• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abdunahman Wahid 18Juni

Dalam dokumen GUS DUR, NU DAN MASYARAKAT SIPIL (Halaman 39-42)

"Pancasila adalah serangkaian prinsip-prisip yang bersifat lestari. Ia memuat ide yang baik tentang hidup bernegara yang mutlak diperjuangkan. Saya akan mempertahankan Pancasila yang murni dengan jiwa-raga saya, terlepas dari kenyataan bahwa ia tidak jarang dikebiri atau dimanipulasi, baik oleh segelintir tentara maupun sekelompok umat Islam."

24 Juni,1992 (3

Tanggal 1 Maret, 1992 di stadion utuma Senayan Jakarta, terjadi sebuah peristiwa penting dalam politik kontemporer Indonesia. Di hari Minggu pagi itu, sekitar 150.000 anggota Nahdlatul Ulama merayakan ulang tahun organisasi mereka yang ke-68. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, upacara kali ini sengaja dirancang untuk menyampaikan pesan yang sifatnya khusus: menegaskan kembali kesetiaan NU kepada Pancasila sebagai ideologi negara dan falsafah hidup bangsa Indonesia.

Mengapa pernyataan kesetiaan semacam itu dipandang penting untuk dikemukakan oleh NU justru di saat Pancasila tidak lagi dipersoalkan keberadaannya, paling tidak secara terbuka, di dalam wacana politik kontemporer Indonesia sejak akhir tahun 1980-an? Mengapa pula kita menilai Rapat Akbar NU sebagai peristiwa politik yang patut dikaji dalam tulisan ini? Jawabannya sederhana. Rapat Akbar itu pada dasarnya mengilustrasikan sebuah debat politik yang masih terus berlangsung sekitar makna, penggunaan dan penafsiran Pancasila sebagai ideologi negara. Ia juga sekaligus menggambarkan bagaimana Abdurrahman Wahid, melalui NU, telah dengan lincah mengoper penggunaan bahasa kekuasaan yang selama ini cenderung menjadi hak monopoli pemerintah setiap kali Pancasila dibicarakan. Dalam pandangan Abdurrahman Wahid, Pancasila sangat penting dipakai sebagai landasan untuk memberi legitimasi bagi kegiatan politik organisasinya, serta sebagai titik tolak untuk menyatakan krprihatinan atas masalah-masalah dasar yang berkenaan dengan persatuan dan tujuan nasional.4 Memang bisa terkesan agak luar biasa kalau seorang tokob Islam sekaliber Abdurrahman Wahid harus berbicara tentang Pancasila dalam dimensi yang melampui batas-batas ritual seperti yang selama ini dilakukan banyak pejabat pemerintah.5 Jadi. ketika para pejabat itu lebih sering berbicara tentang Pancasila sekadar sebagai mantra untuk melengkapi pidato-pidato resmi, dan sebagai alat untuk menekankan berbagai bentuk kewajiban yang harus dipikul oleh warga negara, Abdurrahman Wahid menampilkan Pancasila sebagai jawaban atas masalah-masalah inti dalam kehidupan politik dan kemasyarakatan. Disini, Abdurahman Wahid membangun citra dirinya sebagai pendukung kuat dari idealisme negara Pancasila. Bagi 'Abdurrahman Wahid, toleransi beragama yang secara implisit terkandung di dalam Pancasila merupakan pra-syarat yang sangat penting dalam pembangunan sebuah masyarakat demokratis di negeri ini.

Uraian yang disajikan dalam tulisan ini akan membahas lebih lanjut pokok-pokok pikiran Abdurrahman Wahid tentang penafsiran dan pengamalan Pancasila, latar belakang dan tujuannya, baik bagi kepentingan NU maupun bangsa Indonesia secara keseluruhan. Dari wawancara saya dengan Abdurrahman Wahid, para pendukung dan pengritiknya, semuanya mengesankan betapa Gus Dur telah secara sadar memilih strategi yang menjadikan Pancasila sebagai wahana dan bahasa politik untuk menyampaikan gagasan-gagasannya. Lebih dari itu, Abdurrahman Wahid bahkan secara terbuka berbicara tentang "ancaman terhadap Pancasila", yang di dalam uraian tulisan ini akan ditempatkan scbagai sisi lain dari wacana politik yang saat ini sedang hangat di Indonesia.

Dalam pandangan Abdurrahman Wahid, Pancasila adalah se-buah kesepakatan politik memberi peluang bagi bangsa Indonesia untuk mcngembangkan kehidupan nasional yang sehat di dalam sebuah negara kesatuan. Namun, ia masih melihat adanya sejumlah ancaman terhadap konsepsi Pancasila sebagai yang diharapkannya. Keprihatinan Abdurrahman Wahid ini tentu saja lebih mewakili sebuah citranya sebagai seorang nasionalis dari pada seorang pemikir Islam, walaupun tidak bisa disangkal bahwa Abdurrahman Wahid pada hakekatnya mewakili generasi baru pemikir Islam revolusioner Indonesia. Seperti dikatakan Greg Barton, pikiran-pikiran Abdurrahman Wahid, sebagaimana halnya Djohan Effendi, Nurcholish Madjid, dan almarhum Ahmad Wahib, sudah cukup utuh dan lengkap untuk dianggap sebagai sebuah mazhab sebagaimana adanya. Barton, dengan mengutip Fazlur Rahman, menyebutnya sebagai "neo-modernis", dan menilai bahwa mazhab ini telah berperan sangat

penting dalam merebut sebuah posisi yang baru dalam pemikiran Islam di Tndonesia. Salah satu konskuensi dari hadirnya kaum neo-modernis ini adalah menguatnya komitmen terhadap nilai-nilai kemajemukan dan nilai-nilai inti demokrasi. Sebenarnya, penghayatan atas nilai- nilai kemajemukan ini tidak asing di dalam Islam. Itu sebabnya menurut Barton, maka Abdurrahman Wahid, sebagaimana kaum neo-modernis yang lainnya, mampu menja- di the vanguard of democratic reform.6

Posisi Abdurrahman Wahid yang menempatkan Pancasila sebagai prasyarat demokratisasi dan pembangunan semangat keislaman yang sehat nampaknya harus dilihat dari perspektif neo-modernisme ini. Suatu pandangan yang secara gamblang berbeda dengan, misalnya, dikotomi Islam versus Pancasila di masa konstituante. Integrasi antara kemajemukan, demokrasi, Islam dan nasionalisme inilah yang secara intelektual dan politis melatarbelakangi upaya perubahan keikutsertaan Islam di dalam wacana politik dan ideologi Pancasila selama sepuluh tahun terakhir.

Dalam sebuah pidatonya di depan warga NU pada tahun 1992, Abdurrahman Wahid mengingatkan mereka bahwa penerimaan NU atas Pancasila bertolak dari beberapa alasan yang sangat masuk akal. Tetapi yang penting, katanya, adalah yang sifatnya historis. Pada tahun 1945 Soekarno meminta, dan menerima, nasihat para pemimpin NU tentang bagaimana seharusnya Pancasila disusun sebagai dasar negara. Lagi pula, menurut Abdurrahman Wahid, tidak ada pertentangan antara Islam dan nasionalisme. Islam bisa berkembang sehat dan baik di dalam kerangka kenegaraan nasional:

... faham kebangsaan yang dianut NU sesuai dengan Pancasila dan UUD 45. NU menjadi pelopor dalam masalah-masalah ideologis. Padahal seluruh dunia Islam, hal ini masih menjadi persoalan antara Islam dan nasionalisme. Para penulis Saudi Arabia menganggap nasionalisme itu sebagai sekulerisme. Mereka belum mengetahui adanya nasionalisme seperti di Indonesia yang tidak sekuler. Melainkan menghormati peranan agama."7

Untuk memahami latar belakang dari penggunaan Pancasila sebagai kerangka politik Abdurrahman Wahid, kita perlu tahu bahwa keputusan NU untuk menarik diri dari keterlibatan politiknya secara organisatoris, terutama sebagai bagian dari PPP, bukan saja berangkat dari keinginan yang tulus untuk memusatkan perhatian pada tujuan-tujuan keagamaan, sosial dan pendidikan, tetapi juga memiliki alasan-alasan politik yang sifatnya eksplisit, yang tidak terpisahkan dari Pancasila. Kata Abdurrahman Wahid, kalau NU terus membiarkan dirinya terperangkap di dalam struktur politik formal yang secara ketat dikendalikan oleh pemerintah, ia harus terus digiring untuk melakukan penyesuaian dengan keinginan penguasa. Ini jelas akan menyulitkan upaya penyelamatan atas berbagai kepentingan kelembagaan NU sendiri dan kepentingan umat secara keselwuhan, yangjustru perlu diberi kesempatan untuk memberi kontribusi yang lebih besar bagi pembangunan nasional. Lembaga politik formal yang direstui oleh pemerintah, dalam penilaian Abdurrahman Wahid, hanya ditata untuk kepentingan mendukung program pembangunan Orde Baru, dan dipakai untuk membatasi tingkah laku politik yang secara mandiri bergerak di luar pengendalian pemerintah. Jadi, untuk menghindari pengendalian dan manipulasi yang demikian itulah, maka NU kemudian memutuskan untuk secara organisatoris meninggalkan dunia politik. Abdurrahman Wahid menjelaskan hubungan antara keputusan NU yang kontroversial itu dengan konsep NU sendiri tentang Pancasila sebagai berikut:

Jadi untuk menolak penafsiran pemerintah tentang Pancasila yang serba mencakup dan mendominasi berdasarkan konsep negara integralistik, perlu dikembangkan penafsiran lain tentang Pancasila. Tetapi ini hanya mungkin dilakukan di luar kerangka politik yang serba diatur itu."8

NU merasa dirinya dibatasi oleh struktur politik Demokrasi Pancasila yang diciptakan oleh Orde Baru, karena struktur itu membangun persepsi seolah-olah hanya pemerintah yang berhak menentukan dan menafsirkan perilaku politik macam apa yang sesuai atau tidak

sesuai dengan Pancasila. Dalam pada itu, penarikan diri NU dari PPP dan penegasannya bahwa Pancasila dan Republik Indonesia yang berdasarkan UUD 1945 merupakan bentuk akhir dari negara Indonesia yang dicita-citakan, telah membawa dua hasil utama yang malahan menguntungkan pemerintah. Pertama, NU untuk menerima Pancasila sebagai satu- satunya asas merupakan dukungan yang sangat menemukan keberhasilan pemerintahan Soeharto dalam menyakinkan organisasi-organisasi yang lainnya untuk mengambil sikap yang sama. Kedua, penarikan diri NU dari PPP menyebabkan mengalirnya banyak warga NU untuk mendukung Golkar dalam Pemilihan Umum 1987.

Kendatipun demikian, Abdurrahman Wahid tetap berpendapat bahwa penarikan diri NU dari politik justru dimaksudkan agar NU dapat ikut serta secara lebih berdayaguna dalam proses politik.9 NU melihat bahwa melanjutkan keikutsertaan di dalam struktur politik Orde Baru yang serba dibatasi hanya akan mengebiri organisasi ini lebih lanjut. Kebebasan gerak "politik" NU yang berlangsung "di luar" struktur politik formal Orde Baru ternyata memang lebih berdayaguna, seperti yang nampak dalam keikutsertaannya "di dalam" kehidupan politik selama sepuluh tahun terakhir ini. Suatu kesimpulan yang mungkin agak rumit untuk dicerna begitu saja. Tetapi demikian adanya, sehingga ketika, misalnya, NU mencanangkan keinginan untuk melakukan Rapat Akbar tahun 1992 untuk kepentingan politiknya sendiri dengan cara mengoper tema Pancasila sebagai titik tolaknya, ia sekaligus bisa menghindari dituduh sebagai anti Pancasila.

Dalam dokumen GUS DUR, NU DAN MASYARAKAT SIPIL (Halaman 39-42)