• Tidak ada hasil yang ditemukan

A 3 Marginalisasi kepentingan rakyat

Dalam dokumen Full Paper P00027 (Halaman 43-49)

BAB V : HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

V. A 3 Marginalisasi kepentingan rakyat

Termarginalisasinya kepentingan rakyat dapat terjadi karena keterbatasan akses kepada informasi dan marginalisasi yang disebabkan oleh kebijakan anggaran serta kurangnya orientasi kerakyatan. Orientasi pelayanan haruslah ditujukan pada kepentingan masyarakat. Sistem birokrasi haruslah tidak profit oriented dan harus peka pada pemenuhan kebutuhan sosial masyarakat.

Dari hasil pengumpulan data oleh tim peneliti UKSW, dapat ditemukan beberapa hal penting sebagaimana dipaparkan dalam bagian berikut ini.

V. A. 3. a. Keterbatasan akses informasi dan keterbatasan ruang publik.

Berdasarkan hasil wawancara, akses kepada dokumen perencanaan anggaran (APBD) tidak mudah untuk dilakukan oleh publik. Namun demikian, dari hasil kajian yang dilakukan oleh masyarakat lokal, dalam pelaksanaan pembelanjaan APBD, pelaksanaan fasilitas kesehatan/belanja langsung sangat kecil sebesar 5 %. Belanja pemerintah lebih diarahkan pada belanja tidak langsung.

Hasil wawancara (25 Januari 2012), juga menunjukkan, bahwa masyarakat menginginkan adanya akses kepada informasi publik, khususnya melalui konsultasi publik. Menurut wawancara, bentuk dari konsultasi publik bisa berupa pertemuan langsung pihak pemerintah dengan stakeholder atau kelompok sasaran layanan publik,

44 bisa juga melalui informasi di media massa. Hal ini dirasakan masih kurang dan akibatnya masyarakat merasa tidak jelas sehingga menimbulkan resistensi dari masyarakat.

Masalah lain yang dirasakan penting adalah mengenai persoalan tata ruang kota Kupang (wawancara 25 Januari 2012), terutama akses publik kepada wilayah milik umum seperti pantai kota Kupang. Dalam kenyataannya saat ini pemerintah mengeluarkan Ijin Mendirikan Bangunan di atas garis sempadan laut kepada para pemilik hotel dan restoran, sehingga menutup akses masyarakat untuk dapat menikmati keindahan pantai kota Kupang. Keindahan alam yang sebelumnya dapat dinikmati secara gratis, sekarang hanya dapat dinikmati jika membayar, ini merupakan salah satu bentuk marjinalisasi terhadap masyarakat miskin.

V. A. 3. b. Marginalisasi yang masih dirasakan pada bidang kesehatan dan pendidikan.

Dalam tahun anggaran 2011 jumlah program yang dilaksanakan oleh SKPD Dinas Kesehatan sebanyak 16 program yang terdiri dari 41 kegiatan. Dari 16 program semua program dapat dilaksanakan. Jumlah anggaran belanja langsung sebesar Rp. 12.326.997.961,- dengan realisasi sebesar Rp. 12.068.895.060,- atau kinerja keuangan yang dicapai sebesar 97,91 % (LKPJ walikota Kupang tanggal 13 Januari 2012). Berdasar LKPJ Walikota memang belum terlihat keseluruhan komposisi anggaran baik langsung maupun tak langsung.

Pada layanan kesehatan, peserta Jamkesmas, Jamkesda atau Askeskin dinomorduakan dalam pelayanan di rumah sakit.Salah satu contoh pelayanan yang tidak sesuai prosedur adalah pelayanan medis kepada masyarakat yang memiliki jaminan kesehatan. Menurut salah satu pengguna layanan kesehatan “Selama ini masyarakat yang datang melakukan perawatan di sini (RSUD Prof. Dr. W. Z. Yohannes) ada obat

45 yang disuruh dibeli diluar. Pahahal, itu sebenarnya tidak boleh. Seharusnya rumah sakit yang tangani, nanti baru rumah sakit klaim kepada pemerintah”.

Wawancara (26 Januari 2012) menunjukkan bahwa persoalan lain yang biasanya terjadi ialah diskriminasi kepada pasien. Diskriminasi yang dimaksud adalah pasien yang seharusnya dirujuk untuk mendapatkan pelayanan medis di rumah sakit lain. Namun karena ketidaktahuan pasien dan juga sikap acuh dokter dan perawat, maka pasien dibiarkan saja begitu. Sehingga, kondisi pasien bisa saja semakin kritis dan meninggal. Padahal, kalau pindah rumah sakit, nyawa pasien masih bisa tertolong. Hal disebabkan juga oleh overload pekerjaan yang disebabkan oleh keterbatasan jumlah tenaga kesehatan di rumah sakit dan mutu tenaga kesehatan.

Mengenai keterlambatan pihak manajemen menyangkut dana Jamkesmas, Kesra, insentif dan lainnya karena perubahan status rumah sakit dari Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) sejak awal 2011. Perubahan status ini berdampak pada sistem pengelolaan keuangan, khususnya untuk pembiayaan kebutuhan dan dana tunjangan seperti insentif dan lainnya. Persoalannya lagi karena sistem yang baru belum didukung oleh kompetensi pendukung tenaga pengelola di rumah sakit.

Saat masih berstatus SKPD pembayaran insentif jasa para dokter ditangani pemerintah, sebaliknya, perubahan status ke BLUD mewajibkan pembayaran ditanggung langsung oleh rumah sakit. Belum adanya ketersediaan dana yang cukup berimbas pada terlambatnya pengucuran biaya operasional dan pembayaran insentif yang sering

46 terlambat. Klaim Jamkesda dan Jamkesmas membutuhkan waktu tiga sampai enam bulan

Wawancara lain (tanggal 29 Januari 2012) mensinyalir adanya ketidakberesan pihak manajemen rumah sakit dalam mengurus pembiayaan operasional layanan rumah sakit serta pengadaan obat-obatan kepada pasien golongan rendah (peserta Jamkesmas) contoh kasus yang sering terjadi dimana pasien Jamkesmas yang seharusnya mendapatkan obat secara gratis, terpaksa mengeluarkan uang membeli di tempat lain karena tidak tersedia di rumah sakit.

Buruknya kinerja manajemen RSUD Prof. Dr. W. Z. Yohannes selain tergambar dari pelayanan yang belum memuaskan masyarakat, juga pengelolaan dana jamkesmas yang tidak sesuai peruntukannya. Karena pengelolaan dana jamkesmas tidak sesuai peruntukannya. Pihak LSM juga mempertanyakan banyaknya jumlah dana Jamkesmas yang disetor kembali, karena dianggap menunjukkan tidak optimalnya jangkauan layanan kepada masyarakat miskin. Pengelolaan Jamkesmas juga memunculkan kerugian, karena terkait dengan tunggakan klaim yang mencapai 3-4 bulan. Apabila anggaran Jamkesmas disetor kembali, berarti pengelolaannya tidak professional. Apabila ada stok obat, maka tidak diperuntukkan bagi pasien Jamkesmas.

Pada layanan pendidikan masih ditemui pungutan-pungutan liar seperti uang buku. Komite sekolah tidak berpihak pada peserta didik tapi pada kepentingan sekolah. Misalnya ditarik uang untuk pembelian kursi, padahal kursi masih bagus. Harga kursipun tidak sesuai harga pasar. Pungutan di sekolah Negeri tidak memiliki dasar yang jelas dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.

47

V. A. 3. d. Temuan yang diperoleh dalam FGD dengan LSM se-Kota Kupang

(khususnya

mengenai kritik atas Prioritas Alokasi APBD Kupang 2010).2

Temuan LSM menggambarkan timpangnya pengakomodasian kepentingan public akan kebutuhan dasar dibandingkan kepentingan elitis. Dapat digambarkan dalam beberapa butir masalah di bawah ini:

 Anggaran untuk perbaikan gizi masyarakat hanya sebesar Rp. 110 juta (0.29 % dari anggaran Dinkes). Padahal Dinas Kesehatan kota Kupang melaporkan ada 2432 baliti gizi kurang dan 187 gizi buruk. Padahal standar penanganan gizi yang dikembangkan Dinkes tahun 2005, anak gizi buruk membuthkan Rp. 12.500/anak selama 90 hari. Jadi, dengan hanya sedkikit alokasi anggaran, hanya akan cukup untuk 97 anak (52%) penyandang gizi buruk. Demikian pula untuk gizi kurang hanya tertangani kebutuhan 293 anak gizi kurang.

 Anggaran untuk peningkatan keselamatan ibu melahirkan dan anak tercantum Rp. 167,7 juta (0,37 % keseluruhan anggaran Dinas Kesehatan). Bila dibandingan untuk bantuan tugas belajar, ikatan dinas, seleksi penerimaan PNS dan penempatan PNS yang dialokasikan BKD sebesar lebih dari Rp. 1,3 Milyar, maka anggaran untuk membantu perempuan miskin dalam melahirkan sangatlah tidak sebanding.

 Anggaran untuk ketahanan pangan yakni untuk alokasi produksi pangan, dan dukungan akses pada pangan melalui penguatan ekonomi kerakyatan. Pada alokasi anggaran untuk sektor peningkatan ekonomi / penguatan UKM hanyalah sebesar

2 Kajian ini dilakukan oleh LSM Geng Motor iMuT (Aliansi Masyarakat Peduli Ternak dan NTT Policy Forum). LSM tidak bisa mendapatkan APBD 2011-2012 karena tidak diberikannya RAPBD sebagai suatu kajian Publik yang seharusnya disharingkan melalui public hearing seiring dengan adanya UU keterbukaan Infomrasi Publik.

48 Rp.883 juta untuk mendukung iklim wirausaha, kualitas serta kelembagaan UKM. Sementara anngaran langsung untuk penguatan UKM sebesar Rp. 2,36 M lebih dari setengahnya untuk gaji pegawai dan 6,6 % untuk keperluan administrasi kantor. Dibanding dengan alokasi peningkatan kapasitas 30 orang DPRD Rp. 991,6 juta, maka anggaran tersebut di atas sangatlah minim. Apabila bila dikaji bahwa Tahun 2009 tercatat 5.421 pencari kerja di kupang, dan yang terserap hanya 1.112 jiwa.

 Ada Rp.4,3 M yang dialokasikan untuk gaji 30 orang anggota DPRD. Ditambah dengan biaya kenyamanan lain seperti perawatan rumah dinas, dan biaya untuk menjamin kelancaran aktivitas mencapai Rp. 19,141 M. Bila dibandingkan untuk alokasi anak gizi buruk dan kurang sunggulah ironi. Pada sekretariat dewan anggaran Rp. 1,5 M dialokasikan untuk rapat koordinasi dan konsultasi ke luar daerah (studi banding).

 Di sekretariat daerah ada Rp. 12,225 M untuk kelancaran tugas pejabat eksekutif. Pengadaan kendaraan dinas /operasional Rp.5,1 M, pemeliharaan rutin mobil dinas sebesar Rp. 2,088 M.

Oleh karena itu, bagi Kota Kupang, maka potret APBD Kupang 2010 menggambarkan ketimpangan antara kenyamanan bagi pejabat dan kebutuhan sosial masyarakat. Dikaitkan dengan visi pimpinan wilayah Kota Kupang 2007-2012 adalah

“Terwujudnya Masyarakat Kota yang cerdas, beradab, berbudaya, sejahtera dan berdaya saing”, maka realisasi visi ini akan terus dipertanyakan.

49

Dalam dokumen Full Paper P00027 (Halaman 43-49)

Dokumen terkait