• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penekanan Feminis Sosialis adalah aspek gender dan ekonomi dalam penindasan atas kaum perempuan. Perempuan tertindas oleh modal yang tidak memberi upah bagi kerja domestik mereka, dan suami yang memperlakukan mereka sebagai pelayan. Sebagai pekerja di wilayah domestik, perempuan diberi nilai pada saat mereka memiliki anak dan menjad tenaga kerja di rumah seperti menyiapkan makanan dan menjaga pekerja laki-laki tetap bahagia melalui dukungan emosional dan seks72.

Hubungan perempuan dan laki-laki adalah paradigma dari keseluruhan hubungan kekuasaan. Pradigma itu terus berlaku untuk menilai keseimbangan kekuatan antara laki-laki dan perempuan baik disekitar sektor domestik maupun disektor publik. Kelemahan pendekatan ini terletak pada kecenderungannya untuk memusatkan perhatian pada pembedaan karekteristik antara perempuan dan laki-laki. Hal ini berbahaya karena sangat bersifat deterministik dan dapat menciptakan suatu pandangan bahwa pembedaan ini bersifat permanen sehingga tidak ada peluang untuk mengubah pola hubungan gender yang selama ini ada.73

Zillah Einstein dan Heidi Hartman sebagai tokoh intelektual feminis sosialis mendorong sebuah gerakan untuk membebaskan para perempuan melalui perubahan struktur patriarki dan penghapusan kapitalis. Perubahan struktur patriarki dan penghapusan kapitalis bertujuan agar kesetaraan gender

72

Ben Agger, 225-227

73

Rian Nugroho, Gender dan stretegi pengarus-utamanya di Indonesia. (Yogyakarta, Pustaka Pelajar:2011), 69

54 dapat terwujud 74. Beberapa konsep dasar pemikiran feminis sosialis yaitu berdasarkan konsep patriarki, kelas, gender, dan reproduksi. Feminisme sosialis mengadopsi teori praksis Marxisme, yaitu penyadaran agar perempuan sadar bahwa mereka merupakan kelas yang dirugikan dengan cara membangkitkan emosi para perempuan agar mereka mengubah keadaannya sebagai kelompok tertindas. Proses penyadaran ini menjadi inti feminisme sosialis. Menurut mereka, banyak para perempuan yang tidak sadar bahwa mereka adalah kelompok yang tertindas.

Kajian teoritis feminis sosialis dikembangkan di sekitar tiga tujuan yakni, 1). mencapai suatu kritik terhadap penindasan patriarki dan kapitalisme yang khas dan saling berhubungan dari sudut pandang pengalaman perempuan; 2). Mengembangkan metode-metode yang eksplisit dan memadai untuk melakukan analisa berdasarkan pengertian materialism historis yang diperluas; 3). Menggabungkan pengertian akan signifikansi ide-ide ke dalam analisi materialis atas penentuan urusan-urusan manusia75. Feminis sosialis menekankan aspek gender dan ekonomis dalam penindasan atas kaum perempuan. Perempuan dapat dilihat sebagai penghuni kelas ekonomi dalam pandangan Marx dan “kelas seks”, sebagaimana disebut oleh Shulamith Firestone. Artinya, perempuan menampilkan pelayanan berharga bagi kapitalisme baik sebagai pekerja maupun istri yang tidak menerima upah atas

74

Ben Agger, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasi, (Yokyakarta, Kreasi Wacana: Cet. Ke 10, 2016), 225

75

55 kerja domestik mereka.76 Dalam feminis sosialis perempuan tereksploitasi dan tertindas oleh dua hal yaitu sistem patriarkhi dan kapitalis77.

Ketika Karl Marx dan Frederich Engels mengformulsikan teori dan ideologi sosial, maka terseliplah pemikiran tentang keprihatinan atas ketidak adilan gender yang tidak hanya disebabkan oleh budaya patrikhi, tetapi juga berkaitan dengan kepemilikan akses pada hal-hal yang bernilai ekonomi dalam sebuah keluarga. Marx dan Engel mengasumsikan kaum perempuan kedudukanya identik dengan kaum proletar pada masyarakat kapitalisme di Barat78. Relasi kelas dan eksploitasi Teori Marx dan Enges mengkritik tradisi kepemilikan pribadi dan menganalogikan perkawinan sebagai lembaga yang melegitimasikan perempuan (istri) sebagai milik pribadi laki-laki (suami). Kepemilikan seperti ini dalam sebuah keluarga dianggap sebagai penindasan terhadap perempuan sebagai istri. Relasi kelas dan eksploitasi ekonomi satu kelas oleh kelas yang lain adalah karakteristik sentral dari struktur sosail—ciri ini sangat menentukan hakekat relasi gender79.

Menurut Feminis sosialis, keluarga dipandang sebagai basis penindasan, sebagai akibat dari kebutuhan kapital, yakni perempuan menjadi buruh domestik di dalam rumah. Perempuan menampilkan pelayanan berharga bagi kapitalisme baik sebagai pekerja maupun istri yang tidak menerima upah atas kerja domestik mereka.80 Karena itu, untuk membebaskan perempuan dari

76

Sutan Sjahrir, Sosialisme Indonesia, Pembangunan ( Jakarta: Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional, 1982), 91

77

Bdk. Stevi Jakson and Jackie Jones, Ed. Contemporary Feminist Theories, (Washington Square, New York, New York University Press: 1998), 14-18

78

Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus Utamanya di Indonesia, (Yokyakarta, Pustaka Pelajar: 2008), 69

79

Silvia Walby, Teorisasi Patirakhi, (Yokyakarta, Jalasutra: 1990),5

80

Sutan Sjahrir, Sosialisme Indonesia, Pembangunan (Jakarta: Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional, 1982), 91

56 penindasan ini, perlu suatu perubahan sistem ekonomi kapitalis dengan sistem sosialis artinya pembentukan sebuah masyarakat yang egaliter tanpa adanya kelas-kelas. Untuk mewujudkan masyarakat sosial tersebut harus dimulai dari keluarga, di mana para istri terlebih dahulu dibebaskan dari kepemilikan suami dan menjadi dirinya sendiri sebagai pribadi otonom/mandiri—lagikanya adalah saat terjadi egaliter dalam sebuah keluarga secara otomatis akan tercipta suatu kehidupan masyarakat yang sosialis.81

Feminis Sosialis beranggapan bahwa perubahan sosial akan menciptakan lingkungan sosial yang kondusif bagi perempuan untuk menciptakan kesetaraan dan kedilan gender sesuai dengan yang dikehendaki. Diktum Marx yang diterjemahkan TB. Botomarre kemudian dikutip Ratna Megawangi; “ It s the not consciousness of men that determines their exixtence, but on the contrary, their socil existence determinis their conciusness” (artinya bukan kesadaran manusia yang menentukan eksistensinya, melainkan sebaliknya, eksistensi sosial yang menentukan kesadadaran mereka)82

Terjadi suatu perbedaan pendapat Feminisme sosial dengan dictum Marx. Menurut dictum Marx keadilan sosial dapat diciptakan melalui perubahan lingkungan sosial yang akan mempengaruhi individu yang kemudian dibawa dalam keluarga, sementara Feminisme sosial berpendapat bahwa individu yang telah terbentuk dalam sebuah keluarga akan mempengaruhi lingkungan sosialnya. Namun kalau kita mengambil jalan tengah dari perdebatan ini, baik individu maupun lingkungan sosial saling mmpengaruhi, apa yang telah

81

, bdk. Riant Nugroho, 69-70

82

57 dimiliki oleh individu akan dibawa dalam sebuah kelompok sosial, sebaliknya kelompok sosial akan mempengaruhi perilaku individu.

Teori Marxis menganalisa pola relasi antara laki-laki dan perempuan yang dianalogikan dengan perkembangan masyarakat modern industri kapitalis, sebagaimana dikutip Megawangi, Fredrick Engels dalam bukunya Origins of the Family, Private property and the stete mengatakaan bahwa pada masyarakat awal, yaitu masyarakat yang masih berburu dan berpindah-pindah memiliki pola relasi sosial yang lebih egaliter, hal ini disebabkan karena belum adanya kesadaran pentingnya kepemilikan pribadi. Harta milik menjadi beban karena pola hidup berburu dan berpindah-pindah. Pada masa ini, selain bekerja sebagai pengasuh anak, perempuan mempunyai kekuasaan sehingga dia menjadi tuan di rumah. Perkembangan masyarakat selanjutnya adalah menjadi masyarakat yang agraris—bercocok tanam, sehingga komunitas mulai menetap, sehingga mulai ada kesaadaran pentingnya kepemilikan pribadi (tanah, alat-alat produksi pangan), selanjutnya hasil produksi semakin meningkat dan cadangan pangan komunal berkelimpahan selanjutnya hasil produksi pertanian tersebut menjadi alat jual beli sehingga hasil jual beli hasil dan alat produksi, cadangan makanan menjadi harta milik laki-laki (suami). Hal ini terjadi karena wilyah perempuan di rumah, sementara sektor di luar rumah adalah wilayah laki-laki (suami), karena itu segala sesuatu yang berasal dari luar rumah adalah milik suami, selanjut keinginan untuk meningkatkan hasil produksi pertanian dan peternakan, maka

58 keluarga membutuhkan tenaga kerja—menurut Engel hal ini menjadi cikal bakal lahirnya sebuah perbudakan.83

Berbeda dengan Marx dan Engel, Backofen yang dikutip oleh Ir. Soekarno menjelaskan bahwa pada saat pola hidup masyarakat berburu dan berpindah-pindah, selanjutnya menuju suatu fase pertanian, masyarakat menganut matriakat, karena pada saat itu, terjadinya pernikahan antara segerombolan laki-laki dengan segerombolan perempuan yang disebut dengan kawin gerombolan, sehingga mereka tidak mengetahui siapa bapak dari anak yang lahir tersebut. Kemudian perubahan sosial (evolusi sosial) dengan perlahan-lahan terjadi, mulai lahir system pernikahan monogamy, sejak saat itu “kepemilikan pribadi” mulai terjadi dan istri menjadi milik seorang suami dan mulai saat inilah lahir system patriakhi84.

Namun proses menuju ke monogami tersebut, maka ada suatu zaman di mana bila seorang perempuan mau menikah, maka terlebih dahulu dia bergaul dengan banyak laki-laki (menjadi perempuan sundal)—berbeda dengan persundalan yang kita kenal sekarang, perempuan yang masih remaja dewasa mesti mengorbankan kegadisannya kepada umum sebelum resmi menikah dengan satu orang laki-laki. Menurut Agama Babylonia, dahulu seorang gadis mau menikah, terlebih dahulu pergi ke kuil Mylita dan disitu dia harus mengorbankan kegadisannya kepada beberapa laki-laki, hal yang hampir sama dilakukan di Cyprus, Tyrus,, Sydonia, di Mesir dilaksanakan pada perayaan dewi Isis. Menurut Engels bahwa adat atau kebiasaan seperti ini telah dilakukan hampir semua bangsa Asia di antara Laut tengah dan sungai

83

Megawangi, 142

84

Ir. Soekarno, Sarinah; Kewajiban Wanit Dalam Perjuangan Republik Indonesia, (Jakarta, Yayasan Bung Karno:2014), 100

59 Gangga. Sebelum seseorang diperistri, terlebih dahulu memberi persembahan kepada dewa-dewa melalui persundalannya dengan memuaskan nafsu banyak laki-laki, bila hal itu bisa diwujudkan maka perempuan yang mampu memberi kepuasan tersebut akan menjadi istri dan miliki seorang laki-laki yang merasa puas atas pelayanan calon istri85. Sejak saat itu perempuan menjadi milik suami.

Terlepas dari diskusi di atas, yang jelas bahwa setelah terjadinya kepemilikan suami atas perempuan, terjadilah perubahan sistem matriakhi ke patriakhi, pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan (istri) di wilayah domestik menjadi tidak bernilai karena tidak menghasilkan “materi/uang” sementara suami memiliki penghasilan dari hasil dari pertanian dan peternakan, di mana hal itu di dapat di luar rumah. Karena itu laki-laki berusaha meningkatkan perekonomian keluarga dengan mengadakan budak-budak, memaksimalkan peran serta istri dan anak dan pewaris-pewaris harta bendanya, sejak kesadaran seperti ini lahir, maka sejak saat itu juga terjadi eksploitasi tenaga kerja yang berkembang dalam struktur-struktur dominasi.86 Menurut Engel, hal seperti ini menjadi cikal bakal lahirnya ideologi patriakhi dalam sebuah keluarga sekaligus menjadi kekalahan historis dunia jenis kelamin perempuan87. Suami yang disebut kepala rumah tangga yang memiliki harta menafkahi istri dan anak-anaknya, selanjutnya terciptalah sebuah keluarg kecil dan pernikahan yang monogami—dan dalam hal ini istri menjadi milik suami.

Dominasi laki-laki terhadap perempuan semakin kuat setelah terjadi industrialisasi di mana ada pemisahan antar rumah dan publik. Publik menjadi

85

Soekarno 101

86

Bdk. Ritzer, 813, Riant Nugroho, 70-71

87

60 wilayah laki-laki untuk mencari nafkah dan menghidupi anggota keluarganya dalam bentuk materi atau uang sedangkan perempuan yang wilayahnya di rumah dan melaksanakan tugas-tugas atau pekerjaan rumah tidak mendapatkan bayaran berupa materi. Sehinggga dalam kondisi seperti ini, menurut Engel posisi dan kekuasaan laki-laki dalam keluarga semakin kuat, sementara posisi istri dan anak-anak semakin lemah dan ketergantungan kepada suami. Dalam kondisi sepeti ini istri menjadi kepala pembantu (the head servant) atau bahkan menjadi budak seperti ungkapan Engels; “…The wife be come head servand, excluded from all participation in social production. The individual family is founded in the open or concealed domestik slavery of wife (…istri menjadi kepala pembantu, tidak diikut sertakan dalam partisipasi produksi, keluarga nuklir didirikan atas perbudakan domestik dari istri, yang sifatnya terbuka atau tertutup). Engel mengatakan demikain untuk mengelaborasikan pendapat Marx tentang konsep slavery dalam keluarga. Menurut Marx, asal muasal terjadinya beban ganda (devition of labor) atau perbedaan peran disebuah masyarakat didasarkan pada perbedaan umur dan jenis kelamin. Perbedaan ini menciptakan bentuk kepemilikan seorang oleh orang lain, karena itu menurut Marx bahwa perbudakan terhadap istri dan anak-anak merupakan bentuk pertama dari kepemilikan pribadi88.

Perbedaan peran dalam keluarga dalam masyarakat kapitalis dianggap telah menciptakan berbagai pekerjaan yang membuat seseorang teralienasi. Pekerjaan rumah tangga yang dilakukan oleh perempuan dianggap pekerjaan yang menyebabkan dia teralienasi karena terpisah atau bahkan terasingkan dari

88

61 dunia luar, sementara pekerjaan rumah tersebut merupakan pekerjaan yang tidak kreatif dan produktif (tidak menghasilkan uang). Karena itu Dalla Costa menyebut pekerjaan rumah sebagai pekerjaan yang kecil, tidak berarti dan teralienasi89

Selain teori di atas, Marx merumuskan teori lain yang disebut materialis determinism. Argumen dalam teori ini mengungkapkan bahwa budaya dan masyarakat berakar dari ekonomi, basis kehidupan masyarakat berdasarkan pola relasi ekonomi/material yang selalu menimbulkaan konflik. Basis ekonomi ini juga berlaku dalam kehidupan keluarga. Menurut Engels suami merupakan cerminan dari kaum borjuis, sementara istri sebagai proletar yang selalu ditindas. Pola relasi ekonomi ini ikut mempengaruhi budaya dan agama, pengaruh ini disebut superstruktural. Sehingga warna agama dan budaya pada masyarakat yang berpola relasi materialistik akan konsisten dengan pola relasi paternalistik dan hierarki, bahkan adanya pembenaran akan pola tersebut dari daya dan agama misalnya Kolose 3:18 “hai istri-istri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan.”

Menurut Marx, perlu adanya pengahapusan pengaruh agama dari kehidupan sosial, implikasinya terhadap feminis sosial adalah keiginan mengubah segala pemahaman agama yang bias gender—pengaruh struktural (budaya dan agama) seperti ini harus diubah, karena budaya dan agama semata-mata superstruktural yang bisa diubah sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan yang bersangkutan. Karena itu, kalau selama ini agama digunakan sebagai alat untuk mendiskriminasi perempuan, maka sebaliknya feminis juga

89

62 bisa menggunakan agama sebagai dasar untuk membebaskan diri dari belenggu patriakhi dan kapitalisme90.

Dalam konsep materilisme Marx dan Engels menjelaskan bahwa kepemilikan materi berpengaruh besar dalam perolehan kekuasaan seseorang atas orang lain (terutama dalam keluarga). Laki-laki melakukan pekerjaan di luar rumah untuk mencari nafkah berupa materi, sementara perempuan (istri) melakukan pekerjaan domestik, di mana pekerjaan ini tidak mengahasilkan uang (materi), karena itu istri tidak memiliki kekuasaan dalam keluarga— kekuasaan berada di tangan pribadi yang memiliki akses ekonomi atau hal-hal yang dianggap bernilai “materi”. Hal ini sejalan dengan pernyataan Zeretsky sebagaimana dikutip oleh Megawangi;

“Women`s work in the home and the maternal role aredevaluedbecouse they are

outside the sphere of monetary exchange and unmeandsurable in monetary terms, and love, thought supposedly valued, is valued only within a devalued ang

powerless realm”

“ Pekerjaan wanita dalam rumah dan peran keibuan tidak dinilai karena semuanya

itu ada di luar pasar moneter dan tidak dapat diukur dengan uang. Dan cinta, walaupun dianggap penting, dinilai hanya dalam konteks wilayah yang tidak bernilai dan lemah. Oleh karena itu, wanita dianggap inferior, sebagai budak yang tidak mempunyai kekuasaan apa-apa dalam institusi keluarga, karena kekuasaan berada pada suami yang dijadikan sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah91

Standar yang digunakan untuk menilai sesuatu berharga dan produktif adalah materi, karena itu, menurut Engels, untuk membebaskan perempuan dari “perbudakan dan penindasan keluarga”, perempuan harus keluar dari sektor domestik dan masuk ke sektor publik sehingga bisa menghasilkan materi, dengan demikian jika perempuan memiliki akses ekonomi dalam

90

Nugroho, 73-74

91

63 keluarga maka perempuan memiliki nilai tawar-menawar yang lebih kuat dalam relasinya dengan laki-laki.

Berdasarkan teori Engels tersebut, maka feminis sosialis menilai bahwa keluarga merupakan cikal bakal lahirnya kapitalisme dan ideology patriaki yang menyebabkan perempuan tereksploitasi dan berada pada posisi subordinat karena itu perlu penghapusan institusi keluarga—sebagai gantinya perlu menciptakan keluarga yang kolektif sehingga segala bentuk pekerjaan rumah tangga dikerjakan dengan kolektif, termasuk pengasuhan anak.

Misi Perjuangan gender dari kelompok feminis sosialis adalah terciptanya masyarakat tanpa kelas, egaliter atau tanpa hierarki horizontal dengan mengadopsi teori Marx yakni teori tentang penyadaran pada kelompok tertindas dan konsep dialektis Hegel yang mengacu pada Marx bahwa kapitalisme terdiri dari konflik-konflik kelas yang akhirnya akan membuat sistem tersebut runtuh, sehinga tercipta masyarakat yang egaliter.

Feminis sosial melakukan penyadaran ini agar para perempuan sadar bahwa mereka sedang tertindas, tidak diuntungkan sehingga rasa emosinya bangkit dan secara kelompok diharapkan dapat mengadakan konflik langsung dengan kelompok dominan (laki-laki) dengan asumsi bahwa semakin tinggi entitas konflik, diharapkan semakin besar peluang untuk meruntuhkan ideology patriakhi. Asumsi ini diadopsi dari konsep dialektis92

Perjuangan Feminis sosial mendapat banyak sorotan, mengingat sebagian yang terdoktrinisasi mengubah sistem patriakhi ke matriakhi— menjadi penguasa di keluarga, menindas dan mensubordinat laki-laki (suami),

92

64 beberapa kritikan yang muncul adalah misalnya Mahartma Gandhi dalam bukunya yang berjudul “Perempuan dan ketidakadilan Sosial” mengatakan bahwa ada banyak perempuan keluar rumah untuk bekerja agar dapurnya berasap, tetapi kemudian meninggalkan dapur yang telah berasap.93 Kemudian backhofen yang dikutip Soekarno dalam bukunya yang berjudul “Sarinah;

Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia” mengemukakan

bahwa tidak selamanya dalam budaya yang patriakhi perempuan tertindas, dan dalam budaya matriakhi tidak selamanya perempuan selalu dimuliakan, Ray Strachey dan Henriette Rolland Holst mengemukakan bahwa dalam sistem matriakhi kadang-kadang perempuan diperbudak, ditindas oleh perempuan, karena itu, Soekarno mengemukakan agar tidak ada yang bermimpi menghancurkan sistem patriakhi dan nature keluarga, karena sama saja dengan menghidupkan bangkai atau mengubah arah perputaran jarum Jam.94

B. Femisnis Poskolonial; Perempuan Sebagai Subaltern

- Poskolonial—sebuah konsep

Dalam memahami arti poskolonialisme, Ania Loomba terlebih dahulu mendeskripsikan arti kolonialisme. Kolonialisme bersasal dari kata

Colonia (Romawi), semula berarti tanah pertanian atau pemukiman,

kumpulan, perkampungan, masyarakat perantauan. Hal ini mengacu pada orang Romawi yang bermukim di negeri lain tetapi masih mempertahankan

93

Mahatma Gandhi, Perempuan dan Ketidak Adilan Sosial, Terj. Siti Farida, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 2011)

94

Ir. Soekarno, Sarinah; Sarinah; Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia (Jakarta, Yayasan Bung Karno; 2014), 94-96

65 kewarganegaraan mereka. Karena itu dalam Oxford English Dictionari

mendeskripsikan sebagai;

Sebuah pemukiman dalam sebuah negeri baru, sekumpulan orang yang bermukim dalam sebuah lokalitas baru, membentuk sebuah komunitas yang tunduk atau terhubung dengan negara asal mereka; komunitas yang dibentuk seperti itu, terdiri dari para pemukim asali dan para keturunan mereka dan pengganti-penggantinya, selagi hubungan dengan negara asal masih dipertahankan.95

Sebenarnya defenisi hanya menyebutkan para pemukim di tempat dimana koloni-koloni dibentuk. Karena itu “kolonialisme” tidak mengandung implikasi adanya penaklukan. Tetapi pemaknaan “kolonial” dalam bentuk dominasi muncul sesudah adalanya hegemoni, sekaligus eksploitasi salah satu negara terhadap daerah yang lain96. Dengan demikian Kolonialisme menyangkut berbagai masalah, berkaitan dengan penaklukan dan penguasaan atas tanah dan benda rakyat yang lain97. Sehingga dalam penaklukan ini ada dominasi yang dilakukan oleh sebuah negara terhadap negara yang lain yang lebih lemah98.

Yusak Setyawan mengutip Segovia99 menjelaskan bahwa memahami arti poskolonil, perlu dibagi dalam dua kategori, pertama; kategori yang menunjukan arti historis-politik. Artinya periode waktu setelah pemisahan diri koloni secara formal dari pemerintahan negara jajahan. Konsep kemandirian adalah suatu hal yang cukup ambigu. Untuk bekas jajahan dapat mencapai kemerdekaan politik formal tetapi tetap

95

Ania Loomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme, (Yokyakarta, Narasi:2016), 1-2

96

Nyoman Kutha Ratna, Poskolonialisme Indonesia; Relefansi Sastra (Yogyakarta, Pustaka Pelajar; 2007), 20

97

Looba, 3

98

Nyoman Kutha Ratna, 20

99

Yusak B. Setyawan, Buku Ajar; Postkolonial Hermeneutics An Indonesian Perspective (Salatiga, Fakultas Teologi UKSW; 2014), 1

66 berada dalam sebuah dominasi atau kekuasaan negara lain yang lebih maju dalam bentuk yang berbeda. Kedua, kategori sosio-psikologi artinya suatu referensi dalam membentuk pola pikir baik secara invidu maupun secara kolektif tentang fenomena imperial atau kolonial secara menyeluruh sehingga lahir suatu “rasa penyadaran”. Konsep penyadaran mendorong terjadinya sikap oposisi terhadap hegemoni kolonialisme dan imperialisme. Dari dua kategori tersebut, Segovia mendefenisikan studi Poskolonial dari perspektif imperial dan kolonial sebagai berikut100;

1. Studi imperial dan kolonialisme lebih fokus pada yang berhubungan dengan pusat atau metropolitan dengan yang pinggiran (periphery) 2. Studi imperialisme dan dominasi menimbulkan suatu oposisi dan

perlawanan; tidak terbatas pada suatu wacana tetapi pada sikap anti imperialisme dan kolonialisme

3. Studi tentang periode imperialisme dan kolonialisme yang melahirkan sub pemikiran tentang pre-imperialisme dan pre-kolonialisme; imperialisme dan kolonialisme; post-imperialisme dan post-kolonialisme; neo-imperialisme dan neo-kolonialisme

Aschroft, Griffith, dan Tiffin, meganggap istilah poskolonial

dipopularkan dengan segala ambiguitas dan kompleksitas berbagai pengalaman kultural yang diimplikasikannya. Namun satu catatan yang perlu diperhatikan sebenarnya kajian poskolonial bermula dari fakta historis kolonialisme Eropa, dan bermacam efek material yang terjadi karena fenomena tersebut101. Argument tersebut lebih berkembang dalam tulisan Aschroft dkk. dengan judul

100

Setyawan, 2

101

Aschroft, B., Griffiths, G., & Tiffin, H. (eds). The Post-Colonial Studies Reader. (New York, Routledge:1995), 2

67

The Empire Writes Back di mana penulis menggunakan istilah poskolonial

untuk merujuk pada seluruh budaya yang dipengaruhi oleh proses imperial sejak masa kolonisasi sampai setelah sebuah bangsa diakui sebagai bangsa yang merdeka102.

Sebenarnya wacana poskolonial lahir untuk menggugat konstruksi kolonial yang telah menindas kelompok-kelompok terpinggirkan (phery-phery),

Dokumen terkait