliti Selanjutnya ……….……… 51
DAFTAR PUSTAKA ………..……… 52
xv
DAFTAR TABEL & GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Penelitian ………...……….…… 24
Tabel 3.1 Blue print Skala Uji Coba Terpakai Self-esteem………..…. 34
Tabel 3.2 Blue print Skala Uji Coba Terpakai Binge Drinking……… 35
Tabel 3.3 Rincian Hasil Perhitungan Item Self-esteem yang Valid dan Gugur ..….. 37
Tabel 3.4 Interpretasi Reliabilitas ………...….. 38
Tabel 4.1 Gambaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ………...……….. 41
Tabel 4.2 Gambaran Subjek Berdasarkan Usia ………..….……. 41
Tabel 4.3 Gambaran Subjek Berdasarkan Tempat Asal ………...…… 42
Tabel 4.4 Gambaran Subjek Berdasarkan Lama Merantau ………..…… 42
Tabel 4.5 Gambaran Subjek Berdasarkan Frekuensi Mengonsumsi Alkohol …... 43
Tabel 4.6 Gambaran Subjek Berdasarkan Pengalaman Pertama Minum Alkohol … 44 Tabel 4.7 Gambaran Subjek Berdasarkan Jumlah Uang Saku Per Bulan ……….... 44
Tabel 4.8 Korelasi Spearman Rank……….. 45
Tabel 4.9 Kriteria Kategorisasi ……….…… 46
Tabel 4.10 Kriteria Kategorisasi Self-esteem………...………...…….. 48
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Skala Penelitian ……… 58
Lampiran 2. Uji Reliabilitas Self-esteem………..….... 70
Lampiran 3. Uji Reliabitas Binge Drinking………..…… 72
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Minuman beralkohol telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
perjalanan panjang peradaban manusia. Minuman keras diyakini sudah ada sejak
6000 tahun lalu dan dikenal dengan istilah “peragian” terhadap sari buah anggur (wine). Pada masa itu, wine diminum pada acara-acara tertentu, seperti acara
persembahan bagi para dewa. Menurut versi lain, minuman keras juga sudah dikenal
sejak masa 5000 SM oleh masyarakat Cina yang membuat arak dengan menggunakan
sari buah yang difermentasi dan dicampur dengan madu dan beras. Arak menjadi
minuman formal dan lazim digunakan pada pesta-pesta kerajaan. Selain itu, arak
sering digunakan menjadi obat-obatan tradisional di Cina (Syifa, 2014).
Di Indonesia sendiri banyak dijumpai minuman tradisional, seperti tuak, arak,
sopi, badeg, dan lain-lain. Minuman tradisional ini seringkali dikonsumsi oleh
masyarakat dengan alasan tradisi atau adat. Keberadaan minuman beralkohol di setiap
perayaan pesta adat khususnya di Indonesia, disebabkan karena tradisi yang lahir dari
para leluhur masyarakat di suatu daerah dan dinyatakan sebagai minuman
kehormatan. Banyak daerah di Indonesia yang masih mempertahankan tradisi
meminum minuman keras hingga saat ini. Contohnya seperti di Flores yang masih
menyajikan Moke (Sopi) ketika menyambut tamu, upacara adat, atau acara resmi
mempertahankan tradisi mengonsumsi tuak dalam setiap perayaan adat guna menjaga
kearifan lokal. Tuak juga dikonsumsi pada waktu santai maupun sebagai pemulih
stamina (Jannah, 2015).
Seorang Antropolog Kesehatan UI, Sri Murni mengatakan bahwa sejumlah
etnis di Indonesia memiliki tradisi mengonsumsi minuman beralkohol yang dibuat
dari bahan lokal, terutama nira. Namun, minuman itu hanya digunakan tetua adat
untuk ritual khusus. Penjajahan bangsa asing memperkenalkan budaya minum
minuman beralkohol untuk merayakan kegembiraan (Jannah, 2015). Banyak
penelitian telah menunjukkan bahaya kesehatan dan konsekuensi sosial pada
peminum di bawah umur, antara lain seperti mengabaikan tanggung jawab, terlibat
perkelahian atau adu mulut, bolos sekolah, mengemudi sambil mabuk, mendorong
tindakan bunuh diri, dan terlibat perilaku seksual berisiko (Miller, dkk, 2006).
Hal yang perlu menjadi perhatian khusus adalah tokoh utama dari perilaku
berisiko ini merupakan para remaja yang masih dalam tahap penyelesaian tugas
perkembangan. Remaja mengonsumsi alkohol untuk membantu menyelesaikan
masalah-masalah tugas perkembangan mereka (Stolle, dkk, 2009). Mengonsumsi
alkohol menunjukkan otonomi, tanda “beranjak dewasa”, dan menyimbolkan sebuah
kebebasan karena telah terlepas dari pengaruh orangtua. Alkohol digunakan sebagai
alat untuk membantu menemukan solusi dari tugas perkembangan interpersonal,
seperti mengamankan kedudukan sosial dalam kelompok pertemanan dan
memunculkan keberanian untuk mulai melakukan kontak dengan rekan sebaya
Penyalahgunaan alkohol oleh remaja ini dapat mengarah menjadi sebuah
perilaku berisiko yang dikenal sebagai Binge Drinking. Binge drinking merupakan
perilaku berisiko yang pada beberapa tahun terakhir banyak diangkat dalam
penelitian, terutama karena kaitannya yang erat dengan remaja (Miller, dkk, 2006;
Stolle, dkk, 2009; Wechsler, dkk, 1995). Binge drinking adalah perilaku
mengonsumsi alkohol secara berlebihan dalam waktu singkat dengan tujuan untuk
menjadi mabuk. Perilaku binge drinking ini seringkali ditemukan pada remaja yang
sebagian besar waktunya dihabiskan dalam kelompok-kelompok sosial tertentu,
misalnya kelompok rekan asrama, kelompok perkumpulan mahasiswa suatu etnis,
teman bergaul di kampus, dan lain-lain. Downs dan Perkins (dalam Wechsler, dkk,
1995) menyatakan bahwa tingkat alkohol dan obat-obatan yang dikonsumsi remaja
memiliki kaitan erat dengan pengaruh rekan sebayanya. Di Amerika, perilaku binge
drinking seringkali terjadi dalam pesta perayaan atau acara-acara perkumpulan remaja
(Wechsler, dkk, 1995).
Binge drinking juga terjadi di Indonesia dan menimbulkan banyak dampak
negatif. Banyaknya kasus-kasus penyalahgunaan alkohol yang menyebabkan
perkelahian, kecelakaan, seks bebas, dan narkoba dapat kita akses lewat media cetak
maupun online. Peristiwa terbaru di bulan September 2015 yang diberitakan oleh
Kompas mencatat 4 orang meninggal dunia sedangkan 5 orang kritis setelah dengan
sengaja meminum minuman keras yang dicampur dengan zat berbahaya lain
(Amiruddin, 2015). Selain itu, Bappeda kota Bekasi juga melaporkan puluhan remaja
mengkonsumsi minuman keras di beberapa tempat, seperti di warung jamu dan
tempat perkumpulan remaja (Bappeda Bekasi Kota, 2015).
Menurut laporan terakhir oleh German Federal Commisioner for Narcotic
Drugs (Bundesdrogen-beautragte), angka remaja (berumur hingga 20 tahun) yang
dirawat di rumah sakit karena keracunan alkohol jauh lebih banyak dalam jangka
waktu tahun 2000 hingga 2007, yaitu dari 9.500 orang menjadi 23.165 orang. Lebih
dari 3.800 pasien-pasien ini berumur antara 10 hingga 15 tahun (Stolle, dkk, 2009).
Remaja yang melakukan binge drinking seringkali mengendarai motor tanpa
menggunakan helm, mengemudi sambil mabuk, atau menjadi penumpang dari
temannya yang sedang mabuk. Remaja umumnya memiliki persepsi bahwa binge
drinking adalah hal yang wajar dan seringkali dilakukan oleh teman-teman sebayanya
sehingga tidak masalah apabila ia ikut melakukan hal yang sama (Wechsler dan Kuo,
2000). Beberapa studi lain menyatakan bahwa remaja yang melakukan binge drinking
mengaku takut mendapat penolakan dari rekan kelompoknya jika tidak ikut
mengonsumsi alkohol.
D’zurilla, Chang, dan Sanna (2003) menyatakan bahwa sebuah faktor yang
berperan penting dalam kemauan seorang individu untuk terlibat perilaku berisiko
adalah self-esteem. Self-esteem mengacu pada penilaian seseorang mengenai seberapa
besar ia menyukai dirinya sebagai seorang individu. Self-esteem memiliki
konsekuensi yang mendalam untuk setiap aspek eksistensi manusia karena
tingkat emosi, pengambilan keputusan, nilai-nilai yang dianut, serta penentuan tujuan
hidup (Branden, 1994).
Self-esteem merupakan faktor utama yang paling berpengaruh dalam perilaku
manusia. Kenyataan ini terungkap melalui database dari PsycINFO bahwa lebih dari
40.615 artikel, chapter, dan buku membahas mengenai pentingnya self-esteem
(American Psychological Association, 2015). Self-esteem dijadikan sebagai tema
sosial yang paling tua dan paling banyak ditulis (Mruk, 2006). Rodewalt dan Tragakis
(dalam Mruk, 2006) menyatakan bahwa self-esteem merupakan salah satu dari tiga
besar variabel terpopuler dalam penelitian psikologi dan sosial. Self-esteem
merupakan target pendekatan penelitian karena self-esteem dapat memprediksikan
kesehatan fisik yang lebih baik, kurangnya perilaku kriminal, rendahnya level
depresi, pencapaian prestasi dan kesejahteraan ekonomi yang lebih baik
(Trzesniewski et all, 2006).
Gullette dan Lyons (2006) menyebutkan murid dengan self-esteem rendah
mengonsumsi lebih banyak alkohol, memiliki lebih banyak partner seksual, dan
berisiko lebih tinggi terjangkit HIV dibandingkan dengan murid lain. Hasil penelitian
dari Peterson, Buser, dan Westburg (2010) menyatakan bahwa tingkat self-esteem
tinggi diasosiasikan dengan rendahnya tingkat perilaku berisiko dan sebaliknya,
tingkat self-esteem rendah diasosiasikan dengan tingginya tingkat perilaku berisiko.
Master dan Johnson (dalam Ismail, 2005) mengatakan self-esteem berpengaruh pada
sikap seseorang terhadap statusnya sebagai remaja. Seorang remaja yang memiliki
oleh lingkungan dan dapat mengutarakan serta mengambil sikap apa yang sebenarnya
ingin dilakukan, yang pada akhirnya akan menghindari perilaku-perilaku negatif.
Remaja dengan self-esteem rendah memiliki peluang lebih besar untuk terlibat
dalam perilaku berisiko seperti penyalahgunaan zat terlarang (Wild, dkk, 2004).
Penyalahgunaan zat tersebut antara lain mengonsumsi minuman keras secara
berlebihan. Tidak sedikit dari kasus kecelakaan jalan raya yang disebabkan oleh
pengemudi mabuk di bawah umur. Alkohol juga menjadi penyebab banyaknya kasus
pertengkaran dan perkelahian antar remaja, perilaku seks bebas, dan kecenderungan
bunuh diri yang merupakan dampak dari pengendalian alkohol (Miller, dkk, 2006;
Stolle, dkk, 2009).
Tingkat self-esteem ikut dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Hal ini tampak
jelas pada remaja yang pada masa perkembangannya banyak terlibat dalam kegiatan
bersama rekan sebaya (Weschler dan Kuo, 2000). Remaja yang merasa diterima oleh
kelompok pertemanannya memiliki self-esteem lebih tinggi dibandingkan dengan
remaja yang merasa dirinya ditolak. Hubungan dengan rekan sebaya adalah salah satu
sumber penting dari dukungan sosial yang memiliki kontribusi terhadap self-esteem
remaja (ACT for Youth Upstate Center of Excellence, 2003).
Di Indonesia, self-esteem belum menjadi tema yang populer sebagaimana di
Amerika. Tema-tema penelitian yang membahas secara khusus mengenai self-esteem
dan permasalahannya di Indonesia masih minim, baik di media cetak maupun online.
Akan tetapi, Indonesia tidak terlepas dari permasalahan yang didasarkan pada
self-esteem rendah. Rosita (2007) menemukan bahwa remaja dengan self-esteem rendah
akan cenderung takut untuk bertindak ketika mendapati teman lain sedang berbuat
curang (mencontek). Yasdiananda (2013) juga menyatakan bahwa remaja dengan
self-esteem rendah cenderung berperilaku kurang asertif dibandingkan dengan remaja
yang memiliki self-esteem tinggi. Penelitian terbaru dari Mualfiah dan Indrijati (2014)
menunjukkan bahwa remaja dengan tingkat self-esteem rendah cenderung lebih
terlibat dalam perilaku seksual pranikah.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penulis tertarik untuk
melihat hubungan antara kedua tema permasalahan global yang juga menjadi masalah
di Indonesia. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah mahasiswa sebagai
remaja rantau. Peneliti memilih remaja rantau karena melihat perbedaan latar
belakang budaya yang dibawa oleh masing-masing individu dari daerah asalnya
terkait dengan pandangan mereka terhadap perilaku mengonsumsi minuman keras.
Remaja yang berasal dari beberapa daerah tertentu bisa jadi menganggap miras
sebagai hal biasa sehingga tingkat konsumsi miras mereka di daerah rantau menjadi
lebih tinggi dibandingkan remaja dari daerah lainnya. Oleh sebab itu, peneliti
membuat penelitian dengan judul “Hubungan antara Self-esteem dan Perilaku Berisiko Binge Drinking Pada Remaja Rantau”.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, makapeneliti
binge drinking pada remaja. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “apakah
terdapat hubungan antara self-esteem dan perilaku berisiko binge drinking pada
remaja rantau?”
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk melihat apakah terdapat hubungan
antara self-esteem dan perilaku berisiko binge drinking pada remaja rantau.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini memberi tambahan informasi secara keilmuan mengenai
self-esteem, perilaku berisiko binge drinking, dan hubungan antara keduanya.
2. Manfaat Praktis
Bagi mahasiswa perantau, penelitian ini dapat menjadi tambahan
informasi mengenai pentingnya memiliki self-esteem positif dalam
9
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Self-esteem
1. Definisi self-esteem
Istilah self-esteem pertama kali diperkenalkan pada tahun 1890 oleh
seorang Psikolog berkebangsaan Amerika, William James yang menyatakan
self-esteem atau harga diri sebagai suatu konstruk unidimensi yang berkaitan
dengan perasaan yang dirasakan seorang individu. Buss (1973)
mendefinisikan self-esteem sebagai penilaian individu terhadap dirinya
sendiri, dimana penilaian tersebut bersifat implisit dan tidak diverbalisasikan.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Gilmore (1974) mengemukakan bahwa
harga diri merupakan penilaian individu terhadap kehormatan dirinya yang
diekspresikan melalui sikap terhadap dirinya. Sementara itu, Rosenberg
(1979) mendefinisikan self-esteem sebagai evaluasi yang dilakukan seseorang
baik dalam cara positif maupun negatif terhadap suatu objek khusus yaitu diri.
Beberapa ahli lainnya memaparkan self-esteem sebagai sebuah masa
evaluatif yang mengarah ke penilaian negatif, positif, netral, atau ambigu yang
merupakan bagian dari konsep diri (Frey dan Carlock, 1984). Sedangkan,
Coopersmith (dalam Lefrancois, 1986) menyatakan bahwa self-esteem
mengindikasikan kemampuan dimana individu percaya diri mampu,
penilaian personal terhadap keberhargaan yang diekspresikan dalam sikap
yang dipegang individu terhadap dirinya.
Santrock (1998) menyebutkan bahwa self-esteem adalah dimensi
evaluasi secara keseluruhan mengenai diri. Self-esteem juga mengarah kepada
self-worth atau self-image. Selanjutnya self-esteem dapat diartikan sebagai
penghargaan diri. Penghargaan diri adalah kebutuhan manusiawi dan
mendasar yang berkontribusi penting terhadap proses kehidupan. Proses ini
sangat penting bagi perkembangan yang normal dan sehat karena penghargaan
diri memiliki nilai bertahan hidup. Self-esteem sebagai sebuah aspek
kepribadian berkembang sesuai dengan kualitas interaksi individu dengan
lingkungannya, baik itu yang meningkatkan harga diri maupun yang
menurunkan harga diri (Handayani, dkk, 1998).
Pengalaman-pengalaman yang diterima oleh seorang individu, baik
penolakan atau penerimaan berdampak pada tingkat self-esteem. Dampak dari
pengalaman tersebut kemudian membentuk self-esteem rendah atau
self-esteem tinggi dalam diri seseorang. Self-esteem tinggi terkait dengan
penghargaan diri, penerimaan diri, rasa superior, dan cinta kasih. Self-esteem
rendah seringkali berkaitan dengan perasaaan inferior, malu, benci pada diri
sendiri, dan kurangnya penerimaan diri. Beberapa perilaku erat kaitannya
dengan tingkat self-esteem; sebagai contoh, seseorang dengan self-esteem
menyimpulkan self-esteem sebagai evaluasi keseluruhan seseorang terhadap
dirinya, termasuk perasaan bahagia dan kepuasan (Harter, 1999).
Hogg (2002) menyatakan self-esteem adalah perasaan dan evaluasi
seseorang mengenai dirinya. Self-esteem adalah penerimaan diri oleh diri
sendiri, berkaitan dengan perasaan pantas, berharga, mampu dan berguna tak
peduli dengan apa pun yang sudah, sedang atau akan terjadi. Tumbuhnya
perasaan „aku mampu‟ dan „aku berharga‟ merupakan inti dari pengertian
self-esteem. Self-esteem merupakan kumpulan dari kepercayaan atau perasaan
tentang diri, persepsi terhadap diri sendiri mengenai motivasi, sikap, perilaku,
dan penyesuaian emosi yang mempengaruhi kita. Dari uraian tersebut dapat
dikemukakan pula bahwa self-esteem berkenaan dengan: (a) kemampuan kita
untuk memahami apa yang dapat kita lakukan dan telah dilakukan, (b)
penetapan tujuan dan arah hidup sendiri, (c) kemampuan untuk tidak merasa
iri terhadap prestasi orang lain.
Branden (2005) menyebutkan self-esteem adalah pengalaman bahwa
kita pantas dengan hidup ini dan pada prasyarat hidup. Prasyarat hidup yang
dimaksud adalah mampu menghargai nilai diri dan arti pentingnya, serta
memiliki karakter yang dapat dipertanggung jawabkan kepada diri sendiri
maupun untuk bertindak secara bertanggung jawab terhadap orang lain.
Secara lebih spesifik, self-esteem adalah (1) keyakinan di dalam kemampuan
individu untuk berfikir dan menghadapi tuntutan hidup; (2) keyakinaan di
menilai kebutuhan dan keinginan individu serta menikmati buah dari kerja
kerasnya. Definisi dari Branden (2005) tersebut menjadi salah satu definisi
self-esteem yang paling luas dipublikasikan di dalam Toward A State of
Esteem: The Final Report of The California Task Force to Promote Self and
Personal and Social Responsibility: Self-esteem.
Weiten dan Llyod (2006) mengatakan self-esteem mengacu kepada
penilaian keseluruhan seseorang mengenai nilai dirinya sebagai seorang
individu. Christia (2007) mengartikan self-esteem sebagai proses evaluasi
seseorang terhadap kualitas-kualitas dalam dirinya yang terjadi secara terus
menerus. Dalam bidang Psikologi, self-esteem dipandang sebagai “sebuah
perasaan diapresiasi” dan sebuah emosi yang sangat diperlukan bagi individu
untuk beradaptasi di masyarakat dan menghidupi kehidupannya (Hozogi,
Okada, Fujii, Noguchi, dan Watanabe, 2012).
Berdasarkan definisi-definisi di atas, peneliti memilih menggunakan
definisi self-esteem menurut Branden (2005), yaitu self-esteem sebagai
pengalaman bahwa kita pantas dengan hidup ini dan pada prasyarat hidup.
Self-esteem menurut Branden lebih kepada menghargai nilai diri dan arti
pentingnya, serta memiliki karakter yang dapat dipertanggung jawabkan
kepada diri sendiri maupun untuk bertindak secara bertanggung jawab
terhadap orang lain. Secara lebih spesifik, self-esteem adalah: (1) keyakinan
di dalam kemampuan individu untuk berfikir dan menghadapi tuntutan hidup,
layak, diizinkan, untuk menilai kebutuhan dan keinginan individu serta
menikmati buah dari kerja kerasnya.
Peneliti memilih definisi dari Branden (2005) karena secara teoritis
definisi tersebut sesuai dengan relevansi dari penelitian. Dukungan teoritis
tersebut terlihat dari spesifikasi self-esteem yang dibuat oleh Branden, yaitu:
(1) keyakinan di dalam kemampuan individu untuk berpikir dan menghadapi
tuntutan hidup (keefektifan diri), (2) keyakinan di dalam hak individu untuk
bahagia, perasaan berharga, layak, diizinkan, untuk menilai kebutuhan dan
keinginan individu serta menikmati buah dari kerja kerasnya (self-respect).
2. Aspek-aspek self-esteem
Self-esteem mempunyai dua aspek yang saling berkaitan (Branden,
2005) yakni :
a. Perasaan bahwa diri efektif (keefektifan diri) berarti keyakinan dalam
berfungsinya pemikiran, dalam kemampuan untuk berfikir, dalam proses
dimana individu berfikir, dalam proses dimana individu menilai, memilih,
memutuskan; keyakinan dalam kemampuan untuk memahami fakta-fakta
yang berada dalam batasan-batasan minat dan kebutuhan yang diinginkan,
kepercayaan diri yang kognitif, serta keadaan diri yang kognitif.
b. Menghormati diri (self respect) berarti suatu sikap tegas untuk menuju hak
pemikiran, keinginan, dan kebutuhan; perasaan bahwa suka cita adalah
warisan yang paling alami.
B. Binge drinking
Definisi binge drinking
Episode eksesif dalam mengonsumsi alkohol saat ini lebih dikenal
sebagai Binge Drinking. Definisi mutlak dari istilah ini sendiri masih samar.
Wechsler, dkk (2000) mendefinisikan binge drinking sebagai sedikitnya satu
episode minum dari lima gelas atau lebih untuk laki-laki dan empat gelas atau
lebih untuk perempuan dalam jangka waktu 2 minggu. Gullette dan Lyons
(2006), menjelaskan binge drinking sebagai meminum tiga gelas atau lebih
minuman beralkohol sekaligus. Di Amerika, binge drinking biasanya
dihubungkan dengan selang waktu dua jam pengonsumsian alkohol.
Dalam bahasa Jerman sinonim dari binge drinking adalah
“Rauschtrinken” yang sebenarnya merupakan kombinasi dari perilaku binge
drinking dan kehilangan kendali (Stolle, dkk, 2009). Binge drinking juga
diartikan sebagai perilaku mengonsumsi alkohol yang diidentikkan dengan
meminum empat (untuk perempuan) dan lima (untuk laki-laki) gelas standar
unit alkohol (misal: 0.3 L bir, 0.2 L Wine, atau 0.04 L spirits) dengan tujuan
untuk menjadi mabuk dan dilakukan dalam kurun waktu kurang dari 2 jam
C. Remaja Rantau 1. Definisi Remaja
Remaja yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari
bahasa Latin adolescere yang artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai
kematangan”. Banyak tokoh yang memberikan definisi tentang remaja, seperti
DeBrun (dalam Rice, 1990) mendefinisikan remaja sebagai periode
pertumbuhan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Monk (Monks
& Knoers, 2002) menerangkan bahwa dalam perkembangan kepribadian
seseorang, remaja mempunyai arti yang khusus, Namun demikian, masa
remaja mempunyai tempat yang tidak jelas dalam rangkaian proses
perkembangan seseorang. Ia tidak termasuk golongan anak, tetapi ia tidak
pula termasuk golongan orang dewasa atau golongan tua. Remaja ada diantara
anak dan orang dewasa. Remaja masih belum mampu untuk menguasai fungsi
fisik maupun psikisnya.
Menurut Rice (dalam Gunarsa, 2004), masa remaja adalah masa
peralihan, ketika individu tumbuh dari masa kanak-kanak menjadi individu
yang memiliki kematangan. Pada masa tersebut, ada dua hal penting yang
menyebabkan remaja melakukan pengendalian diri. Pertama, hal yang bersifat
eksternal, yaitu adanya perubahan lingkungan, dan kedua adalah hal yang
bersifat internal yaitu karakteristik di dalam diri remaja yang membuat remaja
relatif lebih bergejolak dibandingkan dengan masa perkembangan lainnya
Papalia dan Olds (2001) tidak memberikan pengertian remaja
(adolescent) secara eksplisit melainkan secara implisit melalui pengertian
masa remasa (adolescence). Menurut Papalia dan Olds (2001), masa remaja
adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa
dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir
pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan. Dalam masa transisi ini
terjadi perkembangan-perkembangan dalam diri remaja, yaitu:
a. Perkembangan Fisik
i. Pubertas
Pubertas dipicu oleh perubahan hormon dan terjadi selama empat
tahun. Pubertas umumnya dialami lebih dulu oleh anak perempuan
dibanding pada anak laki-laki, dan berakhir ketika mereka dapat
bereproduksi. Akan tetapi, waktu pubertas pada setiap anak dapat
bervariasi. Pubertas ditandai dengan dua tahap; (1) pengaktifan
kalenjar adrenal dan (2) kematangan organ-organ seks beberapa tahun
berikutnya.
ii. Otak Remaja
Otak remaja belum begitu matang secara keseluruhan yang
mempengaruhi proses kematangan kognitif remaja. Remaja mengolah
informasi dan emosi dengan menggunakan amigdala, sementara orang
remaja cenderung membuat penalaran akan suatu penilaian dengan
kurang akurat dan mempengaruhi kecenderungan remaja untuk
mengambil risiko.
iii. Kesehatan Mental dan Fisik
Masa remaja sering dikaitkan dengan banyak masalah kesehatan
yang dihubungkan dengan kemiskinan atau gaya hidup. Banyak
remaja tidak terikat dalam aktivitas fisik yang reguler dan ketat, juga
tidak mendapatkan waktu tidur yang cukup karena jadwal sekolah
yang tidak sesuai dengan ritme alami tubuh mereka. Pada anak
perempuan, perhatian terhadap citra tubuh memicu timbulnya
gangguan makan. Tiga hal umum yang menyebabkan gangguan
makan di masa remaja adalah obesitas, anoreksia nervosa, dan bulimia
nervosa.
Selain gangguan makan, remaja juga mulai berkenalan dengan
penggunaan obat-obatan yang seringkali dimulai saat anak-anak
beralih ke sekolah menengah. Ganja, alkohol/miras, dan tembakau
adalah obat-obatan yang populer di kalangan remaja. Prevalensi
depresi juga ikut meningkat, terutama pada anak perempuan. Selain
itu, penyebab utama kematian di antara remaja meliputi kecelakaan
b. Perkembangan Kognitif
i. Aspek-aspek Kematangan Kognitif
Penelitian telah menemukan adanya perubahan struktur dan fungsi
pengolahan informasi pada remaja. Perubahan struktural meningkat
termasuk peningkatan pengetahuan yang bermakna, prosedural, dan
pengetahuan konseptual serta perluasan kapasitas kerja memori.
Perubahan fungsi meliputi kemajuan dalam penalaran deduktif. Akan
tetapi, ketidakmatangan emosi menuntun remaja yang lebih tua untuk
membuat keputusan ebih buruk dibandingkan anak remaja yang lebih
muda.
ii. Isu-isu Pendidikan dan Pekerjaan
Keyakinan akan kemampuan diri sendiri, praktik pengasuhan,
budaya dan pengaruh sebaya, gender, dan kualitas sekolah berdampak
pada pencapaian pendidikan remaja.
c. Perkembangan Psikososial
i. Pencarian Identitas
Pusat perhatian selama masa remaja adalah pencarian identitas
yang memiliki komponen nilai, seksual, dan pekerjaan. Erik Erikson
menggambarkan konflik psikososial di masa remaja sebagai identitas
melawan kebingungan identitas. James Marcia, dalam penelitiannya
yang didasarkan pada teori Erikson, menggambarkan empat status
penyebaran identitas. Beberapa peneliti mencoba membedakan apakah
remaja putri dan putra mengambil jalur yang berbeda dalam
membentuk identitas dan memperoleh jawaban bahwa meskipun
beberapa peneliti menyatakan bahwa harga diri remaja putri cenderung
turun di masa remaja, tetapi penelitian terbaru tidak mendukung
adanya penemuan tersebut.
ii. Seksualitas
Aktivitas seksual remaja meliputi risiko kehamilan dan infeksi
menular seksual. Masa remaja merupakan masa ketika terdapat risiko
terbesar bagi yang memulai aktivitas seksual lebih awal, memiliki
lebih dari satu pasangan, dan tidak menggunakan alat kontrasepsi,
serta kurang informasi akan penyakit yang disebabkan oleh hubungan
seksual.
iii. Hubungan dengan Keluarga, Sebaya, dan Kelompok Sosial Orang
Dewasa
Meskipun hubungan antara remaja dan orangtua tidak selalu
mudah, pemberontakan remaja yang berlebihan adalah hal yang luar
biasa. Kebanyakan remaja mengalami masa transisi yang mulus. Akan
tetapi, bagi sebagian remaja hal ini terlihat sebagai sebuah kesulitan
dan dapat memprediksikan mereka masa dewasa yang sulit. Remaja
menghabiskan banyak waktu dengan teman sebayanya, yang
Konflik dengan orangtua cenderung menjadi besar selama masa
remaja awal dan hubungan dengan saudara cenderung menjadi lebih
berjarak.
Pengaruh kelompok sebaya merupakan faktor kuat di awal masa
remaja. Struktur kelompok sebaya menjadi lebih terelaborasi,
mengikutsertakan geng, dan kerumunan, begitu juga persahabatan.
Persahabatan, terutama di antara remaja putri menjadi lebih intim,
stabil, dan suportif. Selain itu, hubungan romantis memenuhi beragam
kebutuhan dan berkembang sesuai usia dan pengalaman.
iv. Perilaku Antisosial dan Kenakalan Remaja
Kenakalan yang parah umumnya merupakan cabang dari serangan
dini antisosial. Hal ini dihubungkan dengan interaksi yang beragam,
faktor-faktor risiko, termasuk pengasuhan yang tidak efektif,
kegagalan di sekolah, teman sebaya dan pengaruh lingkungan sekitar,
dan rendahnya status sosial ekonomi.
Masa remaja dianggap sebagai masa dimana individu berusaha
menemukan jati diri. Remaja yang berusaha menemukan identitas dirinya
dihadapkan pada situasi yang menuju pada kemampuan untuk menyesuaikan
diri bukan hanya terhadap diri sendiri, namun juga pada lingkungannya,
apalagi para remaja yang ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi
yang berada di luar wilayah asalnya, atau dengan kata lain, disebut sebagai
2. Definisi Rantau
Definisi merantau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005)
adalah pergi ke daerah lain. Sedangkan, kata perantau disini memiliki makna
seorang individu yang melanjutkan pendidikan di luar daerah asal mereka,
dengan pergi ke daerah lain untuk mencari ilmu (KBBI, 1990).
D. Hubungan Antara Self-esteem dan Perilaku Berisiko “Binge-Drinking” Pada Remaja Rantau
Remaja adalah usia transisi dimana seorang individu telah meninggalkan usia
kanak-kanak yang lemah dan penuh ketergantungan, akan tetapi belum mampu ke
usia yang kuat dan penuh tanggung jawab, baik terhadap dirinya maupun masyarakat.
Dalam masa transisi atau peralihan ini, remaja akan dihadapkan pada berbagai
macam tugas perkembangan. Salah satu tugas perkembangan remaja menurut
Havighurst (1961) adalah mencapai hubungan yang lebih matang dengan teman
sebaya. Tujuan tugas ini adalah belajar berkembang menjadi orang dewasa diantara
orang dewasa lainnya dan belajar bekerjasama untuk mencapai tujuan kelompok.
Apabila seorang remaja gagal mencapai tugas ini, maka ia akan mengalami kesulitan
dalam hidupnya karena sulit bergaul dengan orang lain. Namun demikian, tidak
sedikit remaja yang berusaha memenuhi kebutuhan akan tugas ini dengan cara yang
sebaya dan melakukan apa yang dilakukan kelompok tanpa memperhitungkan
dampaknya.
Penelitian sebelumnya menemukan bahwa hubungan interpersonal memiliki
pengaruh penting pada perkembangan self-esteem (Felson, 1989; Harter, 1999; Leary
dan Baumeister, 2000). Hubungan yang mendukung dengan teman dan keluarga juga
mempengaruhi perkembangan self-esteem. Dukungan yang didapatkan dari rekan
sebaya memiliki kaitan dengan peningkatan self-esteem selama masa remaja awal
(Fenzel, 2000; Wade, dkk, 1989). Gullette dan Lyons (2006) menyebutkan murid
dengan self-esteem rendah mengonsumsi lebih banyak alkohol, memiliki lebih
banyak partner seksual, dan berisiko lebih tinggi terjangkit HIV dibandingkan dengan
murid lain. Hal ini mendukung hasil penelitian dari Peterson, Buser, dan Westburg
(2010) yang menyatakan bahwa tingkat self-esteem tinggi diasosiasikan dengan
rendahnya tingkat perilaku berisiko dan sebaliknya, tingkat self-esteem rendah
diasosiasikan dengan tingginya tingkat perilaku berisiko.
Tugas perkembangan selama masa remaja ini mengakibatkan konflik-konflik
yang berkaitan dengan self-esteem remaja sekaligus mendorong mereka untuk mulai
bereksperimen dengan alkohol. Remaja yang mencoba mengonsumsi alkohol
biasanya untuk membantu menyelesaikan beberapa masalah dari tugas perkembangan
mereka. Mengonsumsi alkohol menunjukkan otonomi, “beranjak dewasa”, dan
menyimbolkan sebuah kebebasan karena telah terlepas dari pengawasan orangtua.
Selain itu, alkohol dimaksudkan untuk dapat membantu menemukan solusi dari tugas
kelompok pertemanan dan memunculkan keberanian untuk mulai melakukan kontak
(termasuk kontak erotis) dengan teman sebaya.
Dalam penelitian ini, subjek yang dipilih adalah remaja rantau. Remaja rantau
berangkat dari daerahnya masing-masing dengan latar belakang dan sudut pandang
yang berbeda mengenai alkohol. Remaja yang berasal dari daerah tertentu bisa jadi
menganggap alkohol sebagai hal yang biasa, akan tetapi tidak dengan remaja yang
tidak berasal dari daerahnya. Hal ini dapat mempengaruhi tingkat konsumsi alkohol
para remaja tersebut. Remaja dengan self-esteem rendah yang berasal dari daerah
yang menganggap alkohol sebagai hal biasa akan cenderung menjadikan alkohol
sebagai alat untuk lari dari masalah. Oleh sebab itu, peneliti membuat penelitian
dengan judul “Hubungan antara Self-esteem dan Perilaku Berisiko Binge Drinking
E. Kerangka Berpikir
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Hubungan antara Self-esteem dengan Perilaku Berisiko Binge Drinking
Remaja Rantau
Menghadapi tugas-tugas masa perkembangan
Self-esteem rendah Self-esteem tinggi
Lebih terlibat perilaku berisiko
binge drinking
Kurang terlibat perilaku berisiko binge drinking
Ciri-ciri self-esteem rendah:
Tidak percaya diri, mudah terpengaruh, kurang mampu mengekspresikan diri, merasa diri kurang berharga, pesimis.
Ciri-ciri self-esteem tinggi:
F. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan yang negatif antara
self-esteem dan perilaku berisiko binge drinking pada remaja rantau. Semakin tinggi
tingkat self-esteem, maka semakin rendah risiko perilaku binge drinking. Semakin
26
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang bertujuan untuk
mengidentifikasi hubungan prediktif dengan menggunakan teknik korelasi atau teknik
statistik yang lebih canggih. Penelitian korelasional melibatkan pengumpulan data
untuk menentukan apakah, dan untuk tingkatan apa, terdapat hubungan antara dua
atau lebih variabel yang dapat dikuantitatifkan. Tingkatan hubungan diungkapkan
sebagai suatu koefisien korelasi (Emzir, 2009).
B. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel X : self-esteem
2. Variabel Y : binge drinking
C. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah suatu definisi mengenai variabel yang dirumuskan
berdasarkan karakteristik-karakteristik variabel tersebut yang dapat diamati dan
diukur (Azwar, 2011). Definisi operasional dirumuskan untuk menghindari
kesalahpahaman mengenai data dan untuk menghindari kesesatan alat pengumpulan
1. Self-esteem
Self-esteem merupakan tingkat evaluasi atau penilaian yang dibuat oleh
seorang individu mengenai dirinya sendiri dan bagaimana ia bertindak.
Pengukuran self-esteem mencakup aspek-aspek self-esteem sebagai berikut:
a. Keefektifan diri (perasaan bahwa diri efektif), yaitu tingkat keyakinan dalam
diri individu mengenai berfungsinya pemikiran, menilai, memilih, dan
memutuskan; keyakinan akan kemampuan untuk memahami fakta-fakta yang
berada dalam batasan-batasan minat dan kebutuhan yang diinginkan,
kepercayaan diri yang kognitif, serta keadaan diri yang kognitif. Individu
dengan self-esteem tinggi memiliki tingkat keyakinan akan fungsi pemikiran
yang juga tinggi. Ia memiliki rasa percaya diri yang tinggi dan mampu
mengetahui batasan-batasan akan kemampuan dirinya.
b. Menghormati diri (self respect), yaitu suatu sikap tegas menuju hak pribadi
untuk hidup dan bahagia; kenyamanan dalam menegaskan pemikiran,
keinginan, dan kebutuhan; perasaan bahwa suka cita adalah warisan yang
paling alami. Individu dengan self-esteem tinggi memiliki ketegasan dalam
menentukan sikap (tidak neko-neko) dan mampu mengembangkan perasaan
2. Binge drinking
Binge drinking didefinisikan sebagai perilaku mengonsumsi alkohol sebanyak
empat gelas (untuk perempuan) dan lima gelas (untuk laki-laki) dengan standar
unit alkohol (misal: 0.3 L bir, 0.2 L Wine, atau 0.04 L spirits) dengan tujuan
menjadi mabuk (Stolle, dkk, 2009). Secara operasional, seseorang dikatakan
melakukan binge drinking apabila ia melakukan perilaku berlebihan dalam
mengonsumsi alkohol tersebut dalam jangka waktu 2 minggu dengan standar
ukuran 0.3 L bir, 0.2 L Wine, atau 0.04 L spirits dan dilakukan dalam kurun
waktu kurang dari 2 jam (Stolle, dkk, 2009).
Remaja yang melakukan binge drinking seringkali mengendarai motor tanpa
menggunakan helm, mengemudi sambil mabuk, atau menjadi penumpang dari
temannya yang sedang mabuk. Mereka juga cenderung mengabaikan tanggung
jawab, terlibat perkelahian atau adu mulut, bolos sekolah, mengemudi setelah
minum mabuk, memancing perilaku bunuh diri, dan memancing perilaku seksual
berisiko (Miller, dkk, 2006).
D. Subjek Penelitian
Populasi penelitian dapat didefinisikan sebagai “keseluruhan (universum) dari
objek penelitian yang dapat berupa manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, udara,
gejala, nilai, peristiwa, sikap hidup, dan sebagainya. Sehingga objek-objek ini dapat
sampel adalah sebagian populasi yang diambil dan dipergunakan untuk menentukan
sifat serta ciri yang dikehendaki dari suatu populasi.
Penelitian ini menggunakan teknik nonprobability sampling. Teknik
nonprobability sampling adalah teknik pengambilan sampel dimana setiap anggota
populasi tidak memiliki kesempatan atau peluang yang sama sebagai sampel. Jenis
teknik nonprobability sampling yang dipilih adalah teknik purposive sampling yang
merupakan teknik penentuan sampel dengan pertimbangan khusus sehingga layak
dijadikan sampel. Secara umum, untuk penelitian korelasional jumlah sampel
minimal untuk memperoleh hasil yang baik adalah 30 orang (Basrah, 2010). Sampel
dalam penelitian ini berjumlah 60 orang yang dipilih dengan memperhatikan kriteria
yang telah ditentukan oleh peneliti.
Subjek penelitian adalah para mahasiswa/i yang sedang menempuh
pendidikan pada beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta. Kriteria subjek penelitian
yang dipilih, yaitu:
1. Mahasiswa aktif pada perguruan tinggi di Yogyakarta.
2. Mahasiswa perantau dari luar DIY (dalam Pulau Jawa) dan dari luar Pulau Jawa.
3. Pengalaman merantau minimal 1 tahun.
4. Rentang usia 17 sampai 25 tahun.
5. Pernah mengonsumsi alkohol.
6. Memiliki uang saku per bulan di atas Rp. 1.000.000,-.
Mahasiswa perantau dipilih sebagai subjek dalam penelitian ini karena
dalam menghadapi perubahan dan tuntutan, seperti lingkungan baru, teman baru,
budaya sosial yang baru, dan nilai-nilai sosial baru. Mereka juga memiliki
kewenangan pribadi dalam mengatur keuangan yang diterima dari orangtua setiap
bulannya. Berdasarkan wawancara peneliti pada beberapa teman mahasiswa rantau,
mereka mengakui bahwa uang saku di atas Rp. 1.000.000,- seringkali berkelebihan
untuk semua keperluan pokok mereka sehingga mereka mempergunakannya untuk
bersenang-senang.
Berdasarkan rentang usia, mahasiswa yang berusia antara 17 hingga 25 tahun
berada di tahap perkembangan peralihan antara masa remaja dan masa dewasa awal
(Papalia, 2008). Tahap ini dianggap sebagai tahap perkembangan dengan banyak
masalah dan tekanan. Berbagai macam perubahan yang menimbulkan tekanan ini
yang membuat mereka rentan terhadap perilaku-perilaku berisiko dan menyebabkan
mereka menjadi akrab dengan minuman beralkohol. Faktor-faktor ini kemudian
menjadi pertimbangan peneliti dalam menentukan kriteria subjek penelitian.
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data 1. Jenis Alat Ukur
Alat ukur penelitian berjenis skala, yaitu skala self-esteem dan skala binge
drinking. Skala self-esteem yang digunakan merupakan adaptasi dari Sorensen
Self-esteem Test (2005) yang terdiri dari 50 buah item untuk mengukur low
self-esteem. Peneliti memilih Sorensen Self-esteem Test karena dianggap
Branden (2005). Mengingat kebutuhan penelitian ini adalah mengukur
self-esteem secara keseluruhan, baik rendah maupun tinggi, maka peneliti memilih
23 item yang merujuk pada low self-esteem (unfavorable) dan membuat 23
item lainnya yang merujuk pada high self-esteem (favorable). Skala binge
drinking disusun sendiri oleh peneliti didasarkan pada ciri-ciri perilaku binge
drinking yang telah dipaparkan pada definisi operasional (Stolle, dkk, 2009).
Metode pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan metode skala
berupa kuesioner. Metode skala digunakan mengingat data yang ingin diukur
berupa konsep psikologis yang dapat diungkap secara tidak langsung melalui
indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk aitem-aitem
pernyataan (Azwar, 2000). Menurut Hadi (2002), skala psikologis
mendasarkan diri pada laporan-laporan pribadi (self-report). Selain itu, skala
psikologis memiliki kelebihan dengan asumsi sebagai berikut:
1. Subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya.
2. Apa yang dikatakan oleh subjek tentang dirinya kepada peneliti adalah
benar dan dapat dipercaya.
3. Interpretasi subjek tentang pernyataan-pernyataan yang diajukan sama
dengan apa yang dimaksud oleh peneliti.
Metode skala psikologis digunakan dalam penelitian atas dasar
pertimbangan:
1. Metode skala psikologis merupakan metode yang praktis.
3. Metode skala psikologis merupakan metode yang dapat menghemat
tenaga dan ekonomis.
2. Penentuan Skor
Penelitian ini menggunakan skala Likert yang dikemukakan oleh
Rensis Likert (1932). Supratiknya (2014) menjelaskan bahwa dalam
penskalaan ini subjek diminta untuk menyatakan
kesetujuan-ketidaksetujuannya dalam sebuah kontinum yang terdiri atas lima respon:
“Sangat Setuju”, “Setuju”, “Tidak Tahu”, “Tidak Setuju”, dan “Sangat Tidak
Setuju”. Isi pernyataan dibedakan menjadi dua kategori: (1) pernyataan
favorable, yaitu pernyataan-pernyataan yang jika diiyakan menunjukkan sikap
positif atau suka terhadap objek terkait; dan (2) pernyataan unfavorable, yaitu
pernyataan-pernyataan yang jika diiyakan menunjukkan sikap negatif atau
tidak suka terhadap objek terkait. Jika isi pernyataan bersifat favorable, maka
masing-masing respon diberi skor berturut-turut 5, 4, 3, 2, dan 1. Sebaliknya,
jika isi pernyataan bersifat unfavorable, maka masing-masing respon diberi
skor 1, 2, 3, 4, dan 5.
a. Skala Self-Esteem
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur tingkat self-esteem adalah
skala self-esteem yang diadaptasi dari Sorensen Self-esteem Test (2005).
Sorensen Self-esteem Test terdiri dari 50 buah item untuk mengukur low
sesuai dengan aspek-aspek self-esteem yang dikemukakan oleh Branden
(2005). Mengingat kebutuhan penelitian ini adalah mengukur self-esteem
secara keseluruhan, baik rendah maupun tinggi, maka peneliti memilih 23
item yang merujuk pada low self-esteem (unfavorable) dan membuat 23 item
lainnya yang merujuk pada high self-esteem (favorable). Total keseluruhan
aitem adalah 46 buah.
Aitem-aitem dalam skala ini penelitian ini disusun dengan empat
pilihan respon, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan
Sangat Tidak Setuju (STS). Empat pilihan respon digunakan untuk
menghindari jawaban netral sehingga subjek lebih objektif dalam memilih
respon. Skala disajikan dalam bentuk pernyataan favorable dan unfavorable.
Skor bergerak dari 1 sampai 4. Bobot penilaian untuk pernyataan favorable,
yaitu: SS = 4, S = 3, TS = 2, STS = 1, sedangkan bobot penilaian untuk
pernyataan unfavorable, yaitu SS = 1, S = 2, TS = 3, dan STS = 4.
Semakin tinggi skor seseorang maka semakin tinggi self-esteemnya.
Sebaliknya, semakin rendah skor seseorang makan semakin rendah
Tabel 3.1 Blue Print SkalaUji Coba Terpakai Self-esteem
Alat ukur untuk mengukur tingkat perilaku binge drinking adalah
skala binge drinking yang dirancang sendiri oleh peneliti didasarkan pada
ciri-ciri perilaku binge drinking (Stolle, dkk, 2009). Alat ukur ini disajikan dalam
skala Likert dengan tujuan untuk melakukan pengelompokkan perilaku binge
drinking seseorang ke dalam kategori tinggi, sedang, atau rendah.
Aitem-aitem dalam skala ini penelitian ini disusun dengan empat pilihan respon,
yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak
Setuju (STS). Empat pilihan respon digunakan untuk menghindari jawaban
netral sehingga subjek lebih objektif dalam memilih respon. Skor bergerak
dari 1 sampai 4. Total aitem dalam skala ini adalah 14 buah. Dari 14 buah
aitem tersebut, apabila hasil skor total seseorang berada pada rentang 42
sampai 56, maka ia termasuk dalam kategori memiliki perilaku binge drinking
tinggi, skor total 28 sampai 42 termasuk dalam kategori sedang, dan skor 14
Tabel 3.2 Blue Print SkalaUji Coba Terpakai Binge Drinking
No. Indikator Nomor Item Jumlah
1. Frekuensi konsumsi meningkat terutama
dalam 2 minggu terakhir 1, 11, 13 3
2. Mengonsumsi ≥ 5 gelas alkohol dalam
waktu kurang dari 2 jam. 7, 14 2
3. Mengonsumsi alkohol karena pengaruh
teman. 2, 5, 10, 12 4
4. Mengabaikan tanggung jawab pribadi
maupun sosial. 4, 6 2
5. Sengaja membuat diri menjadi mabuk 3, 8, 9, 3
T O T A L 14
3. Uji Coba Penelitian
Peneliti menggunakan uji coba terpakai. Uji coba terpakai dipilih
karena keterbatasan subjek dan waktu penelitian. Uji coba dilaksanakan pada
tanggal 22 sampai dengan 30 Juni 2015 di Yogyakarta. Subjek merupakan 60
orang mahasiswa perantau dari luar DIY (dalam Pulau Jawa) dan dari luar
Pulau Jawa. Pemilihan subjek didasarkan pada karakteristik yang telah
dijelaskan sebelumnya. Peneliti memutuskan untuk menggunakan uji coba
terpakai karena keterbatasan waktu dan subjek penelitian. Subjek penelitian
yang sebelumnya telah ditargetkan oleh peneliti sedang tidak berada di
Yogyakarta karena waktu penelitian yang bertepatan dengan libur semester
F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 1. Validitas
Validitas adalah sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur
melakukan fungsi ukurnya. Valid tidaknya suatu alat ukur tergantung pada
mampu tidaknya alat ukur tersebut mencapai tujuan pengukuran yang
dikehendaki dengan tepat (Azwar, 2000). Validitas yang digunakan dalam
penelitian ini adalah validitas isi (content validity). Validitas ini merupakan
validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis
rasional atau lewat professional judgement (Azwar, 2000). Profesional
judgement diperoleh dari dosen pembimbing penelitian ini.
2. Seleksi Item
Seleksi item dilakukan untuk melihat apakah item-item dapat
digunakan sebagai item-item penelitian atau tidak. Seleksi item atau pengujian
item dihitung dengan bantuan SPSS versi 22.0 for Windows dengan melihat
Corrected item-total correlation. Keputusan ditetapkan dengan nilai koefisien
validitas ≥ 0,20 (Azwar, 2009). Apabila terdapat item yang memiliki nilai
koefisien di bawah 0,30 maka item tersebut dinyatakan gugur.
Hasil uji coba skala self-esteem menyatakan bahwa 31 dari 46 aitem
valid dan siap digunakan. Sebanyak 15 item dinyatakan gugur sehingga tidak
disertakan dalam proses analisis data. Rincian item yang valid dan gugur
Tabel 3.3 Rincian Hasil Perhitungan Item Self-esteem yang Valid dan Gugur
No Aspek Favorable Unfavorable Item Valid Item Gugur
Selain validitas, instrumen juga harus diukur reliabilitasnya. Reliabilitas
adalah konsistensi hasil pengukuran jika prosedur pengetesannya dilakukan secara
berulangkali terhadap suatu populasi individu atau kelompok. Reliabilitas juga dapat
didefinisikan sebagai sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Hasil
pengukuran dapat dipercaya hanya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan
pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama,
selama aspek yang diukur dalam diri subyek memang belum berubah (Azwar 2010:
Reliabilitas skala self-esteem dan skala binge drinking menggunakan
pendekatan reliabilitas internal consistency (Cronbach’s alpha coefficient) yaitu
dengan cara mencoba alat ukur cukup hanya sekali saja pada sekelompok individu
sebagai subjek dengan tujuan untuk melihat konsistensi di dalam tes itu sendiri.
Teknik ini dipandang ekonomis, praktis, dan berefisiensi tinggi, sehingga hasil
penelitian dapat digeneralisasikan pada populasi (Azwar, 2000).
Pada penelitian ini peneliti menggunakan teknik Alpha Croncbach untuk
mengevaluasi sumber variasi alat tes tunggal (Siregar, 2013). Korelasi Alpha
Cronbach dilakukan dengan bantuan SPSS versi 22.0 for Windows dan menghasilkan
koefisien reliabilitas sebesar 0,868 untuk skala self-esteem dan 0,887 untuk skala
binge drinking. Kedua skala tersebut mempunyai reliabilitas dalam kategori tinggi
dan layak untuk digunakan untuk penelitian. Interpretasi reliabilitas kedua skala
didasarkan pada tabel di bawah ini (Arikunto, 2006).
Tabel 3.4 Interpretasi Reliabilitas
Analisis data untuk melihat hubungan antara self-esteem dan perilaku berisiko
terdapat perbedaan pada jenis data, yaitu data self-esteem merupakan data interval
sedangkan data binge drinking merupakan data ordinal. Agar kedua kelompok data
dapat dihitung dengan terlebih dahulu disetarakan derajatnya maka digunakan uji
40
BAB IV
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 22 sampai dengan 30 Juni 2015 di
Yogyakarta. Subjek berjumlah 60 orang mahasiswa perantau dari luar DIY (dalam
Pulau Jawa) dan dari luar Pulau Jawa. Skala disebarkan dengan mendatangi kampus,
kos, asrama mahasiwa, dan rumah kontrakan masing-masing subjek. Jumlah skala
yang disebar adalah 60 eksemplar dan semua skala kembali kepada peneliti.
B. Gambaran Umum Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah mahasiswa perantau berusia 17-25 tahun yang
berasal dari luar DIY (dalam Pulau Jawa) dan dari luar Pulau Jawa dengan
pengalaman merantau minimal satu tahun dan jumlah uang saku per bulan di atas Rp.
1.000.000,-. Subjek diperoleh dengan mendatangi kampus, kos, asrama mahasiwa,
dan rumah kontrakan.
1. Jenis Kelamin
Jenis kelamin subjek penelitian memperoleh gambaran penyebaran subjek sebagai
Tabel 4.1 Gambaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin N Persentase
Perempuan 22 36,7 %
Laki-laki 38 63,3 %
Total 60 100 %
Tabel 4.1, menunjukkan bahwa jumlah subjek berjenis kelamin perempuan
sebanyak 22 orang (36,7%) dan subjek berjenis kelamin laki-laki sebanyak 38 orang
(63,3%).
2. Usia
Usia subjek penelitian memberikan gambaran penyebaran subjek sebagai berikut:
Tabel 4.2 Gambaran Subjek Berdasarkan Usia
orang (1,7%), 19 tahun sebanyak 5 orang (8,3%), 20 tahun sebanyak 6 orang (10%),
21 tahun sebanyak 20 orang (33,3%), 22 tahun sebanyak 20 orang (33,3%), 23 tahun
sebanyak 6 orang (10%), 24 tahun sebanyak 1 orang (1,7 %, dan 25 tahun sebanyak 1
3. Tempat Asal
Tempat asal subjek penelitian memperoleh gambaran penyebaran subjek sebagai
berikut:
Tabel 4.3 Gambaran Subjek Berdasarkan Tempat Asal
Tempat Asal N Persentase
Luar DIY (dalam Pulau Jawa) 11 18,3 %
Lama waktu merantau subjek penelitian menggambaran penyebaran sebagai
berikut:
Tabel 4.4 Gambaran Subjek Berdasarkan Lama Merantau
Lama Merantau N Persentase
Tabel 4.4 memperlihatkan bahwa jumlah subjek yang telah merantau selama 1
tahun sebanyak 4 orang (6,7%), 2 tahun sebanyak 10 orang (16,7%), 3 tahun
sebanyak 9 orang (15%), 4 tahun sebanyak 27 orang (45%), 6 tahun sebanyak 2 orang
(3,3%), 7 tahun sebanyak 3 orang (5%), 8 tahun sebanyak 3 orang (5%), dan 10 tahun
sebanyak 2 orang (3,3%).
5. Frekuensi Mengonsumsi Alkohol
Frekuensi mengonsumsi alkohol subjek penelitian, dibagi ke dalam dua kategori
seperti berikut:
Tabel 4.5 Gambaran Subjek Berdasarkan Frekuensi Mengonsumsi Alkohol
Frekuensi N Persentase
Sering 12 20 %
Kadang-kadang 48 80 %
Total 60 100 %
Tabel 4.5 menunjukkan bahwa jumlah subjek yang sering mengonsumsi alkohol
sebanyak 12 orang (20%), sedangkan subjek yang hanya sesekali mengonsumsi
alkohol sebanyak 48 orang (80%).
6. Pengalaman Pertama Mengonsumsi Alkohol
Pengalaman pertama mengonsumsi alkohol subjek penelitian memperlihatkan
Tabel 4.6 Gambaran Subjek Berdasarkan Pengalaman Pertama Minum Alkohol
Pertama Kali N Persentase
SD 4 6,6 %
SMP 7 11,7 %
SMA 28 46,7 %
Kuliah 21 35 %
Total 60 100 %
Tabel 4.6 menunjukkan bahwa jumlah subjek yang pertama kali mengonsumsi
alkohol di Sekolah Dasar (SD) sebanyak 4 orang (6,6%), di Sekolah Menengah
Pertama (SMP) sebanyak 7 orang (11,7%), di Sekolah Menengah Atas (SMA)
sebanyak 28 orang (46,7%), dan di bangku kuliah sebanyak 21 orang (35%).
7. Jumlah Uang Saku Per Bulan
Jumlah uang saku per bulan subjek penelitian memperoleh gambaran penyebaran
sebagai berikut:
Tabel 4.7 Gambaran Subjek Berdasarkan Jumlah Uang Saku Perbulan
Pertama Kali N Persentase
Rp. 1.000.000 – 1.999.999,- 51 85 %
Rp. 2.000.000 – 2.999.999,- 9 15 %
Total 60 100 %
Tabel 4.7 memperlihatkan bahwa jumlah subjek yang memiliki uang saku Rp.
1.000.000 – Rp. 1.999.999,- per bulan sebanyak 51 orang (85%), sedangkan jumlah
subjek yang memiliki uang saku Rp. 2.000.000 – Rp. 2.999.999,- sebanyak 9 orang