• Tidak ada hasil yang ditemukan

A.3. Kriteria Keberhasilan Penyesuaian Perkawinan

BAB II LANDASAN TEORI

II. A.3. Kriteria Keberhasilan Penyesuaian Perkawinan

Hurlock (1990) mengatakan bahwa terdapat lima kriteria keberhasilan dalam penyesuaian perkawinan, yaitu :

1. Kebahagiaan suami istri

Suami dan istri yang bahagia yang memperoleh kebahagiaan bersama akan membuahkan kepuasan yang diperoleh dari peran yang mereka mainkan bersama. Mereka juga mempunyai cinta yang matang dan mantap satu dengan lainnya. Mereka juga dapat melakukan penyesuaian seksual dengan baik serta dapat menerima peran sebagai orang tua.

2. Kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari perbedaan pendapat

Perbedaaan pendapat di antara anggota keluarga yang tidak dapat dielakkan, biasanya berakhir dengan salah satu dari tiga kemungkinan,

yaitu adanya ketegangan tanpa pemecahan, salah satu mengalah demi perdamaian atau masing-masing keluarga mencoba untuk saling mengerti pandangan dan pendapat orang lain. Dalam jangka panjang kemungkinan ketiga yang dapat menimbulkan kepuasan dalam penyesuaian perkawinan, walaupun kemungkinan pertama dan kedua dapat mengurangi ketegangan yang disebabkan oleh perselisihan yang meningkat.

3. Kebersamaan

Jika penyesuaian perkawinan dapat berhasil, maka keluarga dapat menikmati waktu yang digunakan untuk berkumpul bersama. Apabila hubungan keluarga telah dibentuk dengan baik pada awal-awal tahun perkawinan, maka keduanya dapat mengikatkan tali persahabatan lebih erat lagi setelah mereka dewasa, menikah dan membangun rumah atas usahanya sendiri.

4. Penyesuaiaan yang baik dalam masalah keuangan

Dalam keluarga pada umumnya salah satu sumber perselisihan dan kejengkelan adalah sekitar masalah keuangan. Bagaimanapun besarnya pendapatan, keluarga perlu mempelajari cara membelanjakan pendapatannya sehingga mereka dapat menghindari utang yang selalu melilitnya agar disamping itu mereka dapat menikmati kepuasan atas usahanya dengan cara yang sebaik-baiknya, daripada menjadi seorang istri yang selalu mengeluh karena pendapatan suaminya tidak memadai. Bisa juga dia bekerja untuk membantu pendapatan suaminya demi pemenuhan kebutuhan keluarga.

5. Penyesuaian yang baik dari pihak keluarga

Apabila suami istri mempunyai hubungan yang baik dengan pihak keluarga pasangan, khususnya mertua, ipar laki-laki dan ipar perempuan, kecil kemungkinannya untuk terjadi percekcokan dan ketegangan hubungan dengan mereka.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kriteria keberhasilan penyesuaian perkawinan adalah kebahagiaan suami istri, kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari perbedaan pendapat, kebersamaan, penyesuaian yang baik dalam masalah keuangan, dan penyeusian yang baik dari pihak keluarga pasangan.

II.A.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Perkawinan

Banyak faktor sosial dan demografis yang ditemukan memiliki hubungan dengan penyesuaian perkawinan (Dyer, 1983). Berikut ini beberapa hal yang mempengaruhi penyesuaian perkawinan :

1. Usia

Udry dan Schoen (dalam Dyer, 1983) mengatakan bahwa penyesuaian pekawinan rendah apabila pasangan menikah pada usia yang sangat muda, yaitu laki-laki di bawah 20 tahun dan wanita di bawah 18 tahun. Mereka dihadapkan pada tuntutan dan beban seputar perkawinan, dimana bisa menyebabkan rasa kecewa, berkecil hati, dan tidak bahagia. Penelitian juga mengatakan bahwa dalam ketidakmatangan, cenderung untuk melihat perkawinan dari segi romantismenya dan kurang persiapan untuk

menerima tanggung jawab dari perkawinan tersebut. Tapi dalam hal perbedaan usia, penelitian ditemukan tidak terlalu meyakinkan. Ada penelitian menemukan bahwa akan lebih menguntungkan bagi pasangan yang memiliki usia yang sama (Locke; Blode & Wolfe, dalam Dyer, 1983), namun pada penelitian lain juga ditemukan bahwa usia yang berbeda tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam penyesuaian pekawinan (Udry, Nelson & Nelson, dalam Dyer, 1983).

2. Agama

Hubungan antara agama dan penyesuaian perkawinan sudah diselidiki sepanjang tahun. Walaupun begitu, selalu ditemukan hasil yang berbeda-beda dan selalu tidak konsisten. Terman (dalam Dyer, 1983) menyimpulkan bahwa latar belakang agama dari pasangan bukan faktor yang berarti dalam kebahagiaan perkawinan. Pada penelitian pernikahan beda agama (Christensen & Barber; Glenn, dalam Dyer, 1983) ditemukan bahwa pernikahan beda agama antara Katolik, Yahudi, dan Protestan sedikit kurang bahagia dibandingkan pernikahan dengan agama yang sama di ketiga agama tersebut.

3. Ras

Sejauh ini tidak ada penelitian khusus penyesuaian perkawinan dimana perkawinan antar ras sebagai variabelnya. Walaupun ada opini terkenal yang mengatakan bahwa perkawinan antar ras penuh resiko, sebenarnya secara statistik sangat sedikit yang mendukung pandangan ini (Udry, dalam Dyer, 1983). Penelitian yang dilakukan Monahan (dalam Dyer,

1983) pada perkawinan antar ras di Iowa, ditemukan bahwa perkawinan antar kulit hitam dan putih lebih stabil daripada perkawinan kulit hitam dan hitam; dia juga menemukan bahwa perkawinan dengan suami kulit hitam dan istri kulit putih memiliki rata-rata perceraian yang rendah dibandingkan dengan rata-rata perceraian pada perkawinan kulit putih dan putih. Dimana perbedaan sosial dan kultur masih tetap ada dan larangan pada perkawinan antar ras masih kuat, mereka berusaha untuk tahan menghadapi larangan dan berusaha kuat untuk menghadapi sangsi yang ada dari kelompok ras mereka masing-masing

4. Pendidikan

Data dari survei nasional mengatakan bahwa pendidikan tidak selamanya menjadi faktor yang penting dalam penyesuaian perkawinan. Glenn dan Weaver (dalam Dyer, 1983) menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara lamanya mengecap pendidikan dengan kebahagiaan perkawinan. Penelitian terhadap perbedaan pendidikan pada pasangan dengan penyesuaian perkawinan belum sepenuhnya jelas, karena ada pendapat yang mengatakan bahwa pasangan dengan tingkat pendidikan yang sama akan lebih puas dengan perkawinannya dan hasil penelitian yang lain juga mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara perbedaan tingkat pendidikan suami istri dengan penyesuaian perkawinan (Terman; Burgess & Wallin, dalam Dyer, 1983).

5. Keluarga Pasangan

Salah satu hal yang harus dihadapi oleh pasangan yang baru menikah adalah bagaimana mengatasi hubungan selanjutnya dengan orang tua dan sanak saudara setelah menikah. Beberapa penelitian dalam hal saudara istri atau suami mengindikasikan bahwa masalah ini lebih mempengaruhi wanita daripada pria (Duvall; Komorovsky, dalam Dyer, 1983). Ibu mertua dan kakak ipar lebih cenderung sebagai masalah dalam ketidakcocokan dari pada bapak mertua dan abang ipar. Inti dalam perselisihan biasanya menyangkut aktifitas dan peran wanita dalam rumahtangga.

II.A.5. Usia Perkawinan dalam Melakukan Penyesuaian Perkawinan

Menurut Hirning dan Hirning (1956) tahun pertama dalam perkawinan adalah tahun yang paling penting sekali dalam penyesuaian perkawinan. Pasangan harus melakukan penyesuaian seperti mengetahui kepribadian masing-masing, penyesuaian dengan faktor seksual, emosional, dan intelektual dan pasangan harus belajar untuk saling membantu dalam kehidupan rumah tangga.

Hurlock (1990) juga mengatakan bahwa tahun pertama dan kedua perkawinan, pasangan suami istri biasanya harus melakukan penyesuaian perkawinan satu sama lain (Hurlock, 1990).

Hassan (2005) mengatakan bahwa masa lima tahun pertama perkawinan biasanya pengalaman bersama belum banyak, sehingga diperlukan proses

penyesuaian diri tidak hanya dengan pasangan hidup tapi juga dengan kerabat-kerabat yang ada.

Clinebell dan Clinebell (2005) mengatakan bahwa krisis muncul saat pertama kali memasuki pernikahan. Biasanya tahap berlangsung selama dua sampai lima tahun. Kedua pasangan harus banyak belajar tentang pasangan masing-masing dan diri sendiri. Keduanya mulai berhaapan dengan berbagai masalah.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa satu sampai dua tahun pertama perkawinan adalah tahun yang paling penting sekali dalam penyesuaian perkawinan.

Dokumen terkait