• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara self-esteem dan perilaku berisiko binge drinking pada remaja rantau.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara self-esteem dan perilaku berisiko binge drinking pada remaja rantau."

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

THE RELATIONSHIP BETWEEN SELF-ESTEEM AND BINGE DRINKING RISK BEHAVIOR IN ADOLESCENTS

Johana Eka Dyah Fetri

ABSTRACT

This research aimed to examine the relationship between self-esteem and binge drinking risk behavior in adolescents. The proposed hypothesis is that there is a negative and significant correlation between self-esteem and binge drinking risk behavior. The subjects were 60 outer-province college students aged seventeen to twenty-five year old, consisting of twenty-eight females and thirty-two males. The sampling technique used purposive sampling. The data were collected by self-esteem scale and binge drinking scale. The data were analyzed employing Spearman Rank correlation technique. The correlation coefficient r = - 0.275, p = 0.017 (one-tailed significance), which means <0.05. The result shows that the research hypothesis proved that there is a negative and significant relationship between self-esteem and binge drinking risk behavior in adolescents.

(2)

iv

HUBUNGAN ANTARA SELF-ESTEEM DAN PERILAKU BERISIKO BINGE DRINKING PADA REMAJA RANTAU

Johana Eka Dyah Fetri

ABSTRAK

Penelitian korelasional ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara

self-esteem dan perilaku berisiko binge drinking pada remaja rantau. Hipotesis menyatakan ada hubungan yang negatif dan signifikan antara self-esteem dan perilaku berisiko binge drinking. Subjek penelitian adalah 60 orang mahasiswa perantau berusia 17 sampai 25 tahun, terdiri dari 28 perempuan dan 32 laki-laki. Pemilihan subjek melalui teknik purposive sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan skala self-esteem dan skala binge drinking. Analisis data memanfaatkan teknik korelasi Spearman Rank. Hasil analisis menunjukkan koefisien korelasi r = - 0,275 dengan nilai p = 0,017 (signifikansi one-tailed) yang berarti nilai p<0,05. Hasil menunjukkan adanya hubungan negatif dan signifikan antara self-esteem dan perilaku berisiko binge drinking pada remaja rantau.

(3)

HUBUNGAN ANTARA SELF-ESTEEM DAN PERILAKU BERISIKO BINGE DRINKING PADA REMAJA RANTAU

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh :

Johana Eka Dyah Fetri

119114041

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

iv

HALAMAN MOTTO

“ If size

mattered

, the elephant would be

(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Teruntuk:

Mereka yang senantiasa mengingat dan membisikkan namaku dalam senyap,

(8)
(9)

vii

HUBUNGAN ANTARA SELF-ESTEEM DAN PERILAKU BERISIKO BINGE DRINKING PADA REMAJA RANTAU

Johana Eka Dyah Fetri

ABSTRAK

Penelitian korelasional ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara

self-esteem dan perilaku berisiko binge drinking pada remaja rantau. Hipotesis menyatakan ada hubungan yang negatif dan signifikan antara self-esteem dan perilaku berisiko binge drinking. Subjek penelitian adalah 60 orang mahasiswa perantau berusia 17 sampai 25 tahun, terdiri dari 28 perempuan dan 32 laki-laki. Pemilihan subjek melalui teknik purposive sampling. Data dikumpulkan dengan menggunakan skala self-esteem dan skala binge drinking. Analisis data memanfaatkan teknik korelasi Spearman Rank. Hasil analisis menunjukkan koefisien korelasi r = - 0,275 dengan nilai p = 0,017 (signifikansi one-tailed) yang berarti nilai p<0,05. Hasil menunjukkan adanya hubungan negatif dan signifikan antara self-esteem dan perilaku berisiko binge drinking pada remaja rantau.

(10)

viii

THE RELATIONSHIP BETWEEN SELF-ESTEEM AND BINGE DRINKING RISK BEHAVIOR IN ADOLESCENTS

Johana Eka Dyah Fetri

ABSTRACT

This research aimed to examine the relationship between self-esteem and binge drinking risk behavior in adolescents. The proposed hypothesis is that there is a negative and significant correlation between self-esteem and binge drinking risk behavior. The subjects were 60 outer-province college students aged seventeen to twenty-five year old, consisting of twenty-eight females and thirty-two males. The sampling technique used purposive sampling. The data were collected by self-esteem scale and binge drinking scale. The data were analyzed employing Spearman Rank correlation technique. The correlation coefficient r = - 0.275, p = 0.017 (one-tailed significance), which means <0.05. The result shows that the research hypothesis proved that there is a negative and significant relationship between self-esteem and binge drinking risk behavior in adolescents.

(11)
(12)

x PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas

berkatnya yang luar biasa melimpah penulis mampu menyelesaikan penyusunan

skripsi berjudul “Hubungan Antara Self-esteem dengan Perilaku Berisiko Binge

Drinking pada Remaja Rantau”. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi syarat kelulusan mata kuliah Penulisan Skripsi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata

Dharma, Yogyakarta. Penulis akui bahwa butuh kerja keras, rasa tanggung jawab, dan

kesabaran yang luar biasa untuk menyelesaikan karya ini. Penulis juga menyadari

bahwa karya ini tidak akan selesai tanpa orang-orang terkasih di sekeliling penulis

yang telah memberikan sumbangsih, baik moral maupun materil.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada :

1. Orangtua terbaik yang pernah ada, Papa Dwi Irianto Basuki dan Mama Leticia

Clara Rettob. Terima kasih atas kesabaran, dukungan, dan doa-doa yang tiada

henti bagi penulis.

2. Dekan Fakultas Psikologi, Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si.

3. Kepala Program Studi Psikologi, Ibu Ratri Sunar Astuti, M, Si.

4. Dosen pembimbing skripsi, Dr. A. Priyono Marwan, S. J. Terima kasih atas

waktu dan kesabaran yang luar biasa kepada penulis.

5. Dosen pembimbing akademik, Prof. Dr. Agustinus Supratiknya.

6. Mas Gandung dan Bu Nanik yang telah memberikan dukungan dan motivasi,

serta membantu penulis dalam mempersiapkan syarat-syarat pengajuan karya ini.

7. Pak Gik yang ramah dan baik hati.

8. Adik-adikku tersayang, Ganang Wilis Satiaji dan Finisha Maria Soelastri, terima

kasih atas pengertian dan dorongannya bagi penulis.

9. Rekan sosialita, Virlis Tonika dan Sabrina Handayani Tambun. Terima kasih

(13)
(14)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……….. i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ……….… ii

HALAMAN PENGESAHAN ………... iii

HALAMAN MOTTO ………...…...… iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ……….……….… v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………..… vi

ABSTRAK ………..………. vii

ABSTRACT ………. viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ……….… ix

(15)

xiii

C. Remaja Rantau ………...… 15

1. Definisi Remaja ………... 15

2. Definisi Rantau ………..….. 21

(16)

xiv

A. Pelaksanaan Penelitian ……….……… 40

B. Gambaran Umum Subjek Penelitian ……… 40

1. Jenis Kelamin ………...……… 40

2. Usia …………..……… 41

3. Tempat Asal ….……… 42

4. Lama Merantau ……… 42

5. Frekuensi Mengonsumsi Alkohol ……… 43

6. Pengalaman Pertama Mengonsumsi Alkohol ………..………… 43

7. Jumlah Uang Saku Per Bulan ………..……… 44

C. Hasil Penelitian ……….………...……… 45

1. Hasil Perhitungan Korelasi ………..…… 45

2. Kategorisasi Subjek Berdasarkan Skor Tiap Skala….….……… 46

D. Pembahasan ……….……….……… 48

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN……… 50

A. Kesimpulan ……...……… 50

B. Keterbatasan Penelitian ……… 50

C. Saran ……….……… 50

1. Bagi Subjek Penelitian ……….……… 50

2. Bagi Peneliti Selanjutnya ……….……… 51

DAFTAR PUSTAKA ………..……… 52

(17)

xv

DAFTAR TABEL & GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Penelitian ………...……….…… 24

Tabel 3.1 Blue print Skala Uji Coba Terpakai Self-esteem………... 34

Tabel 3.2 Blue print Skala Uji Coba Terpakai Binge Drinking……… 35

Tabel 3.3 Rincian Hasil Perhitungan Item Self-esteem yang Valid dan Gugur ..….. 37

Tabel 3.4 Interpretasi Reliabilitas ………...….. 38

Tabel 4.1 Gambaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ………...……….. 41

Tabel 4.2 Gambaran Subjek Berdasarkan Usia ………..….……. 41

Tabel 4.3 Gambaran Subjek Berdasarkan Tempat Asal ………...…… 42

Tabel 4.4 Gambaran Subjek Berdasarkan Lama Merantau ………..…… 42

Tabel 4.5 Gambaran Subjek Berdasarkan Frekuensi Mengonsumsi Alkohol …... 43

Tabel 4.6 Gambaran Subjek Berdasarkan Pengalaman Pertama Minum Alkohol … 44 Tabel 4.7 Gambaran Subjek Berdasarkan Jumlah Uang Saku Per Bulan ……….... 44

Tabel 4.8 Korelasi Spearman Rank……….. 45

Tabel 4.9 Kriteria Kategorisasi ……….…… 46

Tabel 4.10 Kriteria Kategorisasi Self-esteem………...………...…….. 48

(18)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skala Penelitian ……… 58

Lampiran 2. Uji Reliabilitas Self-esteem………..….... 70

Lampiran 3. Uji Reliabitas Binge Drinking………..…… 72

(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Minuman beralkohol telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari

perjalanan panjang peradaban manusia. Minuman keras diyakini sudah ada sejak

6000 tahun lalu dan dikenal dengan istilah “peragian” terhadap sari buah anggur (wine). Pada masa itu, wine diminum pada acara-acara tertentu, seperti acara

persembahan bagi para dewa. Menurut versi lain, minuman keras juga sudah dikenal

sejak masa 5000 SM oleh masyarakat Cina yang membuat arak dengan menggunakan

sari buah yang difermentasi dan dicampur dengan madu dan beras. Arak menjadi

minuman formal dan lazim digunakan pada pesta-pesta kerajaan. Selain itu, arak

sering digunakan menjadi obat-obatan tradisional di Cina (Syifa, 2014).

Di Indonesia sendiri banyak dijumpai minuman tradisional, seperti tuak, arak,

sopi, badeg, dan lain-lain. Minuman tradisional ini seringkali dikonsumsi oleh

masyarakat dengan alasan tradisi atau adat. Keberadaan minuman beralkohol di setiap

perayaan pesta adat khususnya di Indonesia, disebabkan karena tradisi yang lahir dari

para leluhur masyarakat di suatu daerah dan dinyatakan sebagai minuman

kehormatan. Banyak daerah di Indonesia yang masih mempertahankan tradisi

meminum minuman keras hingga saat ini. Contohnya seperti di Flores yang masih

menyajikan Moke (Sopi) ketika menyambut tamu, upacara adat, atau acara resmi

(20)

mempertahankan tradisi mengonsumsi tuak dalam setiap perayaan adat guna menjaga

kearifan lokal. Tuak juga dikonsumsi pada waktu santai maupun sebagai pemulih

stamina (Jannah, 2015).

Seorang Antropolog Kesehatan UI, Sri Murni mengatakan bahwa sejumlah

etnis di Indonesia memiliki tradisi mengonsumsi minuman beralkohol yang dibuat

dari bahan lokal, terutama nira. Namun, minuman itu hanya digunakan tetua adat

untuk ritual khusus. Penjajahan bangsa asing memperkenalkan budaya minum

minuman beralkohol untuk merayakan kegembiraan (Jannah, 2015). Banyak

penelitian telah menunjukkan bahaya kesehatan dan konsekuensi sosial pada

peminum di bawah umur, antara lain seperti mengabaikan tanggung jawab, terlibat

perkelahian atau adu mulut, bolos sekolah, mengemudi sambil mabuk, mendorong

tindakan bunuh diri, dan terlibat perilaku seksual berisiko (Miller, dkk, 2006).

Hal yang perlu menjadi perhatian khusus adalah tokoh utama dari perilaku

berisiko ini merupakan para remaja yang masih dalam tahap penyelesaian tugas

perkembangan. Remaja mengonsumsi alkohol untuk membantu menyelesaikan

masalah-masalah tugas perkembangan mereka (Stolle, dkk, 2009). Mengonsumsi

alkohol menunjukkan otonomi, tanda “beranjak dewasa”, dan menyimbolkan sebuah

kebebasan karena telah terlepas dari pengaruh orangtua. Alkohol digunakan sebagai

alat untuk membantu menemukan solusi dari tugas perkembangan interpersonal,

seperti mengamankan kedudukan sosial dalam kelompok pertemanan dan

memunculkan keberanian untuk mulai melakukan kontak dengan rekan sebaya

(21)

Penyalahgunaan alkohol oleh remaja ini dapat mengarah menjadi sebuah

perilaku berisiko yang dikenal sebagai Binge Drinking. Binge drinking merupakan

perilaku berisiko yang pada beberapa tahun terakhir banyak diangkat dalam

penelitian, terutama karena kaitannya yang erat dengan remaja (Miller, dkk, 2006;

Stolle, dkk, 2009; Wechsler, dkk, 1995). Binge drinking adalah perilaku

mengonsumsi alkohol secara berlebihan dalam waktu singkat dengan tujuan untuk

menjadi mabuk. Perilaku binge drinking ini seringkali ditemukan pada remaja yang

sebagian besar waktunya dihabiskan dalam kelompok-kelompok sosial tertentu,

misalnya kelompok rekan asrama, kelompok perkumpulan mahasiswa suatu etnis,

teman bergaul di kampus, dan lain-lain. Downs dan Perkins (dalam Wechsler, dkk,

1995) menyatakan bahwa tingkat alkohol dan obat-obatan yang dikonsumsi remaja

memiliki kaitan erat dengan pengaruh rekan sebayanya. Di Amerika, perilaku binge

drinking seringkali terjadi dalam pesta perayaan atau acara-acara perkumpulan remaja

(Wechsler, dkk, 1995).

Binge drinking juga terjadi di Indonesia dan menimbulkan banyak dampak

negatif. Banyaknya kasus-kasus penyalahgunaan alkohol yang menyebabkan

perkelahian, kecelakaan, seks bebas, dan narkoba dapat kita akses lewat media cetak

maupun online. Peristiwa terbaru di bulan September 2015 yang diberitakan oleh

Kompas mencatat 4 orang meninggal dunia sedangkan 5 orang kritis setelah dengan

sengaja meminum minuman keras yang dicampur dengan zat berbahaya lain

(Amiruddin, 2015). Selain itu, Bappeda kota Bekasi juga melaporkan puluhan remaja

(22)

mengkonsumsi minuman keras di beberapa tempat, seperti di warung jamu dan

tempat perkumpulan remaja (Bappeda Bekasi Kota, 2015).

Menurut laporan terakhir oleh German Federal Commisioner for Narcotic

Drugs (Bundesdrogen-beautragte), angka remaja (berumur hingga 20 tahun) yang

dirawat di rumah sakit karena keracunan alkohol jauh lebih banyak dalam jangka

waktu tahun 2000 hingga 2007, yaitu dari 9.500 orang menjadi 23.165 orang. Lebih

dari 3.800 pasien-pasien ini berumur antara 10 hingga 15 tahun (Stolle, dkk, 2009).

Remaja yang melakukan binge drinking seringkali mengendarai motor tanpa

menggunakan helm, mengemudi sambil mabuk, atau menjadi penumpang dari

temannya yang sedang mabuk. Remaja umumnya memiliki persepsi bahwa binge

drinking adalah hal yang wajar dan seringkali dilakukan oleh teman-teman sebayanya

sehingga tidak masalah apabila ia ikut melakukan hal yang sama (Wechsler dan Kuo,

2000). Beberapa studi lain menyatakan bahwa remaja yang melakukan binge drinking

mengaku takut mendapat penolakan dari rekan kelompoknya jika tidak ikut

mengonsumsi alkohol.

D’zurilla, Chang, dan Sanna (2003) menyatakan bahwa sebuah faktor yang

berperan penting dalam kemauan seorang individu untuk terlibat perilaku berisiko

adalah self-esteem. Self-esteem mengacu pada penilaian seseorang mengenai seberapa

besar ia menyukai dirinya sebagai seorang individu. Self-esteem memiliki

konsekuensi yang mendalam untuk setiap aspek eksistensi manusia karena

(23)

tingkat emosi, pengambilan keputusan, nilai-nilai yang dianut, serta penentuan tujuan

hidup (Branden, 1994).

Self-esteem merupakan faktor utama yang paling berpengaruh dalam perilaku

manusia. Kenyataan ini terungkap melalui database dari PsycINFO bahwa lebih dari

40.615 artikel, chapter, dan buku membahas mengenai pentingnya self-esteem

(American Psychological Association, 2015). Self-esteem dijadikan sebagai tema

sosial yang paling tua dan paling banyak ditulis (Mruk, 2006). Rodewalt dan Tragakis

(dalam Mruk, 2006) menyatakan bahwa self-esteem merupakan salah satu dari tiga

besar variabel terpopuler dalam penelitian psikologi dan sosial. Self-esteem

merupakan target pendekatan penelitian karena self-esteem dapat memprediksikan

kesehatan fisik yang lebih baik, kurangnya perilaku kriminal, rendahnya level

depresi, pencapaian prestasi dan kesejahteraan ekonomi yang lebih baik

(Trzesniewski et all, 2006).

Gullette dan Lyons (2006) menyebutkan murid dengan self-esteem rendah

mengonsumsi lebih banyak alkohol, memiliki lebih banyak partner seksual, dan

berisiko lebih tinggi terjangkit HIV dibandingkan dengan murid lain. Hasil penelitian

dari Peterson, Buser, dan Westburg (2010) menyatakan bahwa tingkat self-esteem

tinggi diasosiasikan dengan rendahnya tingkat perilaku berisiko dan sebaliknya,

tingkat self-esteem rendah diasosiasikan dengan tingginya tingkat perilaku berisiko.

Master dan Johnson (dalam Ismail, 2005) mengatakan self-esteem berpengaruh pada

sikap seseorang terhadap statusnya sebagai remaja. Seorang remaja yang memiliki

(24)

oleh lingkungan dan dapat mengutarakan serta mengambil sikap apa yang sebenarnya

ingin dilakukan, yang pada akhirnya akan menghindari perilaku-perilaku negatif.

Remaja dengan self-esteem rendah memiliki peluang lebih besar untuk terlibat

dalam perilaku berisiko seperti penyalahgunaan zat terlarang (Wild, dkk, 2004).

Penyalahgunaan zat tersebut antara lain mengonsumsi minuman keras secara

berlebihan. Tidak sedikit dari kasus kecelakaan jalan raya yang disebabkan oleh

pengemudi mabuk di bawah umur. Alkohol juga menjadi penyebab banyaknya kasus

pertengkaran dan perkelahian antar remaja, perilaku seks bebas, dan kecenderungan

bunuh diri yang merupakan dampak dari pengendalian alkohol (Miller, dkk, 2006;

Stolle, dkk, 2009).

Tingkat self-esteem ikut dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Hal ini tampak

jelas pada remaja yang pada masa perkembangannya banyak terlibat dalam kegiatan

bersama rekan sebaya (Weschler dan Kuo, 2000). Remaja yang merasa diterima oleh

kelompok pertemanannya memiliki self-esteem lebih tinggi dibandingkan dengan

remaja yang merasa dirinya ditolak. Hubungan dengan rekan sebaya adalah salah satu

sumber penting dari dukungan sosial yang memiliki kontribusi terhadap self-esteem

remaja (ACT for Youth Upstate Center of Excellence, 2003).

Di Indonesia, self-esteem belum menjadi tema yang populer sebagaimana di

Amerika. Tema-tema penelitian yang membahas secara khusus mengenai self-esteem

dan permasalahannya di Indonesia masih minim, baik di media cetak maupun online.

Akan tetapi, Indonesia tidak terlepas dari permasalahan yang didasarkan pada

(25)

self-esteem rendah. Rosita (2007) menemukan bahwa remaja dengan self-esteem rendah

akan cenderung takut untuk bertindak ketika mendapati teman lain sedang berbuat

curang (mencontek). Yasdiananda (2013) juga menyatakan bahwa remaja dengan

self-esteem rendah cenderung berperilaku kurang asertif dibandingkan dengan remaja

yang memiliki self-esteem tinggi. Penelitian terbaru dari Mualfiah dan Indrijati (2014)

menunjukkan bahwa remaja dengan tingkat self-esteem rendah cenderung lebih

terlibat dalam perilaku seksual pranikah.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penulis tertarik untuk

melihat hubungan antara kedua tema permasalahan global yang juga menjadi masalah

di Indonesia. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah mahasiswa sebagai

remaja rantau. Peneliti memilih remaja rantau karena melihat perbedaan latar

belakang budaya yang dibawa oleh masing-masing individu dari daerah asalnya

terkait dengan pandangan mereka terhadap perilaku mengonsumsi minuman keras.

Remaja yang berasal dari beberapa daerah tertentu bisa jadi menganggap miras

sebagai hal biasa sehingga tingkat konsumsi miras mereka di daerah rantau menjadi

lebih tinggi dibandingkan remaja dari daerah lainnya. Oleh sebab itu, peneliti

membuat penelitian dengan judul “Hubungan antara Self-esteem dan Perilaku Berisiko Binge Drinking Pada Remaja Rantau”.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, makapeneliti

(26)

binge drinking pada remaja. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “apakah

terdapat hubungan antara self-esteem dan perilaku berisiko binge drinking pada

remaja rantau?”

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk melihat apakah terdapat hubungan

antara self-esteem dan perilaku berisiko binge drinking pada remaja rantau.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini memberi tambahan informasi secara keilmuan mengenai

self-esteem, perilaku berisiko binge drinking, dan hubungan antara keduanya.

2. Manfaat Praktis

Bagi mahasiswa perantau, penelitian ini dapat menjadi tambahan

informasi mengenai pentingnya memiliki self-esteem positif dalam

(27)

9

BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. Self-esteem

1. Definisi self-esteem

Istilah self-esteem pertama kali diperkenalkan pada tahun 1890 oleh

seorang Psikolog berkebangsaan Amerika, William James yang menyatakan

self-esteem atau harga diri sebagai suatu konstruk unidimensi yang berkaitan

dengan perasaan yang dirasakan seorang individu. Buss (1973)

mendefinisikan self-esteem sebagai penilaian individu terhadap dirinya

sendiri, dimana penilaian tersebut bersifat implisit dan tidak diverbalisasikan.

Sejalan dengan pendapat tersebut, Gilmore (1974) mengemukakan bahwa

harga diri merupakan penilaian individu terhadap kehormatan dirinya yang

diekspresikan melalui sikap terhadap dirinya. Sementara itu, Rosenberg

(1979) mendefinisikan self-esteem sebagai evaluasi yang dilakukan seseorang

baik dalam cara positif maupun negatif terhadap suatu objek khusus yaitu diri.

Beberapa ahli lainnya memaparkan self-esteem sebagai sebuah masa

evaluatif yang mengarah ke penilaian negatif, positif, netral, atau ambigu yang

merupakan bagian dari konsep diri (Frey dan Carlock, 1984). Sedangkan,

Coopersmith (dalam Lefrancois, 1986) menyatakan bahwa self-esteem

mengindikasikan kemampuan dimana individu percaya diri mampu,

(28)

penilaian personal terhadap keberhargaan yang diekspresikan dalam sikap

yang dipegang individu terhadap dirinya.

Santrock (1998) menyebutkan bahwa self-esteem adalah dimensi

evaluasi secara keseluruhan mengenai diri. Self-esteem juga mengarah kepada

self-worth atau self-image. Selanjutnya self-esteem dapat diartikan sebagai

penghargaan diri. Penghargaan diri adalah kebutuhan manusiawi dan

mendasar yang berkontribusi penting terhadap proses kehidupan. Proses ini

sangat penting bagi perkembangan yang normal dan sehat karena penghargaan

diri memiliki nilai bertahan hidup. Self-esteem sebagai sebuah aspek

kepribadian berkembang sesuai dengan kualitas interaksi individu dengan

lingkungannya, baik itu yang meningkatkan harga diri maupun yang

menurunkan harga diri (Handayani, dkk, 1998).

Pengalaman-pengalaman yang diterima oleh seorang individu, baik

penolakan atau penerimaan berdampak pada tingkat self-esteem. Dampak dari

pengalaman tersebut kemudian membentuk self-esteem rendah atau

self-esteem tinggi dalam diri seseorang. Self-esteem tinggi terkait dengan

penghargaan diri, penerimaan diri, rasa superior, dan cinta kasih. Self-esteem

rendah seringkali berkaitan dengan perasaaan inferior, malu, benci pada diri

sendiri, dan kurangnya penerimaan diri. Beberapa perilaku erat kaitannya

dengan tingkat self-esteem; sebagai contoh, seseorang dengan self-esteem

(29)

menyimpulkan self-esteem sebagai evaluasi keseluruhan seseorang terhadap

dirinya, termasuk perasaan bahagia dan kepuasan (Harter, 1999).

Hogg (2002) menyatakan self-esteem adalah perasaan dan evaluasi

seseorang mengenai dirinya. Self-esteem adalah penerimaan diri oleh diri

sendiri, berkaitan dengan perasaan pantas, berharga, mampu dan berguna tak

peduli dengan apa pun yang sudah, sedang atau akan terjadi. Tumbuhnya

perasaan „aku mampu‟ dan „aku berharga‟ merupakan inti dari pengertian

self-esteem. Self-esteem merupakan kumpulan dari kepercayaan atau perasaan

tentang diri, persepsi terhadap diri sendiri mengenai motivasi, sikap, perilaku,

dan penyesuaian emosi yang mempengaruhi kita. Dari uraian tersebut dapat

dikemukakan pula bahwa self-esteem berkenaan dengan: (a) kemampuan kita

untuk memahami apa yang dapat kita lakukan dan telah dilakukan, (b)

penetapan tujuan dan arah hidup sendiri, (c) kemampuan untuk tidak merasa

iri terhadap prestasi orang lain.

Branden (2005) menyebutkan self-esteem adalah pengalaman bahwa

kita pantas dengan hidup ini dan pada prasyarat hidup. Prasyarat hidup yang

dimaksud adalah mampu menghargai nilai diri dan arti pentingnya, serta

memiliki karakter yang dapat dipertanggung jawabkan kepada diri sendiri

maupun untuk bertindak secara bertanggung jawab terhadap orang lain.

Secara lebih spesifik, self-esteem adalah (1) keyakinan di dalam kemampuan

individu untuk berfikir dan menghadapi tuntutan hidup; (2) keyakinaan di

(30)

menilai kebutuhan dan keinginan individu serta menikmati buah dari kerja

kerasnya. Definisi dari Branden (2005) tersebut menjadi salah satu definisi

self-esteem yang paling luas dipublikasikan di dalam Toward A State of

Esteem: The Final Report of The California Task Force to Promote Self and

Personal and Social Responsibility: Self-esteem.

Weiten dan Llyod (2006) mengatakan self-esteem mengacu kepada

penilaian keseluruhan seseorang mengenai nilai dirinya sebagai seorang

individu. Christia (2007) mengartikan self-esteem sebagai proses evaluasi

seseorang terhadap kualitas-kualitas dalam dirinya yang terjadi secara terus

menerus. Dalam bidang Psikologi, self-esteem dipandang sebagai “sebuah

perasaan diapresiasi” dan sebuah emosi yang sangat diperlukan bagi individu

untuk beradaptasi di masyarakat dan menghidupi kehidupannya (Hozogi,

Okada, Fujii, Noguchi, dan Watanabe, 2012).

Berdasarkan definisi-definisi di atas, peneliti memilih menggunakan

definisi self-esteem menurut Branden (2005), yaitu self-esteem sebagai

pengalaman bahwa kita pantas dengan hidup ini dan pada prasyarat hidup.

Self-esteem menurut Branden lebih kepada menghargai nilai diri dan arti

pentingnya, serta memiliki karakter yang dapat dipertanggung jawabkan

kepada diri sendiri maupun untuk bertindak secara bertanggung jawab

terhadap orang lain. Secara lebih spesifik, self-esteem adalah: (1) keyakinan

di dalam kemampuan individu untuk berfikir dan menghadapi tuntutan hidup,

(31)

layak, diizinkan, untuk menilai kebutuhan dan keinginan individu serta

menikmati buah dari kerja kerasnya.

Peneliti memilih definisi dari Branden (2005) karena secara teoritis

definisi tersebut sesuai dengan relevansi dari penelitian. Dukungan teoritis

tersebut terlihat dari spesifikasi self-esteem yang dibuat oleh Branden, yaitu:

(1) keyakinan di dalam kemampuan individu untuk berpikir dan menghadapi

tuntutan hidup (keefektifan diri), (2) keyakinan di dalam hak individu untuk

bahagia, perasaan berharga, layak, diizinkan, untuk menilai kebutuhan dan

keinginan individu serta menikmati buah dari kerja kerasnya (self-respect).

2. Aspek-aspek self-esteem

Self-esteem mempunyai dua aspek yang saling berkaitan (Branden,

2005) yakni :

a. Perasaan bahwa diri efektif (keefektifan diri) berarti keyakinan dalam

berfungsinya pemikiran, dalam kemampuan untuk berfikir, dalam proses

dimana individu berfikir, dalam proses dimana individu menilai, memilih,

memutuskan; keyakinan dalam kemampuan untuk memahami fakta-fakta

yang berada dalam batasan-batasan minat dan kebutuhan yang diinginkan,

kepercayaan diri yang kognitif, serta keadaan diri yang kognitif.

b. Menghormati diri (self respect) berarti suatu sikap tegas untuk menuju hak

(32)

pemikiran, keinginan, dan kebutuhan; perasaan bahwa suka cita adalah

warisan yang paling alami.

B. Binge drinking

Definisi binge drinking

Episode eksesif dalam mengonsumsi alkohol saat ini lebih dikenal

sebagai Binge Drinking. Definisi mutlak dari istilah ini sendiri masih samar.

Wechsler, dkk (2000) mendefinisikan binge drinking sebagai sedikitnya satu

episode minum dari lima gelas atau lebih untuk laki-laki dan empat gelas atau

lebih untuk perempuan dalam jangka waktu 2 minggu. Gullette dan Lyons

(2006), menjelaskan binge drinking sebagai meminum tiga gelas atau lebih

minuman beralkohol sekaligus. Di Amerika, binge drinking biasanya

dihubungkan dengan selang waktu dua jam pengonsumsian alkohol.

Dalam bahasa Jerman sinonim dari binge drinking adalah

Rauschtrinken” yang sebenarnya merupakan kombinasi dari perilaku binge

drinking dan kehilangan kendali (Stolle, dkk, 2009). Binge drinking juga

diartikan sebagai perilaku mengonsumsi alkohol yang diidentikkan dengan

meminum empat (untuk perempuan) dan lima (untuk laki-laki) gelas standar

unit alkohol (misal: 0.3 L bir, 0.2 L Wine, atau 0.04 L spirits) dengan tujuan

untuk menjadi mabuk dan dilakukan dalam kurun waktu kurang dari 2 jam

(33)

C. Remaja Rantau 1. Definisi Remaja

Remaja yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari

bahasa Latin adolescere yang artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai

kematangan”. Banyak tokoh yang memberikan definisi tentang remaja, seperti

DeBrun (dalam Rice, 1990) mendefinisikan remaja sebagai periode

pertumbuhan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Monk (Monks

& Knoers, 2002) menerangkan bahwa dalam perkembangan kepribadian

seseorang, remaja mempunyai arti yang khusus, Namun demikian, masa

remaja mempunyai tempat yang tidak jelas dalam rangkaian proses

perkembangan seseorang. Ia tidak termasuk golongan anak, tetapi ia tidak

pula termasuk golongan orang dewasa atau golongan tua. Remaja ada diantara

anak dan orang dewasa. Remaja masih belum mampu untuk menguasai fungsi

fisik maupun psikisnya.

Menurut Rice (dalam Gunarsa, 2004), masa remaja adalah masa

peralihan, ketika individu tumbuh dari masa kanak-kanak menjadi individu

yang memiliki kematangan. Pada masa tersebut, ada dua hal penting yang

menyebabkan remaja melakukan pengendalian diri. Pertama, hal yang bersifat

eksternal, yaitu adanya perubahan lingkungan, dan kedua adalah hal yang

bersifat internal yaitu karakteristik di dalam diri remaja yang membuat remaja

relatif lebih bergejolak dibandingkan dengan masa perkembangan lainnya

(34)

Papalia dan Olds (2001) tidak memberikan pengertian remaja

(adolescent) secara eksplisit melainkan secara implisit melalui pengertian

masa remasa (adolescence). Menurut Papalia dan Olds (2001), masa remaja

adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa

dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir

pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan. Dalam masa transisi ini

terjadi perkembangan-perkembangan dalam diri remaja, yaitu:

a. Perkembangan Fisik

i. Pubertas

Pubertas dipicu oleh perubahan hormon dan terjadi selama empat

tahun. Pubertas umumnya dialami lebih dulu oleh anak perempuan

dibanding pada anak laki-laki, dan berakhir ketika mereka dapat

bereproduksi. Akan tetapi, waktu pubertas pada setiap anak dapat

bervariasi. Pubertas ditandai dengan dua tahap; (1) pengaktifan

kalenjar adrenal dan (2) kematangan organ-organ seks beberapa tahun

berikutnya.

ii. Otak Remaja

Otak remaja belum begitu matang secara keseluruhan yang

mempengaruhi proses kematangan kognitif remaja. Remaja mengolah

informasi dan emosi dengan menggunakan amigdala, sementara orang

(35)

remaja cenderung membuat penalaran akan suatu penilaian dengan

kurang akurat dan mempengaruhi kecenderungan remaja untuk

mengambil risiko.

iii. Kesehatan Mental dan Fisik

Masa remaja sering dikaitkan dengan banyak masalah kesehatan

yang dihubungkan dengan kemiskinan atau gaya hidup. Banyak

remaja tidak terikat dalam aktivitas fisik yang reguler dan ketat, juga

tidak mendapatkan waktu tidur yang cukup karena jadwal sekolah

yang tidak sesuai dengan ritme alami tubuh mereka. Pada anak

perempuan, perhatian terhadap citra tubuh memicu timbulnya

gangguan makan. Tiga hal umum yang menyebabkan gangguan

makan di masa remaja adalah obesitas, anoreksia nervosa, dan bulimia

nervosa.

Selain gangguan makan, remaja juga mulai berkenalan dengan

penggunaan obat-obatan yang seringkali dimulai saat anak-anak

beralih ke sekolah menengah. Ganja, alkohol/miras, dan tembakau

adalah obat-obatan yang populer di kalangan remaja. Prevalensi

depresi juga ikut meningkat, terutama pada anak perempuan. Selain

itu, penyebab utama kematian di antara remaja meliputi kecelakaan

(36)

b. Perkembangan Kognitif

i. Aspek-aspek Kematangan Kognitif

Penelitian telah menemukan adanya perubahan struktur dan fungsi

pengolahan informasi pada remaja. Perubahan struktural meningkat

termasuk peningkatan pengetahuan yang bermakna, prosedural, dan

pengetahuan konseptual serta perluasan kapasitas kerja memori.

Perubahan fungsi meliputi kemajuan dalam penalaran deduktif. Akan

tetapi, ketidakmatangan emosi menuntun remaja yang lebih tua untuk

membuat keputusan ebih buruk dibandingkan anak remaja yang lebih

muda.

ii. Isu-isu Pendidikan dan Pekerjaan

Keyakinan akan kemampuan diri sendiri, praktik pengasuhan,

budaya dan pengaruh sebaya, gender, dan kualitas sekolah berdampak

pada pencapaian pendidikan remaja.

c. Perkembangan Psikososial

i. Pencarian Identitas

Pusat perhatian selama masa remaja adalah pencarian identitas

yang memiliki komponen nilai, seksual, dan pekerjaan. Erik Erikson

menggambarkan konflik psikososial di masa remaja sebagai identitas

melawan kebingungan identitas. James Marcia, dalam penelitiannya

yang didasarkan pada teori Erikson, menggambarkan empat status

(37)

penyebaran identitas. Beberapa peneliti mencoba membedakan apakah

remaja putri dan putra mengambil jalur yang berbeda dalam

membentuk identitas dan memperoleh jawaban bahwa meskipun

beberapa peneliti menyatakan bahwa harga diri remaja putri cenderung

turun di masa remaja, tetapi penelitian terbaru tidak mendukung

adanya penemuan tersebut.

ii. Seksualitas

Aktivitas seksual remaja meliputi risiko kehamilan dan infeksi

menular seksual. Masa remaja merupakan masa ketika terdapat risiko

terbesar bagi yang memulai aktivitas seksual lebih awal, memiliki

lebih dari satu pasangan, dan tidak menggunakan alat kontrasepsi,

serta kurang informasi akan penyakit yang disebabkan oleh hubungan

seksual.

iii. Hubungan dengan Keluarga, Sebaya, dan Kelompok Sosial Orang

Dewasa

Meskipun hubungan antara remaja dan orangtua tidak selalu

mudah, pemberontakan remaja yang berlebihan adalah hal yang luar

biasa. Kebanyakan remaja mengalami masa transisi yang mulus. Akan

tetapi, bagi sebagian remaja hal ini terlihat sebagai sebuah kesulitan

dan dapat memprediksikan mereka masa dewasa yang sulit. Remaja

menghabiskan banyak waktu dengan teman sebayanya, yang

(38)

Konflik dengan orangtua cenderung menjadi besar selama masa

remaja awal dan hubungan dengan saudara cenderung menjadi lebih

berjarak.

Pengaruh kelompok sebaya merupakan faktor kuat di awal masa

remaja. Struktur kelompok sebaya menjadi lebih terelaborasi,

mengikutsertakan geng, dan kerumunan, begitu juga persahabatan.

Persahabatan, terutama di antara remaja putri menjadi lebih intim,

stabil, dan suportif. Selain itu, hubungan romantis memenuhi beragam

kebutuhan dan berkembang sesuai usia dan pengalaman.

iv. Perilaku Antisosial dan Kenakalan Remaja

Kenakalan yang parah umumnya merupakan cabang dari serangan

dini antisosial. Hal ini dihubungkan dengan interaksi yang beragam,

faktor-faktor risiko, termasuk pengasuhan yang tidak efektif,

kegagalan di sekolah, teman sebaya dan pengaruh lingkungan sekitar,

dan rendahnya status sosial ekonomi.

Masa remaja dianggap sebagai masa dimana individu berusaha

menemukan jati diri. Remaja yang berusaha menemukan identitas dirinya

dihadapkan pada situasi yang menuju pada kemampuan untuk menyesuaikan

diri bukan hanya terhadap diri sendiri, namun juga pada lingkungannya,

apalagi para remaja yang ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi

yang berada di luar wilayah asalnya, atau dengan kata lain, disebut sebagai

(39)

2. Definisi Rantau

Definisi merantau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005)

adalah pergi ke daerah lain. Sedangkan, kata perantau disini memiliki makna

seorang individu yang melanjutkan pendidikan di luar daerah asal mereka,

dengan pergi ke daerah lain untuk mencari ilmu (KBBI, 1990).

D. Hubungan Antara Self-esteem dan Perilaku Berisiko Binge-Drinking Pada Remaja Rantau

Remaja adalah usia transisi dimana seorang individu telah meninggalkan usia

kanak-kanak yang lemah dan penuh ketergantungan, akan tetapi belum mampu ke

usia yang kuat dan penuh tanggung jawab, baik terhadap dirinya maupun masyarakat.

Dalam masa transisi atau peralihan ini, remaja akan dihadapkan pada berbagai

macam tugas perkembangan. Salah satu tugas perkembangan remaja menurut

Havighurst (1961) adalah mencapai hubungan yang lebih matang dengan teman

sebaya. Tujuan tugas ini adalah belajar berkembang menjadi orang dewasa diantara

orang dewasa lainnya dan belajar bekerjasama untuk mencapai tujuan kelompok.

Apabila seorang remaja gagal mencapai tugas ini, maka ia akan mengalami kesulitan

dalam hidupnya karena sulit bergaul dengan orang lain. Namun demikian, tidak

sedikit remaja yang berusaha memenuhi kebutuhan akan tugas ini dengan cara yang

(40)

sebaya dan melakukan apa yang dilakukan kelompok tanpa memperhitungkan

dampaknya.

Penelitian sebelumnya menemukan bahwa hubungan interpersonal memiliki

pengaruh penting pada perkembangan self-esteem (Felson, 1989; Harter, 1999; Leary

dan Baumeister, 2000). Hubungan yang mendukung dengan teman dan keluarga juga

mempengaruhi perkembangan self-esteem. Dukungan yang didapatkan dari rekan

sebaya memiliki kaitan dengan peningkatan self-esteem selama masa remaja awal

(Fenzel, 2000; Wade, dkk, 1989). Gullette dan Lyons (2006) menyebutkan murid

dengan self-esteem rendah mengonsumsi lebih banyak alkohol, memiliki lebih

banyak partner seksual, dan berisiko lebih tinggi terjangkit HIV dibandingkan dengan

murid lain. Hal ini mendukung hasil penelitian dari Peterson, Buser, dan Westburg

(2010) yang menyatakan bahwa tingkat self-esteem tinggi diasosiasikan dengan

rendahnya tingkat perilaku berisiko dan sebaliknya, tingkat self-esteem rendah

diasosiasikan dengan tingginya tingkat perilaku berisiko.

Tugas perkembangan selama masa remaja ini mengakibatkan konflik-konflik

yang berkaitan dengan self-esteem remaja sekaligus mendorong mereka untuk mulai

bereksperimen dengan alkohol. Remaja yang mencoba mengonsumsi alkohol

biasanya untuk membantu menyelesaikan beberapa masalah dari tugas perkembangan

mereka. Mengonsumsi alkohol menunjukkan otonomi, “beranjak dewasa”, dan

menyimbolkan sebuah kebebasan karena telah terlepas dari pengawasan orangtua.

Selain itu, alkohol dimaksudkan untuk dapat membantu menemukan solusi dari tugas

(41)

kelompok pertemanan dan memunculkan keberanian untuk mulai melakukan kontak

(termasuk kontak erotis) dengan teman sebaya.

Dalam penelitian ini, subjek yang dipilih adalah remaja rantau. Remaja rantau

berangkat dari daerahnya masing-masing dengan latar belakang dan sudut pandang

yang berbeda mengenai alkohol. Remaja yang berasal dari daerah tertentu bisa jadi

menganggap alkohol sebagai hal yang biasa, akan tetapi tidak dengan remaja yang

tidak berasal dari daerahnya. Hal ini dapat mempengaruhi tingkat konsumsi alkohol

para remaja tersebut. Remaja dengan self-esteem rendah yang berasal dari daerah

yang menganggap alkohol sebagai hal biasa akan cenderung menjadikan alkohol

sebagai alat untuk lari dari masalah. Oleh sebab itu, peneliti membuat penelitian

dengan judul “Hubungan antara Self-esteem dan Perilaku Berisiko Binge Drinking

(42)

E. Kerangka Berpikir

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Hubungan antara Self-esteem dengan Perilaku Berisiko Binge Drinking

Remaja Rantau

Menghadapi tugas-tugas masa perkembangan

Self-esteem rendah Self-esteem tinggi

Lebih terlibat perilaku berisiko

binge drinking

Kurang terlibat perilaku berisiko binge drinking

Ciri-ciri self-esteem rendah:

Tidak percaya diri, mudah terpengaruh, kurang mampu mengekspresikan diri, merasa diri kurang berharga, pesimis.

Ciri-ciri self-esteem tinggi:

(43)

F. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan yang negatif antara

self-esteem dan perilaku berisiko binge drinking pada remaja rantau. Semakin tinggi

tingkat self-esteem, maka semakin rendah risiko perilaku binge drinking. Semakin

(44)

26

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang bertujuan untuk

mengidentifikasi hubungan prediktif dengan menggunakan teknik korelasi atau teknik

statistik yang lebih canggih. Penelitian korelasional melibatkan pengumpulan data

untuk menentukan apakah, dan untuk tingkatan apa, terdapat hubungan antara dua

atau lebih variabel yang dapat dikuantitatifkan. Tingkatan hubungan diungkapkan

sebagai suatu koefisien korelasi (Emzir, 2009).

B. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah :

1. Variabel X : self-esteem

2. Variabel Y : binge drinking

C. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah suatu definisi mengenai variabel yang dirumuskan

berdasarkan karakteristik-karakteristik variabel tersebut yang dapat diamati dan

diukur (Azwar, 2011). Definisi operasional dirumuskan untuk menghindari

kesalahpahaman mengenai data dan untuk menghindari kesesatan alat pengumpulan

(45)

1. Self-esteem

Self-esteem merupakan tingkat evaluasi atau penilaian yang dibuat oleh

seorang individu mengenai dirinya sendiri dan bagaimana ia bertindak.

Pengukuran self-esteem mencakup aspek-aspek self-esteem sebagai berikut:

a. Keefektifan diri (perasaan bahwa diri efektif), yaitu tingkat keyakinan dalam

diri individu mengenai berfungsinya pemikiran, menilai, memilih, dan

memutuskan; keyakinan akan kemampuan untuk memahami fakta-fakta yang

berada dalam batasan-batasan minat dan kebutuhan yang diinginkan,

kepercayaan diri yang kognitif, serta keadaan diri yang kognitif. Individu

dengan self-esteem tinggi memiliki tingkat keyakinan akan fungsi pemikiran

yang juga tinggi. Ia memiliki rasa percaya diri yang tinggi dan mampu

mengetahui batasan-batasan akan kemampuan dirinya.

b. Menghormati diri (self respect), yaitu suatu sikap tegas menuju hak pribadi

untuk hidup dan bahagia; kenyamanan dalam menegaskan pemikiran,

keinginan, dan kebutuhan; perasaan bahwa suka cita adalah warisan yang

paling alami. Individu dengan self-esteem tinggi memiliki ketegasan dalam

menentukan sikap (tidak neko-neko) dan mampu mengembangkan perasaan

(46)

2. Binge drinking

Binge drinking didefinisikan sebagai perilaku mengonsumsi alkohol sebanyak

empat gelas (untuk perempuan) dan lima gelas (untuk laki-laki) dengan standar

unit alkohol (misal: 0.3 L bir, 0.2 L Wine, atau 0.04 L spirits) dengan tujuan

menjadi mabuk (Stolle, dkk, 2009). Secara operasional, seseorang dikatakan

melakukan binge drinking apabila ia melakukan perilaku berlebihan dalam

mengonsumsi alkohol tersebut dalam jangka waktu 2 minggu dengan standar

ukuran 0.3 L bir, 0.2 L Wine, atau 0.04 L spirits dan dilakukan dalam kurun

waktu kurang dari 2 jam (Stolle, dkk, 2009).

Remaja yang melakukan binge drinking seringkali mengendarai motor tanpa

menggunakan helm, mengemudi sambil mabuk, atau menjadi penumpang dari

temannya yang sedang mabuk. Mereka juga cenderung mengabaikan tanggung

jawab, terlibat perkelahian atau adu mulut, bolos sekolah, mengemudi setelah

minum mabuk, memancing perilaku bunuh diri, dan memancing perilaku seksual

berisiko (Miller, dkk, 2006).

D. Subjek Penelitian

Populasi penelitian dapat didefinisikan sebagai “keseluruhan (universum) dari

objek penelitian yang dapat berupa manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, udara,

gejala, nilai, peristiwa, sikap hidup, dan sebagainya. Sehingga objek-objek ini dapat

(47)

sampel adalah sebagian populasi yang diambil dan dipergunakan untuk menentukan

sifat serta ciri yang dikehendaki dari suatu populasi.

Penelitian ini menggunakan teknik nonprobability sampling. Teknik

nonprobability sampling adalah teknik pengambilan sampel dimana setiap anggota

populasi tidak memiliki kesempatan atau peluang yang sama sebagai sampel. Jenis

teknik nonprobability sampling yang dipilih adalah teknik purposive sampling yang

merupakan teknik penentuan sampel dengan pertimbangan khusus sehingga layak

dijadikan sampel. Secara umum, untuk penelitian korelasional jumlah sampel

minimal untuk memperoleh hasil yang baik adalah 30 orang (Basrah, 2010). Sampel

dalam penelitian ini berjumlah 60 orang yang dipilih dengan memperhatikan kriteria

yang telah ditentukan oleh peneliti.

Subjek penelitian adalah para mahasiswa/i yang sedang menempuh

pendidikan pada beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta. Kriteria subjek penelitian

yang dipilih, yaitu:

1. Mahasiswa aktif pada perguruan tinggi di Yogyakarta.

2. Mahasiswa perantau dari luar DIY (dalam Pulau Jawa) dan dari luar Pulau Jawa.

3. Pengalaman merantau minimal 1 tahun.

4. Rentang usia 17 sampai 25 tahun.

5. Pernah mengonsumsi alkohol.

6. Memiliki uang saku per bulan di atas Rp. 1.000.000,-.

Mahasiswa perantau dipilih sebagai subjek dalam penelitian ini karena

(48)

dalam menghadapi perubahan dan tuntutan, seperti lingkungan baru, teman baru,

budaya sosial yang baru, dan nilai-nilai sosial baru. Mereka juga memiliki

kewenangan pribadi dalam mengatur keuangan yang diterima dari orangtua setiap

bulannya. Berdasarkan wawancara peneliti pada beberapa teman mahasiswa rantau,

mereka mengakui bahwa uang saku di atas Rp. 1.000.000,- seringkali berkelebihan

untuk semua keperluan pokok mereka sehingga mereka mempergunakannya untuk

bersenang-senang.

Berdasarkan rentang usia, mahasiswa yang berusia antara 17 hingga 25 tahun

berada di tahap perkembangan peralihan antara masa remaja dan masa dewasa awal

(Papalia, 2008). Tahap ini dianggap sebagai tahap perkembangan dengan banyak

masalah dan tekanan. Berbagai macam perubahan yang menimbulkan tekanan ini

yang membuat mereka rentan terhadap perilaku-perilaku berisiko dan menyebabkan

mereka menjadi akrab dengan minuman beralkohol. Faktor-faktor ini kemudian

menjadi pertimbangan peneliti dalam menentukan kriteria subjek penelitian.

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data 1. Jenis Alat Ukur

Alat ukur penelitian berjenis skala, yaitu skala self-esteem dan skala binge

drinking. Skala self-esteem yang digunakan merupakan adaptasi dari Sorensen

Self-esteem Test (2005) yang terdiri dari 50 buah item untuk mengukur low

self-esteem. Peneliti memilih Sorensen Self-esteem Test karena dianggap

(49)

Branden (2005). Mengingat kebutuhan penelitian ini adalah mengukur

self-esteem secara keseluruhan, baik rendah maupun tinggi, maka peneliti memilih

23 item yang merujuk pada low self-esteem (unfavorable) dan membuat 23

item lainnya yang merujuk pada high self-esteem (favorable). Skala binge

drinking disusun sendiri oleh peneliti didasarkan pada ciri-ciri perilaku binge

drinking yang telah dipaparkan pada definisi operasional (Stolle, dkk, 2009).

Metode pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan metode skala

berupa kuesioner. Metode skala digunakan mengingat data yang ingin diukur

berupa konsep psikologis yang dapat diungkap secara tidak langsung melalui

indikator-indikator perilaku yang diterjemahkan dalam bentuk aitem-aitem

pernyataan (Azwar, 2000). Menurut Hadi (2002), skala psikologis

mendasarkan diri pada laporan-laporan pribadi (self-report). Selain itu, skala

psikologis memiliki kelebihan dengan asumsi sebagai berikut:

1. Subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya.

2. Apa yang dikatakan oleh subjek tentang dirinya kepada peneliti adalah

benar dan dapat dipercaya.

3. Interpretasi subjek tentang pernyataan-pernyataan yang diajukan sama

dengan apa yang dimaksud oleh peneliti.

Metode skala psikologis digunakan dalam penelitian atas dasar

pertimbangan:

1. Metode skala psikologis merupakan metode yang praktis.

(50)

3. Metode skala psikologis merupakan metode yang dapat menghemat

tenaga dan ekonomis.

2. Penentuan Skor

Penelitian ini menggunakan skala Likert yang dikemukakan oleh

Rensis Likert (1932). Supratiknya (2014) menjelaskan bahwa dalam

penskalaan ini subjek diminta untuk menyatakan

kesetujuan-ketidaksetujuannya dalam sebuah kontinum yang terdiri atas lima respon:

“Sangat Setuju”, “Setuju”, “Tidak Tahu”, “Tidak Setuju”, dan “Sangat Tidak

Setuju”. Isi pernyataan dibedakan menjadi dua kategori: (1) pernyataan

favorable, yaitu pernyataan-pernyataan yang jika diiyakan menunjukkan sikap

positif atau suka terhadap objek terkait; dan (2) pernyataan unfavorable, yaitu

pernyataan-pernyataan yang jika diiyakan menunjukkan sikap negatif atau

tidak suka terhadap objek terkait. Jika isi pernyataan bersifat favorable, maka

masing-masing respon diberi skor berturut-turut 5, 4, 3, 2, dan 1. Sebaliknya,

jika isi pernyataan bersifat unfavorable, maka masing-masing respon diberi

skor 1, 2, 3, 4, dan 5.

a. Skala Self-Esteem

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur tingkat self-esteem adalah

skala self-esteem yang diadaptasi dari Sorensen Self-esteem Test (2005).

Sorensen Self-esteem Test terdiri dari 50 buah item untuk mengukur low

(51)

sesuai dengan aspek-aspek self-esteem yang dikemukakan oleh Branden

(2005). Mengingat kebutuhan penelitian ini adalah mengukur self-esteem

secara keseluruhan, baik rendah maupun tinggi, maka peneliti memilih 23

item yang merujuk pada low self-esteem (unfavorable) dan membuat 23 item

lainnya yang merujuk pada high self-esteem (favorable). Total keseluruhan

aitem adalah 46 buah.

Aitem-aitem dalam skala ini penelitian ini disusun dengan empat

pilihan respon, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan

Sangat Tidak Setuju (STS). Empat pilihan respon digunakan untuk

menghindari jawaban netral sehingga subjek lebih objektif dalam memilih

respon. Skala disajikan dalam bentuk pernyataan favorable dan unfavorable.

Skor bergerak dari 1 sampai 4. Bobot penilaian untuk pernyataan favorable,

yaitu: SS = 4, S = 3, TS = 2, STS = 1, sedangkan bobot penilaian untuk

pernyataan unfavorable, yaitu SS = 1, S = 2, TS = 3, dan STS = 4.

Semakin tinggi skor seseorang maka semakin tinggi self-esteemnya.

Sebaliknya, semakin rendah skor seseorang makan semakin rendah

(52)

Tabel 3.1 Blue Print SkalaUji Coba Terpakai Self-esteem

Alat ukur untuk mengukur tingkat perilaku binge drinking adalah

skala binge drinking yang dirancang sendiri oleh peneliti didasarkan pada

ciri-ciri perilaku binge drinking (Stolle, dkk, 2009). Alat ukur ini disajikan dalam

skala Likert dengan tujuan untuk melakukan pengelompokkan perilaku binge

drinking seseorang ke dalam kategori tinggi, sedang, atau rendah.

Aitem-aitem dalam skala ini penelitian ini disusun dengan empat pilihan respon,

yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak

Setuju (STS). Empat pilihan respon digunakan untuk menghindari jawaban

netral sehingga subjek lebih objektif dalam memilih respon. Skor bergerak

dari 1 sampai 4. Total aitem dalam skala ini adalah 14 buah. Dari 14 buah

aitem tersebut, apabila hasil skor total seseorang berada pada rentang 42

sampai 56, maka ia termasuk dalam kategori memiliki perilaku binge drinking

tinggi, skor total 28 sampai 42 termasuk dalam kategori sedang, dan skor 14

(53)

Tabel 3.2 Blue Print SkalaUji Coba Terpakai Binge Drinking

No. Indikator Nomor Item Jumlah

1. Frekuensi konsumsi meningkat terutama

dalam 2 minggu terakhir 1, 11, 13 3

2. Mengonsumsi ≥ 5 gelas alkohol dalam

waktu kurang dari 2 jam. 7, 14 2

3. Mengonsumsi alkohol karena pengaruh

teman. 2, 5, 10, 12 4

4. Mengabaikan tanggung jawab pribadi

maupun sosial. 4, 6 2

5. Sengaja membuat diri menjadi mabuk 3, 8, 9, 3

T O T A L 14

3. Uji Coba Penelitian

Peneliti menggunakan uji coba terpakai. Uji coba terpakai dipilih

karena keterbatasan subjek dan waktu penelitian. Uji coba dilaksanakan pada

tanggal 22 sampai dengan 30 Juni 2015 di Yogyakarta. Subjek merupakan 60

orang mahasiswa perantau dari luar DIY (dalam Pulau Jawa) dan dari luar

Pulau Jawa. Pemilihan subjek didasarkan pada karakteristik yang telah

dijelaskan sebelumnya. Peneliti memutuskan untuk menggunakan uji coba

terpakai karena keterbatasan waktu dan subjek penelitian. Subjek penelitian

yang sebelumnya telah ditargetkan oleh peneliti sedang tidak berada di

Yogyakarta karena waktu penelitian yang bertepatan dengan libur semester

(54)

F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 1. Validitas

Validitas adalah sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur

melakukan fungsi ukurnya. Valid tidaknya suatu alat ukur tergantung pada

mampu tidaknya alat ukur tersebut mencapai tujuan pengukuran yang

dikehendaki dengan tepat (Azwar, 2000). Validitas yang digunakan dalam

penelitian ini adalah validitas isi (content validity). Validitas ini merupakan

validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis

rasional atau lewat professional judgement (Azwar, 2000). Profesional

judgement diperoleh dari dosen pembimbing penelitian ini.

2. Seleksi Item

Seleksi item dilakukan untuk melihat apakah item-item dapat

digunakan sebagai item-item penelitian atau tidak. Seleksi item atau pengujian

item dihitung dengan bantuan SPSS versi 22.0 for Windows dengan melihat

Corrected item-total correlation. Keputusan ditetapkan dengan nilai koefisien

validitas ≥ 0,20 (Azwar, 2009). Apabila terdapat item yang memiliki nilai

koefisien di bawah 0,30 maka item tersebut dinyatakan gugur.

Hasil uji coba skala self-esteem menyatakan bahwa 31 dari 46 aitem

valid dan siap digunakan. Sebanyak 15 item dinyatakan gugur sehingga tidak

disertakan dalam proses analisis data. Rincian item yang valid dan gugur

(55)

Tabel 3.3 Rincian Hasil Perhitungan Item Self-esteem yang Valid dan Gugur

No Aspek Favorable Unfavorable Item Valid Item Gugur

Selain validitas, instrumen juga harus diukur reliabilitasnya. Reliabilitas

adalah konsistensi hasil pengukuran jika prosedur pengetesannya dilakukan secara

berulangkali terhadap suatu populasi individu atau kelompok. Reliabilitas juga dapat

didefinisikan sebagai sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Hasil

pengukuran dapat dipercaya hanya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan

pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama,

selama aspek yang diukur dalam diri subyek memang belum berubah (Azwar 2010:

(56)

Reliabilitas skala self-esteem dan skala binge drinking menggunakan

pendekatan reliabilitas internal consistency (Cronbach’s alpha coefficient) yaitu

dengan cara mencoba alat ukur cukup hanya sekali saja pada sekelompok individu

sebagai subjek dengan tujuan untuk melihat konsistensi di dalam tes itu sendiri.

Teknik ini dipandang ekonomis, praktis, dan berefisiensi tinggi, sehingga hasil

penelitian dapat digeneralisasikan pada populasi (Azwar, 2000).

Pada penelitian ini peneliti menggunakan teknik Alpha Croncbach untuk

mengevaluasi sumber variasi alat tes tunggal (Siregar, 2013). Korelasi Alpha

Cronbach dilakukan dengan bantuan SPSS versi 22.0 for Windows dan menghasilkan

koefisien reliabilitas sebesar 0,868 untuk skala self-esteem dan 0,887 untuk skala

binge drinking. Kedua skala tersebut mempunyai reliabilitas dalam kategori tinggi

dan layak untuk digunakan untuk penelitian. Interpretasi reliabilitas kedua skala

didasarkan pada tabel di bawah ini (Arikunto, 2006).

Tabel 3.4 Interpretasi Reliabilitas

Analisis data untuk melihat hubungan antara self-esteem dan perilaku berisiko

(57)

terdapat perbedaan pada jenis data, yaitu data self-esteem merupakan data interval

sedangkan data binge drinking merupakan data ordinal. Agar kedua kelompok data

dapat dihitung dengan terlebih dahulu disetarakan derajatnya maka digunakan uji

(58)

40

BAB IV

ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada tanggal 22 sampai dengan 30 Juni 2015 di

Yogyakarta. Subjek berjumlah 60 orang mahasiswa perantau dari luar DIY (dalam

Pulau Jawa) dan dari luar Pulau Jawa. Skala disebarkan dengan mendatangi kampus,

kos, asrama mahasiwa, dan rumah kontrakan masing-masing subjek. Jumlah skala

yang disebar adalah 60 eksemplar dan semua skala kembali kepada peneliti.

B. Gambaran Umum Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah mahasiswa perantau berusia 17-25 tahun yang

berasal dari luar DIY (dalam Pulau Jawa) dan dari luar Pulau Jawa dengan

pengalaman merantau minimal satu tahun dan jumlah uang saku per bulan di atas Rp.

1.000.000,-. Subjek diperoleh dengan mendatangi kampus, kos, asrama mahasiwa,

dan rumah kontrakan.

1. Jenis Kelamin

Jenis kelamin subjek penelitian memperoleh gambaran penyebaran subjek sebagai

(59)

Tabel 4.1 Gambaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin N Persentase

Perempuan 22 36,7 %

Laki-laki 38 63,3 %

Total 60 100 %

Tabel 4.1, menunjukkan bahwa jumlah subjek berjenis kelamin perempuan

sebanyak 22 orang (36,7%) dan subjek berjenis kelamin laki-laki sebanyak 38 orang

(63,3%).

2. Usia

Usia subjek penelitian memberikan gambaran penyebaran subjek sebagai berikut:

Tabel 4.2 Gambaran Subjek Berdasarkan Usia

orang (1,7%), 19 tahun sebanyak 5 orang (8,3%), 20 tahun sebanyak 6 orang (10%),

21 tahun sebanyak 20 orang (33,3%), 22 tahun sebanyak 20 orang (33,3%), 23 tahun

sebanyak 6 orang (10%), 24 tahun sebanyak 1 orang (1,7 %, dan 25 tahun sebanyak 1

(60)

3. Tempat Asal

Tempat asal subjek penelitian memperoleh gambaran penyebaran subjek sebagai

berikut:

Tabel 4.3 Gambaran Subjek Berdasarkan Tempat Asal

Tempat Asal N Persentase

Luar DIY (dalam Pulau Jawa) 11 18,3 %

Lama waktu merantau subjek penelitian menggambaran penyebaran sebagai

berikut:

Tabel 4.4 Gambaran Subjek Berdasarkan Lama Merantau

Lama Merantau N Persentase

(61)

Tabel 4.4 memperlihatkan bahwa jumlah subjek yang telah merantau selama 1

tahun sebanyak 4 orang (6,7%), 2 tahun sebanyak 10 orang (16,7%), 3 tahun

sebanyak 9 orang (15%), 4 tahun sebanyak 27 orang (45%), 6 tahun sebanyak 2 orang

(3,3%), 7 tahun sebanyak 3 orang (5%), 8 tahun sebanyak 3 orang (5%), dan 10 tahun

sebanyak 2 orang (3,3%).

5. Frekuensi Mengonsumsi Alkohol

Frekuensi mengonsumsi alkohol subjek penelitian, dibagi ke dalam dua kategori

seperti berikut:

Tabel 4.5 Gambaran Subjek Berdasarkan Frekuensi Mengonsumsi Alkohol

Frekuensi N Persentase

Sering 12 20 %

Kadang-kadang 48 80 %

Total 60 100 %

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa jumlah subjek yang sering mengonsumsi alkohol

sebanyak 12 orang (20%), sedangkan subjek yang hanya sesekali mengonsumsi

alkohol sebanyak 48 orang (80%).

6. Pengalaman Pertama Mengonsumsi Alkohol

Pengalaman pertama mengonsumsi alkohol subjek penelitian memperlihatkan

(62)

Tabel 4.6 Gambaran Subjek Berdasarkan Pengalaman Pertama Minum Alkohol

Pertama Kali N Persentase

SD 4 6,6 %

SMP 7 11,7 %

SMA 28 46,7 %

Kuliah 21 35 %

Total 60 100 %

Tabel 4.6 menunjukkan bahwa jumlah subjek yang pertama kali mengonsumsi

alkohol di Sekolah Dasar (SD) sebanyak 4 orang (6,6%), di Sekolah Menengah

Pertama (SMP) sebanyak 7 orang (11,7%), di Sekolah Menengah Atas (SMA)

sebanyak 28 orang (46,7%), dan di bangku kuliah sebanyak 21 orang (35%).

7. Jumlah Uang Saku Per Bulan

Jumlah uang saku per bulan subjek penelitian memperoleh gambaran penyebaran

sebagai berikut:

Tabel 4.7 Gambaran Subjek Berdasarkan Jumlah Uang Saku Perbulan

Pertama Kali N Persentase

Rp. 1.000.000 – 1.999.999,- 51 85 %

Rp. 2.000.000 – 2.999.999,- 9 15 %

Total 60 100 %

Tabel 4.7 memperlihatkan bahwa jumlah subjek yang memiliki uang saku Rp.

1.000.000 – Rp. 1.999.999,- per bulan sebanyak 51 orang (85%), sedangkan jumlah

subjek yang memiliki uang saku Rp. 2.000.000 – Rp. 2.999.999,- sebanyak 9 orang

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Hubungan antara Self-esteem dengan Perilaku Berisiko Binge Drinking
Tabel 3.1 Blue Print Skala Uji Coba Terpakai Self-esteem
Tabel 3.2 Blue Print Skala Uji Coba Terpakai Binge Drinking
Tabel 3.3 Rincian Hasil Perhitungan Item Self-esteem yang Valid dan Gugur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa penelitian menyatakan bahwa harga diri merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi remaja dalam melakukan perilaku berisiko terhadap kesehatan, namun

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara perilaku bullying pada remaja dengan self esteem, serta untuk mengetahui perbedaan perilaku bullying ditinjau dari

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa: (1) Ada hubungan yang sangat signifikan antara kemampuan berempati dan self esteem

Penelitian ini memberikan informasi dan gamabaran tentang hubungan antara kemampuan berempati dan self esteem dengan perilaku prososial, sehingga diharapkan sekolah dapat

Penelitian ini bertujuan untuk untuk menguji adanya hubungan antara self-esteem dengan perilaku seksual pada remaja awal.Subjek dalam penelitian ini adalah siswa SMPN

Remaja putri yang memiliki self-esteem rendah akan merasa tidak puas dengan penampilan fisik mereka dan meningkatkan body image negatif yang berarti mereka mengalami distorsi body

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh korelasi dengan nilai sebesar rs = - 0,417 maka terdapat hubungan yang negatif antara Self Esteem dengan compulsive

Paxton 2006 menjelaskan jika seorang remaja perempuan mempunyai self esteem yang rendah, ia akan mempunyai penilaian diri yang negatif, yang akan mengarah pada penilaian negatif