• Tidak ada hasil yang ditemukan

Validitas Interpretasi Ishârȋ atas Ḥad th Nabi

GAMBARAN UMUM INTERPRETASI ISHȂRȊ ATAS ḤADȊTH NABI

D. Validitas Interpretasi Ishârȋ atas Ḥad th Nabi

ishârahس kepada ayat al-Qur’ân –dan juga adȋth- merupakan penisbatan yang sifatnya majazi, tidak hakiki. Hal itu karena adanya ishârah tersebut hanya diketahui oleh orang-orang tertentu yang akal dan jiwanya berada dalam konteks di atas. Pada saat teks suci mencerahkan perenungan dan nalar mereka sehingga menemukan ishârah-ishârah dalam tiga kondisi di atas, pada saat itulah mereka menisbahkan ishârah tersebut kepada teks suci yang mereka tadaburkan itu. Dengan demikian, setiap ishârah yang keluar dan melampaui ketiga konteks tersebut, maka interpretasi-ishârȋ itu mendekati apa yang dilakukan oleh kaum Bâṭiniyyah sedikit demi sedikit, untuk kemudian mencapainya.77

D. Validitas Interpretasi Ishârȋ atas Ḥad th Nabi

a. Pandangan Ulama tentang Interpretasi Ishârȋ

Banyak metode yang dapat digunakan untuk memahami teks suci. Sebagian disepakati kebenarannya, sebagian yang lain diperselisihkan. Hanya saja, karena interpretasi ishârȋ tidak memiliki ketentuan dan kaidah tertulis selain berupa relasi antara makna zahir dan batin, padahal masih terdapat ketentuan lainnya yang juga harus menjadi pertimbangan, maka terjadilah perselisihan di kalangan para ulama tentang keabsahannya dalam memahami teks suci. Hal itu tidak lain hanya sebagai respon antisipatif-preventif mereka terhadap adanya penyusupan ke dalam ruang interpretasi ishârȋ tanpa kompetensi sehingga justeru menyimpang. Namun demikian, para ahli lintas generasi telah menampakkan penerimaannya terhadap interpretasi ishârȋ ini dalam batas terpenuhinya syarat-syarat dan kriterianya.

77

Pandangan para ulama tentang interpretasi ishârȋ bisa dikelompokkan menjadi dua:

Pertama, kalangan yang membolehkan. Para ulama dalam kelompok pertama ini memandang bolehnya pemaknaan ishârȋ atas teks suci. Mereka memiliki kriteria khusus yang mereka syaratkan untuk pembolehannya. Hanya saja sebagian mereka mengungkapkan persyaratan itu secara terus terang dan sebagian yang lain tidak mengungkapkannya karena telah maklum bagi kalangan mereka. Intinya, pembolehan mereka terikat dengan kaidah dan persyaratan tertentu.

Di antara yang termasuk dalam kelompok ini adalah para sahabat Nabi

Saw., termasuk para sahabat senior seperti Abȗ Bakar dan شUmar –raḍiya Allâh

‘anhumâ.

Pemaknaan ishârȋAbȗ Bakar tampak saat memahami adȋth:

.

Dari Abȋ Sa‛ȋd al-Khudrȋ Ra., Rasulullah Saw. duduk di atas mimbar dan bersabda, “Seorang hamba diberi pilihan oleh Allâh antara diberi kenikmatan

dunia sekehendaknya dan diberi sesuatu di sisi-Nya, lalu hamba itu memilih sesuatu yang ada di sisi-Nya.س Maka Abȗ Bakar pun menangis dan berkata, “Kami menebusmu dengan ayah dan ibu kami.س Kami pun takjub dengannya,

dan orang-orang berkata, “Lihatlah kepada orang tua (Abȗ Bakar) ini.

Rasulullah mengabarkan tentang seorang hamba yang diberi pilihan oleh Allâh antara kenikmatan dunia dan sesuatu yang ada di sisi-Nya, dan Abȗ Bakar justeru berkata, “Kami menebusmu dengan ayah dan ibu kami.س Rasulullah

itulah hamba yang diberi pilihan. Abȗ Bakar lah yang memberi tahu kami

tentang itu.78

Abȗ Bakar memahami dari adȋth di atas secara ishârȋ bahwa Nabi Saw. telah mendekati ajalnya. Apa yang dimaksud dengan memilih sesuatu yang ada di sisi-Nya adalah memilih untuk bertemu dengan-Nya.

شUmar juga memahami adȋth Nabi Saw. secara ishârȋ, seperti ketika turunnya ayat:

Telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.79

Umar memahami ayat di atas secara ishârȋ bahwa ajal Rasulullah Saw. telah dekat, sebagaimana dalam riwayat:

Dari Hârȗn bin شAntarah, dari ayahnya, ia berkata, “Setelah turun QS. Al-Mâidah: 3, yaitu pada hari Haji Akbar, شUmar menangis. Nabi bertanya, شApa

yang membuatmu menangis?’ شUmar menjawab, شAku menangis karena

dulunya agama kita semakin bertambah. Kala agama itu telah sempurna,

pastilah ada yang berkurang di balik kesempurnaan itu.’ Nabi bersabda: شEngkau benar’.س80

Selain Abȗ Bakar dan شUmar, ada sejumlah sahabat besar lainnya yang juga melakukan pemaknaan ishârȋ atas teks suci, seperti Ibn شAbbâs yang

menafsirkan QS. Al-Na r: 1 sebagai sinyal akan meninggalnya Nabi Saw. dan

Abȗ Umâmah yang menafsirkan orang-orang yang berpaling (zâghȗ) dalam QS.

78

Al-Bukhârȋ, aḥȋḥ Al-Bukhârȋ, no. 3904, 5/57. 79

QS. Al-Mâidah: 3.

80 AbȗJa’far al- abarȋ, Jâmi‛ al-Bayân fȋ Ta’wȋl al-Qur’ân, Editor: A mad Mu ammad Shâkir (Beirut: Muassasat al-Risâlah, 2000), cet. I, 8/81.

Al- aff: 5 sebagai Khawârij.81 Ini menunjukkan bahwa secara praktis, interpretasi

ishârȋ atas teks suci, al-Qur’ân maupun adȋth, telah dilakukan oleh para sahabat

besar Nabi Saw.

Interpretasi ishârȋ atas teks suci terus dilakukan oleh para ulama pasca para sahabat. Sejumlah nama dikenal sebagai yang pernah melakukan interpretasi

ishârȋ, antara lain: Sahal al-Tustarȋ, Abȗ Na r al-Sarrâj al- ȗsȋ, al-Kalâbâdhȋ,

Al-Ghazâlȋ, Ibn al-شArabȋ al-Mâlikȋ, Ibn al-Ṣalâ , Ibn شAṭâ’ Allâh al-Sakandarȋ, Ibn

Taymiyah, Ibn al-Qayyim, Ibn Kathȋr, Sa‛d al-Dȋn al-Taftâzânȋ, Al-Shâṭibȋ, al

-Zarkashȋ, Ibn Ḥajar al-شAsqalânȋ, al-Suyȗtȋ, Waliyy Allâh al-Dihlawȋ, Murtaḍâ

al-Zabȋdȋ, Ibn شAjȋbah, al-Alusȋ, al-Zarqânȋ, Mu ammad al- âhir Ibn شȂshȗr,

Mu ammad Husayn al-Dhahabȋ, Abȗ al-Fadl al-Ghummârȋ,82

dan lain-lain.

Kedua, para ulama yang tidak membolehkan. Sebagian ulama lain memilih jalan pelarangan interpretasi ishârȋ sebagai bentuk sikap preventif dari terjadinya sikap mempermainkan teks syariat dengan segala argumentasinya. Di antara nama-nama yang terkenal dengan pilihan sikapnya ini adalah: Abȗ al-Faraj Ibn al-Jawzȋ dan Ibn al-Athȋr dari kalangan ulama klasik dan Mu ṭafâ Sâdiq

al-Râfi‛ȋ dan Sub ȋ al-Ṣâli dari kalangan tokoh ulama kontemporer.83

Selain itu, ada sebagian tokoh ulama yang pernyataannya tentang interpretasi ishârȋ sekilas dipahami sebagai pelarangan, namun kemudian

81

Zayn, al-Ma‛ânȋ al-Ishârȋyyah fȋ al-Sunnah al-Nabawiyyah, 134-135. 82

Ibid., 135-149. 83

dijelaskan oleh tokoh lainnya sebagai bukan merupakan larangan. Di antara

mereka adalah Abȗ al-Ḥasan al-Wâ idȋ dan al-Nasafȋ.84

Tidak cukup ruang untuk memaparkan, terlebih mendiskusikan, argumentasi-argumentasi masing-masing kelompok di atas dalam penelitian ini. Hanya bisa disimpulkan dari apa yang ditulis Zayn dalam bukunya bahwa yang unggul adalah kelompok yang membolehkan interpretasi ishârȋ baik atas teks

al-Qur’ân maupun adȋth Nabi Saw. yang merepresentasikan pandangan mayoritas

(jumhur) ulama. Kekuatan dan keunggulan argumentasi mereka setidaknya terlihat dalam beberapa hal berikut:

1- Ada sejumlah riwayat dari para sahabat bahwa teks syariat mengandung banyak makna, dan tidak semua makna-makna tersebut diambil dari redaksi lafaznya, namun juga dari proses penggalian (istinbâ) melalui pertimbangan (i‛tibâr) dan analogi (qiyâs). شAlȋ kw.

berkata:

Andai aku mau, sungguh aku muatkan untuk kalian dari tafsir surah al-Fâtiḥaḥ

70 muatan unta.85

Abȗ al-Dardâ’ r.a. berkata:

Engkau tidak akan benar-benar paham sampai engkau melihat banyak sisi pada al-Qur’ân.86

84

Ibid., 156-157. 85

Al-Munâwȋ, Fayḍ al-Qadȋr, 1/69. 86

Al-Suyȗṭȋ, al-Itqân fȋ ‘Ulȗm al-Qur’ân, Editor: Mu ammad Abȗ Fadl Ibrahim (Mesir: al-Hay’ah al-Misriyyah al-شAmmah li al-Kitab, 1974), ttc., 2/145.

Ibn شAbbâs berkata:

Sungguh al-Qur’ân memiliki banyak cabang, macam, zahir dan batin.

Keajaibannya tidak habis-habis, puncaknya tidak dicapai. Siapa yang menyelaminya perlahan selamat, dan yang menyelaminya dengan keras terjatuh. Ada cerita, peribahasa, halal-haram, nâsikh-mansȗkh, muḥ kam-mutashâbih, dan zahir-batin. Zahirnya adalah bacaan dan batinnya adalah takwil. Maka pelajarilah al-Qur’ân bersama ulama dan jauhilah dengannya

orang-orang bodoh.87

Ibn Mas‛ȗd berkata:

Siapa yang menginginkan ilmu orang-orang terdahulu dan kemudian, telitilah al-Qur’ân karena di dalamnya terdapat kebaikan orang-orang terdahulu dan kemudian.88

2- Para praktisi interpretasi ishârȋ pada umumnya memiliki basis keilmuan yang kokoh, sehingga interpretasi ishârȋ mereka tidak melampaui rambu-rambu syariat.

3- Makna-makna ishârȋ yang dihasilkan bukan merupakan teori-teori yang terlebih dahulu ada sebelum teks syariat. Tidak pula interpretasi ishârȋ tersebut menggugurkan makna zahir yang segera dipahami. Dalam interpretasi ishârȋ tersebut tidak terdapat hal-hal yang membuatnya terlarang seperti yang dilakukan kaum Bâṭiniyyah dan interpretasi simbolis-teoritis (ramzȋ-naẓarȋ).

87

Al-Suyȗṭȋ, al-Itqân fȋ‘Ulȗm al-Qur’ân, 4/226. 88

Al- abrânȋ, al-Mu‛jam al-Kabȋr, Editor: Ḥamdȋ شAbd al-Majȋd al-Salafȋ (Kairo: Maktabat Ibn Taymiyyah, tth), cet. II, no. 8664, 9/135; 136. Lihat: Al-Bayhaqi, Shu‛ab al- mân, Editor: شAbd al -شAli شAbd al-Hamid (Riyad: Maktabat al-Rushd, 2003), cet. I, no. 1808, 3/347. Para perawi salah satu sanad Al- abrânȋ, menurut al-Haythami, adalah para perawi aḥȋḥ. Lihat: شAli bin Abi Bakr al-Haythamȋ, Majma‛ al-Zawâid wa Manba‛ al-Fawâid, Editor: Hisam al-Dȋn al-Qudsȋ (Kairo: Maktabat al-Qudsȋ, 1994), ttc., no. 11667, 7/165.

4- Wahyu dengan kedua jenisnya, matluw (al-Qur’ân) dan ghayr matluw ( adȋth), adalah sumber bagi setiap pemahaman dan pengetahuan, serta

relevan untuk setiap tempat dan zaman.89 Kepada keduanya, semua ulama dari berbagai disiplin merujuk dan berpedoman; ahli qirâ’ât, ahli naḥw, ahli tafsȋr, ahli u ȗl, ahli kalâm, ahli fiqh, ahli bayân, para penceramah, para penasihat, dan lain-lain, termasuk para ulama rabani dan sufi, berdasarkan kriteria-kriteria penggalian hukum sesuai dengan dasar-dasar syariat.90

b. Kriteria Validitas Interpretasi Ishârȋ

Interpretasi ishârȋ dapat diterima dalam arti valid dan legal-shar‛ȋ menurut kalangan yang membolehkannya setelah terpenuhinya beberapa persyaratan dan kriteria berikut:

1- Dikuatkan oleh dalil syariat yang lain.

Interpretasi ishârȋ yang dilakukan atas teks suci haruslah dikonfirmasi oleh teks-teks syariat yang lain. Jika tidak, maka tidak bisa diterima. Hal itu karena syariat Islam menghukumi segala perbuatan, perkataan dan tujuan (maqâ id). Artinya, segala perbuatan, perkataan dan pemahaman seseorang haruslah ditimbang dengan neraca syariat dalam banyak na -nya. Karena itulah al-Junayd

berkata, “Ilmu kami (tasawuf) terikat oleh kitab dan sunnah.س91

Oleh karena itu, para sufi dan ulama rabani melakukan interpretasi ishârȋ

atas teks suci tidak lain untuk memahami dan memahamkan isi kandungannya dan

89

Lihat: QS. Al-An‛âm: 38, al-Naḥl: 89, dan al-Hashr: 7. 90

Zayn, al-Ma‛ânȋ al-Ishârȋyyah fi al-Sunnah al-Nabawiyyah, 202-204.

91 Abȗ Nu‛aym al-A bahânȋ, ilyat al-Awliyâ’ wa abaqât al-A fiyâ’ (Beirut: Dâr Kutub al-شIlmiyyah, 1409), 10/255.

mengamalkannya sehingga seorang muslim dapat mencapai tahap pengamalan ajaran agama dengan penuh keyakinan dan kekuatan iman. Maka konsekuensi interpretasi ishârȋ ini adalah konsekuensi ijtihad. Ia merupakan pemahaman istinbati yang tidak mengklaim dan memonopoli kebenaran.92

Ibn al-Qayyim menyebut pemahaman ishârȋ yang dialami oleh kaum sufi sebagai cahaya-cahaya (anwâr). Menurutnya, cahaya-cahaya itu memancar pada mereka sebagai buah keimanan, interaksi hati dan aḥwâl yang benar ( âdiqah). Pemahaman ishârȋ yang disebutnya sebagai cahaya itu memberi pemahaman yang bersifat asumtif, bukan definitif. Ketika pemahaman ishârȋ yang muncul itu ditakar dengan hukum syariat, kitab dan sunnah, dan terkonfirmasi oleh keduanya, maka interpretasi ishârȋ itu benar dan valid. Namun jika tidak, maka tidak valid dan tidak bisa diterima.93

2- Interpretasi ishârȋ tidak menyalahi teks syariat.

Segala bentuk interpretasi, penafsiran dan pemahaman yang menyalahi na syariat yang lain adalah ditolak. Jika tidak begitu, maka setiap orang bisa menafsirkan dan memahami teks suci dan mengklaimnya sebagai pemaknaan

ishârȋ dengan tanpa didukung –bahkan bertentangan dengan- dalil syariat. Menurut Zayn, kriteria kedua ini seringkali tidak disebutkan oleh para pakar karena telah tercakup dalam kriteria yang pertama. Namun Zayn memilih menyebutnya sebagai penegasan akan urgensi hal ini, sebagaimana telah dinyatakan al-Shâṭibȋ sebelumnya. “Jika interpretasi ishârȋ ini tidak didukung oleh sebuah dalil di tempat yang lain, atau terdapat dalil yang menentangnya, maka

92

Zayn, al-Ma‛ânȋ al-Ishârȋyyah fi al-Sunnah al-Nabawiyyah, 206. 93

Ibid., 207. Lihat: Ibn al-Qayyim, Madârij al-Sâlikȋn Bayna Manâzil Iyyâka Ẓa‛bud wa Iyyâka Ẓasta‛ȋn, 3/81.

interpretasi ishârȋ tersebut termasuk klaim palsu atas al-Qur’ân (dan adȋth). Sementara klaim semata itu tidaklah diterima menurut kesepakatan para ulama.س94

3- Makna ishârȋ harus selaras dengan makna zahir.

Makna batin yang dipahami dari adȋth haruslah selaras dan sesuai dengan

makna zahirnya. Perlu ditegaskan kembali bahwa makna batin hanyalah sebagai tambahan makna baru yang menyokong makna zahir, tidak menempati posisinya dan tidak pula memonopolinya. Makna batin hanyalah suatu sinyal (ishârah) yang dipahami oleh orang yang dianugerahi keterbukaan (futȗḥ) mata hati oleh Allâh Swt. untuk melihat makna-makna tersirat di balik zahir teks tanpa adanya pertentangan dengan ajaran syariat. Termasuk bagian dari kesesuaian makna batin dengan makna zahir adalah tidak adanya pertentangan dengan tuntutan kaidah bahasa Arab. Jika justeru bertentangan, maka interpretasi ishârȋ semacam itu tidak bisa diterima. Hal itu wajar, sebab al-Qur’ân dan adȋth bebahasa Arab, sehingga pemaknaan atas keduanya tidak bisa dilepaskan dari kaidah bahasa di mana keduanya diturunkan dengan menggunakan bahasa tersebut, terlebih bahwa lafaz teks menjadi perantara utama untuk mencapai suatu makna.

Di sini, menurut Zayn, terdapat perbedaan antara pengkaji klasik dan kontemporer. Sebagian pengkaji kontemporer menjadikan kriteria tidak adanya pertentangan dengan bahasa Arab ini sebagai kriteria tersendiri, di saat para pengkaji sebelumnya memasukkannya sebagai bagian dari kriteria tidak adanya pertentangan dengan makna zahir.95 Hal itu karena makna zahir tidak bisa

94

Ibrâhȋm bin Mȗsâ Al-Shâṭibȋ, al-Muwâfaqât, Editor: AbȗشUbaydah Mashhȗr (Kairo: Dâr Ibn شAffân, 1997), cet. I, 4/232.

95

Seperti yang dilakukan Al-Shâṭibȋ yang menggabungkan persyaratan kesesuaian makna ishârȋ

diterima tanpa adanya kesesuaian dengan bahasa Arab. Jika demikian, makna batin pun lebih tidak bisa diterima, sebab makna batin terbangun di atas makna zahir.96

Kriteria ketiga ini merupakan kriteria terpenting yang karenanya para ulama memasukkan kriteria ini ke dalam definisi interpretasi ishârȋ, yakni potensi berkompromi antara makna ishârȋ dengan makna zahir yang dimaksud. Potensi berkompromi itu tidak akan pernah terjadi kecuali dengan adanya relasi yang mengikat antara makna ishârȋ dengan makna zahir yang ditunjukkan oleh bahasa Arab sebagai bahasa wahyu. Oleh karena itu, pemahaman bahasa Arab dalam konteks ini menjadi niscaya.97

4- Makna ishârȋ tidak jauh dari makna zahirnya seperti penakwilan kaum Bâṭiniyyah.

Makna ishârȋ tidak dapat diterima apabila terlalu jauh dari makna zahirnya, tidak berelasi dengan lafaznya, tidak diterima oleh logika, sepertihalnya takwilan kaum Bâṭiniyyah, tafsir teoritis (naẓarȋ), dan interpretasi-interpretasi lainnya yang berdiri di atas teori-teori filsafat. Yang semacam ini tidak bisa diterima sebagai makna-makna yang sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Allâh dan rasul-Nya. Sebab pemaknaan yang demikian merupakan pemaknaan teks syariat dengan sesuatu yang tidak dikandungnya. Ia tak lebih dari sekedar rekaan dan dugaan semata.98

96

Zayn, al-Ma‛ânȋ al-Ishârȋyyah fi al-Sunnah al-Nabawiyyah, 208. 97

Nur al-DȋnشItr, ‘Ulȗm al-Qur’ân(Damaskus: Matba’ah al-Sabah, 1414), cet. I, 97. 98

Kaum Bâṭiniyyah menundukkan teks suci terhadap pemikiran-pemikiran mereka yang tersimpan dalam benaknya dan jauh dari zahir teksnya, serta keluar dari maksudnya yang mendasar. Bagi mereka, segala material yang terdapat di alam nyata memiliki kembaran yang serupa dengannya di alam rohani. Ketika, misalnya, al-Qur’ân membicarakan tentang kisah musa dan perseteruannya

dengan Fir’aun, kaum Bâṭiniyyah segera membawa kisah tersebut untuk dipahami dalam alam rohani, yakni hati dan jiwa serta perseteruan di antara keduanya. Jadi sebenarnya ide penafsiran tersebut telah tersedia sebelum memulai melakukan penafsiran atas teks suci. Maka tentu ini menyimpang, tidak sesuai dengan zahir teks, dan merupakan pendapat yang tercela.99 Contoh lainnya yang juga sering diangkat oleh para pengkaji adalah penafsiran mereka atas firman Allâh Swt.:

Sesungguhnya Allâh benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.100

Mereka menjadikan kata “ع لس sebagai kata kerja lampau (fi‛l mâḍȋ) yang berarti menyinari/ mencerahkan (aḍâ’a) dan “ ي ح لاس sebagai objeknya (maf‛ȗl). Ini merupakan penyimpangan dalam menakwilkan teks suci; jauh dari apa yang ditunjukkan oleh lafaznya.101

Kriteria keempat ini merupakan penegasan atas kriteria ketiga. Sebagian pengkaji tidak menjadikannya sebagai kriteria tersendiri dan mencukupkan pada penyebutan kriteria ketiga saja.102

99

Zayn, al-Ma‛ânȋ al-Ishârȋyyah fi al-Sunnah al-Nabawiyyah, 209. 100

QS. Al-‛Ankabȗt: 69. 101

Al-Dhahabȋ, al-Tafsȋr wa al-Mufassirȗn, 2/280. Lihat: Zayn, al-Ma‛ânȋ al-Ishârȋyyah fi al -Sunnah al-Nabawiyyah, 209.

102

5- Tidak ada klaim dan monopoli kebenaran.

Interpretasi ishârȋ terlebih dahulu haruslah mengakui makna zahir teks suci yang diinterpretasikan. Tidak boleh ada klaim bahwa makna ishârȋ itulah satu-satunya makna yang benar dan dikehendaki oleh teks tersebut tanpa mengakui kebenaran makna zahirnya. Mengabaikan dan tidak mengakui makna zahir dapat mengeluarkan interpretasi atas teks suci begitu jauh dari makna zahirnya hingga menyimpang dari kebenaran. Ini dapat memberi ruang luas bagi para penafsu untuk mendistorsi pemahaman dan penafsiran atas teks suci. Urgensi persoalan ini membuat sebagian pengkaji membuat kriteria keenam yang

sebenarnya masih semakna dengan yang kelima ini, yaitu: “Menjelaskan makna zahir teks terlebih dahulu, lalu menjelaskan makna ishârȋ, sehingga selamat dari aliran kebatinan dan takwilan-takwilan mereka.س103

Dalam hal ini, A mad Zarrȗq berujar:

“Pandangan kaum sufi lebih khusus daripada pandangan ahli tafsir dan ahli

fikih adȋth yang masing-masing keduanya hanya mempertimbangkan hukum dan makna. Sementara kaum sufi lebih dari itu mencari ishârah setelah menetapkan (makna zahir) yang ditetapkan oleh ahli tafsir dan ahli fikih adȋth. Jika tidak, maka ia seorang Bâṭinȋ yang keluar dari syariat, apalagi tasawuf. Wa

Allâhu A‛lam104

Kriteria ini ditegaskan oleh Al-Ghazâlȋ:

“Siapa yang tidak menguasai zahir penafsiran dan terburu-buru menyimpulkan (istinbâ) makna-makna dengan pemahaman bahasa Arab semata, maka banyak salahnya dan tergolong penafsir yang berdasarkan pendapat (ra’y). Proses periwayatan (naql wa simâ‛) haruslah diaplikasikan dalam zahir penafsiran terlebih dahulu untuk menghindari letak-letak kesalahan, kemudian setelah itu pemahaman dan penyimpulan meluas. Hal-hal garib yang hanya bisa dipahami melalui periwayatan itu banyak.. Diketahuilah bahwa tidak boleh meremehkan pelajaran tafsir zahir terlebih dahulu. Pemahaman makna batin tidak mungkin dicapai sebelum menguasai makna zahir. Orang yang mengklaim memahami

103

Ibid., 210.

104 Abȗ al-شAbbâs A mad Zarrȗq al-Fâsȋ, Qawâ‛id al-Ta awwuf wa Shawâhid al-Ta‛arruf (Sharjah: al-Markaz al-شArabi li al-Kitab, tth), ttc., 105.

rahasia-rahasian al-Qur’ân namun tidak menguasai tafsir zahir tak ubahnya orang yang mengklaim mencapai tengah rumah sebelum melewati

pintunya.س105

6- Interpretasi ishârȋ tidak ambigu dan membingungkan.

Kriteria keenam ini pada dasarnya merupakan buah dan konsekuensi dari terpenuhinya kelima kriteria di atas. Artinya, interpretasi ishârȋ atas teks suci jika dilakukan dengan berdasarkan kelima kaidah dan kriteria yang di sebut di atas bisa dipastikan bahwa pemahaman yang diperoleh terkait teks yang diinterpretasikan itu tidak akan menimbulkan ambiguitas dan keresahan karena, misalnya, menyimpang dari ajaran dan pemahaman keislaman normatif. Justeru interpretasi ishârȋ bisa membantu mengingatkan dan memotifasi untuk beramal, serta mendekatkan kepada Allâh Swt. Oleh karena itu, interpretasi ishârȋ yang rancu dan kaluar dari kaidahnya diharamkan oleh syariat.106 Dalam hal ini,

Al-Ghazâlȋ mencela interpretasi yang tidak dipahami dan membingungkan, seperti apa yang dalam istilah tasawuf disebut dengan shat.107 Al-Ghazâlȋ menyatakan:

“Boleh jadi (shataḥât) itu dipahami oleh dirinya sendiri namun ia tidak mampu memahamkannya kepada orang lain dan mengungkapkannya dengan ungkapan yang menyatakan isi hatinya sebab minimnya pengalaman keilmuannya dan tidak pernah mempelajari metode pengungkapan makna dengan lafaz-lafaz yang indah. Jenis perkataan yang seperti ini tidak ada gunanya, bahkan mengacaukan hati, mencengangkan nalar dan membingungkan pikiran. Atau membawa kepada pemahaman makna-makna yang tidak dimaksudkan, sehingga masing-masing memahami sesuai tuntutan hawa nafsu. Padahal Nabi

telah bersabda, شtidaklah salah seorang kalian menyampaikan kepada suatu kaum informasi yang tidak mereka pahami kecuali pastilah menjadi fitnah atas

105

Al-Ghazâlȋ, Iḥyâ’ ‘Ulȗm al-Dȋn, 1/291. 106

Zayn, al-Ma‛ânȋ al-Ishârȋyyah fi al-Sunnah al-Nabawiyyah, 209. Lihat: al-Zarqani, Manahil

al-‘Irfan fi ‘Ulȗm al-Qur’ân, 2/90. 107

Shaṭḥ adalah ungkapan aneh-nyeleneh yang tidak dipahami dan tidak memberi faedah. Atau