• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKETSA BIOGRAFI AL- MUNÂWȊ DAN KARYANYA FAY Ḍ AL- QADȊR

A. Corak Interpretasi Ishârȋ al- Munâw dalam Fay ḍ al- Qadȋr

2. Ḥad th anjuran membersihkan halaman rumah

maupun tidak langsung. Namun demikian, untuk mengetahui originalitas ide yang dikemukakannya, perlu dikaji lebih mendalam terkait apakah pemaknaan ishârȋ

tersebut asli berasal darinya, ataukah bersumber dari orang lain.

Dalam pembacaan penulis, jauh sebelum al-Munâwȋ mengungkapkan

interpretasi ishârȋ tersebut dalam karyanya, al- ȋbȋ telah terlebih dahulu

menyinggung tentang hal tersebut. Dalam karyanya, al-Kâshif ‘an Haqâiq al-Sunan, ketika mengulas adȋth tentang husn al-zann, al- ȋbȋ menyatakan bahwa

berbaik sangka kepada orang lain adalah termasuk interaksi yang baik (husn al-mu‛âsharah) dengan sesama. Prasangka baik tumbuh dari kebaikan kualitas ibadah kepada Allâh Swt., dimana dalam hal ini juga didasari oleh adȋth م م لا هدي ه ا ل م لا م س.53

Dengan demikian, meskipun belum bisa dipastikan bahwa al-Munâwȋ

mengutip al- ȋbȋ dalam hal ini karena tidak adanya ungkapan pengutipan yang mengemukakan itu, ide dasar yang diungkapkan keduanya serupa. Selain itu, banyaknya kutipan al-Munâwȋ dari al- ȋbȋ dalam kitabnya, baik langsung maupun

tidak, dalam berbagai tema adȋth yang diulasnya, memunculkan dugaan keras bahwa bukan tidak mungkin dalam hal ini al-Munâwȋ pun terpengaruh oleh al

-ȋbȋ.

2. Ḥad th anjuran membersihkan halaman rumah

Rasulullah Saw. bersabda:

53

Al-Husayn bin شAbd Allâh al- ȋbȋ, al-Kâshif ‘an Haqâiq al-Sunan, Editor: شAbd al-Hamid Handawi (Riyad: Maktabah Nizar Mustafa al-Baz, 1997), cet. I, 10/3219-3220.

Bersihkanlah halaman rumah kalian. Sungguh kaum Yahudi tidak membersihkan halaman mereka.54

Al-Suyȗṭȋ menyimbolkan adȋth ini diriwayatkan oleh Al- abrânȋ dalam

al-Mu‛jam al-Awsaṭ (س ).55

Ḥadȋth ini memiliki sejumlah mutâbi‛, antara lain diriwayatkan oleh al- Ibn Ḥajar al-شAsqalânȋ,56Dawlabȋ,57

al-Burjulânȋ,58

dan lain-lain.

Ḥadȋth ini juga memiliki sejumlah shâhid, antara lain diriwayatkan oleh al-Tirmidhȋ,59

al-Bazzâr,60 Ibn al-Athȋr,61 dari Sa‛ȋd bin al-Musayyib. Dan lain-lain.

Tentang kualitas adȋth tersebut, Al-Suyȗṭȋ menyimbolkannya ḍa‛ȋf ( ).62 Sementara al-Munâwȋ sendiri menyimpulkan kualitas sanadnya aḥȋḥ63

meskipun sebelumya mengecualikan guru Al- abrânȋ dari rangkaian para perawi aḥȋḥ.64 Sementara al-Albânȋ menilainya hasan.65

54

Al-Suyȗṭȋ, al-Jâmi‛ al-Saghȋr fi Aḥâdȋth al-Bashȋr al-Ẓadhȋr, 2/326. 55

Ibid., 2/326. Al- abrânȋ mengatakan bahwa hanya Ibrahim yang meriwayatkan adȋth ini melalui jalur al-Zuhri, dan hanya Abȗ Dâwȗd (al- ayâlisȋ) yang meriwayatkannya dari Ibrahim. Zayd bin Akhzam meriwayatkannya seorang diri (tafarrud). Lihat: Al- abrânȋ, al-Mu‛jam al -Awsaṭ, no. 4057, 4/231.

56

Al-شAsqalânȋ, al-Maṭâlib al-‘Ȃliyah bi Zawâid al-Masânȋd al-Thamâniyyah (Saudi Arabia: Dâr al-شȂimah, 1419), cet. I, no. 2207, 10/270.

57

Mu ammad bin A mad Dawlabȋ, al-Kunâ wa al-Asmâ’, Editor: Nazar Mu ammad al-Faryabȋ (Beirut: Dâr Ibn Ḥazm, 2000), cet. I, no. 1203, 2/684.

58Abȗ Ja‛far Mu ammad bin al-Husayn al-Burjulânȋ, al-Karam wa al-Jȗd wa Sakhâ’ al-Ẓufȗs, Editor: شAmir Hasan Ba rȋ (Beirut: Dâr Ibn Hazm, 1412), cet. II, no. 12, 35.

59

Al-Tirmidhȋ menilai adȋth yang diriwayatkannya itu gharȋb dan salah seorang perawinya yang bernama Khâlid bin Ilyâs dinilai ḍa‛ȋf. Lihat: Al-Tirmidhȋ, Sunan al-Tirmidhȋ, no. 2799, 4/409. 60

Al-Bazzâr mengaku bahwa hanya rangkaian sanad yang diriwayatkannya itulah yang bersambung kepada Sa’d. Lihat: Al-Bazzâr, Musnad al-Bazzâr, no. 1114, 3/320.

61

Ibn al-Athȋr al-Jazarȋ, Jami’ al-U ȗl fȋ Aḥadȋth al-Rasȗl, Editor: شAbd al-Qâdir al-Arnaȗṭ (Damaskus: Maktabat al-Halwânȋ, tth), cet. I, no. 2914, 4/766.

62

Al-Suyȗṭȋ, al-Jâmi‛ al-Saghȋr fi Aḥâdȋth al-Bashȋr al-Ẓadhȋr, 2/326. 63

Al-Munâwȋ, al-Taysȋr bi Sharḥ al-Jâmi‛ al-Saghȋr, 2/116. 64

Al-Munâwȋ, Fayḍ al-Qadȋr, 4/271. 65

Mu ammad Nâ ir al-Dȋn al-Albânȋ, aḥȋḥ al-Jâmi‛ al-Saghȋr wa Ziyadâtuh (Beirut: al-Maktab al-Islami, tth), ttc., no. 3934, 2/730.

Ḥadȋth di atas merupakan salah satu adȋth yang menganjurkan kebersihan dalam Islam. Karena Allâh Maha Bersih dan menyukai kebersihan, maka diperintahkan untuk membersihkan apapun yang mungkin untuk dibersihkan, termasuk halaman rumah. Halaman rumah yang bersih akan mengundang tamu untuk berkunjung dan membuat mereka betah.66 Dalam adȋth ini juga ditegaskan untuk mengambil sikap berbeda dengan kaum Yahudi67 yang kurang memperhatikan kebersihan dan kesucian, enggan memakai wangi-wangian, kikir dan berbuat hal yang tidak terhormat.68

Lebih jauh daripada pemaknaan zahir di atas, al-Munâwȋ mengungkapkan

makna lain di balik itu, sebagaimana berikut:

(Bersihkanlah halaman rumah kalian. Sungguh kaum Yahudi tidak membersihkan halaman mereka). “Afniyahس adalah bentuk plural dari “fina’

yaitu halaman yang menghampar di depan rumah. Melalui perintah untuk membersihkan halaman-zahir itu, Nabi mengingatkan untuk membersihkan halaman-batin, yakni hati dan ruh.69

Di tempat berbeda, ketika mengulas hadih lain yang semakna, al-Munâwȋ berujar bahwa, “ini merupakan peringatan dari Nabi Saw. untuk memperhatikan

kebersihan lahir dan batin.س70

Apa yang dikemukakan al-Munâwȋ di atas adalah interpretasi ishârȋ.

Al-Munâwȋ menguak makna tersirat di balik kata “afniyah” (halaman-halaman

66

Al- ȋbȋ memaknai “halamanس yang membentang-lapang di depan rumah sebagai ungkapan kiasan yang menunjukkan kemurahan dan kedermawanan. Artinya, jika halaman rumah luas dan bersih, maka akan lebih mengundang tamu untuk berkunjung. Lihat: Al-Qârȋ, Mirqât al-Mafâtȋḥ

Sharḥ Mishkât al-Ma âbȋḥ, 7/2846. 67

Al-Munâwȋ, al-Taysȋr bi Sharḥ al-Jâmi‛ al-Saghȋr, 2/116. 68

Al-Qârȋ, Mirqât al-Mafâtȋḥ Sharḥ Mishkât al-Ma âbȋḥ, 7/2846. 69

Al-Munâwȋ, Fayḍ al-Qadȋr, 4/271. 70

rumah) yang tersurat dalam adȋth sehingga berali dari makna denotatif kepada makna konotatif. Untuk lebih jelasnya, bisa dilihat melalui tiga unsur interpretasi

ishârȋ berikut:

Denotasi (Mushȋr) Konotasi (Mushâr Ilayh) Relasi

Nabi memerintahkan

untuk membersihkan

halaman-halaman rumah.

Nabi memerintahkan untuk membersihkan hati dan ruh.

Keduanya berelasi

dalam hal

“pembersihan/ penyucianس.

Sementara itu,interpretasi ishârȋ di atas tampak valid dengan terpenuhinya semua kriteria validitasnya, sebagaimana pada tabel berikut:

No Kriteria Validitas Keterangan

1 Didukung oleh dalil syariat yang lain dan

tidak bertentangan dengan salah satu

na -nya

 Ada dalil shar‛ȋ lain yang

memerintahkan pembersihan/penyucian jiwa; hati dan ruh.71 Sebaliknya, tidak ada na yang bertentangan dengannya.

2 Selaras dengan

redaksi dan denotasi

 Keselarasan ini tampak dengan adanya

relasi yang mengikat antara mushȋr

(denotasi) dan mushâr ilayh (konotasi).

3 Tidak diklaim

sebagai satu-satunya yang dimaksud oleh

adȋth

 Tidak ada pernyataan bahwa hanya

makna konotatif itu yang dimaksudkan oleh adȋth dengan mengenyahkan

makna denotatifnya.

4 Tidak ambigu  Bukan shaṭahât.

Al-Munâwȋ mengungkapkan interpretasi ishârȋ di atas setelah terlebih dahulu mengungkapkan makna zahirnya. Mula-mula ia menjelaskan tentang

“afniyah” sebagai bentuk jamak dari “finâ’” yang berarti “halaman yang menghampar di depan rumahس (al-muttasi‛ amâm al-dâr). Setelah itu barulah ia mengungkapkan interpretasi ishârȋ-nya. Kedua interpretasi tersebut terbedakan

71

secara gamblang oleh pernyataannya yang membagi afniyah menjadi dua, zahir dan batin. Jika afniyah dalam arti halaman yang menghampar di depan rumah ditegaskannya sebagai zahir (denotatif), afniyah dalam arti hati dan ruh dinyatakannya sebagai batin (konotatif). Menurutnya, penyucian hati dan ruh ini (afniyah bâṭinah) diingatkan oleh Nabi secara tersirat melalui perintahnya untuk menyucikan halaman rumah (afniyah ẓâhirah).

Secara penulisan, interpretasi ishârȋ tersebut ditulis langsung sejurus setelah menyebutkan matan adȋth yang tertulis dalam kurung. Itu menunjukkan bahwa al-Munâwȋ memposisikan pemaknaan batin tersebut sebagai bagian dari

ulasan utama atas adȋth, bukan sekedar pelengkap dan tambahan informasi.

Memang, al-Munâwȋ mengungkapkan interpretasi tersebut secara mandiri;

tidak mengutip dari orang lain baik langsung maupun tidak langsung. Namun demikian, untuk mengetahui sejauh mana originalitas pemikiran dalam interpretasi ishârȋ yang diungkapkannya itu masih perlu didalami dengan merujuk pada sumber-sumber yang lebih lama. Sejauh pembacaan penulis, dalam interpretasinya ini, al-Munâwȋ terpengaruh oleh pemikiran tokoh sebelumnya,

dalam hal ini adalah al-Qȗnawȋ. Tidak terlalu sulit untuk melacaknya, sebab pada bagian berikutnya, di bawah tanbȋh, al-Munâwȋ melakukan penjabaran lebih luas

atas interpretasi ishârȋ yang diungkapkannya dengan mengutip al-Qȗnawȋ.72

Dan, nyatanya dalam Fayḍ al-Qadȋr al-Munâwȋ cukup banyak mengutip al-Qȗnawȋ.

Tidak kurang dari 34 kali al-Munâwȋ melakukan pengutipan langsung darinya.

Jadi terang bahwa dalam hal ini al-Munâwȋ terpengaruh dengan pemikiran sufistik

72

al-Qȗnawȋ terkait pembersihan/penyucian jiwa dalam menginterpretasikan adȋth

di atas.