• Tidak ada hasil yang ditemukan

A 4 Kontaminasi korupsi, kolusi dan nepotisme

Dalam dokumen Full Paper P00027 (Halaman 49-55)

BAB V : HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

V. A 4 Kontaminasi korupsi, kolusi dan nepotisme

Dalam pelayanan publik, ditemukan bahwa lemahnya mutu pelayanan publik juga dipengaruhi oleh kontaminasi praktek faktor koruptif dan kolusi, nepotisme. Beberapa temuan lapangan di bawah ini dapat menjadi indikatornya.

V. A. 4. a. Keluhan masyarakat melalui LSM advokasi pelayanan publik.

 Pada layanan pendidikan di kota Kupang karena jumlah sekolah tidak sebanding dengan peserta didik, dan terbatasnya daya tampung sekolah favorit, memunculkan praktek-praktek “surat sakti”. LSM mengatakan seringkali orang tua murid menghubungi kenalannya atau saudaranya yang menjadi pejabat di pemerintahan (baik di kantor walikota maupun DPRD) untuk dapat memasukkan anaknya di sekolah favorit atau sekolah yang diinginkan.

 Pengawasan eksternal tidak memiliki akses untuk menilai akuntabilitas penerimaan beasiswa untuk murid. Dari pihak pemerintah merasa bahwa telah menyalurkan bantuan kepada siswa, namun dari luar, pihak LSM merasa bahwa masih ada ketidakjelasan siswa yang menerima beasiswa, berapa alokasi yang diterima, dan sebagainya mengingat ada yang bersumber dari dana BOS dan ada yang bersumber dari DAK (dana alokasi khusus).

 Mekanisme komplain tidak jelas. Hanya tersedia kotak saran saja tanpa adanya mekanisme tindak lanjut (follow up) yang jelas. Bahkan untuk mengajukan keluhan ataun komplain dibutuhkan link atau relasi supaya keluhan/komplain dapat didengar.

50

V. A. 4. b. Hasil Temuan BPK RI

Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, telah melaksanakan Pemeriksaan atas Pendapatan dan Belanja Tahun Anggaran 2009 dan Tahun Anggaran 20103. Hasil pemeriksaan BPK RI yang dipimpin oleh Rudi F. H. Sinaga, S.E., Ak, M.B.A., C.F.E yang berakhir pada 31 Desember 2010 mengungkapkan ketidakpatuhan dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban atas Belanja Daerah, antara lain sebagai berikut:

 Terdapat pendapatan dari klaim Jamkesmas Tahun Anggaran 2009 yang tidak dapat diklaim oleh RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang sebesar Rp 2.146.050.443,37,

 Pendapatan Retribusi Pelayanan Kesehatan dari klaim Askes terlambat diklaim sebesar Rp 15.333.007.050,00, terlambat disetor ke Kas Daerah sebesar Rp16.959.936.721,00, dan belum disetor sebesar Rp 116.053.542,00,

 Pemberian keringanan dan atau pembebasan biaya pelayanan kesehatan Tahun Anggaran 2009 sebesar Rp 117.247.550,00 dan Semester I Tahun Anggaran 2010 sebesar Rp 46.347.500,00 tidak sesuai ketentuan,

 Pendapatan dari susulan klaim Jamkesda Tahun Anggaran 2009 belum dapat diterima oleh RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang sebesar Rp 1.314.456.643,19,

 Pemakaian lahan dan ruangan RSUD Prof Dr W. Z. Johannes Kupang oleh pihak ketiga untuk Ruang Pelayanan Kas dan ATM Bank NTT, lahan parkir, apotik, dan kantin belum didukung perjanjian kerja sama,

 Pembebasan biaya atas selisih tarif Ruang Utama dan Ruang Kelas bagi pasien pegawai dan keluarga pegawai RSUD yang menggunakan Askes tidak sesuai ketentuan, Pengguna Anggaran RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang tidak

3

Sumber dari http://sergapntt.wordpress.com/2012/01/09/temuan-bpk-ri-di-rsud-prof-w-z-yohanes-kupang/. Data ini diperoleh oleh Tim peneliti dari LSM PIAR NTT.

51 mengangkat Pejabat Pembuat Komitmen, Dokumen perencanaan sebagai bahan penyusunan Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD) belum akurat,

 Perhitungan Harga Perkiraan Sendiri atas Pengadaan Alat-Alat Kesehatan Rumah Sakit tidak disusun sesuai ketentuan,

 Penyerahan hasil pengadaan barang/jasa Tahun Anggaran 2009 sebesar Rp 2.611.128.100,00 dan 2010 sebesar Rp 2.880.554.435,00 belum didukung dengan dokumen Berita Acara Penyerahan,

 Perhitungan Harga Perkiraan Sendiri Pengadaan Belanja Cetak tidak sesuai ketentuan dan terdapat kekurangan volume sebesar Rp 78.720.000,00 serta terdapat denda keterlambatan yang belum dikenakan minimal sebesar Rp 50.865.478,44,

 Pengadaan genset dan kelengkapannya diterima oleh Pengguna Anggaran sebelum pekerjaan selesai 100% dan terdapat denda keterlambatan yang belum dikenakan sebesar Rp 47.261.862,50,

 Pengadaan Software dan Hardware SIM RS Tahap II senilai Rp 495.660.000,00 belum dapat dimanfaatkan sesuai perencanaan,

 Denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan Pengadaan Alat-alat Angkutan Darat Bermotor sebesar Rp 12.030.040,00 belum ditetapkan,

 Penatausahaan Aset Tetap di RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang tidak memadai,

 Terdapat alat kesehatan pada RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes belum dikalibrasi, Pelaporan Persediaan Obat, Bahan Habis Pakai, dan Alat Kesehatan Pakai Habis di RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes tidak sesuai ketentuan.

52

V. A. 4. c. Temuan BPK

(data sekunder bersumber dari LSM PIAR NTT tentang temuan BPK).

BPK RI menemukan adanya ketidakpatuhan terhadap peraturanperundang-undangan dalam pengelolaan keuangan negara yakni:

 Sisa kas di Bendahara pengeluaran TA 2001 sampai dengan 2010 sebesar Rp. 1.572.612.960, sampai dengan januari 2011 belum disetorkan ke kas daerah.

 Penyaluran bantuan bea siswa pendidikan pada Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Prop.NTT sebesar Rp. 15.285.480.000,- belum didukung laporan pertanggungjawaban keuangan.

 Prosedur pemberian dan penatausahaan bantuan keuangan kepada guru kontrak sebesar Rp. 19.082.200.000. hibah sebesar Rp. 6.819.140.300, dan bantuan social sebesar Rp. 10.744/804.000 TA 2010 tidak sepenuhnya sesuai dengan ketentuan.

 Ketentuan harga perkiraan sendiri untuk Pengadaan traktor, roda empat, dan roda dua pada badan ketahanan Pangan dan Penyuluhan Propinsi NTT tidak tepat dan terdapat keterlambatan pelaksanaan pekerjaan.

Berangkat dari temuan-temuan tersebut, maka dapat dikemukakan alur pikir guna menganalisis mengenai implementasi pelayanan publik berintegritas di Kota Kupang.

Seyogyanya institusi pelayanan publik merupakan bagian dari tatanan masyarakat yang luas, yang tidak hanya mencakup kepentingan pemerintah atau bahkan individu, melainkan bagian dari kenyataan sosial yang sarat dengan berbagai masalah keadilan. Badan pelayanan publik bukan untuk melayani kepentingan elite tertentu yang memiliki kekuasaan politik maupun modal, tapi lebih dari itu badan pelayananan publik, memiliki Publik Spirit, yang melayani civil

53

society. Oleh karena itu perlu pemberdayaan layanan publik yang berpihak pada kebenaran

dan keadilan substansif dengan paradigma moral.

Berkaitan dengan menumbuhsuburkan dan menguatkan akuntabilitas publik, maka perlu dikemukakan media pengawasan. Pengawasan bisa meliputi aspek pengawasan internal melalui the role of government inspectorats maupun pengawasan eksternal meliputi judicial control, parlementary control, supervisory control by National Ombudsman Comission (Komisi

Ombudsman Nasional) or supervisory control of administration by members of publik. Oleh

karena itu perlu dibuka suatu jalinan antara pelayanan publik dan accountable dengan pengawasan anggota masyarakat atau konstituen terhadap aparatur birokrasi.

Munculnya fenomena kurangnya akuntabilitas pelayan publik merupakan suatu

displacement of goal dari pelayan publik yang tidak lepas dari karakteristik birokrasi dengan

bangunan formal prosedural yang yang dijabarkan dalam spesialisasi, hirarki, ynag berarti menekankan keseragaman dan pembatasan. Pembatasan inilah yang memunculkan kemampatan bekerjanya birokrasi sesuai dengan kebutuhan kenyataan yang ada, dan bahkan terjadi selektivitas dari bekerjanya birokrasi. Pembatasan demikian menimbulkan pengaburan pengertian antara apa yang seharusnya dilakukan dengan apa yang senyatanya terjadi.

Pembatasan yang ada dan melingkup birokrasi termasuk individu-idividu adalah pada sumber daya keuangan atau pembiayaan dan sarana serta sumber daya manusia.Oleh karena itu membuka kemungkinan birokrasi untuk survive dan berusaha mencari jalannya sendiri.

Situasi masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat kompleks.Pola kehiduan sosial bergerak ke arah terciptanya masyarakat terbuka heterogen. Dalam penerapannya proses birokratisasi di Indonesia mengalami suatu kemandegan dalam birokrasi rasional

54 .Organisasi formal masih ditandai dengan kekakuan (inflexibility), kemandegan struktutal

(structural statis), tata cara yang berlebihan (ritualism), dan penyimpangan sasaran (prevesion

of goals) perilaku yang tidak pribadi /impersonality), pengabaian /alienation, dan menutup diri

terhadap perbedaan pendapat (constrain of dissent) (Blau & Meyer, hal. ix).

Menurut Brown (Hardiyansyah, 2011, hal. 51-52), di mata masyarakat kualitas pelayanan meliputi ukuran-ukuran sebagai berikut:

1. Reability: yaitu kemampuan untuk memproduksi jasa sesuai yang diinginkan secara tepat, assurance, yaitu pengetahuan dan kemampuannya untuk meyakinkan.

2. Empathy: yaitu tingkat perhatian dan atensi individual yang diberikan kepada pelangganan. 3. Responsiviness: yaitu kemampuan untuk membantu pelanggan memberikan pelayanan yang

tepat.

4. Tangibel yakni penyediaan fasilitas fisik dan kelengkapan serta penampilan pribadi.

Menurut Lenvinne, dimensi kualitas pelayanan terdiri atas: responsiveness, responsibility, dan accountability.

1. Responsiveness atau responsivitas ini mengukur daya tanggap providers terhadap harapan, keinginan, dan aspirasi serta tuntutan customers.

2. Responsibility atau responsibilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa proses pemberian pelayanan publik itu dilakukan dengan tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.

3. Accountability atau akuntabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar tingkat kesesuaian antara penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran-ukuran eksternal yang ada di masyarakat dan dimiliki oleh stake holders, seperti nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat.

55 Berdasarkan fakta-fakta yang telah dikemukakan di atas, maka kualitas pelayanan public di kota Kupang belumlah optimal untuk sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan social masyarakat. Ukuran modalitas seperti kurangnya responsiveness, kurangnya responsibility, dan kurangnya accountability memunculkan tindakan yang kurang mengarah pula pada integritas publik.

Bisa jadi, bagi warga kota Kupang tidak hanya kurang puas pada layanan public khususnya pada layanan kesehatan dan pendidikan, tetapi lebih dari itu konstelasi penilaian masyarakat belumlah sampai pada tingkat kepuasan, tapi pada ketersediaan pelayanan akan pemenuhan hak-hak dasar yang ada. Masyarakat Kota Kupang belum bisa menyatakan kepuasan atau ketidakpuasan disebabkan standar nilai yang ada belumlah bisa dipahami masyarakat. Ketersediaan pelayanan yang tidak ada merupakan hal fundamebtal dalam pemenuhan hak substansial rakyat. Jadi, bagaimana bisa merasa puas kalau tidak terlayani merasakan pelayanan?

Dalam dokumen Full Paper P00027 (Halaman 49-55)

Dokumen terkait