1
LAPORAN HASIL PENELITIAN
PROGRAM I-IEN
IMPLEMENTASI PELAYANAN PUBLIK YANG BERINTEGRITAS DALAM PEMERINTAHAN
(STUDI KASUS DI KOTA KUPANG PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR)
OLEH
KETUA PENELITI: DR. C. MAYA INDAH S., S.H., M.HUM.
ANGGOTA PENELITI: THEOFRANSUS LITAAY, S.H., LL.M.
PUSAT STUDI ANTI-KORUPSI DAN GOOD GOVERNANCE
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
KOTA SALATIGA
PROVINSI JAWA TENGAH
2012
DUKUNGAN DARI
2
Daftar Isi
BAB I : PENDAHULUAN... 3
BAB II : PERUMUSAN MASALAH ... 10
BAB III : TINJAUAN PUSTAKA... 12
III. A. Konsep Pelayanan Publik ... 12
III. B. Asas Pelayanan publik ... 12
III. C. Integritas Pelayanan Publik ... 13
III. D. Good Governance ... 16
III. E. Aspek Birokrasi dan kultur birokrasi ... 18
BAB IV : METODE PENELITIAN... 22
IV. A. Metode Penelitian ... 22
IV. B. Paradigma Penelitian ... 24
IV. C. Penentuan Responden... 25
IV. D. Lokasi Penelitian dan Tahapan Penelitian ... 26
IV. E. Studi lapang (Research fieldwork) di Kota Kupang ... 28
IV. F. Pengumpulan data dan analisis data ... 32
BAB V : HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS ... 35
V. A. Hasil Penelitian ... 36
V. A. 1. Kemajuan dalam pelayanan publik di Kota Kupang. ... 37
V. A. 2. Ketidakpuasan masyarakat. ... 39
V. A. 3. Marginalisasi kepentingan rakyat. ... 43
V. A. 4. Kontaminasi korupsi, kolusi dan nepotisme. ... 49
V. B. Pembahasan ... 55
V. B. 1. Faktor yang membangun model integritas pelayanan publik ... 59
V. B. 2. Membangun Model Integritas Pelayanan Publik ... 62
BAB VI: KESIMPULAN & REKOMENDASI ... 64
VI. A. Kesimpulan ... 64
VI. B. Rekomendasi ... 65
DAFTAR PUSTAKA ... 67
Daftar Gambar Gambar 1. Peta administrasi Kota Kupang. ... 9
Gambar 2. Integritas Publik ... 15
Gambar 3. Peta pembagian kecamatan dan kelurahan di Kota Kupang ... 31
Gambar 4. Alur pikir terhadap kajian integritas pelayanan publik ... 57
Daftar Tabel Tabel 1. Sebaran penduduk dan rumah tangga kota Kupang tahun 2011 ... 8
Tabel 2. Sumber data primer. ... 29
Tabel 3. Jumlah responden. ... 30
Tabel 4. Klasifikasi laporan masyarakat berdasarkan instansi terlapor ... 40
3
BAB I : PENDAHULUAN
Pelayanan publik dilaksanakan melalui sistem kebijakan publik yang berkesinambungan,
mulai dari perencanaan, implementasi hingga evaluasi, sebagaimana dikemukakan oleh
Stewart, Hedge dan Lester bahwa kebijakan publik merupakan “a process or a series or
patterns of governmental activities or decisions that are design to remedy some public problem,
either real or imagined” (Stewart, Hedge, & Lester, 2008, Hal. 6). Sementara itu, Pasal 25 (1)
dari Universal Declaration of Human Rights menyatakan bahwa "Everyone has the right to a
standard of living adequate for the health and wellbeing of himself and of his family, including
food, clothing, housing and medical care and necessary social services." Dengan demikian
pelayanan publik tidak hanya berkaitan dengan masalah implementasi kebijakan publik, namun
lebih dari itu seharusnya merupakan salah satu bentuk pemenuhan hak asasi manusia warga
negara.
Berdasarkan Undang-undang tentang Pelayanan Publik (UU No 25 / 2009) Pasal 1 angka
(1), yang dimaksudkan dengan pelayanan publik adalah “Kegiatan atau rangkaian kegiatan
dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan
administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.”
Pelaksanaan pelayanan publik oleh penyelenggara harus dilakukan dengan
mengedepankan asas-asas pelayanan publik sebagaimana telah diatur dalam UU No 25/2009
tentang Pelayanan Publik dalam Pasal 4 sebagai berikut: a. kepentingan umum; b. kepastian
4 partisipatif; g. persamaan perlakuan/ tidak diskriminatif; h. keterbukaan; i. akuntabilitas; j.
fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan; k. ketepatan waktu; dan l. kecepatan,
kemudahan, dan keterjangkauan.
Penerima manfaat pelayanan publik adalah masyarakat. Yang dimaksud sebagai
masyarakat menurut UU No 25/2009 Pasal 1 angka (6) yaitu “seluruh pihak, baik warga negara
maupun penduduk sebagai orang perseorangan, kelompok, maupun badan hukum yang
berkedudukan sebagai penerima manfaat pelayanan publik, baik secara langsung maupun tidak
langsung.” Pengaturan ini menunjukkan bahwa masyarakat merupakan penikmat manfaat dari
pelaksanaan pelayanan publik. Dengan demikian, kepuasan publik adalah ukuran utama dari
tercapainya tujuan suatu layanan publik.
Pelaksanaan pelayanan publik harus dilakukan dengan memenuhi standar pelayanan
publik. Yang dimaksudkan dengan standar pelayanan publik menurut UU No 25/2009 Pasal 1
angka (7) adalah “tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan
dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada
masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur.”
Rumusan ini menunjuk bahwa selain diperlukan adanya standar pelayanan publik, maka
standar tersebut juga perlu memenuhi unsur-unsur berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan
terukur.
Pencapaian tujuan pelayanan publik, di tingkat pusat dan daerah dilaksanakan oleh
lembaga Ombudsman. Ombudsman menurut UU No 25/2009 Pasal 1 angka (13) adalah
“lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan
5 yang diselenggarakan oleh badan usaha rnilik negara, badan usaha milik daerah, dan badan
hukum milik negara serta badan swasta, maupun perseorangan yang diberi tugas
menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber
dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja
daerah.”
Studi yang pernah ada sebelumnya menunjukkan bahwa desentralisasi memang
membuka kesempatan bagi inovasi pemerintah daerah dalam melaksanakan pelayanan publik,
namun hasil yang dicapai masih menunjukkan adanya perbedaan harapan (Rosdianasari,
Anggriani, & Mulyani, 2009, Hal. 1.). Otonomi daerah memberi peluang bagi perbaikan kualitas
layanan publik, termasuk pembenahan organisasi dan pelaksanaan standar pelayanan publik.
Pada sisi lain dibutuhkan pula perbaikan budaya kerja dalam pelayanan publik pemerintah
daerah.
Pada sisi lain, posisi masyarakat dalam pelayanan publik adalah sebagai salah satu
stakeholder penting, sebagaimana diatur dalam UU No 25/2009 di atas. Oleh karena itu
masyarakat berhak mendapatkan pelayanan terbaik. Pelayanan publik perlu menghadirkan
keseimbangan antara peran-peran pemerintah dan akuntabilitas publik.
Birokrasi mempunyai kekuasaan yang sangat besar untuk mengatur masyarakat. Aparat
kontrol sosial memiliki monopoli kekuasaan atau otoritas untuk berhadapan dengan
masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat penguna pelayanan publik termasuk juga masyarakat
yang menjadi sasaran program pembangunan acapkali diposisikan sebagai pihak yang
menduduki ‘ketakberdayaan masyarakat.’ Karakter paradigma civil (civilian paradigm) masih
6 Penelitian ini mengkaji secara detail integritas proses pelayanan publik di kota Kupang
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini mempelajari, apakah pelaksanaan pelayanan
publik telah dilaksanakan menurut asas-asas pelayanan publik yang baik dan memenuhi
standar pelayanan publik, serta bagaimana peran Ombudsman dalam melakukan pengawasan
dan peran partisipasi masyarakat.
Dalam penelitian ini, hal lain yang dikaji adalah bagaimanakah fenomena aktual integritas
perilaku pelayan publik dikaitkan dengan aspek sosial budaya, hukum, dan mental yang
membentuk kultur pelayanan publik di Kota Kupang.
Pelaksanaan penelitian ini dilaksanakan di Kota Kupang, ibukota Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu daerah dengan tingkat kemiskinan
penduduk yang tinggi.
Kemiskinan yang tinggi menimbulkan ketergantungan yang besar kepada peran
pemerintah dalam menyediakan pelayanan publik, dalam rangka mengakses berbagai jasa
mendasar yang dibutuhkan masyarakat. Sementara itu kondisi pelayanan publik di Kota
Kupang sendiri masih menjadi keprihatinan berbagai pihak, baik pemerintah maupun
masyarakat. Penelitian ini bermaksud untuk memotret kondisi yang ada dan melahirkan
rekomendasi pemikiran mengenai kebijakan maupun penelitian lanjutan dalam rangka
perbaikan kondisi pelayanan publik di Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Provinsi Nusa Tenggara Timur sendiri merupakan salah satu daerah dengan tingkat
kemiskinan penduduk yang tinggi dibandingkan dengan standar nasional. Menurut studi Kleden,
berdasarkan data BPS maka tingkat kemiskinan di provinsi ini berada pada tingkatan 42,23%
7 tahun 2000 menjadi 36,52% (Kleden, 2009, Hal. 23). Akan tetapi pada tahun 2006, ketika
pemerintah pusat menyediakan Bantuan Langsung Tunai atau BLT, maka persentase rumah
tangga miskin penerima BLT di provinsi ini berada pada tingkatan 65,42% (Kleden, 2009, Hal.
23). Kemiskinan yang tinggi menimbulkan ketergantungan yang besar kepada peran
pemerintah dalam menyediakan pelayanan publik, dalam rangka mengakses berbagai jasa
mendasar yang dibutuhkan masyarakat. Sementara itu kondisi pelayanan publik di Kota
Kupang sendiri masih menjadi keprihatinan berbagai pihak, baik pemerintah maupun
masyarakat. Penelitian ini bermaksud untuk memotret kondisi yang ada dan melahirkan
rekomendasi pemikiran mengenai kebijakan maupun penelitian lanjutan dalam rangka
perbaikan kondisi pelayanan publik di Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Menurut BPS (2010, hal. 385), “Pada tahun 2006 jumlah penduduk miskin di Kota Kupang
tercatat sebanyak 24.2 ribu jiwa. Dibandingkan dengan tahun 2005, jumlah penduduk miskin
tersebut mengalami kenaikan dimana pada tahun 2005 jumlahnya mencapai 22,1 ribu jiwa.
Sedangkan pada tahun 2007 turun lagi menjadi 20,3 ribu jiwa” (BPS, 2010, hal. 385). Data
tersebut nampaknya belum akurat, karena BPS juga mengungkapkan bahwa “Pada tahun
2008, berdasarkan hasil Susenas, jumlah penduduk miskin di Kota Kupang sebanyak 46.110
penduduk mengalami peningkatan yang tajam dibandingkan tahun sebelumnya, 2007, yakni
sebanyak 46.110 penduduk. Kemudian pada tahun 2009 angka tersebut turun lagi menjadi
35.420 penduduk” (BPS, 2010, hal. 385).
Data BPS tahun 2011 juga menunjukkan bahwa jumlah penduduk kota Kupang pada
tahun 2011 adalah 349.344 jiwa, terdiri atas 179.323 laki-laki dan 170.021 perempuan. Menurut
8 rumah tangga terdapat kurang lebih 4-5 anggota rumah tangga (BPS, 2011). Adapun
sebarannya pada setiap kecamatan tampak di dalam Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Sebaran penduduk dan rumah tangga kota Kupang tahun 2011
No Kecamatan Luas Laki-laki Perempuan Total Rumah tangga
1 Alak 70,40 27.406 25.780 53.186 11.437
2 Maulafa 55,67 35.221 33.409 68.630 14.328
3 Oebobo 14,72 42.550 40.168 82.718 19.250
4 Kota Raja 6.19 25.083 24.622 49.705 11.249
5 Kelapa Lima 15.31 33.246 30.510 63.756 18.118
6 Kota Lama 3.05 15.817 15.532 31.349 7.757
Kota Kupang 165.34 179.323 170.021 349.344 82.139
Sumber: BPS Kota Kupang 2011.
Kota Kupang secara geografis terletak antara koordinat 9019’-10057’ Lintang Selatan dan
121030’-124011’ Bujur Timur dengan batas-batas administratif wilayah adalah sebagai berikut
(“Kota Kupang” dalam http://www.petantt.com/kota-kupang/):
Sebelah utara berbatasan dengan Teluk Kupang
Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Kupang Tengah
Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Kupang Tengah
Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Kupang Barat
Kota Kupang memiliki luas wilayah 229,97 Km2, seluruh wilayah ini secara administratif terbagi
dalam 6 wilayah kecamatan yang meliputi 53 kelurahan, sebagai berikut (“Kota Kupang” dalam
http://www.petantt.com/kota-kupang/):
9 Kecamatan Maulafa
Kecamatan Oebobo
Kecamatan Kelapa Lima
Kecamatan Kota Raja
Kecamatan Kota Lama
Pembagian wilayah tersebut secara lebih rinci dapat dilihat di dalam peta administratif
Kota Kupang (Gambar 1) sebagai berikut:
10
BAB II : PERUMUSAN MASALAH
Penelitian ini mengkaji bagaimana integritas pada birokrasi pelayanan publik di Kupang,
dengan fokus studi pada praktek diskresi pada lini pelayanan publik yang terjadi guna
merefleksi implementasi integritas birokrasi. Pada akhirnya studi ini berfokus pada studi
terhadap aspek kultur birokrasi pelayanan publik, dengan sasaran untuk mengkonstruksi
reformasi kultur birokrasi pada integritas birokrasi guna mencapai akuntabilitas pelayanan
publik. Fokus dari akuntabilitas dapat dikaji dari perilaku penegak hukum,
keputusan-keputusannya, etika, pola perilaku institusi, seperti tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan
(abuse of power), korupsi (corruption), dan diskriminasi (discrimination) pada lembaga
pelayanan publik di Kota Kupang.
Berdasar rumusan tersebut dapat dielaborasi dalam rumusan masalah pada penelitian
yakni sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kultur birokrasi pelayanan publik di Kupang selama ini?
2. Bagaimana membangun model integritas pelayanan publik demi mencapai akuntabilitas
pelayanan publik.
Berdasar rumusan masalah tersebut, peneliti membangun tujuan penelitian sebagai
berikut:
1. Mendeskripsikan fakta empiris implementasi pelayanan publik yang dikaji dari hasil
11 2. Mengevaluasi atau merefleksi fakta empiris implementasi pelayanan publik dengan fakta
integritas.
3. Menggambarkan korelasi antara pelayanan publik yang buruk dengan integritas pelayanan
publik.
4. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi pelayanan publik di
Pemerintahan Kota Kupang.
5. Memberikan rekomendasi bagi refeormasi pelayanan publik yang lebih accountable dan
12
BAB III : TINJAUAN PUSTAKA
III. A. Konsep Pelayanan Publik
Pengertian baru pelayanan publik memperhitungkan unsur-unsur di bawah ini
(Haryatmoko, 2011, hal. 13-14):
1. Pelayanan publik merupakan pengambil alihan tanggung jawab oleh kolektivitas atas
sejumlah kekayaan, kegiatan, atau pelayanan dengan menghindari logika milik pribadi atau
swasta karena tujuannya pertama-tama bukan mencari keuntungan.
2. Pelayanan publik mempunyai beragam bentuk organisasi hukum, baik di dalam maupun di
luar sektor publik. Ada pula yang berbentuk perusahaan swasta (BUMN); asosiasi-asosiasi
yang berasal dari inisiatif pribadi atau swasta diakui memiliki fungsi pelayanan publik
(organisasi keagamaan, asosiasi nirlaba).
3. Pelayanan publik merupakan lembaga rakyat yang memberi pelayanan kepada warga
negara, memperjuangkan kepentingan kolektif, dan menerima tanggung jawab untuk
memberi hasil. Berusaha memajukan kesejahteraan publik dan menumbuhkan kepercayaan
untuk mengusahakan kesejahteraan bersama merupakan bagian dari pelayanan public.
4. Kekhasan pelayanan publik terletak dalam upaya merespons kebutuhan publik sebagai
konsumen.
III. B. Asas Pelayanan publik
Regulasi atau ketentuan perundangan yang mengatur mengenai pelayanan publik
khususnya tentang aspek integritas dapat diketahui dari UU No. 25 Nomor 2009 tentang
13 bersih dan Bebas KKN dan UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan tindak pidana Korupsi. Dalam aras pengawasan dikenal pula Komisi
Ombudsman Nasional.
Dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang pelayanan Publik dapat dikemukakan dalam Pasal
4 bahwa penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan :
a. kepentingan umum
b. kepastian hukum.
c. kesamaan hak.
d. keseimbangan hak dan kewajiban.
e. keprofesionalan.
f. partisipatif.
g. persamaan perlakuan/tidak diskriminatif.
h. keterbukaan.
i. akuntabilitas.
j. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan.
k. ketepatan waktu.
i. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
III. C. Integritas Pelayanan Publik
Upaya pencapaian akuntabilitas publik dapat diwujudkan dengan penegakan kembali
14 peningkatan integritas penegak hukum (pelayan publik) melalui paradigma moral guna
mengeleminasi birokrasi pelayanan publik yang patologis (Susilowati, 2006).
Persoalan integritas pada pelayanan publik, sangat terkait dengan etika publik. Etika
publik menurut Haryatmoko dikatakan sebagai “refleksi tentang standar / norma yang
menentukan baik / buruk, benar / salah perilaku, tindakan dan keputusan untuk mengarahkan
kebijakan publik dalam rangka menjalankan tanggung jawab pelayanan public (Haryatmoko,
2011, hal. 3).
Haryatmoko mengemukakan versi tiga dimensi etika publik, yaitu i) tujuan yakni
mengusahakan kesejahteraan umum melalui pelayanan publik yang berkualitas dan relevan, ii)
sarana membangun institusi yang lebih adil dirumuskan sebagai ‘membangun infrstruktur etika
dengan menciptakan regulasi, atauran agar dijamin akuntabilitas, transparansi dan netralitas
pelayanan publik, iii) aksi / tindakan dipahami sebagai “integritas publik “untuk menjamin
pelayanan publik yang berkualitas. Dapat diragakan dalam bagan di bawah ini (Haryatmoko,
15 Gambar 2. Integritas Publik
Pelayanan publik Yang Berkualitas dan Relevan
TUJUAN
Modalitas Tindakan
Akuntabilitas , Transparansi, Netralitas INTEGRITAS PUBLIK
Berdasar ragaan tersebut dapat dielaborasi pentingnya aspek integritas dalam tindakan
pelayan publik dalam mengaktualisakan pelayanan yang berkualitas dan menjunjung
akuntabilitas.
Istilah “integritas“ biasanya dikontraskan dengan “korupsi”. Kata “korupsi” corruption-ionis
(bahasa latin dari kata kerja corrumpere), artinya membusuk, merusak, memburuk atau
menyeleweng. Korupsi dipahami sebagai “ancaman yang membusukkan masyarakat melalui
penyalahgunaan kekuasaan yang dipercayakan. Sedangkan “integritas (integritas, atis f, dalam
bahasa latin dari kata sifat “integer” artinya tidak rusak, murni, j untuk ujur, lurus, dan dapat
dipercaya atau diandalkan. Integrtas publik adalah unsur pokok etika publik, yang konsepnya
mengacu pada tuntutan integritas atau perilaku etis. Dari penjelasan etimologi, pengertian
“integritas publik” mengarahkan pada kualitas utama yang diharapkan dari pejabat public
(Simpson, dalam Haryatmoko, hal. 72).
16
III. D. Good Governance
Berbicara mengenai akuntabilitas publik, maka tidak lepas dari gagasan tentang Good
Governance. Pinto dalam Joko Widodo mengemukakan bahwa good governance adalah
praktek penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan
urusan kepemerintahan secara umum dan pembangunan ekonomi pada khususnya. Lembaga
Administrasi Negara mengartikan governance adalah proses penyelenggaraan kekuasaan
negara dalam melaksanakan penyediaan public goods and services (Widodo, 2001, hal. 18).
Sedarmayanti mengatakan good governance yang efektif menuntut adanya alignment yang baik
dan integritas profesional serta etos kerja dan moral tinggi (Sedarmayanti, 2003, hal. 2).
Good governance didasarkan pada pemahaman akan makna governance sebagai suatu
situasi dimana tradisi dan kelembagaan kewenangan di sebuah negara dilaksanakan, hal ini
termasuk pembentukan dan penggatian pemerintahan, kapasitas pemerintah untuk secara
efektif merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan yang bagus, dan penghormatan
terhadap kelembagaan dan interaksi di dalamnya (Kaufmann, Kraay, & Zoido, 1999, hal. 1).
Worldwide Governance Indicator (WGI) menyediakan indikator bagi 212 negara dan wilayah
antara tahun 1996-2006 yang mencakup enam dimensi sebagai berikut (Kaufmann, Kraay, &
Mastruzzi, 2007; Kaufmann, Kraay, & Zoido, 1999):
Voice and accountability.
Political stability and absence of violence.
Government effectiveness.
Regulatory quality.
Rule of law.
17 Indikator-indikator di atas menunjukkan pentingnya koordinasi dan kerjasama diantara
lembaga-lembaga pemerintah, sebagaimana dikemukakan dalam studi Acemoglu yang
menegaskan bahwa governance berkaitan dengan lingkup kelembagaan yang luas (Acemoglu,
2008, hal. 1). Interdependensi antar kelembagaan adalah hal yang penting bagi keberhasilan
sebuah negara sebagaimana dikatakan oleh Acemoglu bahwa “there is now a growing
understanding that economic, political, legal, and social ‘institutions’ are essential to the
economic success and failure of nations” (Acemoglu, hal. 1).
Menurut Moeljarto Tjokrowinoto, ada tiga pilar good governance yaitu the state (badan
eksekutif, legislative, tentara, polisi, birokrasi), market (perusahaan, MNC, lembaga keuangan,
pasar modal), dan civil society (NGO, community based organization, dan sebagainya)
(Tjokrowinoto, 2001, hal. 4). Apabila ditelaah karakteristik utama good governance, antara lain
juga memuat prinsip transparency dan accountability. Transparency diartikan sebagai adanya
kebebasan arus informasi di dalam governance, sehingga masing-masing subsistem
governance dapat mengetahui apa yang dilakukan subsistem lain. Accountability diartikan
sebagai pemerintah bertanggungjawab terhadap apa yang menjadi sikap, perilaku, dan
kerjanya kepada publik dalam rangka menjalankan tugas, fungsi dan kewenangan yang
dilimpahkan kepadanya (Tjokrowinoto, 2001, hal. 4).
Adapun hubungan di antara negara dan masyarakat berlangsung di dalam bentuk
hubungan antara strong state dan strong society. Dalam hal ini peranan NGO atau LSM adalah
sebagai mediator partisipasi publik, sebagai artikulator aspirasi dan kepentingan masyarakat
adab, melakukan fungsi kontrol sosial, maupun menjadi public service delivery mechanism
18 Aspek accountability berimplikasi terhadap controllability and responsiveness of
institution. Hal ini sangat penting untuk menunjukkan pelayan publik yang lebih humanis.
Akuntabilitas dalam preskripsi normatifnya mengungkapkan tentang siapa yang harus
memberikan pertanggunggugatan, kepada siapa, kapan, bagaimana, dan tentang apa.
Setiap lembaga dan individu-individu pelayan publik di dalamnya bekerja dalam konteks
sosial masyarakat akan diperhadapkan pada kepentingan-kepentingan dari berbagai pihak
yang berada dalam konteks masyarakat sebagai suatu totalitas yang memunculkan “culture of
bureaucracy” yang tidak bebas nilai.
III. E. Aspek Birokrasi dan kultur birokrasi
Pentingnya aspek birokrasi disampaikan pula oleh Dror sebagaimana dikutip oleh Esmi
Warassih. Dikatakan bahwa dalam suatu sistem hukum terdapat komponen-komponen pokok
yang harus diperhatikan dalam rangka mengefektifkan hukum. Beberapa komponen sistem
hukum antara lain: 1).substantive law, 2). personal: other law-enforcing; 3). organization:
administration, and physical facility, 4) resources: budgets information and physical facility, dan
5). decision rules and division habits: formal, informal, implicit (Warrasih, 2005, hal. 161).
Dimensi sosial yang melibatkan institusi dan kepentingan biokrasi terkait dengan konteks
masyarakat sebagai suatu totalitas. Dalam pemenuhan integritas oleh pelayan publik, maka hal
ini sarat dengan usaha perwujudan nilai-nilai tertentu yang dijunjung oleh aktor sosial.
Fenomena integritas dalam pelayanan publik merupakan proses dan hasil bekerjanya birokrasi
19 pelayanan berkualitas. Ini artinya keterkaitan individu pelayan publik dengan birokrasi pelayan
publik menjadikan mekanisme yang dikeluarkan menjadi mekanisme yang birokratis.
Dalam kajian mengenai birokrasi rasional dan formal yang menjadi ciri masyarakat
kompleks , dijelaskan bahwa bekerjanya birokrasi penegak hukum dalam praktek pengambilan
keputusan-keputusannya didasarkan pada pertimbangan praktis dari organisasi penegak
hukum tersebut.
Chambliss and Seidmann mengungkapkannya sebagai berikut:
An organization and its members tend to subtitute for the official goals and norms the
organization, ongoing policies and activities which will maximine the reward and
minimize the strains for the organization (Chambliss & Seidman, 1971, hal. 266).
Max Weber mendefinisikan birokrasi sebagai lembaga /organisasi yang merupakan
instrumen rasional untuk mencapai tujuan. Organisasi memiliki sumber daya seperti sumber
keuangan, fasilitas fisik, dan pola-pola budaya serta hasil yang ingin dicapainya. Sumber daya
yang melingkupi birokrasi adalah unsur penting dan berperan sebagai faktor pendukung dalam
mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan. Proses mengenai bagaimana tujuan birokrasi
tercapai terletak pula pada bagaimana interaksi antara lembaga maupun lingkungannya (Blau &
Meyer, 1987, hal. 27-32).
Birokrasi kepelayan publikan merupakan birokrasi sosial yang mempunyai struktur buatan
yang dikondisikan “social environment”-nya. Lingkup environment birokrasi pelayan publik tak
lepas dari paradigma yang dianut dalam pemolisian, SDM, termasuk aspek sarana dan
prasarana lembaga, leadership, dan pelbagai aspek sosial budaya yang menunjukkan bahwa
20 Perilaku birokratik merupakan salah satu ciri yang sangat menonjol dari masyarakat
modern. Dikemukakan oleh Blau and Meyer bahwa birokrasi bermuka dua, yaitu di satu pihak
membawa keuntungan bagi individu dan masyarakat luas, namun di lain pihak merupakan
ancaman terhadap kebebasan, spontanitas, dan kemajuan sosial (Blau & Meyer, 1987, hal. 4).
Birokrasi kepelayan-publikan tak lepas dari karakteristik birokrasi.
Formalitas prosedur dalam birokrasi sering digunakan untuk mencapai efisiensi dalam
rangka mencapai tujuan organisasi, berpeluang menjadi prosedur yang berperilaku kontra
produktif. Prosedur formal cenderung membuat administrasi berbelit-belit, sehingga tidak ada
keraguan bahwa birokratis seringkali tidak efisien. Hal ini memberikan kemungkinan adanya
suatu “conflict of interest” yang memunculkan penggantian tujuan lembaga dengan tujuan
pragmatis sebagai suatu sub-kultur birokrasi yang berperilaku laten.
Munculnya fenomena kurangnya akuntabilitas pelayan publik merupakan suatu
displacement of goal dari pelayan publik yang tidak lepas dari karakteristik birokrasi dengan
bangunan formal prosedural yang yang dijabarkan dalam spesialisasi, hirarki, ynag berarti
menekankan keseragaman dan pembatasan. Pembatasan inilah yang memunculkan
kemampatan bekerjanya birokrasi sesuai dengan kebutuhan kenyataan yang ada, dan bahkan
terjadi selektivitas dari bekerjanya birokrasi. Pembatasan demikian menimbulkan pengaburan
pengertian antara apa yang seharusnya dilakukan dengan apa yang senyatanya terjadi.
Pembatasan yang ada dan melingkup birokrasi termasuk individu-idividu adalah pada
sumber daya keuangan atau pembiayaan dan sarana serta sumber daya manusia. Oleh karena
21 Situasi masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat kompleks. Pola kehiduan
sosial bergerak ke arah terciptanya masyarakat terbuka heterogen. Dalam penerapannya
proses birokratisasi di Indonesia mengalami suatu kemandegan dalam birokrasi rasional.
Organisasi formal masih ditandai dengan kekakuan (inflexibility), kemandegan struktutal
(structural statis), tata cara yang berlebihan (ritualism), dan penyimpangan sasaran (prevesion
of goals) perilaku yang tidak pribadi /impersonality), pengabaian / alienation, dan menutup diri
22
BAB IV : METODE PENELITIAN
IV. A. Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis socio-legal research yang termasuk dalam kategori penelitian
kualitatif. Menurut Socio legal research centre dari Griffith University, di dalam socio-legal
research hukum dipelajari sebagai satu fenomen sosial, pendekatan ini cukup kaya karena
memiliki basis metodologis dan teoretis pada ilmu-ilmu sosial. Metodologinya lebih banyak
bersifat empiris ketimbang doktrinal. Socio-legal mencakup (SLRC):
theoretical and empirical analyses of the nature of law and its relationship to
society and the State in the context of a rapidly changing world;
analyses, both historical and contemporary, of the social, economic and
political factors leading to the development of the law and legal process;
examination of the operation of the law in formal contexts; for example, the
courts, or in informal contexts, for example, the law office;
analyses of the process of decision-taking by those responsible for the
administration of the law; and
analyses of the experience of those affected by the process of law.
Menurut University of Bristol Law School (UBLS, 2011), di dalam socio-legal research,
hukum didekati dalam konteks dan teori sosial dan politik yang lebih luas. Melalui pemahaman
akan kaitan hukum dengan kekuatan sosial dan politik yang lebih luas, para peneliti dapat
memperoleh perspektif mengenai ideologi, budaya, identitas, dan kehidupan sosial; dengan
demikian, socio-legal studies adalah interdisipliner dan multidisipliner (UBLS, 2011).
Menurut Creswell, penelitian kualitatif merupakan proses kajian untuk memahami
23 yang dibentuk melalui kata-kata, melaporkan pandangan yang rinci terhadap sumber informasi
dan dilaksanakan secara alami (Creswell, 1994, hal. 1-2). Sementara bagi Denzin dan Lincoln
penelitian kualitatif mencakup penggunaan dan kumpulan bahan-bahan empiris yang bervariasi
yang diteliti sehingga menggambarkan momen-momen yang problematis dan rutin serta
maknanya di dalam kehidupan individu (Denzin & Lincoln, 2005, hal. 3-4). Denzin dan Lincoln
mengutip pendapat Flick bahwa penelitian kualitatif bersifat multi-metode dalam fokusnya (Flick,
2002, hal. 226-227, sebagaimana dikutip dalam Denzin & Lincoln, 2005, hal. 5). Penggunaan
kombinasi berbagai metode di dalam satu penelitian kualitatif akan memperkuat sebuah
penelitian, sebagaimana dikatakan oleh Flick, bahwa “the combination of multiple
methodological practices, empirical materials, perspectives, and observers in a single study is
best understood, then, as a strategy that adds rigor, breadth, complexity, richness, and depth to
any inquiry” (Denzin & Lincoln, 2005, hal. 5 merujuk kepada Flick, 2002, hal. 229).
Penelitian ini dimaksudkan untuk menggunakan pandangan-pandangan dari bawah
mengenai akuntabilitas pelayanan publik (bottom up views of public services accountability).
Untuk itu akan diawali dengan mengidentifikasi kasus-kasus faktual dan konkrit yang dialami
pencari keadilan dari pengguna pelayanan publik, maupun LSM untuk belajar dari aktor sosial
(learning from social actor). Digunakan metode induksi dengan upaya eksplanasi untuk
memperoleh simpulan / bukti ada tidaknya hubungan antar fakta, yaitu fakta sosial dengan
integritas pelayanan publik. Akan dicari proses-proses yang terjadi dalam menggali makna
gejala perilaku dan persepsi masyarakat penerima manfaat pelayanan publik dalam realitas
24
IV. B. Paradigma Penelitian
Digunakan paradigma critical theory (Guba & Lincoln, 1994, hal. 105-111) yang
memperhadapkan perspektif resmi dari penyelenggara pelayanan publik melalui pelaksana
pelayanan dengan perspektif “the bottom up views of public sevice integrity” dari masyakat
pengguna pelayanan publik. Paradigma ini memayungi suatu aspek ontologis, epistemologi,
dan metodologi yang ada sebagai berikut:
- Aspek ontologis dari realitas virtual yang terbentuk dari faktor non hukum seperti fakor sosial
budaya, politik, kontrol sosial, dan ekonomi yang terkristalisasi dan dianggap sebagai realitas
yang sebenarnya membatasi pencapaian integritas pelayanan publik.
- Aspek Epistemologi memandang objek observasi yaitu integritas pelayanan publik tidak
dipandang bebas nilai dan bebas bias. Oleh karena itu temuan bekerjanya integritas
pelayanan publik akan dikaitkan dengan nilai yang dipegang social actor/value bounded, baik
dari integritas pelaksana pelayanan publik, institutional restrain, maupun civil society
participation/control social (law awareness).
- Aspek metodologi akan bersifat dialogis atau dialektikal antara pemegang peran dengan
objek observasi, yaitu antara responden yang terlibat dalam pencapaian integritas pelayanan
publik, melalui teknik hermeneutikal dan dialektikal, akan dikaji bekerjanya integritas
pelayanan publik dan diinterpretasi, dengan mengkritisi realitas yang ada. Mentransformasi
faktor non hukum yang membatasi pencapaian integritas pelayanan publik melalui
konfrontasi, kriteria progress yang mengkritik bekerjanya layanan publik untuk memperluas
25 Melalui paradigma dalam teori sosial kritis, maka dicoba mengukuhkan pencerahan
melalui metode yang saintifis. Hukum akan dibawa dalam suatu ranah ilmu melalui pendekatan
socio legal diharapkan akan memberi kontribusi untuk memperbaiki kondisi “life in society”,
memberi rekomendasi pengambil keputusan dengan informasi yang dibutuhkan khususnya
mengupayakan integritas pelayanan publik. Diharapkan kesadaran mengenai integritas
pelayanan publik, sehingga memiliki pengaruh pada kebijakan sosial.
Melalui paradigma teori kritis dikoreksi praktek integritas pelayanan publik yang
dipengaruhi oleh faktor hukum dan non hukum. Akan lebih dikemukakan “ sensitizing concepts
and theories that oriented the search for solutions untuk penciptaan akses keadilan bagi
masyarakat khususnya masyarakat marginal melalui integritas pelayanan publik.
Cara kerja dalam penelitian ini adalah sesuai paradigma alamiah (naturalistic paradigm)
sebagai penelitian kualitatif (lihat: Nasution, 1996, hal. 9-12; Muhajir, 1996, hal. 136-138;
Moleong, 1996, hal. 4-8).
IV. C. Penentuan Responden
Penentuan responden dilakukan melalui metode non-probability dan snowball sampling.
Metode probability menurut Kemper et al adalah teknik dimana peneliti, “uses some criterion or
purpose to replace the principle of canceled random errors” (Kemper, Stringfield, & Teddlie,
2003, hal. 279). Metode Nonprobability, menurut Honigmann, memfokuskan pada tiga hal yaitu
pemilihan lokasi penelitian, pemilihan orang yang akan distudi, dan pemilihan situasi atau
26 Dalam memilih lokasi penelitian, tim peneliti mengajukan usulan bagi pelaksanaan di kota
Kupang dengan pertimbangan bahwa kota Kupang merupakan bagian dari provinsi NTT
dengan tingkat kemiskinan yang cukup tinggi. Kemiskinan memunculkan kebutuhan yang tinggi
bagi pelayanan publik dan lemahnya pelayanan publik dapat menempatkan masyarakat
kedalam situasi yang tidak menguntungkan.
Dalam memilih kelompok yang akan diteliti, tim peneliti UKSW melakukan penelitian
pendahuluan menggunakan sumber-sumber data sekunder, diantaranya keluhan-keluhan yang
masuk di Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dan dipublikasikan oleh website ORI. Selain
itu, berita-berita pada media massa lokal juga menjadi sumber informasi yang berguna bagi
pemetaan awal. Dari hasil pemetaan awal tersebut, dapat ditemukan bahwa penelitian akan
berlangsung di lingkungan pelayanan publik yang terkait dengan sektor kesehatan, pendidikan,
pelayanan perijinan, dan peran Ombudsman daerah.
Dalam menentukan situasi atau perilaku yang diteliti, berdasarkan studi awal, maka tim
peneliti UKSW memutuskan untuk melihat situasi implementasi pelayanan publik pada sektor
yang berdampak luas bagi masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Hal ini terkait dengan
persoalan tugas pelayanan publik untuk menjawab kebutuhan pemenuhan hak-hak dasar
masyarakat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Situasi yang diteliti adalah baik kondisi
yang dikeluhkan oleh masyarakat maupun yang diapresiasi positif oleh masyarakat.
IV. D. Lokasi Penelitian dan Tahapan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Kupang dan di luar kota Kupang dalam empat (4)
27 dengan Januari 2012, penelitian dilakukan lewat penelusuran data-data sekunder yang faktual
mengenai kinerja pelayanan publik di kota Kupang. Dalam tahap ini, tim peneliti UKSW
memetakan dan mengkaraterisasi permasalahan pelayanan publik yang terjadi di kota Kupang,
serta membangun instrumen penelitian.
Dalam tahap kedua (II) penelitian, pada bulan Januari 2012, berlangsung kegiatan
pengumpulan data lapangan (fieldwork) oleh tim peneliti UKSW di kota Kupang (Lihat Gambar
3). Sebagai sebuah penelitian kualitatif empiris, maka fieldwork menjadi sangat penting. Pada
tahapan ini tim peneliti UKSW melakukan penelusuran secara induktif kasus-kasus yang.
Fieldwork dilaksanakan melalui wawancara mendalam dan observasi lapangan kepada
sumber-sumber informasi primer, baik pihak lembaga pemerintah, lembaga non-pemerintah, maupun
masyarakat. Focus group discussion juga dilaksanakan untuk menggali informasi lebih
mendalam dari pihak yang berbeda.
Penentuan responden di Kota Kupang dilakukan oleh tim peneliti UKSW dengan
memanfaatkan teknik non-probability khususnya snowballing, dimana tim peneliti UKSW
melakukan pemetaan kembali kondisi lapangan melalui diskusi bersama dengan enumerator
dan narasumber lainnya di lapangan, dibandingkan dengan observasi terhadap informasi
lapangan khususnya dari media masa lokal. Dari hasil tersebut, kemudian dilakukan wawancara
awal dengan para responden utama, khususnya para pembuat kebijakan publik di dinas terkait.
Berdasarkan hasil wawancara awal kemudian dilakukan wawancara lanjutan dengan pengguna
layanan publik, sekaligus sebagai verifikasi terhadap informasi yang diterima dari pembuat
kebijakan. Selanjutnya dari hasil tersebut dilakukan penelusuran lebih lanjut dengan
mewawancarai pihak terkait yang diperoleh dari berbagai wawancara sebelumnya. Pada bagian
28 se-kota Kupang, yang dimaksudkan untuk mendapatkan berbagai informasi yang akan lebih
melengkapi hasil-hasil wawancara sebelumnya.
Tahap ketiga (III) penelitian ini adalah penulisan laporan, sambil melakukan konfirmasi
dan verifikasi data kualitatif kepada sumber sekunder. Pada tahap ini tim peneliti UKSW
melakukan Seminar terhadap laporan sementara dari hasil penelitian, dalam rangka
memperoleh input dari pihak lain.
Pada tahap keempat (IV) dari penelitian ini, di kota Kupang, diadakan forum pertemuan
Roundtable Discussion yang merupakan bentuk kampanye publik bagi peningkatan mutu
pelayanan publik di kota Kupang. Pada tahapan ini difokuskan pada bidang yang khusus yang
memperoleh perhatian besar dari masyarakat.
IV. E. Studi lapang (Research fieldwork) di Kota Kupang
Studi lapang / research fieldwork dilaksanakan dalam proses-proses sebagaimana berikut
ini:
1. Melakukan penelusuran secara induktif kasus-kasus yang ada guna mengidentifikasi
permasalahan yang paling substansial dalam pelaksanaan pelayanan publik di Kota Kupang.
2. Menelusuri data sekunder pada lembaga pelayanan publik tentang Standar Pelayanan
Minimum yang ada ataupun ketentuan instansional yang menjadi aturan hukum dalam
pelaksanaan pelayanan publik.
3. Melakukan in-depth interview kepada para informan kunci khususnya Ombudsman
Perwakilan NTT dan NTB, Kepala Dinas Kesehatan Kota Kupang, Kepala Bidang Pelayanan
29 Olahraga) Kota Kupang, Kepala Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Kota Kupang,
Pimpinan LSM PIKUL sebagai lembaga advokasi pelayanan publik. Selain itu, interview juga
dilakukan kepada warga masyarakat pengguna layanan publik sebagai pengontrol informasi.
4. Melakukan observasi lapangan di RSUD Prof. Dr. W. Z. Yohannes, RSUD Kota Kupang,
Sekolah-sekolah negeri dan swasta di Kota Kupang, wilayah ruang publik Kota Kupang,
Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Kota Kupang, dan di kantor Ombudsman Perwakilan
NTT dan NTB.
5. Melakukan Forum Group Discussion guna memvalidasi data. Partisipan FGD ini berjumlah
17 orang.
Kegiatan 1, 2, 3, 4 dan 5 di atas, dilakukan oleh Peneliti dan enumerator pada tanggal 24
Januari 2012 sampai dengan 29 Januari 2012 di kota Kupang. Dalam pelaksanaannya, tim
peneliti UKSW diperkuat oleh enumerator lokal. Pemilihan enumerator lokal dilakukan dengan
memilih orang yang mempunyai relasi sosial cukup luas pada berbagai aras sosial sehingga tim
peneliti akan mampu untuk mengakses informasi dengan cukup leluasa.
Dari segi sumber informasi, responden atau sumber data primer yang diwawancarai di
dalam penelitian ini dapat dilihat di dalam Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Sumber data primer.
No Jenis Lembaga
1. Lembaga pengawas Ombudsman Perwakilan NTT dan NTB
2. Lembaga pelayanan publik Dinas PPO (Pendidikan, Pemuda dan Olah-raga) Kota
Kupang
Dinas Kesehatan Kota Kupang
RSUD Prof. Dr W. Z. Yohannes
RSU Kota Kupang
30 3. Masyarakat Lembaga pendidikan swasta
Orang tua murid
Pengguna layanan kesehatan
Pengguna layanan perijinan
4. Lembaga swadaya
masyarakat (LSM)
9 LSM advokasi pelayanan publik
Dari segi jumlah responden, maka jumlah responden / interviewee dari seluruh proses di
atas dapat dilihat di dalam Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Jumlah responden.
No Sumber informasi Jumlah
1. Masyarakat 9
2. Pegawai pemerintah 6
3. Ombudsman 3
4. Lembaga swadaya
masyarakat
17
31
Gambar 3. Peta pembagian kecamatan dan kelurahan di Kota Kupang (sumber: BPS,
32
IV. F. Pengumpulan data dan analisis data
Pengumpulan data diperoleh dari data primer maupun data sekunder. Data primer
diperoleh dari responden, dan data sekunder diperoleh dari berbagai dokumen kasus mulai dari
aduan dan kebijakan-kebijakan instansional.
Pengumpulan data peneliti dilakukan melalui penggabungan teknik, yaitu teknik
wawancara mendalam (depth interview), questioner dalam studi lapang. Untuk menetapkan
keabsahan data diperlukan teknik pemeriksaan yang didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu,
yaitu derajat kepercayaan (credibility) keteralihan (transferability), kebergantungan
(dependability) dan kepastian (confirmablity) (Moleong, 1996, hal. 173).
Menurut pemaparan Fontana dan Frey (2005, hal. 701-709), dapat disimpulkan bahwa
terdapat tiga cara utama dalam merancang dan melaksanakan wawancara yaitu:
Structured interviewing, where “the interviewer asks all respondents the same series of
preestablished questions with a limited set of response categories” (Fontana & Frey,
hal. 701-702).
Group interviewing, which is a “qualitative data-gathering technique that relies on the
systemic questioning of several individuals simultaneously in a formal or informal
setting” (Fontana & Frey, hal. 703).
Unstructured interviewing, which provide “greater breadth than do the other types given
its qualitative nature” (Fontana & Frey, hal. 705).
Di dalam penelitian ini, sebelum turun ke lapangan, tim peneliti UKSW telah
merencanakan instrumen penelitian. Instrumen penelitian tersebut kemudian digunakan
33 peneliti UKSW melakukan wawancara berdasarkan tiga cara wawancara yang disebutkan
Fontana dan Frey di atas. Dalam situasi tertentu, khususnya saat berada dalam situasi formal
dan terkendali, wawancara terstruktur (structured interviewing) dapat dilakukan, baik secara
individu maupun kelompok. Sementara itu, dalam berbagai kesempatan tim peneliti juga
melakukan wawancara tidak terstruktur (unstructured interviewing) dalam rangka memperoleh
data dari narasumber dalam situasi yang sangat informal, baik kepada individu maupun
kelompok.
Pengumpulan data juga dilakukan oleh tim peneliti UKSW melalui metode Observasi.
Observasi adalah metode yang penting di dalam penelitian kualitatif. Menurut Marshall dan
Rossman, observasi adalah sangat penting dan fundamental di dalam semua penelitian
kualitatif yang mana digunakan untuk menemukan interaksi yang kompleks di dalam tatanan
sosial yang alami (lihat: Marshall & Rossman, 1999, hal. 107). Sementara itu, menurut
Angrosino yang mengutip Adler dan Adler, bahwa observasi merupakan basis mendasar dari
semua metode penelitian dalam kajian sosial dan perilaku (Adler & Adler, 1994, hal. 389, yang
dikutip dalam Angrosino, 2005, hal. 729).
Melihat pentingnya observasi sebagai bagian dari metode penelitian kualitatif, maka tim
peneliti UKSW juga melakukan observasi lapangan terhadap lokasi-lokasi yang terkait dengan
pelayanan publik RSUD Prof. Dr. W. Z. Yohannes, RSUD Kota Kupang, Sekolah-sekolah negeri
dan swasta di Kota Kupang, wilayah ruang publik Kota Kupang, Badan Pelayanan Perijinan
Terpadu Kota Kupang, dan di kantor Ombudsman Perwakilan NTT dan NTB. Observasi secara
tidak langsung juga dilakukan oleh tim peneliti UKSW terhadap berita-berita di media massa
berita-34 berita di media massa, dapat ditangkap nuansa dan magnitude dari permasalahan pelayanan
publik yang menjadi perhatian utama masyarakat.
Langkah analisis data penelitian akan dilakukan dengan mengikuti model interaktif dalam
3 (tiga) siklus kegiatan yang terjadi secara bersama, yaitu reduksi data, penyajian data,
penarikan kesimpulan/verifikasi (Miles & Huberman, 1992, hal. 16-19).
35
BAB V : HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
Institusi pelayanan publik sebenarnya merupakan suatu sistem yang terbuka (open
system) yang berarti bukan lembaga steril yang tidak terpengaruh berbagai interest, sebab
besarnya pengaruh lingkungan terhadap bekerjanya sistem ini. Institusi ini merupakan kesatuan
ide yang tertuang dalam landasan filosofi dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Kinerja pelayanan publik merupakan indicator dalam menilai keberhasilan pelaksanaan
tata pemerintahan. Kinerja pelayanan publik yang semakin baik merupakan elaborasi dari tata
pemerintahan yang baik. Oleh karena itu, pengamatan atas kinerja pelayanan publik
berintegritas sejalan dengan pengamatan kinerja pemerintah dalam penyelenggaraan tata
pemerintahan yang baik.
Adapun cara mengukur integritas publik dapat terungkap dalam (Haryatmoko, 2011, hal.
73):
1. Visi, perilaku, dan tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai atau standar etika,
artinya jujur dan sepenuh hati menjalankan pelayanan publik.
2. Bersikap adil dan responsif terhadap kebutuhan publik.
3. Kompeten untuk menepati janji akan kewajiban terhadap tanggung jawab
jabatannya demi kepentingan publik karena menghormati hak-hak warga negara.
Tujuh prinsip integritas publik menurut Dobel (dalam Haryatmoko, hal. 75), adalah:
1. Pejabat Publik harus bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yang
melegitimasi kekuassaan pemerintah yang konstitusional dengan menghormati
setiap warga negara sebagai yang memiliki martabat, hak asasi, dan kesetaraan
36 2. Pejabat publik harus menyetujui untuk menomorduakan keputusan pribadi
dengan menghargai hasil dari proses yang sah secara hokum dan sesuai dengan
pertimbangan professional.’
3. Mereka harus akuntabel terhadap semua tindakan baik baik terhadap atasan
maupun publik, serta jujur dan tepat ketika mempertanggungjawabkannya.
4. Mereka harus bertindak secara kompetten dan efektif dalam mencapai tujuan
dengan batas-batas yang sudah ditetapkan.
5. Mereka harus menghindari favoritism, berusaha independen dan objektif dengan
tetap mendasarkan pada alasan-alasan tepat dan relevan di dalam mengambil
keputusan.
6. Mereka setuju untuk menggunakan dana publik secara hati-hati dan efisien untuk
tujuan-tujuan yang telah disetujui, bukan untuk kepentingan pribadi atau
kelompoknya.
7. Mereka harus menjaga kepercayaan dan legitimasi lembaga-lembaga negara.
Ketujuh prinsip integritas mengarahkan tanggung jawab dengan menunjukkan
tindakan-tindakan yg harus dipenuhi agar pelayanan publik berkualitas. Bertolak dari pemaparan di atas,
apabila dielaborasikan pada kriteria integritas publik, maka implementasi integritas pelayanan
publik dapat dikaji dalam potret kinerja pelayanan yang masih terjadi di dalam penyelenggaraan
pelayanan publik di Kota Kupang.
V. A. Hasil Penelitian
Hasil pengumpulan data dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar
pelayanan publik di Kota Kupang masih menuai banyak keluhan dari masyarakat. Namun
ditemukan pula hasil yang positif dimana sudah terdapat praktek-praktek positif pada beberapa
lembaga pelayanan publik yang dapat dijadikan sebagai amalan baik (best practice) untuk
diterapkan pada lembaga-lembaga pelayanan publik lainnya di kota Kupang. Hal ini ditandai
37 Oleh karena itu, pemaparan hasil pengumpulan data di bawah ini akan terbagi di dalam
dua bagian besar, yaitu kondisi positif dalam hal kemajuan yang sudah terjadi dan kondisi
negatif dalam hal kendala-kendala yang masih dihadapi.
V. A. 1. Kemajuan dalam pelayanan publik di Kota Kupang.
Dalam wawancara dengan pimpinan Ombudsman Perwakilan NTT dan NTB, diperoleh
informasi bahwa ada dua praktek pelayanan publik yang dapat menjadi best practice dalam
pelayanan publik di Kota Kupang yang pelayanan perijinan di Badan Pelayanan Perijinan
Terpadu kota Kupang dan di kantor SAMSAT Kota Kupang. Kedua lembaga ini telah
menerapkan standard pelayanan minimal dan transparansi pelayanan yang didukung
sistem teknologi informasi dan dukungan layanan perbankan sehingga mempercepat
pelayanan kepada masyarakat dan meningkatkan pendapatan karena dapat menekan
kebocoran. Kedua lembaga inilah yang dijadikan contoh oleh Ombudsman kepada lembaga
pelayanan publik lainnya untuk dapat dicontoh.
Sistem pelayanan perijinan yang terintegrasi di kota Kupang dilakukan melalui Badan
Pelayanan Perijinan Terpadu. Wawancara terhadap para pengguna layanan badan perijinan
ini (tanggal 27 Januari 2012), baik dalam hal pengurusan IMB/ijin mendirikan bangunan
maupun ijin pendirian usaha, menunjukkan bahwa masyarakat merasa terbantu karena
adanya kepastian mengenai dua hal penting yaitu biaya yang harus dibayar dan jumlah hari
pengurusan ijin. Pembayaran dilakukan melalui loket Bank NTT di lembaga tersebut dan
proses selanjutnya dilaksanakan secara “satu atap” di Badan Pelayanan Perijinan Terpadu
ini.
Wawancara dan observasi terhadap pengguna RSU Kota Kupang juga menunjukkan
38 kelas” juga merupakan salah satu kebijakan yang bergagasan baik. Karena dari segi
gagasannya masyarakat dapat dilayani tanpa perbedaan. Tantangan yang masih dihadapi
adalah pada desain rumah sakit, kelengkapan fasilitas dan kecukupan tenaganya.
Berdasarkan wawancara (26 Januari 2012), telah meluasnya perjanjian kerjasama
Jamkesmas antara Dinas Kesehatan Kota Kupang dengan berbagai rumah sakit di Kota
Kupang. Untuk Jamkesda telah dilaksanakan kerjasama Dinas Kesehatan Kota Kupang
dengan RSUD Prof. Dr. W. Z. Yohannes dan RSU Kota Kupang. Keberadaan Jamkesda
dapat menunjang kelompok pengguna layanan kesehatan yang tidak tercover dalam skema
Jamkesmas, dimana pengguna Jamkesda ini berjumlah 117.042 jiwa. Sementara peserta
Jamkesmas sejak tahun 2008 masih berjumlah 106.631 jiwa. Dari segi pelayanan terhadap
ibu hamil, juga ada dukungan pemerintah melalui penyediaan fasilitas jaminan persalinan
(Jampersal) yang saat ini telah diakses lebih dari 68% dananya.
Dalam hal perbaikan mutu pendidikan dan biaya pendidikan, satu hal positif di Kota
Kupang adalah biaya pendidikan dapat terprediksi dengan jelas. Selain itu pemerintah juga
tidak melaksanakan pelayanan pendidikan sendirian namun juga melibatkan pihak swasta.
Sejarah pendidikan di Kota Kupang dan NTT menunjukkan peran yang sangat besar dari
pihak swasta. Pada saat ini dengan kondisi beberapa yayasan pendidikan swasta
mengalami kesulitan, maka pemerintah membuat kerjasama dan kebijakan untuk
mengalihkan beberapa sekolah swasta menjadi sekolah negeri sehingga dapat
meningkatkan mutu. Selain itu dibuka kesempatan bagi lembaga pendidikan swasta di Kota
Kupang untuk bekerjasama dengan lembaga pendidikan swasta dari Jakarta sehingga
39
V. A. 2. Ketidakpuasan masyarakat pada output atau hasil layanan publik, biaya,
maupun cara pelayanan.
Ketidakpuasan masyarakat yang disajikan dibawah ini merupakan hasil dari berbagai
wawancara yang dilakukan tim peneliti UKSW baik kepada warga masyarakat, Ombudsman
perwakilan NTT dan NTB, serta LSM pemerhati layanan publik di kota Kupang. Laporan
yang disampaikan kepada pihak Ombudsman dibagi kedalam pengelompokan lembaga yang
terlaporkan dan jumlah pelanggaran yang dilaporkan. Sementara ketidakpuasan masyarakat
yang diterima oleh LSM advokasi pelayanan publik, terkait dengan tiga kelembagaan yaitu
bidang kesehatan, pendidikan, dan perijinan. Hasil temuan yang diperoleh dapat
digambarkan dalam bagian berikut ini.
V. A. 2. a. Keluhan-keluhan yang dilaporkan kepada Ombudsman perwakilan NTT dan
NTB
1.
Kantor Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Wilayah NTT dan NTB dalam
kurun waktu Januari sampai dengan Desember 2011 telah menerima 165 laporan
masyarakat. Dari jumlah tersebut, 110 laporan diantaranya telah ditindaklanjuti dengan
klarifikasi atau rekomendasi kepada instansi terlapor, 13 laporan masih membutuhkan
kelengkapan data dan sebanyak 40 laporan masyarakat tidak dapat diproses lanjut
karena bukan merupakan kewenangan Ombudsman RI. Dari antaranya telah mendapat
110 laporan yang ditindaklanjuti Ombudsman Perwakilan NTT dan NTB, 71 laporan
tanggapan/respon yang positif dari berbagai instansi penyelenggara pelayanan publik. 64
tanggapan dari instansi terlapor menjelaskan bahwa kasus yang dilaporkan benar-benar
telah selesai.
1 Sumber data sekunder dan hasil wawancara kepada mantan Kepala Perwakilan Ombudsman Perwakilan
40 Instansi terlapor yang dilaporkan masyarakat NTT masih didominasi oleh Institusi
Kepolisian, dimana dari 165 Laporan yang diterima, 54 laporan diantaranya melaporkan
pelayanan pada Institusi Kepolisian, disusul Pemerintah Daerah sebanyak 51 laporan,
dan instansi terlapor lainnya (lihat Tabel 4).
Data penanganan laporan masyarakat sejak Januari-Desember 2011 terinci sebagai
berikut dalam Tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4. Klasifikasi laporan masyarakat berdasarkan instansi terlapor
No Terlapor Jumlah
Substansi pelayanan publik yang dilaporkan masyarakat masih didominasi oleh
Penundaan berlarut, dimana dari 165 laporan yang diterima, 37 laporan diantaranya
41 penyalahgunaan wewenang sebanyak 32 laporan, penyimpangan prosedur 20 laporan,
tidak kompetennya pejabat 20 laporan, dan substansi laporan lainnya. Secara lebih rinci
dapat disimak dalam Tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5. Klasifikasi laporan masyarakat berdasarkan substansi laporan
No Substansi Laporan Jumlah
1 Penundaan berlarut 37
2 Tidak memberikan pelayanan 19
3 Penyalahgunaan Wewenang 32
V. A. 2. b. Keluhan masyarakat terkait layanan kesehatan, pendidikan, dan informasi publik.
Beberapa LSM pemerhati pelayanan publik di kota Kupang termasuk YLKI Kupang
(Wawancara 26 Januari 2012) mempertanyakan kurangnya transparansi dan akuntabilitas
keuangan dalam kaitan dengan pelayanan kesehatan, khususnya terkait dengan sarana dan
prasarana RSUD Prof. Dr. W. Z. Yohannes. Persoalan keuangan menjadi penting karena
RSUD adalah penopang Pendapatan Asli Daerah. Munculnya kasus-kasus seperti habisnya
cairan cuci darah, terbatasnya obat-obatan, keterbatasan tabung oksigen, keterbatasan foto
rontgen, dipandang sebagai pelanggaran hak dasar masyarakat untuk memperoleh
kesehatan yang layak, khususnya oleh manajemen RSUD Prof. Dr. W. Z. Yohannes yang
42 memperoleh kesehatan tidak terwadahi. Wawancara juga menunjukkan adanya keluhan
tentang dokter yang datang terlambat karena mencari sampingan pekerjaan di tempat lain.
Wawancara di atas juga menunjukkan bahwa jumlah dokter dan perawat pada Unit
Gawat Darurat di RSUD Prof. Dr. W. Z. Yohannes masih terbatas jumlahnya dan perlu
ditambah. Karena dengan jumlah yang terbatas, maka kondisi overload harus dihadapi oleh
para tenaga kesehatan sehingga tidak optimal dalam melayani masyarakat.
Wawancara lainnya (25 Januari 2012) dengan beberapa warga masyarakat Kota
Kupang mengeluhkan lambatnya sikap pemerintah mengantisipasi outbreak demam
berdarah dengue (DBD) yang sering berulang di kota Kupang. Menurut narasumber
wawancara, kesiapan lembaga kesehatan seringkali barulah nampak sesudah ada korban
yang jatuh akibat DBD. Diharapkan bahwa sejak awal “musim DBD” pemerintah telah
melakukan konsolidasi di dalam lembaga kesehatan dan aktif melakukan foging di
wilayah-wilayah pemukiman.
Dalam bidang pendidikan, keluhan yang ada ialah persoalan hak guru yang kurang
diperhatikan oleh Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga. Guru yang diwawancarai
mengeluhkan bahwa pemotongan gaji guru kurang transparan. Masih ditemukan kasus
dimana honor untuk guru atau turunnya tunjangan sertifikasi masih disertai dengan potongan
tidak resmi.
Dalam kaitan dengan layanan informasi publik, berdasarkan uji coba LSM Kontras
Kupang tahun 2011 terhadap uji coba pemantauan Perda no. 16 tahun 2010 tentang
pelayanan informasi publik di kepolisian tentang biaya operasional dan mengkaji bagaimana
43 berikut: pengelolaan informasi dan dokumentasi masih arogan. Permintaan LSM tidak
memperoleh tanggapan dari penyelenggara layanan publik kepolisian. Oleh karena di
Kupang tidak ada KIPD (Komisi Informasi Publik Daerah), maka ketidakpuasan LSM Kontras
belum terselesaikan. Hal ini mengingat banyaknya laporan yang ditujukan kepada kepolisian
mengenai penanganan laporan/aduan masyarakat yang berlarut-larut.
V. A. 3. Marginalisasi kepentingan rakyat.
Termarginalisasinya kepentingan rakyat dapat terjadi karena keterbatasan akses
kepada informasi dan marginalisasi yang disebabkan oleh kebijakan anggaran serta
kurangnya orientasi kerakyatan. Orientasi pelayanan haruslah ditujukan pada kepentingan
masyarakat. Sistem birokrasi haruslah tidak profit oriented dan harus peka pada pemenuhan
kebutuhan sosial masyarakat.
Dari hasil pengumpulan data oleh tim peneliti UKSW, dapat ditemukan beberapa hal
penting sebagaimana dipaparkan dalam bagian berikut ini.
V. A. 3. a. Keterbatasan akses informasi dan keterbatasan ruang publik.
Berdasarkan hasil wawancara, akses kepada dokumen perencanaan anggaran
(APBD) tidak mudah untuk dilakukan oleh publik. Namun demikian, dari hasil kajian yang
dilakukan oleh masyarakat lokal, dalam pelaksanaan pembelanjaan APBD, pelaksanaan
fasilitas kesehatan/belanja langsung sangat kecil sebesar 5 %. Belanja pemerintah lebih
diarahkan pada belanja tidak langsung.
Hasil wawancara (25 Januari 2012), juga menunjukkan, bahwa masyarakat
menginginkan adanya akses kepada informasi publik, khususnya melalui konsultasi
publik. Menurut wawancara, bentuk dari konsultasi publik bisa berupa pertemuan
44 bisa juga melalui informasi di media massa. Hal ini dirasakan masih kurang dan akibatnya
masyarakat merasa tidak jelas sehingga menimbulkan resistensi dari masyarakat.
Masalah lain yang dirasakan penting adalah mengenai persoalan tata ruang kota
Kupang (wawancara 25 Januari 2012), terutama akses publik kepada wilayah milik umum
seperti pantai kota Kupang. Dalam kenyataannya saat ini pemerintah mengeluarkan Ijin
Mendirikan Bangunan di atas garis sempadan laut kepada para pemilik hotel dan
restoran, sehingga menutup akses masyarakat untuk dapat menikmati keindahan pantai
kota Kupang. Keindahan alam yang sebelumnya dapat dinikmati secara gratis, sekarang
hanya dapat dinikmati jika membayar, ini merupakan salah satu bentuk marjinalisasi
terhadap masyarakat miskin.
V. A. 3. b. Marginalisasi yang masih dirasakan pada bidang kesehatan dan pendidikan.
Dalam tahun anggaran 2011 jumlah program yang dilaksanakan oleh SKPD Dinas
Kesehatan sebanyak 16 program yang terdiri dari 41 kegiatan. Dari 16 program semua
program dapat dilaksanakan. Jumlah anggaran belanja langsung sebesar Rp.
12.326.997.961,- dengan realisasi sebesar Rp. 12.068.895.060,- atau kinerja keuangan
yang dicapai sebesar 97,91 % (LKPJ walikota Kupang tanggal 13 Januari 2012).
Berdasar LKPJ Walikota memang belum terlihat keseluruhan komposisi anggaran baik
langsung maupun tak langsung.
Pada layanan kesehatan, peserta Jamkesmas, Jamkesda atau Askeskin
dinomorduakan dalam pelayanan di rumah sakit.Salah satu contoh pelayanan yang tidak
sesuai prosedur adalah pelayanan medis kepada masyarakat yang memiliki jaminan
kesehatan. Menurut salah satu pengguna layanan kesehatan “Selama ini masyarakat
45 yang disuruh dibeli diluar. Pahahal, itu sebenarnya tidak boleh. Seharusnya rumah sakit
yang tangani, nanti baru rumah sakit klaim kepada pemerintah”.
Wawancara (26 Januari 2012) menunjukkan bahwa persoalan lain yang biasanya
terjadi ialah diskriminasi kepada pasien. Diskriminasi yang dimaksud adalah pasien yang
seharusnya dirujuk untuk mendapatkan pelayanan medis di rumah sakit lain. Namun
karena ketidaktahuan pasien dan juga sikap acuh dokter dan perawat, maka pasien
dibiarkan saja begitu. Sehingga, kondisi pasien bisa saja semakin kritis dan meninggal.
Padahal, kalau pindah rumah sakit, nyawa pasien masih bisa tertolong. Hal disebabkan
juga oleh overload pekerjaan yang disebabkan oleh keterbatasan jumlah tenaga
kesehatan di rumah sakit dan mutu tenaga kesehatan.
Mengenai keterlambatan pihak manajemen menyangkut dana Jamkesmas, Kesra,
insentif dan lainnya karena perubahan status rumah sakit dari Satuan Kerja Pemerintah
Daerah (SKPD) menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) sejak awal 2011.
Perubahan status ini berdampak pada sistem pengelolaan keuangan, khususnya untuk
pembiayaan kebutuhan dan dana tunjangan seperti insentif dan lainnya. Persoalannya
lagi karena sistem yang baru belum didukung oleh kompetensi pendukung tenaga
pengelola di rumah sakit.
Saat masih berstatus SKPD pembayaran insentif jasa para dokter ditangani
pemerintah, sebaliknya, perubahan status ke BLUD mewajibkan pembayaran ditanggung
langsung oleh rumah sakit. Belum adanya ketersediaan dana yang cukup berimbas pada
46 terlambat. Klaim Jamkesda dan Jamkesmas membutuhkan waktu tiga sampai enam
bulan
Wawancara lain (tanggal 29 Januari 2012) mensinyalir adanya ketidakberesan
pihak manajemen rumah sakit dalam mengurus pembiayaan operasional layanan rumah
sakit serta pengadaan obat-obatan kepada pasien golongan rendah (peserta Jamkesmas)
contoh kasus yang sering terjadi dimana pasien Jamkesmas yang seharusnya
mendapatkan obat secara gratis, terpaksa mengeluarkan uang membeli di tempat lain
karena tidak tersedia di rumah sakit.
Buruknya kinerja manajemen RSUD Prof. Dr. W. Z. Yohannes selain tergambar dari
pelayanan yang belum memuaskan masyarakat, juga pengelolaan dana jamkesmas yang
tidak sesuai peruntukannya. Karena pengelolaan dana jamkesmas tidak sesuai
peruntukannya. Pihak LSM juga mempertanyakan banyaknya jumlah dana Jamkesmas
yang disetor kembali, karena dianggap menunjukkan tidak optimalnya jangkauan layanan
kepada masyarakat miskin. Pengelolaan Jamkesmas juga memunculkan kerugian, karena
terkait dengan tunggakan klaim yang mencapai 3-4 bulan. Apabila anggaran Jamkesmas
disetor kembali, berarti pengelolaannya tidak professional. Apabila ada stok obat, maka
tidak diperuntukkan bagi pasien Jamkesmas.
Pada layanan pendidikan masih ditemui pungutan-pungutan liar seperti uang buku.
Komite sekolah tidak berpihak pada peserta didik tapi pada kepentingan sekolah.
Misalnya ditarik uang untuk pembelian kursi, padahal kursi masih bagus. Harga kursipun
tidak sesuai harga pasar. Pungutan di sekolah Negeri tidak memiliki dasar yang jelas dan