• Tidak ada hasil yang ditemukan

Secara perorangan keadaran kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan telah menggema di Asia—di India Misalnya, pada tahun 1930 Mahatma Gandi telah menulis dan memuat tulisan-tulisanya diberbagai media cetak nasional tentang perempuan dan ketidak adilan gender—kemudian tulisan-tulisanya dibukukan menjadi sebuah buku dengan judul Kaum Perempuan Dan Ketidakadilan Sosial, di Indonesia, Ir. Soekarno menulis tentang pengaruh besar perempuan dalam pemerdekaan Indonesia dengan bukunya yang berjudul “Sarinah”. Jauh sebelum itu, pada tahun 1880-an-1900-an kita kenal sosok R.A. Kartini yang memperjuangkan peningkatan kedudukan perempuan Jawa di dalam keluarga dan lingkungan masyarakat.

R.A. Kartini Dan Kesadaran Diri Akan Kesetaraan

Pada umumnya budaya tradisional daerah-daerah di Indonesia menganut garis keturunan patriakal (kecuali Sumatra Barat yang mengikuti garis keturunan

59

45 Matrilinial). Dalam budaya pariakal, perempuan berada pada posisi sub-ordinat atau sebagai second class. Sebagai pribadi “kedua” perempuan dianggap hanya sebagai pelengkap bahkan pembantu para bagi laki-laki, sehingga hak-haknya tidak sama seperti hak saudaranya laki-laki. Dari situasi seperti ini, Jauh sebelum kesadaran akan kesetaraan perempuan dengan laki-laki (emansipasi) di kancah global dan nasional, gerakan perjuangan kesetaraan perempuan ini telah terjadi melalui kesadaran diri R.A Kartini.

Dalam karakter seorang Kartini lahir sebuah kesadaran akan kerinduan dan keinginan untuk diperlakukan sama seperti saudara laki-laki dan teman-temanya perempuan yang berkewarganegaan Belanda. Hal ini nyata dalam tindakan (yang diceritakan dalam sejarah) dan isi surat-surat yang dituliskan pada tahun 1900- 1904 yang ditujukan kepada temanya, Nona Zeehandelar, adiknya, nyonya Abendanon, Nyonya Ovink-Soer, Tuan Prof. Anton dan Nyonya, dll.

Berkaitan dengan kesadaran diri tersebut, Blenky, dkk membedakan tahapan kesadaran diri perspektif perempuan60, yakni;

1. Kebisuan atau kepatuhan buta (silence atau blind obidience), dalam tahapan ini perempuan, seakan-akan berkarakter pasif, reaktif dan tunduk pada figure yang menurutnya memiliki otoritas, kekuasaan dan dominasi—hal ini diterima dan mematuhi sebagai sebuah kebenaran, walaupun pribadi yang difigurkan ini tidak menjelaskan mengapa sesuatu itu dianggap benar karena legitimasi budaya. Pada tahap ini perempuan belum memiliki kekuatan bahasa sebagai alat untuk menyampaikan

60

Mary Field Belenky, dkk, Women’s ways of Knowing; the Development of Self, Voice, And Mind, (New York, basic Books: 1986),23-152; bdk. Tita Marlita, Kartini, “ Perkembangan Pemikiran Seorang Pejuang Perempuan”, Dalam Sita Van Bemmelan, dkk, Penyunting, Benih Bertumbuh; Kumpulan Karangan Untuk Prof. Tapi Omas Ihromi, (Yokyakarta, yayasan Galang: 2000), 538-542.

46 argument dan belum mampu belajar dari pengalaman. Selain mas kecil yang belum mengerti apa-apa, masa kebisuan Kartini terjadi ketika Ayahnya melarangnya untuk melanjutkan sekolah, karena harus mematuhi tradisi pingitan sebagaimana tradisi Jawa terhadap anak-anak remaja Perempuan.

2. Pengetahuan yang diterima (received knowledge), pada tahap ini perempuan mulai memiliki kesadaran diri atas kemampuannya untuk belajar dan mengelolah pengetahuan melalui pengalaman dan bahasa atau tutur kata dari orang lain serta kesadaran atas kekuatan suara dan pikiran (Voice and mind) yang disampaikan lewat teman-temanya. Pada tahapan ini bahasa merupakan kunci utama dalam pengembangan pengetahuan. Walaupun demikian perempuan masih menganggap pribadi yang difigurkan sebagai sumber kebenaran tanp menyadari bahwa figure itu sering merekonstrusi sesuatu menjadi sebuah kebenaran. Perempuan sebagai received knowledge mengaktualisasikan diri lewat hubungan dengan orang lain dan harapan-harapan masyarakat sebagaimana digariskan dalam budaya yang berlaku, misalnya, perempuan diharapkan menjadi pendengar setia dan penurut, pekerja yang telaten. Dengan kata lain, pada tahapan ini perempuan menjadi pribadi yang tidak berkarakter egosentris melainkan lebih mengutamakan atau mementingkain orang lain.

3. Pengetahuan subjektif (subjective knowledge yang juga disebut

subjectivist woman); pada tahapan ini perempuan memiliki beberapa kemampuan yakni, mampu mengamati dan menganalisa setiap kejadian

47 dan perubahan baik terhadap dirinya maupun lingkungan sekitar. Perempuan mulai mendengar dan mempercayai suara yang keluar dari dalam diri sendiri dan mampu membandingkan pengalaman sendiri dengan pengalaman orang lain, pendapat sendiri dengan pendapat figure yang dominan, mengembangkan persepsi pribadi tentang dunia. Dari beberapa kemampuan ini, perempuan mengalami perubahan dari pribadi yang statis menjadi pribadi yang menjadi sehingga bahasanya yang sebelumnya membisu berubah menjadi sebuah pemberontakan dan keberanian yang tidak terkendali, mulai memperlihatkan otoritas diri, otonomi diri dan berani melupakan persepsi kebenaran sebagaimana dituturkan oleh orang-orang yang difigurkan, karena menurutnya kebenaran adalah suatu yang yang pribadi, sesuatu yang dialami, bukan sesuatu yang dipikirkan, sesuatu yang dirasakan, bukan sesuatu yang dikonstuksikan.

4. Pengetahuan prosedural (procedural knowledge), model ini memiliki dua kategori karakter yang bertentangan

a. Separate epistemology yang juga disebut separate knower

perempuan yang cenderung objektif, impersonal, kritis, dan curiga, artinya bahwa setiap orang bisa saja salah atau benar sehingga selalu membangun jarak dengan orang lain

b. Connected epistemology atau sering disebut Connected Knower adalah perempuan yang selalu memahami kebenaran dari pengalaman dan belajar memahami pandngan orang lain serta memposisikan diri sebagai pribadi yang mudah berempati dengan orang lain

48 5. Pengetahuan yang terkonstruksi (constructed knowledge). Artinya adanya kesadaran seorang perempuan bahwa segala kebenaran dan pengetahuan adalah konstuksi sehingga ia keluar dari system dan kerangka berpikir yang telah ditentukan oleh pribadi yang difigurkan melalui konstruksi budaya dan berusaha menemukan jati diri dan membentuk kerangka berpikir yang baru. Karena mencapai pengetahan yang konstruktif, maka perempuan selalu mencoba merangkai dan merekonstuksi pengetuan yang diperoleh secara intuisi dengan apa yang dipelajari dari orang lain. Adanya kesadaran bahwa kepribadianya dikendalikan oleh harapan-harapan orang lain dan harapan-harapan social, krena itu selalu ada pengauan akan status quo dan selalu mencoba selalu mencoba menampung kebutuhan dengan latar belakang budaya yang ditentukan oleh laki-laki dengan pertimbangan bahwa perubahan tidak datang dengan mudah.

Menganalisa sejarah perjuangan Kartini terutama dalam surat-suratnya yang ditujukan kepada sahabat-sahabatnya (tahun 1879-1904), ia menceritakan kedudukan perempuan Jawa (termasuk dirinya sendiri) dalam sebuah keluarga yang masih menganut budaya feodal dan garis keturunan patriakal. Bila dihubungkan dengan teori Belenky dkk. tentang tahapan kesadaran diri perempuan, maka bisa dikatakan bahwa kelima tahapan ini pernah dialami oleh Kartini walaupun tidak berurutan.

Semasa kecil atau sebelum sekolah, Kartini berada pada posisi silent Knower

karena belum mengerti dan belum memahami “dirinya sendiri dan perilaku “budaya” terhadap dirinya, sehingga selalu tunduk dan mengikuti “ungkapan” figure” yakni ayahnya dan orang yang lebih tua disekitarnya. Namun setelah

49 masuk sekolah, bergaul dengan orang-orang Belanda Ny. Ovink-Soer bersama suaminya dan betemu dengan pandita Ramabai61 sangat mempengaruhi intelektual Kartini, selain kedua orang tersebut, Stella Zehandelaar, Ny. Abendanon, dll. Kartini mengamati dan menyimpan segala informasi yang yang bersifat verbal maupun non-verbal sehingga ada sikap ingin keluar dari keterbelengguan budaya dan ingin memperoleh kebebasan dan perlakuan sebagaimana perempuan Barat dan saudara-saudaranya laki-laki. Masa sekolah telah menjadikan Kartini sebagai

received knower. Setelah belajar banyak dari pengalaman Pandita Ramabai, mendengar cerita dan kerinduan temannya Letzy yang ingin meneruskan pendidikannya di Belanda, kini Kartini berani mengkritik adat istiadat dan Agama yang membelenggunyan sekaligus adanya sebuah kesadaran bahwa pendidikan merupakan jalan untuk memperbaiki dan mengangkat kedudukan perempua.62 Suratnya kepada Ny. Abendanon (Agustus 1900)63 yang menyatakan betapa sakitnya saat dia merenungkan perbedaan nasib antara dirinya dengan Letzy yang akan sekolah ke Belanda, sementara dia akan menjadi Raden Ayu.64 Pada tahap ini Kartini menjadi seorang perempuan yang Subjective Knower.

Selain teman-teman belandanya dan Pandita Ramabai, Ayah Kartini adalah figure sekaligus pribadi utama yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan Kartini—melawan arus tradisi dengana menyekolahkan anak-anak perempuanya

61

Pandita Ramabai adalah seorang wanita India yang berhasil keluar dari lilitan tradisi India yang dilegitimasi dengan ajaran Agama Hindu. Sebelumnya Ramabai adalah seorang Hindu kemudian menjadi Kristen dan terlibat dalam pendirian sekolah untuk perempuan , anak-anak yatim dan perumahan para janda. Jayawardana yang dikutip Tita Marlita, 543.

62

Hal ini bisa dibaca dalam suratnya kepada Nelly Van Kol Agustus 1901 (R. A. Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, 77)

63

R.A Katini, Habis Gelap Terbitlah Terang, 40-42

64

Sebelumnya Kartini tidak memahami artinya menjadi Reden Ayu, tetapi setelah dia mengamati para raden Ayu disekitarnya, dia tersadar bahwa menjadi Raden Ayu adalah menjadi seorang perempuan yang harus menikah, seorang yang dimiliki oleh seorang laki-laki yang tidak dikenalnya atau tidak memiliki latar belakang cinta (saling jatuh cinta)

50 di sekolah orang-orang Belanda serta menyediakan buku-buku bacaan yang berbahasa Belanda. Di sisi lain Ayah Kartini berusaha melawan arus budaya, karena dia berpendidikan Barat dan berwawasan liberal, namun, di saat anaknya menginjak umur remaja, maka dia memutuskan Kartini untuk tidak sekolah— harus mengikuti tradisi sebagaimana anak perempuan lain menjalaninya yakni masa pingitan. Pada tahap ini Kartini memberontak dan menolaknya, namun dia tidak berdaya karena tekanan pribadi yang difigurkan yang juga berada dalam sebuah tekanan budaya—sampai pada situasi ini Kartini menyerah dan menerima dengan bersikap membisu.

Semasa menjalani pingitan, Ayah Kartini menyediakan buku-buku bacaan bagi; salah satu buku yang berkesan bagi Kartini adalah Novel yang berjudul

Hilda Van Suylenburg yang mengisahkan seorang ibu yang mengasuh anaknya sendiri (tanpa suami) ditengah kecaman masyarakat di sekitarnya. Buku ini juga menekankan pentingnya pendidikan bagi anak perempuan.65 Setelah masa pingitan selesai di jalani, Kartini dan kedua adiknya melibatkan diri pada aktivitas social, pembangunan, dan pengembangan pendidikan bagi kaum perempuan.

Sementara berada pada keadaan kebisuan karena dalam situasi pingitan, Kartini terdorong untuk memahami lebih mendalam dan merenungkan praktek budaya, misalnya budaya sopan santun yang sangat kaku66 serta mengkritiknya.67

65

Marlita, 548

66

Suratnya kepada Stella taggal 18 Agustus 1899 yang menceritakan bagaimana adik-adiknya merangkak bila melewatinya, begitu juga jika mereka menyampaikan sesuatu dengan orang yang lebih tua dengan bahasa Jawa yang lebih tinggi dan tidak boleh lupa menyembah bila selesai berkata-kata. begitu juga jika Kartini melewati kakak-kakaknya, Dia dituntut merangkak walaupun tidak dilakukannya (R.A. Karitni, Terj. Armijn Pane, Habis Gelap Terbitlah Terang, (Jakarta, Balai Pustaka: Cet. Ke 27 2009), 28

67

Selain mengkritik sopan santun, Kartini juga mengkritik budaya kebangsawanan yang disampaikan kepada Nn Zeehandelaar 18 Agustus 1899 yang mengatakan “ bagi saya hanya dua macam kebangsawanan; bangsawan pikiran dan kebangsawanan budi. Tiada yang lebih gila dan bodoh pada pemandangan saya daripada melihat orang yang membanggakan asal keturunanya itu.

51 Pada sikap ini, Kartini berada tahap subjective knower. Selanjutnya Kartini menjadi connectet knower membangun sikap berempati terhadap orang lain—hal ini terjadi setelah adik laki-lakinya lahir, dia menceritakan kepada Ny Abendanon bagaimana selalu menjaga dan mengurus adiknya dengan sabar dan penuh dengan kelemah lembutan tanpa keluh kesah. Sehingga dia berkata bahwa “bukankah Ni juga pernah sekecil dan selemah adiknya? Dan tidakkah ibunya dulu bersusah payah untuknya?68 Dari kondisi ini, Kartini belajar untuk menerima dan menghargai orang lain walaupun mereka berbeda, kehadiran adik kecilnya yang sakit-sakitan telah mengajarinya arti dan pengorbanan seorang ibu. Kesadaran ini mendorongnya mengembangkan pikiran tentang peranan seorang ibu sebagai seorang pengasuh anak69

Kartini sampai pada tahap yang lebih tinggi yakni konstruktivis di saat dilamar oleh Bupati Rembang yang berstatus duda menurut adat Jawa.70 Walaupun bagi Kartini lamaran ini merupakan “kemalangan” baginya, karena akan menghambat mimpi dan perjuanganya dalam mengangkat kedudukan perempuansekaligus perlawananya menentang poligami, namun berpikir bahwa pernikahan harus dijalani oleh setiap perempuan yang berasal dari stratifikasi sosial seperti dirinya, kedua adalah menjadi seorang istri seorang bupati memungkinkan “suaminya” kelak menjadi seorang teman kerja yang setara dan memiliki pemikiran maju berkaitan tentang pendidikan bagi kaum perempuan.

Dimanakah gerangan lebih jasanya, orang yang bergelar graf atau baro-- Dua dari gelar kebangsawanan dari benua Eropa yakni Graf dan Baron? Tiada terselami oleh pikiranku yang picik ini (R.A. Kartini, Habis Gelap, Terbitlah Terang, 27-28)

68

Surat-Surat Kepada Ny.R.m. Abendanon-Mandr dan Suaminya, Terj. Sulastin Sutrisno, (Jakarta, Djambatan:1989)

69

Lebih jelasnya bisa dibaca dalam suratnya kepada Ny. Oving Soer tahun 1900

70

Konsep adat Jawa, seseorang disebut duda bila seorang laki-laki berpisah dengan istri, karena isteri utamanya yang sekelas dengan dia telah meninggal—walaupun sebenarnya masih memiliki tiga orang istri yang lain, namun dari stratifikasi social yang lebih rendah.

52 Hidup di bawah tekanan yang sangat berat—budaya feodal dan patriakal tidak membuat Kartini menyerah, namun melalui para sahabat-sahabatnya dan orang yang ada disekitarnya dia mendapat ispirasi dan kekuatan baru untuk memperjuangkan hak-hak perempuan yang harus disetarakan dengan para laki-laki—perjuangan Kartini berkaitan dengan kesadaran dirinya sebagai perempuan yakni; pertama, kerinduan agar setiap perempuan mampu berdiri sendiri dan berpemikiran maju; kedua, agar setiap perempuan memiliki hak yang setara dengan laki-laki dalam mengenyam pendidikan; ketiga, penghapusan diskrimansi terhadap perempuan; keempat, pernikahan yang tidak diinginkan; dan kelima, penghapusan poligami.

Semangat Kartini terus menggema dalam jiwa-jiwa perempuan Indonesia, sehingga pada tahun 1955 diadakanlah kongres perempuan pertama se-Indonesia yang membahas kedudukan perempuan dalam pembangunan bangsa. Salah satu pemateri dalam kongres ini mengatakan;

“Tanah kita tiada akan selamat, kalau hanya seperdoea bangsa Indonesia yang

mendapat kemadjoean dan mendapat perhatian, sedangkan yang seperdoea lagi,di tinggalkan dalam djoerang kebodohan…tiada sadja perkara kemadjoean bagi

kedoea belah pihak mesti diperhatikan dengan soengoeh-soenggoeh, tetapi lebih lagi perkara kewajiban masing-masing dalam perkara yang lain. Sesoengoehnja

perasa‟an laki-laki dan perempoean boekan sadja pekerdja‟an atau oesaha jang meminta hak, tetapi sebagian karena hendak melakoekan kewadjiban kita”71

. Kesadaran seperti di atas terus berkembang sampai jiwa sanubari perempuan dan laki-laki di setiap pelosok Indonesia, sehingga kedudukan perempuan dalam keluarga, masyarakat, dan lembaga-lembaga pemerintahan dan non pemerintahan disetarakan dengan laki-laki, perlakukan subordinasi dan kelas kedua terhadap perempuan pelan-pelan terhapuskan.

71 Sitti Soendari,” Kewadjiban dan Djita-Djita Poetri Indonesia”, dalam Monique Susman,

53 Teori-Teori Feminis

Dokumen terkait