INOCULATION METHODS AND CONIDIAL DENSITIES OF Fusarium oxysporum f.sp. cubense FOR INFECTING ABACA
Respon 10 Klon Abaka terhadap Infeksi Foc
Percobaan ini mengevaluasi munculnya gejala, rataan skor gejala dan intensitas penyakit layu Fusarium pada 10 klon abaka (Banjar, BL Manado, Cilacap, Cirebon, Layahan, Mb B, Sangihe-1, Sangihe-2, Tangongon dan UB3) setelah diinokulasi Foc isolat Banyuwangi. Satuan percobaan terdiri atas empat bibit abaka dan untuk masing- masing klon diulang 3 kali sehingga digunakan total 12 bibit abaka untuk setiap klon.
direndam selama 2 jam dalam suspensi konidia Foc dengan kerapatan 106 konidia/ml. Selanjutnya bibit abaka ditanam dalam kantong plastik berisi media tanam sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Bibit abaka yang tidak diinokulasi digunakan sebagai pembanding. Pengamatan dilakukan pada saat 30 dan 60 HSI terhadap persentase bibit yang bergejala layu, rataan skor gejala layu dan intensitas penyakit.
Skoring Gejala dan Intensitas Penyakit.
Skoring gejala layu pada bibit abaka akibat infeksi Foc (skor 0 – 4) dilakukan mengikuti kriteria yang dikembangkan Epp (1987), yaitu: skor 0 – bibit sehat dan tidak menunjukkan gejala layu; skor 1 – daun bagian bawah sedikit menguning dan mengering; skor 2 – peningkatan jumlah daun yang menguning dan bibit mulai layu; skor 3 – seluruh bibit mengering kecuali daun yang baru atau belum membuka; skor 4 – bibit mati (Gambar 2.c-g). Gejala nekrosis pada bonggol bibit abaka ditandai dengan perubahan warna bonggol dari putih kehijauan menjadi coklat kehitaman. Skoring gejala nekrosis pada bonggol abaka dilakukan sebagai berikut: skor 0 – tidak terjadi perubahan warna bonggol; skor 1 – nekrosis antara 0-5%; skor 2 – nekrosis 5-35%; skor 3 – nekrosis 35-50%; skor 4 – nekrosis 50-75%; dan skor 5 – nekrosis 75-100% dari lingkar batang (Mak et al. 2004b).
Intensitas penyakit (IP) untuk gejala layu dan nekrosis bonggol ditentukan dengan rumus sebagai berikut: IP=[? (ni x si)/(N x S)] x 100%; dengan ni: jumlah bibit dengan skor gejala i, si: skor gejala i, N: jumlah total bibit yang diamati, S: skor gejala tertinggi (Cachinero et al. 2002). Penentuan respon bibit abaka yang diuji terhadap infeksi Foc dilakukan dengan kriteria sebagai berikut: imun (I) – jika IP=0%; tahan (T) – jika IP antara 0-5%; agak tahan (AT) – jika IP antara 5-10%; agak rentan (AR) – jika IP antara 10-25%; rentan (R) – jika IP antara 25-50%; dan sangat rentan (SR) – jika IP>50% (Yusnita & Sudarsono 2004).
Pengamatan Anatomis Akar.
dengan air, dan diawetkan dengan larutan formalin acetic acid (FAA). Contoh akar diiris melintang menggunakan pisau silet dan diamati gejala kerusakannya akibat infeksi Foc, yang ditandai dengan warna lebih gelap pada jaringan yang rusak (Nasir et al. 2003).
HASIL
Efektivitas Metode Inokulasi.
Bibit abaka yang tidak diinokulasi tidak menunjukkan gejala layu sedangkan yang diinokulasi menunjukkan berbagai tingkatan gejala layu pada 30 HSI. Hasil reisolasi dari bibit yang bergejala layu menggunakan media PDA menghasilkan biakan Foc, yang mengindikasikan keterkaitan antara gejala layu dan patogen Foc.
Metode INO-2 mampu menghasilkan rataan skor gejala dan nilai IP yang lebih tinggi dibandingkan metode inokulasi lainnya untuk tiga isolat Foc yang digunakan. Selain itu, hanya metode INO-2 yang secara konsisten menghasilkan 100% bibit bergejala (Tabel 1). Isolat Foc yang berasal dari Banyuwangi, Malang dan Bojonegoro mampu menginfeksi dan menimbulkan gejala layu pada bibit abaka yang diinokulasi dengan metode 2. Untuk perlakuan 1 atau INO-3, selain tidak semua isolat mampu menghasilkan tanaman bergejala 100% juga menghasilkan intensitas penyakit yang lebih rendah dibandingkan INO-2.
Pengaruh Kerapatan Konidia Foc.
Perendaman bibit abaka dalam suspensi konidia Foc dengan kerapatan 105 konidia/ml (KON-1) atau 106 konidia/ml (KON-2) sama-sama mampu menyebabkan munculnya gejala layu pada 3 klon abaka yang diuji. Pada 30 HSI, bibit abaka yang diinokulasi menunjukkan rataan skor gejala layu lebih kecil dari 2 (Tabel 2). Kecuali untuk klon Tangongon pada 30 HSI, perlakuan KON-2 menghasilkan persentase bibit bergejala, rataan skor gejala, dan nilai IP yang lebih tinggi dibandingkan KON-1. Pada 60 HSI, perlakuan KON-1 dan KON-2 sama- sama mampu menyebabkan 100% bibit klon Tangongon bergejala layu. Sedangkan untuk klon Sangihe-1 dan UB-3 pada 60 HSI, perlakuan KON-2
Tabel 1. Pengaruh metode inokulasi F. oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi (Bw), Bojonegoro (Bn) atau Malang (Ml) terhadap persentase tanaman bergejala, rataan skor gejala kelayuan dan intensitas penyakit pada bibit abaka klon Tangongon. Pengamatan dilakukan pada 30 hari setelah inokulasi.
Tanaman bergejala (%) Rataan skor gejala Intensitas penyakit (%)
Metode inokulasi Bw Bn Ml Bw Bn Ml Rataan Bw Bn Ml Kontrol 0 0 0 0 0 0 0 c* 0 0 0 INO-1 73 100 100 1.5 1.0 1.8 1.4b 37 25 45 INO-2 100 100 100 2.0 2.0 2.0 2.0a 50 50 50 INO-3 100 60 100 1.6 1.0 1.4 1.3b 40 25 35
Keterangan: *Angka dengan huruf yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan dengan α=5%.
menghasilkan persentase gejala layu yang lebih tinggi dibandingkan KON-1. Selain itu pada 60 HSI, KON-2 juga menghasilkan rataan skor gejala dan nilai IP yang lebih tinggi dibandingkan KON-1 untuk tiga klon abaka yang diuji (Tabel 2). Perlakuan 106 konidium/ml juga menyebabkan persentase bonggol bibit abaka bergejala nekrosis dan nilai intensitas penyakit yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan 105 konidium/ml (Tabel 3). Tetapi kedua perlakuan mempunyai rataan skor gejala nekrosis yang sama.
Tabel 2. Pengaruh kerapatan konidia F. oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi yang digunakan untuk menginokulasi bibit abaka klon Tangongon (Tg), Sangihe-1 (Sh), atau UB-3 (Ub) terhadap persentase bibit bergejala, rataan skor gejala kelayuan (SGK), dan intensitas penyakit (IP).
Bibit bergejala (%) Skor gejala layu Intensitas
penyakit (%) Hari pengamatan &
jumlah konidium/ml
Tg Sh Ub Tg Sh Ub Rataan Tg Sh Ub
Pengamatan saat 30 hsi:
0 (KON-0) 0 0 0 0 0 0 0 b* 0 0 0
105 (KON-1) 56 22 33 1.3 0.7 0.3 0.7a 33 17 8
106 (KON-2) 44 67 67 1.3 1.7 1.0 1.3a 33 42 25
Pengamatan saat 60 hsi:
0 (KON-0) 0 0 0 0 0 0 0 c 0 0 0
105 (KON-1) 100 89 44 2.3 1.7 1.1 1.7b 58 42 28
106 (KON-2) 100 100 89 3.3 3.7 3.0 3.3a 83 92 75
Keterangan: *Angka dengan huruf yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan dengan α=5%.
Tabel 3. Pengaruh kerapatan konidia F. oxysporum f.sp. cubense isolat Banyuwangi yang digunakan untuk menginokulasi bibit abaka klon Tangongon (Tg), Sangihe-1 (Sh), atau UB-3 (Ub) terhadap persentase bibit bergejala, rataan skor gejala nekrosis (SGN) pada bonggol bibit, dan intensitas penyakit (IP). Pengamatan dilakukan pada 60 hari sesudah inokulasi.
Bibit bergejala (%) Rataan SGN IP (%)
Kerapatan
(konidia/ml) Tg Sh Ub Tg Sh Ub Rataan Tg Sh Ub
0 (KON-0) 0 0 0 0 0 0 0 b* 0 0 0
105 (KON-1) 60 90 70 2.8 2.8 1.8 2.4a 56 56 36
106 (KON-2) 80 100 60 3.2 4.1 2.7 3.3a 65 82 54
Keterangan: *Angka dengan huruf yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan dengan α=5%.
Hasil pengamatan anatomis akar pada 30 HSI menunjukkan bibit yang diinokulasi Foc mengalami kerusakan jaringan epidermis dan korteks yang ditandai dengan adanya warna coklat kehitaman (Gambar 2.h). Pengamatan pada 30 HSI yang dilakukan menunjukkan kerusakan jaringan belum mencapai jaringan pengangkut (xylem, phloem dan empulur). Pada Gambar 2.i disajikan penampang melintang akar bibit abaka yang tidak diinokulasi Foc sebagai standar.