INOCULATION METHODS AND CONIDIAL DENSITIES OF Fusarium oxysporum f.sp. cubense FOR INFECTING ABACA
Respon 10 klon abaka terhadap infeksi Foc
Semua klon abaka yang diinokulasi menunjukkan persentase dan rataan skor gejala serta intensitas penyakit lebih besar dibandingkan yang tidak diinokulasi (Tabel 4). Berdasarkan nilai IP (Tabel 4), 10 klon abaka yang diuji tergolong sangat rentan (SR, 9 klon) atau rentan (R, 1 klon).
PEMBAHASAN
Keberhasilan infeksi Foc merupakan proses kompleks yang melibatkan beberapa tahapan, yaitu: (1) pendeteksian signal dari akar pisang yang terluka oleh Foc, (2) penempelan Foc pada permukaan akar dan penetrasi hifa Foc ke jaringan akar, (3) penetrasi hifa Foc ke dalam korteks dan degradasi sistem pertahanan fisik jaringan akar untuk mencapai jaringan pembuluh, (4) proliferasi hifa Foc dan produksi mikrokonidia dalam jaringan xilem, dan (5) sekresi senyawa toksin dan ensim hidrolisis oleh Foc yang menyebabkan kerusakan lebih lanjut jaringan tanaman (Di Pietro et al. 2003). Adanya luka pada jaringan
Tabel 4. Respon 10 klon abaka terhadap infeksi Fusarium oxysporum f.sp.
cubense isolat Banyuwangi. Pengamatan dilakukan pada 60 hari sesudah inokulasi.
Rataan skor gejala
kelayuan Intensitas penyakit (%)
Klon dan karakter unggul abaka:
Bibit ber-gejala (%)
INO Tanpa INO INO Tanpa INO
Respon terhadap Foc Banjar TT > 2 m, RS > 3% 90 2.2 0.8 55.0 20.0 SR BL Manado TT > 2 m, RK >70% 100 3.5 0.9 87.5 22.5 SR Cilacap TT > 3 m, RS > 3% 100 2.8 1.2 65.0 30.0 SR Cirebon TT > 2 m, RS > 3% 100 3.9 0.4 97.5 10.0 SR Layahan JA > 25 80 2.1 0.8 52.5 20.0 SR MbB 90 1.6 0.8 40.0 20.0 R Sangihe -1 TT > 2 m, RK > 70% 100 3.7 0.8 93.0 20.0 SR Sangihe -2 TT > 2 m, RS > 3% 100 3.5 0.6 87.5 15.0 SR Tangongon 100 3.3 0.8 82.0 20.0 SR UB 3 85 3.0 0 75.0 0 SR
Keterangan: Deskripsi karakter unggul kultivar abaka sesuai dengan yang dipublikasikan oleh
Setyo-Budi et al. (2001); TT: tinggi tanaman di lokasi Kebun Percobaan
Karangploso, Malang; RS: rendemen serat; RK: rendemen kertas; JA: jumlah anakan; SR: sangat rentan; R: rentan.
akar merupakan salah satu proses awal infeksi Foc pada tanaman pisang.
Di lapangan, pelukaan jaringan tanaman dapat terjadi antara lain akibat pemangkasan anakan, aktivitas serangga penusuk, atau aktivitas infeksi nematoda (Ploetz 2000). Djatnika et al. (2003) menyebutkan bahwa Foc bersifat tular tanah, menginfeksi tanaman melalui akar rambut lateral, dan dapat menginfeksi jaringan melalui luka yang disebabkan oleh nematoda Radopholus similis.
Dalam penelitian ini, metode INO-2 dilakukan dengan memberikan pelukaan pada akar bibit abaka yang diuji, diikuti dengan perendaman bibit dalam suspensi konidium Foc. Sebaliknya, dalam perlakuan INO-1 dan INO-3 tidak ada tindakan pelukaan terhadap bibit abaka yang diuji, meskipun bibitnya diberi inokulum Foc dengan konsentrasi inokulum yang tinggi.
Bibit abaka yang diinokulasi dengan metode INO-2 menunjukkan gejala layu dan intensitas penyakit yang lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan tahapan proses infeksi Foc pada tanaman abaka yang harus dilewati, yaitu adanya luka
pada jaringan akar. Pada metode INO-2, pelukaan jaringan akar yang dilakukan dan perendaman bibit pada suspensi konidia Foc menjamin terjadinya proses awal infeksi. Pada metode INO-1 dan INO-3 masih terjadi infeksi meskipun tidak terlalu parah. Hal ini disebabkan karena patogen secara aktif dapat melukai jaringan tanaman secara kimia yaitu mengeluarkan enzim untuk mendegradasi dinding sel tanaman atau secara mekanik menggunakan kapak penetrasi. Namun terjadinya pelukaan oleh Foc membutuhkan waktu dan ada kemungkinan gagal sehingga perlu dibantu dengan perlakuan pelukaan buatan. Perlakuan pelukaan jaringan tanaman yang diuji telah dilaporkan membantu penetrasi inokulum cendawan ke dalam sel/jaringan tanaman yang diinokulasi (Yusnita & Sudarsono 2004; Sakamoto & Gordon 2006).
Sesuai dengan tahapan infeksi, kerusakan jaringan akar yang terjadi akibat infeksi Foc dimulai dari jaringan epidermis, diikuti jaringan korteks dan akhirnya jaringan pembuluh (xylem). Tahapan proses infeksi Foc dimulai dari penempelan dan penetrasi jaringan akar dan diikuti penyebaran ke jaringan pembuluh (Mak et al. 2004a; Salerno 2000). Gejala layu yang diamati pada tajuk tanaman terjadi akibat tersumbatnya jaringan pembuluh akar oleh miselia cendawan dan akibat induksi tilosis atau kerusakan jaringan parenkimatis oleh enzim dan asam fusarat yang diproduksi Foc.
Pada penelitian yang dilakukan pada bibit abaka ini, kerusakan jaringan akar yang terjadi baru mencapai jaringan korteks setelah 30 HSI. Pengamatan anatomis menunjukkan jaringan akar yang mengalami kerusakan akibat infeksi Foc menjadi berwarna gelap atau coklat kehitaman (Gambar 2.h). Warna gelap pada jaringan akar yang rusak terjadi sebagai akibat penguraian senyawa fenol menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana oleh enzim fenol oksidase yang dihasilkan Foc dan penyerapan senyawa-senyawa tersebut oleh dinding sel jaringan akar (Semangun 1996). Dengan demikian, perubahan warna jaringan yang diinokulasi menjadi coklat atau kehitaman (gelap) pada preparat anatomis mengindikasikan terjadinya kerusakan pada jaringan akar tanaman abaka yang diinokulasi.
Dalam penelitian ini, meskipun pada 30 HSI kerusakan akar yang terjadi baru mencapai jaringan korteks, bibit abaka yang diuji telah menunjukkan gejala
layu dengan rataan skor 0.3-1.7. Korteks merupakan jaringan penyusun akar yang terdiri atas sel-sel parenkimatis dan berperan dalam pengangkutan dan penyimpanan oksigen untuk proses respirasi. Meskipun tidak langsung berfungsi dalam proses pengangkutan air, kerusakan jaringan korteks dapat berpengaruh terhadap pengangkutan air dari akar ke jaringan tajuk sehingga menyebabkan munculnya gejala layu.
Pada 60 HSI, persentase bibit bergejala, rataan skor gejala kelayuan dan intensitas penyakit yang diamati menjadi lebih tinggi. Meningkatnya keparahan gejala infeksi Foc pada 60 HSI tersebut diduga sebagai akibat hifa Foc sudah mulai merusak jaringan stele (xylem) akar, yang berperan dalam pengangkutan air dan hara yang diserap dari dalam tanah. Kerusakan yang terjadi pada jaringan
xylem berdampak langsung terhadap pengangkutan air dari jaringan akar ke tajuk sehingga gejala layu yang terjadi semakin meningkat.
Pada kondisi infeksi yang parah, Foc juga menyebabkan terjadinya nekrosis pada jaringan bonggol tanaman pisang. Dalam penelitian ini, gejala nekrosis pada bonggol bibit abaka yang diinokulasi Foc belum menghasilkan nilai intensitas penyakit yang tinggi, terutama pada klon Tangongon. Hal ini mengindikasikan bahwa infeksi Foc pada bibit abaka hingga 60 HSI menyebabkan terjadinya kerusakan sistem perakaran dan belum mencapai jaringan pembuluh batang.
Kerapatan konidia Foc yang lebih tinggi untuk menginokulasi bibit abaka terbukti meningkatkan munculnya gejala layu bibit dan nekrosis bonggol. Hal ini sesuai dengan yang diharapkan karena semakin banyak inokulum yang digunakan berpotensi lebih besar untuk menimbulkan gejala penyakit (Agrios 1997). Ben-Yephet et al. (1996) melaporkan adanya korelasi positif antara konsentrasi inokulum awal dengan timbulnya penyakit layu Fusarium pada tanaman anyelir, sedangkan Mak et al. (2004b) melaporkan perbedaan kerapatan inokulum yang digunakan dapat menghasilkan perbedaan respon tanaman yang diuji. Pada tanaman pisang, penggunaan inokulum spora Foc dengan kerapatan 5x102 spora/ml menyebabkan munculnya gejala penyakit ringan, 5x104 spora/ml - gejala sedang, dan pada 5x106 spora/ml - gejala parah (Mak et al. 2004b).
Dari sepuluh klon abaka yang diuji dalam percobaan ini tidak satupun yang tergolong tahan terhadap infeksi Foc. Sembilan klon abaka yang diuji tergolong
sangat rentan (SR) dan 1 klon tergolong rentan (R). Basuki (2003) menyatakan tanaman pisang (termasuk abaka) dan kapas diketahui tidak mempunyai gen ketahanan terhadap layu Fusarium. Sebaliknya pada tanaman tomat (Lycopersicon esculentum) dilaporkan mempunyai beberapa gen ketahanan terhadap infeksi F. oxysporum f.sp. lycopersici (Fol). Demikian pula pada tanaman melonterhadap
Fusarium oxysporum f.sp. melonis (Burge et al. 2003).
Tanaman abaka di Indonesia diketahui mempunyai keragaman genetik rendah dan hal ini telah dibuktikan dari hasil studi marka molekuler (Hadipoentyanti et al. 2001). Secara umum Roux et al. (1999) menyatakan bahwa tanaman yang diperbanyak secara vegetatif seperti Musa spp. pada umumnya memiliki keraga man genetik terbatas karena sifat tanamannya yang mandul jantan dan poliploid. Dengan demikian, respon sepuluh klon abaka yang semuanya terinfeksi Foc diduga mengindikasikan tidak adanya gen ketahanan terhadap Foc
dan sempitnya keragaman genetik abaka di Indonesia.
SIMPULAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa metode inokulasi dengan cara melukai akar bibit abaka diikuti dengan perendaman dalam suspensi konidia Foc
dengan kerapatan 106 konidia/ml dapat digunakan untuk penapisan respon plasma nutfah abaka terhadap Foc. Berdasarkan nilai IP yang diamati, 10 klon abaka yang ditanam di Indonesia tergolong sangat rentan terhadap infeksi Foc. Untuk itu, peningkatan keragaman genetik abaka, terutama yang membawa sifat ketahanan terhadap infeksi Foc perlu dilakukan. Karena abaka merupakan tanaman yang berkembangbiak secara vegetatif, induksi keragaman genetik melalui mutasi atau induksi variasi somaklonal merupakan alternatif cara yang dapat digunakan. Metode ini akan lebih berhasil dan terarah apabila dikombinasikan dengan seleksi
Gambar 2. (a) Biakan Fusarium oxysporum f.sp. cubense (Foc) dalam media PDB; (b) Bibit abaka umur 2 bulan yang digunakan dalam penelitian dan siap diinokulasi dengan Foc; (c) Fenotipe bibit dengan gejala layu skor 0, (d) skor 1, (e) skor 2, (f) skor 3, dan (g) skor 4, sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh Epp (1986); (h) Fotomikrograf penampang melintang akar abaka pada 30 hari sesudah inokulasi dengan Foc (200x) menunjukan adanya kerusakan jaringan penyusun akar yang ditunjukkan oleh warna coklat kehitaman pada jaringan epidermis dan korteks; (i) penampang melintang akar abaka sehat, yang tidak diinokulasi dengan Foc. (ep) – epidermis, (kt) – korteks, dan (st) – jaringanstele.