• Tidak ada hasil yang ditemukan

shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat. Jika shalat telah tiba, hendaklah salah seorang di antara kalian melakukan adzan dan yang paling dewasa dari kalian menjadi imam.”201

Untuk pembelajar yang menetap cukup lama di antaranya adalah Abu Hurairah r.a. Beliau menceritakan:

لا هَّ ا ِ هَّ ا{وهُلْتَي ه ُثُ اًثيِدَح ُتْثهدَح اَم ِ هللَّا ِباَتِك ِفِ َِّ اَتَييأ َلا ْوَلَو َةَرْيَرُه وُبَأ َ َثَْكَأ ََّ وُلوُقَي َساهن ِ

هَهُمْلا ْنهِم اهَنَناَوْخ ا هَّ ِ ا }ُيمِحهرلا ِ ِلَ ْوَق َلَ ِ ا ى َدُهْلاَو ِتاَنِ يَبْلا ْنِم اَنْلَزْكَأ اَم ََّ وُمُبَْْي َنيِ هلَّا ِ

ِر ِجا

Penuturan Abu Hurairah di atas tentang Muhajirin dan Anshar, tidak berarti bahwa mayoritas mereka abai dari kegiatan pendidikan. Abu Hurairah sebatas menyatakan bahwa Beliau fokusnya hanya pada pendidikan, sementara yang lain berbagi dengan kesibukan berdagang, bertani, dan berkebun. Meski demikian para shahabat Muhajirin Anshar tetap mementingkan pendidikan di masjid tersebut. Bahkan meski jauh dan sangat sibuk mereka tetap menyisihkan waktu untuk datang ke masjid mengikuti kegiatan pendidikan. ‘Umar ibn al-Khaththab ra adalah salah satunya:

اههنُكَو ِةهَنيِدَمْلا ِ اَوهَع ْنهِم َ ِ َو ٍّدهْيَ ِنهْب َةههيَمُأ ِنِهَب ِفِ ِراه َصْنَ ْلا ْنهِم ِ ٌراهَجَو َ َأ ُتهْنُك ِ هللَّا ِلو ُسَر َلىَع َلوُ ُنْلا ُبَواَنَتَن ِج ُتهْلَزَك اَذ اَف اًمْوَي ُلِزْكَأَو اًمْوَي ُلِ ْنَْي ِ ﷺ

َ ِ لَِذ ِ َبُهَ ِخ ُههُتْئ

َ ِ لَِذ َلْثِم َلَعَف َلَزَك اَذ

ِ اَو ِهِ ْيرَغَو ِ ْحَْوْلا ْنِم ِمْوَيْلا

Artinya: Aku dan tetanggaku dari Anshar tinggal di desa Bani Umayyah bin Zaid di pinggiran kota Madinah. Kami saling bergantian datang kepada Rasul saw. Hari ini ia yang datang, dan di hari lainnya aku yang datang. Jika giliranku yang datang kepada Nabi saw, aku akan menemui langsung tetanggaku pada hari itu juga untuk menyampaikan wahyu atau ilmu lainnya. Jika giliran ia yang datang kepada Nabi SAW, ia pun akan berbuat yang sama kepadaku203.

Dengan demikian akan terlihat hidupnya sunnah-sunnah Islam, melaksanakan hukum-hukum Allah dan menghindari stratifikasi status sosial-ekonomi dalam pendidikan. Menurut al- Nahlawy204, bahwa manfaat dan fungsi masjid sebagai lembaga pendidikan Islam, antara lain:

1. Mendidik anak untuk tetap beribadah kepada Allah SWT;

203 Lihat S{ah}i>h} al-Bukha>ri, Kitab: al-‘Ilm, Bab: at-Tanawu’ fi> al-‘ilm, No. 89.

204 An-Nah}lawi>, Usu>l at-Tarbiyyah al-Isla>miyyah waAsa>libuha, (Beirut:

Da>r al-Fikr, 1979), hlm. 120.

2. Menanamkan rasa cinta kepada ilmu pengetahuan dan menanamkan solidaritas sosial, serta menyadarkan hak-hak dan kewajibankewajibannya sebagai insan pribadi, sosial dan warga Negara; dan

3. Memberi rasa ketenteraman, kekuatan, dan kemakmuran potensi-potensi rohani manusia melalui pendidikan kesabaran, perenungan, optimisme dan mengadakan penelitian.

Fungsi Masjid sebagai pusat pendidikan dan pengajaran umat Islam terus berlangsung semenjak masa Rasulullah SAW, Khulafaur Rosyidin dan kholifah-kholifah sesudahnya. Baru pada tahun 459 H,205 mulailah terjadi pergeseran, yaitu dengan didirikannya madrasah yang pertama di kota Baghdad. Semenjak tahun itu, mulailah bermunculan secara besar-besaran serangkaian sekolah-sekolah (madrasah-madrasah) yang didirikan oleh Nizamul Muluk, seorang mentri yang terkenal dari Bani Saljuk.

Tatkala madrasah-madrasah ini didirikan dan guru-guru serta murid-murid telah mendapatkan kesempatan yang lebih luas, maka masjid yang sebelumnya menjadi pusat pendidikan dan pembelajaran pun mulai berkurang kesemarakannya.

Apa sebab pembelajaran berpindah dari masjid-masjid ke madrasah-madrasah Ahmad Syalabi,206 menjawab adanya dua faktor, yaitu:

1. Khalaqah-khalaqah (lingkaran) untuk mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan, yang didalamnya juga terjadi diskusi dan perdebatan yang ramai, sering satu sama lain saling mengganggu, disamping sering pula mengganggu orang-orang yang beribadah dalam masjid. Keadaan demikian, mendorong untuk dipindahkannya khalaqah-khalaqah tersebut keluar lingkungan masjid, dan didirikanlah bangunan-bangunan sebagai ruang-ruang kuliah atau kelas-kelas yang tersendiri. Dengan demikian kegiatan pengajaran

205 Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 32.

206 Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam. hlm. 106.

dari khalaqah-khalaqah tersebut tidak saling mengganggu satu sama lain.

2. Dengan berkembang luasnya ilmu pengetahuan, baik mengenai agama maupun umum maka diperlukan semakin banyak khalaqah-khalaqah (lingkaran-lingkaran pengajaran), yang tidak mungkin keseluruhan tertampung dalam ruang masjid.

Disamping itu, menurut Zuhairini,207 terdapat faktor-faktor lainnya yang mendorong bagi para penguasa dan pemegang pemerintahan pada masa itu untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai bangunan-bangunan yang terpisah dari Masjid.208 Antara lain adalah:

1. Pada masa bangsa Turki mulai berpengaruh dalam pemerintahan Bani Abbasiyah dan untuk mempertahankan kedudukan mereka dalam pemerintahan, mereka berusaha untuk menarik hati kaum muslimin pada umumnya dengan jalan memperhatikan pendidikan dan pengajaran bagi rakyat umum. Mereka berusaha untuk mendirikan sekolah-sekolah di berbagai tempat dan dilengkapi dengan segala sarana dan fasilitas yang diperlukan. Guru-guru digaji secara khusus untuk mengajar di sekolah-sekolah yang mereka dirikan.

2. Mereka mendirikan sekolah-sekolah tersebut, di samping dengan harapan untuk mendapatkan simpati dari rakyat umumnya, juga berharap mendapatkan ampunan dan pahala dari Tuhan.

3. Para pembesar negara pada masa itu, dengan kekayaan mereka yang luar biasa, banyak yang hidup dalam kemewahan dan sering pula berbuat maksiat. Dengan mendirikan sekolah-sekolah dan membiayainya secukupnya, berarti mereka telah mewakafkan dan membelanjakan harta bendanya di jalan Allah. Mereka berharap hal yang demikian dapat menjadi penebus dosa dan maksiat yang telah mereka

207 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hlm.

100-102.

208 Dep. Agama DIY, Pedoman Pemberdayaan Masjid, (Yogyakarta: Proyek Dep. Agama, 2003), hlm 23.

kerjakan. Kalau para ulama dan para ahli berbagai ilmu pengetahuan banyak berbuat amal saleh dengan keahlian mereka masing-masing, maka mereka pun ingin berbuat yang serupa sebagai imbangannya.

4. Para pembesar negara pada masa itu dengan kekuasaannya, telah berhasil mengumpulkan harta kekayaan yang banyak.

Mereka khawatir kalau nantinya kekayaan tersebut tidak bisa diwariskan kepada anak-anaknya, karena diambil oleh sultan.

Anak-anak mereka akan menjadi terlantar dan hidup dalam kemiskinan.

Untuk menghindari hal tersebut, mereka mendirikan madrasah-madrasah yang dilengkapi dengan asrama-asrama, dan dijadikan sebagai wakaf keluarga. Anak-anak dan kaum keluargalah yang berhak mengurus harta kekayaan wakaf tersebut, sehingga kehidupan mereka dengan demikian akan tetap terjamin.

Di samping itu, didirikannya Madrasah-madrasah tersebut ada hubungannya dengan usaha untuk mempertahankan dan mengembangkan aliran keagamaan dari para pembesar negara yang bersangkutan. Dalam mendirikan sekolah ini, mereka mempersyaratkan harus diajarkan aliran keagamaan tertentu, dan dengan demikian aliran keagamaan tersebut akan berkembang dalam masyarakat.

Dalam pada itu, Ahmad Syalabi209 menambahkan bahwa menurut Von Kremer ada sekumpulan manusia yang mempergunakan bagian terbesar dari waktunya untuk mengajar.

Dan untuk nafkah hidupnya sehari-hari mereka mencoba mengerjakan perusahaan-perusahaan yang ringan-ringan di samping mengajar itu. Akan tetapi, mereka tidak berhasil untuk mencapai taraf kehidupan yang selaras, karena itu tidak dapat/tidak perlulah sekolah didirikan, karena sekolah-sekolah itulah yang akan menjamin bagi mereka penghasilan yang mencukupi keperluan-keperluan hidup mereka sehari-hari.

Walau bagaimanapun motivasinya, yang jelas bahwa dengan berkembangnya Madrasah-madrasah di seluruh dunia

209 Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam. hlm. 07.

Islam kaum muslimin telah mendapat kesempatan yang luas untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Namun seiring dengan itu, keberadaan masjid yang dulunya semarak dengan berbagai aktivitas, menjadi semakin sepi. Bahkan dalam banyak daerah, fungsi masjid pun tinggal sebagai tempat menunaikan ibadah sholat semata.

E. KESIMPULAN

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa lingkungan pendidikan sangat berperan dalam penyelenggaraan pendidikan Islam, sebab lingkungan yang juga dikenal dengan institusi itu merupakan tempat terjadinya proses pendidikan. Secara umum lingkungan tersebut dapat dilihat dari tiga hal, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Keluarga yang ideal dalam perspektif Islam adalah keluarga yang saki>nah, mawaddah dan rah}mah. Profil keluarga semacam ini sangat diperlukan pembentukannya sehingga Ia mampu mendidik anak-anaknya sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Kemudian orang tua harus menyadari pentingnya sekolah dalam mendidik anaknya secara profesional sehingga orang tua harus memilih pula sekolah yang baik dan turut berpartisipasi dalam peningkatan sekolah tersebut.

Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci dan mempunyai potensi untuk berbuat baik dan buruk. Maka dari itu dalam perkembangan anak haruslah di didik dengan baik agar menjadi anak yang dibanggakan. Orang tua mempunyai pengaruh yang besar dalam pendidikan anak. Anak sejak lahir sudah membawa fitrah Islam sempurna bagaikan anak binatang yang lahir dari induknya secara sempurna tidak ada kekurangan sedikitpun.

Sementara sekolah atau madrasah juga berperan penting dalam proses pendidikan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal yang pada hakikatnya sebagai institusi yang menyandang amanah dari orang tua dan masyarakat, harus menyelenggarakan pendidikan yang profersional sesuai dengan prinsip-prinsip dan karakteristik pendidikan Islam. Sekolah harus mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan dan keahlian bagi peserta didiknya sesuai dengan kemampuan peserta didik itu sendiri.

Begitu pula Masyarakat, dituntut perannya dalam menciptakan tatanan masyarakat yang nyaman dan peduli terhadap pendidikan.

Masyarakat diharapkan terlibat aktif dalam peningkatan kualitas pendidikan yang ada di sekitarnya. Selanjutnya, ketiga lingkungan pendidikan tersebut harus saling bekerja sama secara harmonis sehingga terbentuklah pendidikan terpadu yang diikat dengan ajaran Islam. Dengan keterpaduan seperti itu, diharapkan amar ma‘ru>f nahi munkar dalam komunitas masyarakat tersebut dapat ditegakkan sehingga terwujudlah masyarakat yang diberkahi dan tatanan masyarakat yang baldatun tayyibatun wa rabbun gafūr.

Pada masa Nabi SAW, Masjid dijadikan sebagai tempat melayani urusan keagamaan dan keduniawian secara seimbang. Hal itu terealisasi dalam bentuk pemeliharaan beliau terhadap kesucian dan kemuliaan masjid, dan juga menjadikan masjid itu sebagai tempat berkembangnya kegiatan-kegiatan dan gerakan-gerakan untuk melayani kepentingan umum dalam berbagai bentuknya, termasuk sebagai pusat pendidikan, pengajaran dan memberi fatwa.

A. PENDAHULUAN

Dalam Undang-undang Sisdiknas No. 20, Tahun 2003, dijelaskan bahwa pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyasuwara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lainnya yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan.210 Sedangkan dalam Islam berdasar pada Hadis-Hadis Rasulullah SAW, terdapat sejumlah istilah yang digunakan untuk menyebut pendidik, yaitu Murabbi, Mu‘allim, Mu’addib, Mudarris, Mursyid, Mutli dan Muzakki.

Murabbi, merupakan bentuk sigat al-ism al-fā‘il yang berakar dari kata rabā-yarbū, yang artinya zat dan nama (bertambah dan bertumbuh).211 Mu‘allim adalah orang yang memiliki kemampuan unggul dibandingkan dengan peserta didik, yang dengannya ia dipercaya menghantarkan peserta didik ke arah kesempurnaan dan kemandirian. Mu’addib, merupakan bentuk mas}dar dari kata addaba yang berarti memberi adab.212 Mudarris, yaitu sigat al-ism al-fā‘il dari fi‘il al-mād}i –darrasa-. Darrasa artinya mengajar, sementara mudarris artinya guru, pengajar.

Mursyid, memiliki persamaan makna dengan kata al-dalīl dan mu‘allim, yang artinya petunjuk, pemimpin, pengajar, dan intruksi.

Mutlī, merupakan bentuk al-isim fā’il dari thalla artinya membaca, sementara mutlī artinya pembaca atau orang yang membaca.

210 Lihat Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab 1, Pasal 1, poin 6.

211 Ibn Manzur, Lisa>n al-‘Arab, jilid IX (Berut-Libnan: Da>r Tatsi

al-‘Arabi, 711 H).

212 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990), hlm.37.

5 PENDIDIK DALAM HADITS

Muzakki, berasal dari fi‘il al-mād}i empat huruf, yaitu zakkā yang artinya namā dan zāda yakni berkembang, tumbuh, dan bertambah.

Beberapa sebutan terhadap pendidik dalam Hadis tersebut merupakan penamaan yang menunjukkan identitas dan tugas sebagai pendidik dalam kaidah Arab menyebutkan “Al-Ism Yadullu ‘Alā al-Musammāh” (penamaan menunjukkan sebuah identitas), artinya kalau dideskripsikan dan dijabarkan tugas sebagai pendidik maka akan tetap kemabali pada nama-nama tersebut sesuai makna yang terkandung di dalammnya. Namun intinya pendidik adalah seseorang yang mempersiapkan sumber daya manusia untuk mengaktifkan segala potensi peserta didik untuk menjadi manusia paripurna dan ahsani taqwi>m. Sedangkan dalam konteks berbangsa dan bernegara guru merupakan penyedia generasi yang berkualitas untuk menyongsong pembangunan bangsa dalam mengisi kemerdekaan.213 Pendidik mempersiapkan generasi masa depan dimulai dari mempersiapkan pembelajaran bagi peserta didiknya di kelas.

Sehingga tidak salah jika menempatkan guru (pendidik) sebagai salah satu kunci pembangunan bangsa menjadi bangsa yang maju dan beradab.214

Umumnya guru memegang peranan yang penting dalam proses belajar-mengajar. Di pundaknya terpikul tanggungjawab utama keefektifan seluruh usaha pendidikan persekolahan.215 Guru yang salah memahami profesinya, maka bergeserlah fungsi guru secara perlahan-lahan. Pergeseran ini menyebabkan dua pihak yang tadinya saling membutuhkan, yakni guru dan murid, menjadi tidak lagi sambung. Ketidak sambungan ini melahirkan suasana yang memberatkan dan membosankan dalam proses belajar mengajar,

213 Seorang guru yang mengajar karena panggilan jiwa serta memiliki misi untuk mengantarkan muridnya kepada kehidupan yang lebih baik secara intelektual dan sosial, akan bisa mengalirkan energi kecerdasan, kemanusiaan, kemuliaan, dan keislaman yang besar dalam benak hati muridnya. Lihat Mohammad Fauzil Adhim, dalam buku pengantar Abdullah Munir, Spiritual Teaching, Pustaka Insani Madani, Yogyakarta, Cet-III, 2007, hlm. x

214 Indra Djati Sidji, Club Guru dan Mutu Fenddikan, www.dubguru.com Jakarta, Sabtu, 15 Agustus 2010, hlm. 3

215 Suparta, Herry Noer AJy, Metodolog Fengajaran AgamaIslam, Cet-II (Jakarta: Amiscsco, 2003), hlm. 115.

sehingga sekolah terjauhkan dari suasana yang membahagiakan. Dari sinilah konflik demi konflik muncul dengan berbagai ukuran berat-ringannya, membuat pihak- pihak yang ada di dalamnya gampang frustasi, lantas dengan enteng melampiaskan kegaduhan dengan cara-cara tidak benar.216

Untuk menghidari konflik guru dan siswa sebagaimana yang sering terjadi akhir-akhir ini, maka guru sebagai pendidik harus menggali kembali nilai-nilai Islam sebagai pijakan dalam menjalankan amanah. Karena guru utama yang menjadi panutan umat adalah Rasulullah SAW. Beliau mengemban misi mulia dari Allah SWT yang tercermin dalam al-Qur'an surat al-Jum’ah ayat 2:

َ وُه

َٱ