15
BAB II
GENDER DALAM KELUARGA;
KERANGKA TEORITIS
Kedudukan Perempuan; Sebuah Konsep Awal
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kedudukan diterjemahkan sebagai
tingkatan atau martabat, status (keadaan atau tingkatan orang atau lembaga)1.
Kata kedudukan merupakan kata yang memilkiki multi makna. Bila disandingkan
dengan perempuan, maka kedudukan dipahami sebagai martabat, kuasa, kontrol
atas sumber daya yang penting, bebas dari kontrol orang lain, atau rasa hormat
yang diberikan kepada perempuan.2
Untuk mengembangkan konsep ini, Peggy Sanday mengusulkan agar
konsep kedudukan dibedakan antara “derajat seorang perempuan yang dihormati
di wilayah domestik dan publik, dan derajat seorang perempuan memegang kuasa
dan kewenangan di wilayah domestik atau publik, artinya bahwa kedudukan
seorang perempuan dalam sebuah keluarga sangat dipengaruhi oleh status seorang
perempun memegang kendali di wilayah domestik, atau sejumlah hak ekonomi
dan kekuasaan yang dipercayakan kepadanya dalam sebuah keluarga.
1
Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, balai Pustaka: 2008), 1330
2
16 Selain Sanday, Stoler juga mengajukan konsep yang mirip dengan Sanday,
dengan menggunakan istilah “otonomi perempuan” untuk menggunakan kuasa
ekonomi atas dirinya sendiri dibandingkan laki-laki serta kuasa sosial—kekuasaan perempuan terhadap orang lain (secara perorangan atau sosial), di dalam atau di
luar rumah artinya kemampuan untuk mempengaruhi dan membuat keputusan
dalam berbagai aktifitas, kemampuan mempengaruhi perilaku dan keputusan
anggota keluarga, dan kuasa untuk mengontrol diri sendiri. Kekuasaan ini
bersumber dari beberapa bentuk, yakni; harta, status sosial. Rogers
mengemukakan bahwa kedudukan perempuan hanya bisa dipahami dalam suatu
konteks sosio-budaya dari suatu masyarakat dan lewat pola pembagian kuasa
berdasarkan jenis kelamin yakni pola penguasaan sumber daya seperti; ekonomi
pendidikan, pengalaman, ketrampilan, kepemilikan tanah dll., pola yang berlaku
dalam masyarakat dalam kategori perilaku dan segi ideology, artinya kedudukan
perempuan tidak ditentukan hanya pada otonomi pribadi saja, melainkan juga oleh
faktor-faktor yang ada di luar dirinya (budaya).3
Teori Keluarga4 dari berbagai Pendekatan
1. Konsep Keluarga
3
Lahade, 51-53
4
17 Setiap manusia terlahir dari sebuah keluarga, karena itu setiap orang tidak
akan kesulitan memahami arti keluarga walaupun dalam bentuk konsep
sederhana. Secara umum manusia memahami bahwa keluarga adalah
sekelompok orang yang berteduh dalam sebuah rumah yang terdiri dari
laki-laki dewasa yang disebut ayah dan perempuan dewasa yang disebut
ibu dan memilki sebuah komitmen untuk hidup bersama, serta memiliki
anggota keluarga yakni anak. Konsep tersebut sangatlah sederhana dan
sarat dengan perdebatan sehingga para ahli memikirkan berbagai macam
konsep sesuai dengan pendekatan yang dilakukan.
Dalam perkembangan pengetahuan sekarang ini, keluarga bisa
diartikan sebagai nuclear5 (inti), atau institusi terkecil6 dari suatu
kelompok sosial atau masyarakat yang di dalamnya terjadi banyak hal
misalnya; hubungan antara individu, hubungan otoritas, pola pengasuhan,
pembentukan karakter, sosialisasi nilai-nilai dll. Untuk memahami konsep
keluarga dengan spesifik, dan lengkap, maka para ilmuan terutama yang
kajianya sosiologi keluarga, mulai memahami keluarga sebagai objek
dengan pendekatan dan kerangka teoritis tertentu, misalnya; pendekatan
antropologis, pendekatan Fungsional structural, konflik sosial,
interaksionis, perkembangan, sosio psikologis, ekonomis7. Dalam
penelitian ini, penulis hanya menggunakan pendekatan antropologis,
fungsional strukturan dan konflik.
5
Maurice Eminyan, Teologi Keluarga, (Yokyakarta, Kanisius:2001),7
6 Eko A. Meinarno, “Konsep dasar Keluarga” dalam Karlina Wati Silalahi dan Eko A.
Meinarno, Keluarga Indonesia: Aspek dan DInamika Zaman, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada: 2010), 3
7
18
2. Teori Keluarga; Pendekatan Antropologis
Murdock sebagai seorang antropolog mengartikan keluarga sebagai;
“Social group characterized bay common residence, economic
cooperation, and reproduction. I includes adults of both sexes, at least of whom maintain a socially approved sexual relationship, and one or mor children, own or adopted, of the sexually cohabiting adults.”8
Dari pandangan tersebut, Murdock menjelaskan bahwa keluarga
merupakan kelompok sosial yang terdiri dari dua orang dewasa yang
memiliki jenis kelamin yang berbeda memiliki kesepakatan seksual serta
menjaga hubungan tersebut secara sosial dan memiliki satu atau lebih anak
kandung atau adopsi—selanjutnya Wilk dan Netting melengkapi konsep ini dengan menambahkan kalimat “keluarga yang tinggal satu atap”9
.
Defenisi lain diungkapkan oleh Gilgun (1992) Charton (2006)
mengungkapkan bahwa keluarga merupakan sekelompok orang yang
tinggal dalam satu rumah yang memiliki kedekatan fisik dan emosional
yang konsisten dan erat dan mengahasilkan satu atau lebih individu baru
dari generasi ke generasi. Konsep yang lebih luas diungkapkan oleh Bailon
dan Maglay mendefenisikan keluarga sebagai gabungan dari dua atau
lebih individu karena adanya hubungan darah, pernikahan dan adopsi
dalam satu rumah tangga dan membangun sebuah interaksi dan memiliki
peran masing-masing sesuai tradisi sosial dimana mereka hidup.10
Mattessih dan Hill mendefenisikan keluarga sebagai lembaga sosial
8Di kutip oleh Eko A. Meinarno, “Konsep dasar Keluarga” dalam, Karlinawati Silalahi (Ed.)
Keluarga Indonesia, 3
9
Meinarno, 3
10
19 terkecil dari sebuah kelompok sosial yang ada hubungan dengan
kekerabatan, tempat tinggal dan memiliki ikatan emosional yang dekat
serta adanya sikap saling ketergantungan, pemeliharaan hubungan,
kemampuan beradaptasi dengan perubahan dan mempertahankan identitas
dan kinerja tugas-tugas keluarga11
Beberapa catatan berkaitan dengan konsep di atas, mengingat
situasi hidup masyarakat diperkotaan yang cenderung untuk
berpindah-pindah (mendekatkan diri ditempat kerja) serta gaya hidup yang
kensomerisme sehingga orang berlomba-lomba untuk mencari pekerjaan
(baik laki-laki maupun perempuan, maka sudah lumrah bila sepasang
suami istri atau seorang laki-laki dan perempuan yang telah mengikat janji
setia dalam sebuah janji pernikahan tidak akan hidup bersama dalam satu
rumah disaat-saat hari kerja, dan atau orang tua yang sibuk bekerja tidak
akan hidup seatap dengan anak-anak beberapa saat karena pekerjaan di
luar daerah, atau anak-anak yang sekolah/kuliah diluar daerah tidak bisa
hidup bersama dengan orang tuanya selama beberapa saat. Karena itu
penekanan Wilk dan Netting tentang keluarga yang hidup satu atap untuk
wilyah perkotaan perlu dirumuskan kembali. Bagian kedua adalah di
beberapa Negara sekarang ini telah mengakui pernikahan antara satu jenis
kelamin (laki-laki dengan laki-laki yang disebut Gay dan perempuan
dengan perempuan yang disebut lesby), secara konstitusi Negara dan
bahkan sebagian agama mengakui hubungan ini sebagai hubungan yang
sah dan dianggap sebagai sebuah keluarga.
11
20
a. Bentuk-bentuk Keluarga
Frederic Le Play dalam bukunya L’organization De La Famillie yang kemudian di kutip oleh Peter Burke membedakan tiga bentuk
keluarga, pertama, tipe patriakal yang juga sering disebut sebagai keluarga
patungan yaitu laki-laki yang telah menikah tetap tinggal serumah dengan
orang tua; kedua, bentuk tidak stabil yang sering disebut keluarga inti atau
konjugal, yaitu semua anak yang telah menikah pindah dari rumah; ketiga,
keluarga akar (Famille Sonche) yaitu hanya satu anak-laki-laki yang
menikah saja yang masih tinggal bersama orang tua.12 Bentuk keluarga ini
sangatlah dipahami, namun menurut Burke bahwa bentuk Le Play bisa
dipahami dalam urutan kronologis perubahan sosial dan menampilkan
sejarah keluarga besar Eropa yang semakin lama semakin mengecil, mulai
dari “klan” (dalam arti kelompok keluarga besar) pada abad pertengahan,
lalu menjadi keluarga akar pada permulaan zaman modern, dan akhirnya
menuju pada keluarga inti dimana hal ini merupakan karakteristik
masyarakat industri.13
Pandangan umum yang berkembang di sebagian besar masyarakat
modern, setidaknya ada dua bentuk keluarga yakni; keluarga inti atau
batih (nuclear family) yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak. Bentuk
kelurga seperti ini biasanya mandiri dan mampu mengurus diri sendiri;
keluarga besar (extended family) yang terdiri dari suami, istri, anak-anak,
paman bibi serta kakek nenek14. Memahami berbagai pola dan latar
12
Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial, (Jakarta, Yayasan Obor:2015), 77-78
13
Peter Burke, 78
14
21 belakang budaya di berbagai belahan dunia, Goldenberg dan Goldenberg
merumuskan sembilan bentuk-betuk keluarga yakni;
“ keluarga inti (nuclear family), yaitu terdiri atas suamu, istri serta anak-anak kandung; keluarga besar (extended family), yaitu keluarga yang disamping terdiri atas suami, istri, dan anak-anak kandung, juga sanak saudara lainya, baik menurut garis vertical (ibu, bapak, kakek, nenek, mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak, adik, ipar), yang berasal dari pihak suami atau piha istri; keluarga campuran (blended family), yaitu keluarga yang terdiri atas suami, istri, istri, anak-anak kandung, serta anak-anak tiri; keluarga menurut hukum umum (common low family), yaitu keluarga yang terdiri atas pria dan wanita ang tidak terikat dalam pernikahan yang sah serta anaka-anak mereka yang tinggal bersama; keluarga orang tua tunggal (single parent family), yaitu keluarga yang terdri atas pria dan wanita, mungkin kaena bercerai, berpisah, ditinggal mati atau mungkin tidak perah menikah, serta anak-anak mereka tinggal bersama; keluarga hidup bersama (Comune family), yatu keluarga yang terdiri atas pria, wanita dan anak-anak yang tingga bersama, berbagi hak, dan tanggung jawab serta memiliki kekayaan bersama; keluarga serial (serial family), yaitu keluarga yang terdiri atas pria dan wanita yang telah menikah dan mungkin telah mempunyai anak, namun kemudian bercerai dan masing-masing menikah lagi serta memiiki anak-anak dengan pasangan masing-masing tetapi semuanya menganggap sebagai satu keluarga; keluarga gabungan atau komposit (composite family) yaitu keluarga yang terdiri atas suami dengan beberapa istri dan anak-anaknya (poliandri) atau istri dengan beberapa suami suami dengan anak-anaknya (poligini) yang hidup bersama-sama; keluarga tinggal bersama (cohabitation family), yaitu keluarga yang terdiri atas pria dan wanita yang hidup bersama tanpa ikatan pernikahan
yang sah”15 .
Dari bentuk-bentuk keluarga di atas secara langsung membantu
setiap pembaca memahami konsep keluarga sesuai dengan pola, konteks
budaya dimasing-masing komunitas sosial, walaupun tidak semuanya
mewakili contoh dalam masyakat Nias, salah satu bentuk keluarga adalah,
seorang istri atau suami yang telah menjanda atau menduda dan tidak
memilik seorang anak kandung atau anak angkat/adopsi, sementara dia
hidup sendiri atau menumpang di rumah orang lain.
15
22
b. Fungsi keluarga
Sebuah ungkapan yang sangat menarik berkaitan dengan fungsi keluarga
“Keluarga adalah sel vital yang paling kecil dari masyarakat tempat cita
-cita, toleransi, prasangka, serta kebencian di tularkan, keluargalah yang
mempunyai pengaruh yang paling kuat pada tingkah laku dan memberikan
model-model (contoh) yang paling baik”.16 Ungkapan ini mengungkapkan tentang fungsi yang sangat penting dalam pembentukan karakter setiap
pribadi. Bekaitan dengan itu, maka Martono menjelaskan tentang fungsi
keluarga, yakni; 17
1. Fungsi reproduksi dan pemenuhan kebutuhan biologis (seksual) yang
diatur dalam nilai-nilai sosial (budaya) di mana mereka hidup)—guna kelangsungan generasi setiap masyarakat artinya melalui keluarga
terlahir generasi generasi baru sebagai pewaris dan penerus
“ekonomi,” budaya, nilai dan status sosial dari sebuah keluarga.
2. Fungsi psikologi. Keluarga sebagai wadaha untuk memperoleh dan
mengapresiasikan kasih sayang, menyalurkan perhatian—sejak lahir manusia membutuhkan kasih sayang dari orang tua dan anggota
keluarga yang lain. Melalui keluarga, setiap manusia keluarga menjadi
sebuah wadah untuk menuangkan setiap perasan yang sedang dialami;
suka-duka, masalah, bahkan cita-cita—melalui keluarga manusia merasa aman dan nyaman.
16 Dikutip oleh Maderna “L‟Europa in Famiglia”, Periodici san Paulo, Alba (Italia) No 43
(1991) dan dikutip kembali oleh Mauricen Eminyan, Teologi Keluarga, (Yokyakarta, Kanisius : 2001), 12
17
23
3. Fungsi sosial; melalui keluarga, orang-orang dewasa mensosialisasikan
dan meneruskan nilai-nilai, tadisi-tradisi dan budaya terhadap generasi
muda, selanjutnya generasi-generasi muda akan mengamati,
mempelajari dan menerima peran-peran sosial sebagaimana tertuang
dalam sebuah tradisi dalam sebuah masyarakat. Masih dalam fungsi
sosial, keluarga juga berungsi memobilitas sosial antar generasi
4. Fungsi ekonomi; pada masyarakat tradisional atau pertanian keluarga
menjaadi unit produksi, karena itu setiap anggota keluarga dilibatkan
sebagai alat untuk memenuhi atau mencari kebutuhan, misalnya dalam
sebuah keluarga petani karet--setiap orang dalam sebuah keluarga
diwajibkan untuk menyadap karet. Karena itu filosofi “banyak anak
banyak rezeki dalam sebuah masyarakat sangat pegang erat atau
diyakini. Mereka yakin bahwa dengan jumlah anak yang banyak,
maka kekayaan akan melimpah (karena semakin banyaknya unit alat
(pribadi) yang bekerja)
5. Fungsi pendidikan; keluarga sebagai lembaga pertama dan
membutuhkan waktu yang lama untuk melatih, menyalurkan
pengetahuan dan ketrampilan yang digunakan oleh anak disaat dia
sudah mulai bisa bekerja.
Lebih lengkap lagi, fungsi keluarga dijelaskan dalam peraturan Pemerintah No 87
Tahun 2014 pasal 7 ayat 2 huruf a- h. tentang perkembangan kependudukan dan
pembangunan keluarga, Keluarga berencana, dan sistem informasi keluarga.18
18
24 1. Fungsi keagamaan, artinya mengembangkan kehidupan keluarga yang
menghayati, memahami serta melaksanakan nilai-nilai agama dengan
penuh iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Fungsi sosial budaya, artinya memberikan kesempatan kepada keluarga
dan seluruh anggotanya untuk mengembangkan dan menanamkan
nilai-nilai luhur budaya bangsa yang beraneka ragam dalam satu kesatuan.
3. Fungsi cinta kasih adalah memberikan landasan yang kokoh terhadap
hubungan yang harmonis antaranggota keluarga, masyarakat serta
hubungan kekerabatan antar generasi sehingga tercipta kehidupan yang
penuh cinta kasih lahir dan batin.
4. Fungsi perlindungan artinya menumbuhkan rasa aman baik secara fisik,
ekonomi, dan psikososial, serta kehangatan dalam kehidupan keluarga.
5. Fungsi reproduksi, artinya melanjutkan/meneruskan (menjaga
kelangsungan garis keturunan) keturunan yang sehat, direncanakan,
pengasuhan yang baik, serta memelihara dan merawat keluarga sehingga
dapat mewujudkan kesejahteraan manusia lahir dan batin.
6. Fungsi sosialisasi dan pendidikan, artinya memberikan peran kepada
keluarga untuk mengasuh, merawat, dan mendidik keturunan sesuai
dengan tahapan perkembangannya agar menjadi generasi yang berkualitas
dan mampu beradaptasi terhadap lingkungan dan kehidupan.
7. Fungsi ekonomi, artinya unsur pendukung untuk memenuhi kebutuhan
25 8. Fungsi pembinaan lingkungan artinya menanamkan pada setiap keluarga
agar mampu menempatkan diri secara serasi, selaras, dan seimbang sesuai
daya dukung alam dan lingkungan yang berubah secara dinamis
Sementara resolusi majelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
menegaskan fungsi utama keluarga adalah sebagai wahana untuk mendidik,
mengasuh dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh
anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta
menciptakan kepuasan dan lingkungan yang sehat untuk tercapainya keluarga
sejahtera.19
3. Teori Keluarga: Struktural-Fungsional/system20
Teori strukstural fungsional sangat dipengaruhi beberapa pemikiran yakni
Aguste Comte yang mempunyai perhatian penuh pada keterlibatan dan
keharmonisan sosial dalam masyarakat yang berantakan setelah revolusi Perancis.
Comte sangat menginginkan suatu consensus sosial dalam suatu masyarakat dan
menolak paham utilitarianism dan individualism yang berkembang dimasyarakat.
Menurut Comte, masyarakat bagaikan tubuh organik. Tubuh organik sosial
masyarakat tidak berdiri sendiri tetapi adanya keterkaitan dengan unit-unit yang
lain. Kemudian pemikiran Comte dikembangkan oleh Spancer21 dengan
19 Maryam, S, “Peer Group dan Aktivitas Harian (Belajar) Pengaruhnya Terhadap Prestasi
Belajar Remaja ”. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. No. 192, Vol. 058; 2006, 72
20
Teori sistem mempunyai pengertian dan konsep yang sama dengan Teori Struktural-Fungsional, namun teori sistem lebih menekankan pada beroperasinya hubungan antara satu set dengan set lainnya, sedangkan kalau teori struktural-fungsional lebih menekankan pada mekanisme struktur dan fungsi dalam mempertahankan keseimbangan struktur. Kedua teori tersebut terkadang dipandang sebagai teori yang sama, dan keduanya diterapkan pada analisis kehidupan keluarga (Harien Parwati Gender dan Keuarga, (Bogor, IPB Press:2011),
21
26 mengemukaan dua analogi tubuh organik yakni proses evolusi dari bentuk
sederhana ke bentuk kompleks; kedua adalah membandingkan antara organisme
masyarakat dan organisme individu. Emile Durkheim22 memilki pandangan
tentang masyarakat bahwa individu merupakan ekspresi dari kolektivitas tempat
individu tersebut berada. Struktur dari masyarakat akan memberi tanggungjawab
kepada setiap individu karena itu setiap individu berbeda dan memiliki fungsi
yang berbeda (pada tahap ini lahirlah pembagian kerja).
Strutural fungsional memandang masyarakat sebagai suatu sistim yang
dinamis, yang terdiri dari berbagai bagian sub system yang saling berhubungan.
System pada pendekatan ini berada pada lapisan individual (berhunbungan dengan
perkembangan kepribadian), lapisan institusional (keluarga), dan pada lapisan
masyarakat. Kajian fungsional terhadapa keluarga menekankan pada relasi antara
keluarga dengan masyarakar sekitarnya, relasi-relasi internal di antara
subsistem-subsistem yang terdapat dalam keluarga dan atau relasi di antara keluarga serta
karakteristik dari setiap anggota keluarga sebagai pribadi23.
Teori ini memandang keluarga sebagai lembaga terkecil dalam masyarakat
yang memiliki prinsip-prinsip yang serupa dengan kehidupan sosial masyarakat,
serta adanya pengakuan bahwa kehidupan sosial memiliki keanekaragaman yang
kemudian melahirkan sebuah struktur dalam masyarakat—struktur tersebut melahirkan peran yang beragam dalam sebuah system24. Karena itu sistem sosial
sebagai suatu sistem yang seimbang, harmonis dan berkelanjutan. Keluarga
22
George Ritzer, Teori Sosiologi; dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan terakhir Postmodern, Terj dari Sosiolgy Theori, di terj. Oleh Saud Passaribu dkk. (Yokyakarta, Pustaka Pelajar,2012), 31
23
Ihromi, 269-270
24
27 dilihat sebagai sebuah subsistem yang tidak terlepas dari interaksinya dengan
subsistem-subsistem lainnya yang ada dalam masyarakat. Dalam interaksi
tersebut, keluarga berfungsi sebagai pemelihara keseimbangan sosial masyarakat
(equilibrium state). Karena itu, menurut Klein & White sebagai asumsi dasar
dalam teori struktural fungsional masyarakat selalu mencari titik keseimbangan;
Masyarakat memerlukan kebutuhan dasar agar titik keseimbangan terpenuhi;
untuk memenuhi kebutuhan dasar, maka fungsi-fungsi harus dijalankan, dan
untuk memenuhi semua ini, maka harus ada struktur tertentu demi berlangsungnya
suatu keseimbangan atau homeostatik25.
Agar keseimbangan bisa tercapai baik ditingkat masyarakat maupun
tingkat keluarga, maka kata “prasyarat” dalam struktural-fungsional menjadi suatu
keharusan. menurut Levy prasyarat structural tersebut meliputi: diferensiasi peran
yaitu tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga; tugas solidaritas
yang menyangkut distribusi relasi antar anggota keluarga; tugas ekonomi yang
menyangkut distribusi barang dan jasa antar anggota keluarga untuk mencapai
tujuan keluarga; tugas politik yang menyangkut distribusi kekuasaan dalam
keluarga, dan tugas integrasi dan ekspresi yaitu meliputi cara/ tehnik sosialisasi
internalisasi maupun pelestarian nilai-nilai maupun perilaku pada setiap anggota
keluarga dalam memenuhi tuntutan norma-norma yang berlaku26.
Berkaitan dengan prasyarat tersebut, menurut Ihromi, ada empat konsep
yang digunakan dalam pendekatan struktural fungsional, yaitu, Struktur, fungsi,
status, dan peranan27. Struktur dianalogikan dengan tubuh biologis yang tidak
mengacu pada organisme atau satuan yang memiliki wujud sebagai tubuh yang
25
Puspitawati, 93
26
Puspitawati
27
28 hidup, melainkan sebagai sebuah perangkat dari hubungan-hubungan, di antara
unit-unit yang menjadi bagian dari tubuh dari suatu sistem; organisme adalah
sekumpulan satuan-satuan yang terjalin dalam sebuah struktur. Selama
organismenya tetap hidup, maka strukturturnya akan berkelanjutan, kehidupan
suatu organisme dikonsepsikan sebagai berfungsinya stuktur. Bila dihubungkan
dengan dengan bagian-bagian yang terulang-ulang, proses kehidupan, seperti
pernapasan, pencernaan, maka fungsinya adalah peranan yang dimainkanya dalam
sumbanganya terhadap pemeliharaan, pelestarian terhadap kehidupan28.
Struktural fungsional lebih banyak menaruh perhatian pada fungsi—fungsi sistem-sistem yang terkadang tidak hanya melihat pada fungsi sistem yang
berkontribusi positif (fungsi yang diharapkan) namun ada juga
fungsi-fungsi yang negative (tidak diharapkan) sehingga terjadi suatu disfungsi-fungsi bagi
sistem (keluarga). Durkheim menerapkan istilah fungsi untuk pranata sosial
sebagai kesesuaiannya dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat29.
Ada 3 bidang fungsi keluarga yang menjadi sorotan dalam pendekatan
fungsiaonal sruktural; 30
1. Fungsi-fungsi keluarga untuk masyarakat (hubungan antara keluarga dan
unit-unit sosial yang lebih luas) artinya, peranan keluarga dalam proses
sosialisasi yang dialami oleh anggota masyarakat; berkaitan dengan ini,
Parson dan Bales mengemukakan bahwa hanya keluarga inti (nuclear
family) yang berkonpeten mengasuh anak-anak kecil sehingga dapat
menjadi anggota keluarga yang serasi untuk masyarakat luar. Dikatakan
28
Ihromi
29
Ihromi
30
29 keluarga inti karena penyampaian atau transmisi dari nilai-nilai yang ada
dalam suatu kebudayaan kepada anggota-anggota baru dalam sebuah
masyarakat; yang memiliki peranan penting bahkan utama dalam proses
sosialisasi tersebut adalah ibu (perempuan),31 karena ibu memiliki waktu
yang lebih lama bersama dengan anak-anaknya di rumah, sementara suami
atau laki-laki jarang bertemu dengan anak-anaknya—bertemu dengan anak-anaknya di sore sampai pagi hari. Kaitan dengan fungsi keluarga
inti, menurut Ihromi32, dua fungsi utama keluarga untuk masyarakat yaitu,
transmisi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan stabilisasi atau
mempersiapkan dan memantapkan dari kepribadian individu yang lebih
dewasa untuk terjun dan berkontribusi dalam masyarakat.
2. Fungsi-fungsi dari subsistem dalam keluarga untuk keluarga dan untuk
subsistem-subsitem itu sendiri (hubungan di antara keluarga dengan
berbagai subsistem). Dalam hal ini ada pengkajian fungsi setiap individu
dan kaitanya dengan pembagian pekerjaan di antara anggota keluarga demi
eksistensi dan kelestarian keluarga. Dalam hal ini, Parson, Bales, Slater,
Zeldith berpendapat bahwa untuk menciptakan suatu keseimbangan perlu
pembagian peran yang disebut differensasi peran sesuai gender (jenis
kelamin); peran instrumental disaat adanya perubahan sosial (peran yang
terutama ditujukan kepada pihak luar misalnya suami sebagai pencari
nafkah yang kemudian fungsi pencari nafkah tidak hanya tertuju pada ayah
atau laki-laki tetapi juga kepada ibu atau perempuan di saat terjadi desakan
31
Monique Susman, (penyunting), Kongres Perempuan Pertama, (Jakarta, Yayasan Obor dan KITL: 2007), 61-63; Boosh, Pauline G., dkk. Surcebook of Family Theories and Methods A Contextual Approach, e-book, (Springer Science,Business Media:2004)
32
30 ekonomi serta perubahan sosial dari keluarga sebagai unit produksi ke unit
konsumtif).33 Peran instrumental peran ekspresif (peranan yang utama
berhubungan dengan pengembangan solidaritas di dalam kelompok)
ditujukan bagi seorang perempuan (ibu).
3. Fungsi-fungsi keluarga untuk anggota keluarga temasuk perkembangan
kepribadian (hubungan di antara keluarga dengan kepribadian), misalnya
fungsi dari gangguan emosional anak terhadap keluarga dan
konsekuensinya terhadap perkembangan anak—sebagian peneliti menyoroti perkembangan anak pada keluarga tertentu, hubungan ibu dan
anak, sebagian lainya menyoroti keluarga sebagai suatu keseluruhan dan
pengaruhnya terhadap perkembangan kepribadian yang berkembang— karena itu untuk memastikan bahwa perkembangan kepribadian menuju
hal yang baik, maka setiap keluarga harus memiliki aturan—tanpa aturan, hidup keluarga tidak akan memiliki makna (meaning) dan keluarga akan
memproduksi generasi-generasi yang tidak memiliki arah hidup. Selain
itu, Ackherman mengemukakan bahwa dalam memahami perkembangan
kepribadian, penting mempelajari hubungan antara masyarakat umum,
keluarga dan individu. Walaupun sebenarnya bentuk keluraga sangat
menentukan gambaran bentuk-bentuk tingkah laku dalam pelaksanaan
peranan tertentu, seperti peran sebagai suami, ayah, ibu, istri, atau anak— menjadi suami, ayah, istri, ibu, anak baru memperoleh makna bila
dihubungkan dengan struktur keluarga tertentu. Jadi keluarga telah
33
31 membentuk untuk “menjadi” pribadi-pribadi yang diharapkan mampu
melakukan peranan dan fungsinya.
Bila ketiga fungsi berjalan dengan baik, maka keseimbangan dinamis
(dynamic equalibirium) akan tercipta, karena itu bisa disimpulkan bahwa
keluarga sebagai sistem yang terdiri dari subsistem masyarakat tempat cita-cita,
toleransi, prasangka, serta kebencian di tularkan, keluargalah yang mempunyai
pengaruh yang paling kuat pada tingkah laku dan memberikan model-model (role
model) yang paling baik”.34
Dalam fungsional strukturan, penekanan akan pentingnya diferensiasi
peran dalam kesatuan instrumental ekspresif, adanya alokasi kewajiban tugas
yang harus dilakukan agar keluarga sebagai sistem tetap ada. Tanpa pembagian
tugas yang jelas pada masing-masing aktor dengan status sosialnya, maka fungsi
keluarga akan terganggu yang selanjutnya akan mmpegaruhi sistem yang lebih
besar lagi. Hal itu melahirkan ketidak seimbangan dan disfungsi keluarga—hal ini bisa berakibat perceraian. Menurut Lavi, ada beberapa hal yang harus
dipenuhi agar struktur keluarga sebagai sistem tetap berfungsi yaitu, diferensiasi
peran, alokasi solidaritas, alokasi ekonomi, alokasi politik, alokasi integrasi dan
ekspresi35.
Berkaitan dengan hal tersebut, Talcott Parsons sebagai seorang analis
fungsional telah menjelaskan bagaimana hubungan antara peran dan fungsi
keluarga di dalam masyarakat. Peran menunjuk pada bagaimana anggota keluarga
saling berhubungan satu dengan yang lain, karena itu sebagai sebuah system
34 Dikutip oleh Maderna “L‟Europa in Famiglia”, Periodici san Paulo, Alba (Italia) No 43
(1991) dan dikutip kembali oleh Mauricen Eminyan, Teologi Keluarga, (Yokyakarta, Kanisius : 2001), 12
35
32 sosial, keluarga tidak luput dari perhatian analisis fungsional, di mana skema
AGIL (Adaptation; Goal Attainment; Integration; and Latency), Parson dapat
digunakan untuk mengaanalisa peran dan fungsi keluarga dalam mengahadapi
sebuah perubahan sosial.
Dalam menghadapi perubahan dilingkungan sekitar, keluarga harus memiliki
mekanisme dalam melakukan sebuah adaptasi terhadap perubahan tersebut, jika
tidak maka keluarga tersebut akan hancur tergilas perubahan. Kedua adalah
keluarga (nuclear family, secara khusus suami istri) harus memiliki tujuan yang
harus dicapai. Ketiga adalah, fungsi integritas dalam keluarga sehingga tercipta
ikatan batin dan solidaritas terhada setiap anggota klurga; keempat, fungsi
pemeliharaan pola dalam hal ini, peran keluarga dalam mensosialisasikan
nilai-nilai36.
Menanggapi berbagi kritikan yang menilai bahwa fungsional stuktural hanya
mengharapkan sebuah harmoni dan keseimbangan tanpa melihat dinamikan
keluarga yakni konflik dalam keluarga karena adanya perbedaan-perbedaan, maka
Parson berpandangan bahwa adanya suatu konflik karena adanya kesenjangan
peran, karena itu perlu adanya control sosial, serta perlu adanya penerapan
penghargaan dan sanksi. Berbeda dengan Parson, marton mengajukan teori
tipologi penyimpangan perilaku yakni; Non-deviance (actor menerima dan
melakukan dengan baik nilai dan norma yang berlaku); Inovasi (selalu berpegang
pada “hasil dari kesepakatan”, namun tanpa terikat pada prosedur yang harus
dilalui untuk meraih tujuan/hasil); ritualisme (kebalikan dari inovasi yakni tanpa
harus mencapai tujuan, tetapi melakukan proses dulu); retretisme (pasrah—tidak
36
33 berbuat apa-apa). Berkaitan dengan fungsi sosialisasi keluarga, maka perlu adanya
sosialisasi yag fariatif terhadap anak37.
Berangkat dari teori Parson, Cohen menolak gagasan bahwa
penyimpangan tentu saja menyebabkan disorganisasi. menurut Cohen, bahwa
sistem berada dalam disorganisasi hanya bagi orang-orang yang mengharapkan
keseimbangan sesuai dengan konstitusi sendiri. Penyimpangan dari peran akan
selalu ada dalam sebuah keluarga, namun tidak selamanya menyebabkan
disorganisasi, melainkan hanya meremehkan system nilai. Walaupun sebuah
penyimpangan terjadi, namun masih berfungsi, maka system masih terorganisir,
tidak merusak stabilitas dan keseimbangan, jurstru akan mendorong terciptnya
sebuah norma yang baru38.
4. Teori Keluarga: Konflik Sosial
Secara umum, lahirnya teori konflik adalah terjadinya revolusi politik dan revolusi
industri (dengan system ekonomi kapitalis) yang melanda masyarakat Eropa
terutama di abad 19 dan awal abad 20. Pada tahun 1930-an teori konflik
berkembang di Amerika sebagai respon kebangkitan dari keterpurukan
(perekonomian, teknologi dan militer) Negara tersebut, sehingga Negara Amerika
menjadi sebuah simbol modernitas. Teori konflik mulai berkembang pada tahun
1960-an dan sering digunakan dalam kajian perempuan persepektif feminism39.
Selain hal tersebut di atas, teori konflik juga merupakan respon
ketidakpuasan terhadap teori fungsionalisme stuktural Talcot Parson dan Robert
K. Marton yang menilai masyarakat dengan paham dan konsensus dan
37
Pauline G., dkk, 199-201
38
Pauline
39
34 integralistiknya, sistem sosial yang berstruktur dan adanya perbedaaan fungsi dan
diferensiasi peran. Strukturalis fungsionali menganggap bahwa keluarga
melanggengkan kekuasaan yang cenderung menjadi cikal bakal lahirnya ketidak
adilan dalam masyarakat. David Lockwood mengkritik Parson yang terlalu
menekankan keseimbangan dan ketertiban. Hal ini dianggap sebagai suatu
pemaksaan bagi individu untuk selalu melakukan konsensus agar kepentingan dan
kebutuhan kelompok terpenuhi. Menurut Lockwood, konflik akan selalu
mewarnai kehidupan masyarakat terutama dalam hal distribusi sumber daya yang
terbatas, karena pada dasarnya setiap individu lebih mementingkan diri sendiri
dari pada kepentingan kelompok, masing-masing kelompok atau individu
memiliki tujuan yang berbeda-beda bahkan bertentangan sehingga dengan
demikian akan timbul diferensiasi kekuasaan akibatnya sekelompok orang akan
menindas yang lain.40
Engels pernah mengungkapkan bahwa pada zaman masyarakan berpola
hidup berpindah-pindah atau bahkan pola hidup pertanian; kehidupan mereka
masih miskin (menurut kriteria taraf hidup jaman sekarang), perempuan di
keluarga dalam sebuah masyarakat dihargai atau tidak ditindas, namun setelah
manusia masuk dalam revolusi politik dan ekonomi yang kapitalis, perempuan
dalam sebuah keluarga diposisikan pada kelas subordinat (secand class).41 Pada
tahun 1960-an dalam analisis keluarga konflik itu digunakan, terutama oleh
40
Bdk. Herien, 98
41
Bdk, WWW. Google, Fathimah Fildzah Izzati, “Women‟s Question dalam Perjuangan Mengakhiri Kapitalisme dan Patriarki” risensi buku, Maria Mies, Patriarchy & Accumulation on a
35 pemimpin-pemimpin berkulit hitam dan para aktifis perempuan yang
memperjuangkan agar terjadi suatu perubahan dalam struktur keluarga dan
masyarakat.
Dalam kajian teori ini, ada anggapan bahwa konflik dalam sebuah
keluarga dianggap sebagai ancaman bagi keharmonisan keluarga, namun beberapa
pakar konflik beranggapan konflik dipandang sebagai sebuah proses sosial,
sehingga terjadi suatu perubahan dari tatanan yang lama menuju suatu pembaruan
yang disesuwaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat, karena itu konflik
dipandang sebagai fenomena sosial yang biasa dan wajar dalam setiap interaksi
manusia terutama dalam keluarga—agar konflik tersebut tidak menuju pada keretakan atau kehancuran kohesi sosial, keutuhan keluarga, maka diperlukan
manajemen konflik, alokasi kekuasaan, dan sumber daya dalam keluarga. Pada
umumnya peneliti yang mengkaji tentang kekerasan dalam keluarga serta
penangananya lebih cenderung menggunakan teori konflik.42 Klein dan White
menguraikan asumsi dasar dari teori konflik adalah,
“ (1) Manusia tidak mau tunduk pada konsensus, (2) manusia adalah individu otonom yang memiliki kamauan sendiri tanpa harus tunduk pada norma dan nilai; manusia secara garis besar dimotifasi oleh keinginan sendiri, (3 konflik adalah endemik sosial; (4) tingkatan masyarakat yang normal lebih cenderung mempunyai konflik daripada harmoni, dan (5) konflik merupakan suatu proses konfrontasi antara individu, grup atas sumber daya yang langka, konfrontasi suatu pegangan hidup yang sangat berarti.”43
Hal mirip diungkapkan oleh Ihromi tentang asumsi dasar dari teori konflik
yakni, pertama, Setiap anggota keluarga memiliki kedudukan yang berbeda
sebagai konsekuensi dari jenis kelamin/gender atau umur. Lahirnya konflik dalam
sebuah keluarga (yang diekspresikan secara verbal dan non verbal)
42
Bdk. Ihromi, 279
43
36 dilatarbelakangi adanya tawar-menawar dan persaingan untuk memperoleh
kedudukan dan hal-hal yang dianggap bernilai tinggi, seperti uang, perhatian,
kekuasaan, dan kewenangan untuk memainkan peran tertentu. Namun walaupun
ketegangan atau konflik sering terjadi, tujuan dan cinta yang timbul antara
anggota keluraga menyebabkan satu sama lain saling terikat; kedua, konflik dalam
keluarga dapat membawa akibat positif atau negatif, bila hal konflik ditekan maka
berakibat buruk pada anggota keluarga, hal itu bagaikan api dalam sekam, dimana
bibit atau pemicu konflik telah membara, tetapi anggota keluarga berusaha untuk
menyembunyikannya, namun perlu dicatat bahwa keluarga yang tidak mengalami
konflik tidak menajamin kebahagiaan sebuah keluarga,44 karena itu Sprey
mengemukakan bahwa masalah-masalah yang ada dalam keluarga bukan karena
adanya perbedaan antara anggota keluarga (terutama antara suami istri), karena
perbedaan itu selalu dan pasti ada. Namun konflik itu ada karena
ketidakmampuan para anggota keluarga untuk hidup dengan perbedaan-perbedaan
yang ada di antara mereka. Perbedaan yang terus menerus ada dalam keluarga
harus mampu dikendalikan (dengan manajemen konflik keluarga), karena itu
keluarga yang berhasil dalam keluarga bukanlah keluarga yang berhasil menekan
sebuah konflik, tetapi yang berhasil memuaskan semua anggota keluarga dengan
mengadakan negosiasi mengenai perbedaan dan gesekan/konflik yang timbul
dengan tingkat kesadaran yang sangat baik dalam membangun negosiasi45 (hal ini
tidak dilakukan atas pengaruh emosional, melainkan sebuah kesadaran untuk
mengalah untuk menang).
44
Puspitawati
45
37 Gender dan Feminisme.
Suatu hal yang tidak bisa dielakkan bahwa bila berbicara tentang keluarga, berarti
juga berbicara tentang gender. Karena konsep dan ruang lingkup gender
merupakan bagian dari proses pengelolaan sumber daya dalam keluarga yang di
dalamnya ada peran-peran yang dilakukan oleh setiap anggota keluarga.
Istilah gender sebenarnya diperkerkenalkan oleh para ilmuan sosial untuk
menjelaskan perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan (seks
atau biologis) yang sifatnya kodrat—tidak bisa ditukar dan hal-hal yang bisa dinegosiasikan, terjadi dan berkembang atas konstruksi sosial yang berjalan dalam
suatu proses sosialisasi.
Hampir bisa dipastikan bahwa selama ini ada kesalah pahaman dalam
memahami konsep gender. Gender dipahami sebagai perbedaan antara laki-laki
dan perempuan yang bersifat bawaan (kodrat) dan yang hal-hal yang sifatnya
konstruksi sosial yang berjalan dalam suatu proses sosialisasi. Dalam budaya
patriakhi, perbedaan antara yang kodrat dan konstruksi hampir tidak bisa
dipilah—adanya anggapan bahwa hasil konstruksi sosial terhadap perbedaan fungsi, peran, hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan sudah
merupakan hal yang kondrat karena itu tidak bisa dilakukan sebuah perubahan,
akibatnya berdampak pada pembatasan hak, akses, partisipasi, kontrol dan
manfaat dari berbagai sumber daya. Dari dampak tersebut lahirlah berbagai
istilah atas perilaku yang sering terjadi dalam keluarga dan lingkungan
masyarakat, diantaranya46;
46
38 a. Marginalisasi; merupakan suatu proses sikap, perilaku, kayakinan dan
tafsiran terhadap kitab kagamaan, tradisi dan kebiasaan masyarakat, atau
bahkan asumsi pengetahuan serta kebijakan Negara yang berdampak pada
penyisihan atau peminggiran bagi perempuan atau laki-laki yang
mengakibatkan kemiskinan secara ekonomi.47 Contoh; perilaku dalam
memprioritas pendidikan tinggi bagi anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan, karena anggapan bahwa anak laki-laki sebagai
penanggungjawab, pewaris dan penerus tradisi keluarga, sementara
perempuan akan menikah dan pindah ke rumah suaminya sebagai ibu
rumah tangga yang urusannya hanya sebatas kasur, sumur, dan dapur.
b. Subordinasi; adalah sikap, anggapan atau tindakan masyarakat yang
menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah (tidak penting)
dan sekedar sebagai pelengkap kepentingan kaum laki-laki—laki-laki sebagai pribadi yang diutamakan. Contoh; beberapa pekerjaan dalam
keluarga yang tidak “menghasilkan uang” dikerjakan oleh ibu atau bapak
rumah tangga tidak diperhitungkan sebagai sebuah karier atau pekerjaan
karena tidak menghasilakn uang, sehingga bila ada pertanyaan tertuju
kepada seorang ibu atau bapak yang tidak bekerja sebagai PNS atau
pegawai perusahaan atau pekerjaan yang tidak mengasilkan uang, “ibu atau bapak pekerjaanya apa” selalu dijawab tidak bekerja, hanya sebagai
ibu rumah tangga atau kepala rumah tangga bagi bapak.
c. Stereotipe adalah pelabelan terhadap suatu kelompok tertentu dengan
sikap atau penilaian negatif. Berbagai sikap ketidak adilan dalam keluarga
47
39 atau kelompok sosial berkembang karena adanya sebuah stereotipe yang
dilabelkan pada jenis kelamin, contoh, bersolek dilabelkan kepada
perempuan yang suka tampil cantik untuk menarik perhatian orang lain,
macho dilabelkan kepada laki-laki yang kekar, kuat, dll48.
d. Beban ganda; adanya anggapan bahwa pekerjaan rumah, mengasuh anak
bahkan karena keterbatasan ekonomi, perempuan bekerja bersama suami
untuk mencukupi kebutuhan hidup. Hal ini sering dianggap sebagai sebuah
pengabdian dan pengorbanan yang mulia.
e. Kekerasan; bentuk kekerasan akibat bias gender sering disebut dengan
istilah gender-related violence. Korban kekerasan bukan hanya
perempuan tetapi bisa juga laki-laki yang dilakukan secara verbal yang
terjadi di tempat terbuka atau di ruangan tertutup atau privat dan kekerasan
nonverbal (antaranya, pemerkosaan, penyerangan seksual, pemukulan,
pelecehan seksual)49.
f. Relasi Gender50; hubungan antara laki-laki dan perempuan berkaitan
dengan pembagian peran yang dilakukan oleh setiap orang pada berbagai
bentuk struktur keluarga (keluarga miskin atau kaya, keluarga desa atau
kota, keluarga lengkap atau tunggal, keluarga yang memiliki anak atau
tidak).
Berhubungan dengan beberapa hal tersebut (konstruksi sosial yang dijadikan
kodrat), maka beberapa ilmuan sosial mencoba menguraikan konsep gender dan
48
Bdk. Fakih. 16-17
49
Bdk. Silvia Walby,193-202; bdk, Retnowati, “Critizing the Silence the Religions In Andressing Violence To Ward Women” Academic Research International Journal, Vol.4 No.3 (May 2013), 319-320; Komnas Perempuan, Peta Kekerasan; pengalaman Perempuan Indonesia, (Jakarta, Ameepro: 2002) 37-105; Pierre Bourdieu, Dominasi Maskulin, (Yokyakarta, Jalasutra: 2010), 47-60
50
40 jenis kelamin (seks); Anne Oakley, ahli sosiologi Inggris merupakan orang yang
pertama kali mengusung konsep gender dan memberikan pembedaan antara istilah
gender dan jenis kelamin, gender dipahami sebagai identitas laki-laki dan
perempuan yang dikonstruksi dalam sebuah masyarakat, sementara hal-hal yang
kondrati lebih tertuju pada jenis kelamin (seks atau biologis) yang berkonsekuensi
pada perbedaan peran reproduksi; laki-laki memiliki penis, testis, membuahi
spermatozoa, hormone testoteron, kelenjar prostate, sementara perempuan
memiliki vagina dan kandungan karena itu perempuan melahirkan, memiliki
kelenjar susu—menyusui, haid, memiliki hormone esterogen dan progesteron51. Herien Puspitawati mengartikan Gender sebagai perbedaan peran,
fungsi, hak, status, tanggung jawab serta perilaku laki-laki dan perempuan yang
dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya sebagai hasil kesepakatan atau hasil
bentukan dari masyarakat melalui proses sosialisasi dari generasi ke generasi. Hal
ini bukan kodrat karena itu dapat diubah, dapat dipertukarkan bergantung pada
waktu dan keadaan serta budaya masing-masing.52 Dari konsep tersebut bisa
dikatakan bahwa ruang lingkup dan konsep gender menyangkut peran, fungsi,
status, tanggungjawab, kebutuhan umum dan kebutuhan khusus, permasalahan
umum dan khusus laki-laki dan perempuan. Gender adalah hasil kesepakatan
antara manusia dalam kurun waktu dan budaya tertentu sehingga bisa berubah
bahkan dipertukarkan—tergantung budaya dan waktu.
Dari konsep dan beberapa istilah “kesenjangan perilaku” gender di atas, maka timbulah suatu kesadaran atas kesamaan atau kesetaraan (equality) laki-laki
dan perempuan baik dalam keluarga maupun ditingkat masyarakat, dengan
51
Rio Girsang, Nias Dalam Perspektif Gender, (Sibolga, Caritas keuskupan Sibolga: 2014), 4-6
52
41 munculnya beberapa istilah yakni, kesetaraan gender dan keadilan gender53,
emansipasi wanita,54 yang kemudian melahirkan pergerakan yang disebut gerakan
feminisme dengan berbagai aliran pemikiran.
Henrietta L. Moore adalah seorang yang menelaah hakikat dan makna
kritik feminisme dalam antropologi. Menurut Moore, feminisme sebagai sebuah
kesadaran perempuan akan penindasan dan pemerasan dalam kerja, di rumah dan
di masyarakat. Feminisme juga bisa dipahami sebagai kesadaran tindakan politik
yang dilakukan oleh perempuan untuk mengubah situasi yang telah dan sedang
dialami. Konsekuensi dari konsep tersebut pertama, defenisi tersebut menunjukan
bahwa pada tahapan yang mendasar terdapat kebutuhan dan kepentingan bersama
perempuan yang harus dan layak untuk diperjuangkan; kedua, walaupun adanya
berbagai aliran dalam perjuangan (Feminis liberal, radikal marxis, sosialis, eko
feminis, feminis poskolonial), namun premis yang mendasari perjuangannya
adalah adanya identitas nyata dan aktual karena merupakan landasan kesatuan
kepentingan perempuan; ketiga adalah perjuangan feminis, lebih jauh lagi,
tergantung pada kohesinya—baik yang potensial maupun aktual dalam
53
Puspitawati mengutip USAID yang mendefenisinakn kesetaraan gender sebagai gender equality yang diartikan permits women and men equal enjoyment of human right, socially valued goods, opportunities, resources and the benefit from development result (kesetaraan gender memberi kesempatan baik kepada perempuan atau laki-laki secara seimbang dalam menikmati hak-haknya sebagai manusia, secara sosial memiliki benda-benda, kesempatan, sumber daya, dan menikmati hasil pembangunan. Kadilan gender diartikan sebegai gender equity yang dijabarkan is the process of being fair to women and men. To ensure fairness, measures must be available to compensate for historical and social disadvantages that prevent moment and men from operating on a level playing field. Gender equity strategies are used to eventually gain gender equality. Equity is the means; equality is the result (keadilan gender merupakan suatu proses untuk menjadi adil baik kepada perempuan maupun kepada laki-laki. Untuk memastikan adanya suatu keadilan, maka dibuat suatu ukuran untuk mengompensasi kerugian secara historis maupun sosial yang mencegah perempuan atau laki-laki dari berlakunya suatu tahapan permainan. Stretegi keadilan gender pada akhirnya digunakan untuk meningkatkan kesetaraan gender. Keadilan merupakan suatu cara, kesetaraan adalah hasilnya Puspitawati, 70)..
54
42 penindasan yang dialami oleh sesama perempuan. Pengakuan atas pengalaman
(yang telah bahkan sedang dialami) oleh sesama perempuan merupakan dasar
“pejuangan seks” yang dipremiskan pada pendapat bahwa perempuan adalah
kelompok sosial yang didominasi oleh laki-laki sebagai kelompok sosial lain.55
Kesadaran Kesetaraan; sebuah Sejarah Singkat.
Bila membaca sejarah, perjuangan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan
sudah berlangsung sejak abad 17 yang dipelopori oleh Lady Marry Wortley
Montagu dan Marquis De Condorcet yang dimulai di Belanda (Middelburg),
kemudian pergerekan itu disebut oleh Charles Fourier pada tahun 1837 dengan
istilah Feminis56. Gerakan feminis terus berkembang di benua Eropa dan
Amerika dengan berbagai aliran (Feminisme eksistensialis, Liberal,
Sosialis/Marxist, Feminisme Radikal, Ekofeminisme dan feminism Poskolonial,
dll.
Secara legislasi di tingkat global, tahun 1948 dalam sebuah deklarasi Hak
Azasi Manusia PBB, menyatakan kesamaan Hak dasar setiap manusia (lki-laki
maupun perempuan); hak untuk hidup (life), kebutuhan untuk bebas (Liberty), dan
mencari kebahagiaan dalam kehidupan (happiness). Tahun 1957 diadakan sidang
umum PBB pertama dengan melahirkan sebuah keputusan tentang partisipasi
perempuan dalam pembangunan yang disusul dengan keputusan pada tahun 1963
yang secara khusus mengakui peranan perempuan dalam pembangunan sosial,
ekonomi dan nasional. Selanjutnya lahirlah konsep emansipasi antara perempuan
dan laki-laki yang disertai dengan gerakan global yang dipelopori oleh
perempuan, kemudian berhasil mendeklarasikan badan ekonomi social PBB
55
. Henriette L. Moore, Feminisme dan Antropologi, Jakarta, Obor: 1998), 23-24
56
43 dengan nama (ECOSOC), yang selanjutnya diakomodasi oleh pemerintah
Indonesia dengan dibentuknya komite nasional kedudukan wanita Indonesia
(KNKWI).57 Pada tahun 1990 UNDP (United Nation Development Program)
merumuskan konsep kesetaraan gender dengan memasukan indikator human
development index (HDI) selain Gros Domestik Product (GDP) dalam mengukur
keberhasilan pembangunan sebuah bangsa58.
Di tingkat legislasi Nasional (Indonesia), sejarah akan kesadaran
kesamaan kedudukan muncul dalam sebuah perundang-undangan yakni dalam
UUD 1945 yang menegaskan tentang kesamaan hak dan kewajiban bagi
penduduk tanpa membedakan laki-laki dan perempuan seperti bidang kesehatan,
politik dan pekerjaan (pasal 27) baik secara lembaga maupun secara perorangan.
Kemudian dalam UU perkawinan tahun 1974 Bab VI dan bab VII yang mengatur
tentang hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki sebagai suami istri dalam
kehidupan berumah tangga, hal ini dimaksudkan agar hak dan kewajiban serta
kedudukannya dalam keluarga dan masyarakat setara. Sehubungan dengan itulah
peran perempuan Indonesia semakin mengalami perkembangan sebagaimana kita
lihat kenyataan perempuan yang memegang peran penting di lembaga Legislatif,
Eksekutif, Yudikatif dan berbagai organisasi kemasyarakatan.
Di tahun 1978 merupakan Tahun yang penting bagi perempuan Indonesia,
karena Pelita III di dalam GBHN secara emplisit memuat butir-butir tentang
57
Blagspot, Serly retno sari, Sejarah Perjuangn kesetaraan perempuan, dalam http://sherlyretnosari10.blogspot.co.id/2011/12/sejarah-perjuangan-kesetaraan-dan.html, di muat tanggal 11 Desember 2011, di baca 18 mei 2017
58
44 peranan perempuan dalam pembangunan dan pembinaan bangsa sehingga
kedudukan, peranan, kemampuan, kemandirian dan ketahanan mental spritual
perempuan sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya peningkatan kualitas sumber
daya manusia. Kesadaran akan kesetaraan laki-laki dan perempuan mengalami
perekmbangan yang signifikan dengan dibentuknya Rencana Undang-Undang
Keadilan dan kesetaraan Gender (RUU KKG—walaupun belum disahkan sampai sekarang) 2014, salah satu point penting dalam RUU KKG pasal 12 berbunyi
“dalam perkawinan setiap orang berhak: “atas peran yang sama sebagai orang tua dalam urusan yang berhubungaan dengan anak”59
.
Secara perorangan keadaran kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan
telah menggema di Asia—di India Misalnya, pada tahun 1930 Mahatma Gandi telah menulis dan memuat tulisan-tulisanya diberbagai media cetak nasional
tentang perempuan dan ketidak adilan gender—kemudian tulisan-tulisanya dibukukan menjadi sebuah buku dengan judul Kaum Perempuan Dan Ketidakadilan Sosial, di Indonesia, Ir. Soekarno menulis tentang pengaruh besar perempuan dalam pemerdekaan Indonesia dengan bukunya yang berjudul “Sarinah”. Jauh
sebelum itu, pada tahun 1880-an-1900-an kita kenal sosok R.A. Kartini yang
memperjuangkan peningkatan kedudukan perempuan Jawa di dalam keluarga dan
lingkungan masyarakat.
R.A. Kartini Dan Kesadaran Diri Akan Kesetaraan
Pada umumnya budaya tradisional daerah-daerah di Indonesia menganut garis
keturunan patriakal (kecuali Sumatra Barat yang mengikuti garis keturunan
59
45 Matrilinial). Dalam budaya pariakal, perempuan berada pada posisi sub-ordinat
atau sebagai second class. Sebagai pribadi “kedua” perempuan dianggap hanya sebagai pelengkap bahkan pembantu para bagi laki-laki, sehingga hak-haknya
tidak sama seperti hak saudaranya laki-laki. Dari situasi seperti ini, Jauh
sebelum kesadaran akan kesetaraan perempuan dengan laki-laki (emansipasi) di
kancah global dan nasional, gerakan perjuangan kesetaraan perempuan ini telah
terjadi melalui kesadaran diri R.A Kartini.
Dalam karakter seorang Kartini lahir sebuah kesadaran akan kerinduan dan
keinginan untuk diperlakukan sama seperti saudara laki-laki dan teman-temanya
perempuan yang berkewarganegaan Belanda. Hal ini nyata dalam tindakan (yang
diceritakan dalam sejarah) dan isi surat-surat yang dituliskan pada tahun 1900-
1904 yang ditujukan kepada temanya, Nona Zeehandelar, adiknya, nyonya
Abendanon, Nyonya Ovink-Soer, Tuan Prof. Anton dan Nyonya, dll.
Berkaitan dengan kesadaran diri tersebut, Blenky, dkk membedakan tahapan
kesadaran diri perspektif perempuan60, yakni;
1. Kebisuan atau kepatuhan buta (silence atau blind obidience), dalam
tahapan ini perempuan, seakan-akan berkarakter pasif, reaktif dan tunduk
pada figure yang menurutnya memiliki otoritas, kekuasaan dan
dominasi—hal ini diterima dan mematuhi sebagai sebuah kebenaran, walaupun pribadi yang difigurkan ini tidak menjelaskan mengapa sesuatu
itu dianggap benar karena legitimasi budaya. Pada tahap ini perempuan
belum memiliki kekuatan bahasa sebagai alat untuk menyampaikan
60
46 argument dan belum mampu belajar dari pengalaman. Selain mas kecil
yang belum mengerti apa-apa, masa kebisuan Kartini terjadi ketika
Ayahnya melarangnya untuk melanjutkan sekolah, karena harus
mematuhi tradisi pingitan sebagaimana tradisi Jawa terhadap anak-anak
remaja Perempuan.
2. Pengetahuan yang diterima (received knowledge), pada tahap ini
perempuan mulai memiliki kesadaran diri atas kemampuannya untuk
belajar dan mengelolah pengetahuan melalui pengalaman dan bahasa atau
tutur kata dari orang lain serta kesadaran atas kekuatan suara dan pikiran
(Voice and mind) yang disampaikan lewat teman-temanya. Pada tahapan
ini bahasa merupakan kunci utama dalam pengembangan pengetahuan.
Walaupun demikian perempuan masih menganggap pribadi yang
difigurkan sebagai sumber kebenaran tanp menyadari bahwa figure itu
sering merekonstrusi sesuatu menjadi sebuah kebenaran. Perempuan
sebagai received knowledge mengaktualisasikan diri lewat hubungan
dengan orang lain dan harapan-harapan masyarakat sebagaimana
digariskan dalam budaya yang berlaku, misalnya, perempuan diharapkan
menjadi pendengar setia dan penurut, pekerja yang telaten. Dengan kata
lain, pada tahapan ini perempuan menjadi pribadi yang tidak berkarakter
egosentris melainkan lebih mengutamakan atau mementingkain orang
lain.
3. Pengetahuan subjektif (subjective knowledge yang juga disebut
subjectivist woman); pada tahapan ini perempuan memiliki beberapa
47 dan perubahan baik terhadap dirinya maupun lingkungan sekitar.
Perempuan mulai mendengar dan mempercayai suara yang keluar dari
dalam diri sendiri dan mampu membandingkan pengalaman sendiri
dengan pengalaman orang lain, pendapat sendiri dengan pendapat figure
yang dominan, mengembangkan persepsi pribadi tentang dunia. Dari
beberapa kemampuan ini, perempuan mengalami perubahan dari pribadi
yang statis menjadi pribadi yang menjadi sehingga bahasanya yang
sebelumnya membisu berubah menjadi sebuah pemberontakan dan
keberanian yang tidak terkendali, mulai memperlihatkan otoritas diri,
otonomi diri dan berani melupakan persepsi kebenaran sebagaimana
dituturkan oleh orang-orang yang difigurkan, karena menurutnya
kebenaran adalah suatu yang yang pribadi, sesuatu yang dialami, bukan
sesuatu yang dipikirkan, sesuatu yang dirasakan, bukan sesuatu yang
dikonstuksikan.
4. Pengetahuan prosedural (procedural knowledge), model ini memiliki dua
kategori karakter yang bertentangan
a. Separate epistemology yang juga disebut separate knower—
perempuan yang cenderung objektif, impersonal, kritis, dan curiga,
artinya bahwa setiap orang bisa saja salah atau benar sehingga selalu
membangun jarak dengan orang lain
b. Connected epistemology atau sering disebut Connected Knower
adalah perempuan yang selalu memahami kebenaran dari pengalaman
dan belajar memahami pandngan orang lain serta memposisikan diri
48 5. Pengetahuan yang terkonstruksi (constructed knowledge). Artinya adanya
kesadaran seorang perempuan bahwa segala kebenaran dan pengetahuan
adalah konstuksi sehingga ia keluar dari system dan kerangka berpikir
yang telah ditentukan oleh pribadi yang difigurkan melalui konstruksi
budaya dan berusaha menemukan jati diri dan membentuk kerangka
berpikir yang baru. Karena mencapai pengetahan yang konstruktif, maka
perempuan selalu mencoba merangkai dan merekonstuksi pengetuan yang
diperoleh secara intuisi dengan apa yang dipelajari dari orang lain.
Adanya kesadaran bahwa kepribadianya dikendalikan oleh
harapan-harapan orang lain dan harapan-harapan social, krena itu selalu ada pengauan akan
status quo dan selalu mencoba selalu mencoba menampung kebutuhan
dengan latar belakang budaya yang ditentukan oleh laki-laki dengan
pertimbangan bahwa perubahan tidak datang dengan mudah.
Menganalisa sejarah perjuangan Kartini terutama dalam surat-suratnya yang
ditujukan kepada sahabat-sahabatnya (tahun 1879-1904), ia menceritakan
kedudukan perempuan Jawa (termasuk dirinya sendiri) dalam sebuah keluarga
yang masih menganut budaya feodal dan garis keturunan patriakal. Bila
dihubungkan dengan teori Belenky dkk. tentang tahapan kesadaran diri
perempuan, maka bisa dikatakan bahwa kelima tahapan ini pernah dialami oleh
Kartini walaupun tidak berurutan.
Semasa kecil atau sebelum sekolah, Kartini berada pada posisi silent Knower
49 masuk sekolah, bergaul dengan orang-orang Belanda Ny. Ovink-Soer bersama
suaminya dan betemu dengan pandita Ramabai61 sangat mempengaruhi intelektual
Kartini, selain kedua orang tersebut, Stella Zehandelaar, Ny. Abendanon, dll.
Kartini mengamati dan menyimpan segala informasi yang yang bersifat verbal
maupun non-verbal sehingga ada sikap ingin keluar dari keterbelengguan budaya
dan ingin memperoleh kebebasan dan perlakuan sebagaimana perempuan Barat
dan saudara-saudaranya laki-laki. Masa sekolah telah menjadikan Kartini sebagai
received knower. Setelah belajar banyak dari pengalaman Pandita Ramabai,
mendengar cerita dan kerinduan temannya Letzy yang ingin meneruskan
pendidikannya di Belanda, kini Kartini berani mengkritik adat istiadat dan Agama
yang membelenggunyan sekaligus adanya sebuah kesadaran bahwa pendidikan
merupakan jalan untuk memperbaiki dan mengangkat kedudukan perempua.62
Suratnya kepada Ny. Abendanon (Agustus 1900)63 yang menyatakan betapa
sakitnya saat dia merenungkan perbedaan nasib antara dirinya dengan Letzy yang
akan sekolah ke Belanda, sementara dia akan menjadi Raden Ayu.64 Pada tahap
ini Kartini menjadi seorang perempuan yang Subjective Knower.
Selain teman-teman belandanya dan Pandita Ramabai, Ayah Kartini adalah
figure sekaligus pribadi utama yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan
Kartini—melawan arus tradisi dengana menyekolahkan anak-anak perempuanya
61
Pandita Ramabai adalah seorang wanita India yang berhasil keluar dari lilitan tradisi India yang dilegitimasi dengan ajaran Agama Hindu. Sebelumnya Ramabai adalah seorang Hindu kemudian menjadi Kristen dan terlibat dalam pendirian sekolah untuk perempuan , anak-anak yatim dan perumahan para janda. Jayawardana yang dikutip Tita Marlita, 543.
62
Hal ini bisa dibaca dalam suratnya kepada Nelly Van Kol Agustus 1901 (R. A. Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, 77)
63
R.A Katini, Habis Gelap Terbitlah Terang, 40-42
64
50 di sekolah orang-orang Belanda serta menyediakan buku-buku bacaan yang
berbahasa Belanda. Di sisi lain Ayah Kartini berusaha melawan arus budaya,
karena dia berpendidikan Barat dan berwawasan liberal, namun, di saat anaknya
menginjak umur remaja, maka dia memutuskan Kartini untuk tidak sekolah— harus mengikuti tradisi sebagaimana anak perempuan lain menjalaninya yakni
masa pingitan. Pada tahap ini Kartini memberontak dan menolaknya, namun dia
tidak berdaya karena tekanan pribadi yang difigurkan yang juga berada dalam
sebuah tekanan budaya—sampai pada situasi ini Kartini menyerah dan menerima dengan bersikap membisu.
Semasa menjalani pingitan, Ayah Kartini menyediakan buku-buku bacaan
bagi; salah satu buku yang berkesan bagi Kartini adalah Novel yang berjudul
Hilda Van Suylenburg yang mengisahkan seorang ibu yang mengasuh anaknya
sendiri (tanpa suami) ditengah kecaman masyarakat di sekitarnya. Buku ini juga
menekankan pentingnya pendidikan bagi anak perempuan.65 Setelah masa
pingitan selesai di jalani, Kartini dan kedua adiknya melibatkan diri pada aktivitas
social, pembangunan, dan pengembangan pendidikan bagi kaum perempuan.
Sementara berada pada keadaan kebisuan karena dalam situasi pingitan,
Kartini terdorong untuk memahami lebih mendalam dan merenungkan praktek
budaya, misalnya budaya sopan santun yang sangat kaku66 serta mengkritiknya.67
65
Marlita, 548
66
Suratnya kepada Stella taggal 18 Agustus 1899 yang menceritakan bagaimana adik-adiknya merangkak bila melewatinya, begitu juga jika mereka menyampaikan sesuatu dengan orang yang lebih tua dengan bahasa Jawa yang lebih tinggi dan tidak boleh lupa menyembah bila selesai berkata-kata. begitu juga jika Kartini melewati kakak-kakaknya, Dia dituntut merangkak walaupun tidak dilakukannya (R.A. Karitni, Terj. Armijn Pane, Habis Gelap Terbitlah Terang, (Jakarta, Balai Pustaka: Cet. Ke 27 2009), 28
67
51 Pada sikap ini, Kartini berada tahap subjective knower. Selanjutnya Kartini
menjadi connectet knower membangun sikap berempati terhadap orang lain—hal ini terjadi setelah adik laki-lakinya lahir, dia menceritakan kepada Ny Abendanon
bagaimana selalu menjaga dan mengurus adiknya dengan sabar dan penuh dengan
kelemah lembutan tanpa keluh kesah. Sehingga dia berkata bahwa “bukankah Ni
juga pernah sekecil dan selemah adiknya? Dan tidakkah ibunya dulu bersusah
payah untuknya?68 Dari kondisi ini, Kartini belajar untuk menerima dan
menghargai orang lain walaupun mereka berbeda, kehadiran adik kecilnya yang
sakit-sakitan telah mengajarinya arti dan pengorbanan seorang ibu. Kesadaran ini
mendorongnya mengembangkan pikiran tentang peranan seorang ibu sebagai
seorang pengasuh anak69
Kartini sampai pada tahap yang lebih tinggi yakni konstruktivis di saat
dilamar oleh Bupati Rembang yang berstatus duda menurut adat Jawa.70
Walaupun bagi Kartini lamaran ini merupakan “kemalangan” baginya, karena
akan menghambat mimpi dan perjuanganya dalam mengangkat kedudukan
perempuansekaligus perlawananya menentang poligami, namun berpikir bahwa
pernikahan harus dijalani oleh setiap perempuan yang berasal dari stratifikasi
sosial seperti dirinya, kedua adalah menjadi seorang istri seorang bupati
memungkinkan “suaminya” kelak menjadi seorang teman kerja yang setara dan
memiliki pemikiran maju berkaitan tentang pendidikan bagi kaum perempuan.
Dimanakah gerangan lebih jasanya, orang yang bergelar graf atau baro-- Dua dari gelar kebangsawanan dari benua Eropa yakni Graf dan Baron? Tiada terselami oleh pikiranku yang picik ini (R.A. Kartini, Habis Gelap, Terbitlah Terang, 27-28)
68
Surat-Surat Kepada Ny.R.m. Abendanon-Mandr dan Suaminya, Terj. Sulastin Sutrisno, (Jakarta, Djambatan:1989)
69
Lebih jelasnya bisa dibaca dalam suratnya kepada Ny. Oving Soer tahun 1900
70