• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : Konsep Wahdatul Wujud menurut Abdurauf Singkel

A. Pengertian Wahdatul Wujud

4. Abdurrauf Singkel

Dalam konsep wahdatul wujud Abdurrauf, pembahasannya meliputi tentang hubungan antara Tuhan, alam dan manusia. Pembahasan tentang paham wahdatul wujud, Abdurrauf dimulai dengan penegasan tentang tauhid bagi pemeluk agama Islam. Karena tauhid merupakan sebuah konsep yang paling penting yaitu dimana seseorang bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan yang wajib disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.

Fundamen utama dalam agama Islam yaitu aqidah, yang merupakan hal utama yang dicamkan dalam sanubari kaum muslimin sebelum ajaran-ajaran yang lain, karena aqidah berisi tentang hubungan antara Tuhan dengan manusia (hablun min Allah). Hal pertama Yang yang haras dilakukan oleh umat Islam adalah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan yang wajib di sembah kecuali Allah {la illaha illallah). 36

Pengakuan tersebut merupakan syarat seseorang dapat diakui sebagai seorang muslim, karena kesaksian tentang tidak adanya Tuhan selain Allah sangat penting dalam agama Islam, maka orang yang tidak bersaksi bahwa Tuhan yang wajib disembah itu hanya Allah, dapat dianggap kafir. Sebagaimana firman Allah:

t li AJ°£

Uj

”Beribadahlah kamu sekalian kepada Allah (saja) dan janganlah berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya”. (QS, an

Nisa: 36)37 38

Bagi orang awam mungkin tauhid hanya dijadikan sebuah pembeda antara dirinya sebagai seorang muslim dengan seorang yang kafir. Namun bagi seorang sufi, tauhid tidak hanya sebagai pembeda antara muslim dengan non muslim, namun lebih dari itu tauhid merupakan sebuah wahana yang terbuka luas untuk menyelami dan memahami dan sebagai pintu untuk memahami dan masuk dalam

TO realitas hakiki, yaitu al Haq, Allah Swt.

Menurut Abdurrauf makna tauhid yaitu “tindakan mengaitkan”, oleh karena itu arti kalimat "aku mengesakan Allah” adalah aku mengaitkan Allah dengan sifat Esa, bukan Uaku menjadikan Allah Esa", karena Keesaan Allah itu telah melekat pada Zat-Nya

sendiri, bukan karena diberikan oleh pihak lain.39

J? Nazri Adlany et al, op.cit, him. 152

38 Oman Fathurahman, Menyoal Wahdatul Wujud, Mizan, Bandung, 1999, him. 43 39 Ibid., him. 44

Tauhid merupakan hal yang vital dalam dunia tasawuf, sebagaimana Abdurrauf menyebutkan bahwasanya penegasan tentang tauhid dengan mengucapkan la illaha illallah merupakan sebuah kewajiban yang pertama sebelum seseorang melakukan hal-hal yang lain (ajaran tasawufnya).

Abdurrauf mendasarkan pandangannya pada sebuah ayat al Qur’an tentang ke-Esaan Allah:

...i 3 S £ - a

'y iT ji

“Sekiranya pada keduanya (langit dan di bumi) ada Tuhan-tuhan selain Allah, niscaya keduanya binasa”.(Q.S al Ambiyaa’: 22)40

Sehingga dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa tidak rusaknya langit dan bumi dikarenakan hanya adanya satu Tuhan yaitu Allah s.w.t.

Kemudian dari konsep tauhid inilah, Abdurrauf kemudian memulai membicarakan tentang hubungan antara Tuhan dan alam, antara al Haq dan al khalq, antara al Wujud dan al maujuddat, antara

Wajib al Wujud dan al mumkinat.41

Menurut Abdurrauf alam didefinisikan sebagai berikut:“ nama untuk segala sesuatu selain al Haq (Allah) Yang Maha Mulia dan Maha Agung”. Dan Abdurrauf menambahkan bahwa hakikat alam adalah: “wujud yang terikat dengan sifat-sifat mumkinat (sifat-sifat yang

40 Nazri Adlany, et al, op. cit, him. 614 41 Ibid, him. 45

mungkin). Oleh karena itulah alam ini dikatakan sebagai sesuatu selain al Haq (Allah).42

Dari hubungan ontologis antara al Haq dan al khalq, dan berangkat dari penjelasan tauhid di atas bahwa satu-satunya wujud adalah Allah {la ilaha ilia Allah), tidak ada wujud selain wujud Allah. Dengan kata lain, wujud dalam pengertian hakiki hanya milik al Haq, segala sesuatu selain al Haq tidak memiliki wujud. Jika satu-satunya wujud adalah al Haq maka di mana kedudukan ontologis al khalq (alam). Apakah alam identik dengan Tuhan? atau apakah alam tidak mempunyai wujud sama sekali?43

Pandangan Abdurrauf tentang permasalahan di atas terungkap dalam Tanbih al Masyi:

“ Dan jika dihubungkan dengan al Haq, alam itu bagaikan bayangan, ia bukanlah hakikat lain di samping hakikat-hakikat Allah yang diketahui sejak zaman azali, dan kemudian memiliki wujud. Karena itu menurut konsep ini, manusia adalah bayangan al Haq, atau bayangan dari bayangan-Nya.”

Dalam kutipan di atas bahwa menurut Abdurrauf, alam tidak identik secara mutlak dengan al Haq, karena alam hanya merupakan bayangan-Nya, bukan wujud-Nya. Dengan ini Abdurrauf menegaskan transendensi Tuhan atas makhluk-Nya. Alam dengan demikian tidak memiliki wujud tersendiri, karena dia hanya merupakan bayangan Tuhan, atau bahkan hanya bayangan dari bayangan-Nya. Kehadiran

42 Ibid, him. 46

bayangan sangat tergantung pada ada dan tidak adanya sumber bayangan. Oleh karena itu, wujud hakiki yang sebenamya adalah sumber

Dengan pandangan bahwa alam adalah bayangan Allah semata, berarti Abdurrauf menegaskan bahwa alam bukan benar-benar zat al Haq, karena anggapan tersebut, menurutnya, akan membatalkan status al Haq sebagai Pencipta alam raya. Menurut Abdurrauf, sangat tidak masuk akal jika Sang Pencipta menciptakan zat-Nya sendiri secara utuh.45 46Abdurrauf mengutip sebuah ayat al Qur’an yang menegaskan

“Pencipta segala sesuatu maka sembahlah Dia” (Q.S al

Abdurrauf juga berdalih bahwa di dalam al Quran, tidak sekali pun Allah mengatakan bahwa la menciptakan zat-Nya sendiri. Kepada Nabi Muhammad, Allah mengatakan: Qul Allahu khaliqukulli syai’in (Katakanlah wahai Muhammad: Allah adalah Pencipta segala sesuatu) tapi Dia tidak mengatakan Qul Allahu khaliqu ‘ainihi (Katakanlah! Allah adalah pencipta Zat-Nya sendiri), dan dalam al Quran juga dikatakan: al hamdu li Allahi rabbi al alamina (segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam), tidak dikatakan: al hamdu li Allahirabbi

‘ainihi (segala puji Allah, Tuhan zat-Nya sendiri). Satu lagi argumen

44 Ibid, him. 4 6 - 4 7 45 Ibid, him. 48

46 Nazri Adlany, et al, op. cit, him. 256

bayangan tersebut berikut segala sifat yang melekat padanya.44

bahwa:

yang dikemukakan Abdurrauf adalah, jika alam dalah Zat Allah sendiri, tentu Dia tidaka akan menitahkan kewajiban-kewajiban syariat yang memberatkan, seperti puasa, salat dan sebagainya.47

Selain itu jika manusia (alam) benar-benar merupakan Zat Allah, seharusnya manusia dapat mewujudkan apa saja yang dikehendaki dan kemudian dikatakannya, dalam sekejap, karena Allah telah mengatakan dalam al Quran: “Idza arada syai ’in an yaqula lahu kun, fayakunu (Apabila Dia menghendaki sesuatu, hanyalah berkata kepadanya: jadilah! maka teijadilah ia)”. Namun, kenyataanya manusia tidak mampu melakukan hal tersebut, karena kehendaknya tidak bisa selaulu seiring dengan kehendak Allah. Hal ini menjadi bukti bahwa manusia, alam atau al khalq tidak identik dengan Allah, secara mutlak. Dalam hal ini Abdurauf mengutip sebuah hadis qudsi, di mana Allah berfiman:

Wahai anak Adam! Engkau mempunyai keinginan, Aiaipun demikian, tapi tidak akan terjadi kecuali apa yang Aku inginkan, jika engkau re la at as apa yang Aku inginkan, dan jika engkau menentang apa yang Aku inginkan, aku akan persulit apa yang engkau inginkan, sehingga tidak akan terjadi

kecuali apa yang Aku inginkan ”.48

Dengan berpijak pada argumen-argumen yang telah dikemukakan tentang hubungan ontologis antara Tuhan dan alam, dan kesimpulannya bahwa alam tidak memiliki wujud tersendiri. Dan yang tidak dapat dipisahkan dalam pembahasan tentang wahdatul wujud

47 Oman Fathurrahman, op. cit, him. 48 - 49 48 Oman Fathurrahman, loc. cit

adalah mengenai pandangan Abdurrauf tentang proses penciptaan alam. Yang juga menjadi topik pembicaraan di kalangan para sufi.49

Menurut Abdurrauf alam tercipta melalui proses pemancaran (emanensi, al faid) dari zat Allah. Ia menyamakan proses keluamya alam tersebut dengan proses keluamya pengetahuan dari Allah. Dengan demikian, meskipun alam bukan zat Allah secara mutlak, namun ia juga tidak berbeda dengan-Nya secara mutlak pula, karena alam bukan wujud kedua yang benar-benar terpisah dari-Nya.50

Allah sendiri menurut Abdurauf tetap seperti keadaan-Nya di zaman azali. Ia tidak mempunyai sekutu, karena Ia ada sebelum segala sesuatu tercipta. Setelah alam tercipta melalui pancaran-Nya, Allah tetap tidak berubah, sedangkan alam bersifat hadis (bam), karena ia hanya sebagai pancaran dari wujud Allah. Tingkat wujudnya tidak kemudian sejajar dengan wujud Allah (rutbah al m a’iyyah), melainkan karena di bawah-Nya (rutbah al taba ’iyah).51

Demikianlah pandangan-pandangan Abdurauf dalam Tanbih al Masyi, baik tentang hubungan ontologis antara Tuhan dan alam, maupun tentang proses penciptaan alam. Bagi Abdurrauf, semua yang telah dikemukakannya itulah yang ia namakan sebagai doktrin wahdatul wujud (kesatuan wujud), jadi alam menurut konsep wahdatul wujud

49 Oman Fathurrahman, loc. cit Ibid, h lm .4 9 -5 0

Abdurrauf, bukan merupakan wujud kedua yang benar-benar terpisah dari al Haq, karena ia adalah pancaraan dari zat-Nya.

Dalam hal ini, berarti Abdurrauf mengemukakan konsep imanensi (penyatuan) Tuhan dalam alam (tasybih, al faid). Akan tetapi, alam juga bukan al Haq secara mutlak, melainkan sekedar bayangan- Nya, atau bahkan bayangan dari bayangan-Nya, karena Tuhan adalah Zat Yang Esa, tidak ada sesuatu pun yang menyertai-Nya (la syarika lahu), meskipun Ia selalu menyertai segala sesuatu (al Muhit). Dalam hal ini, Abdurrauf tetap mempertahankan konsep transendensi Tuhan atas ciptaan-Nya (tanzih, al zill).52 53

Dasar yang digunakan Abdurrauf untuk mendukung pandangannya tentang imanensi Tuhan atas ciptaan-Nya yaitu sebuah hadis: “Z)a« Dia bersama kamu dimana saja kamu berada” dan untuk menunjukkan transendensi-Nya, berdasarkan hadis: “Allah tetap seperti ada-Nya, tak ada sesuatu pun yang menyertai-Nya

Dari uraian di atas dapt diambil kesmpulan bahwa Abdurrauf merupakan tokoh yang menganut paham bahwa satu-satunya wujud hakiki adalah Allah, sedangkan alam ciptaan-Nya bukanlah wujud hakiki, tapi wujud bayangan, yakni bayangan dari wujud hakiki. Dengan demikian jelas bahwa Tuhan lain dari alam atau alam lain dari Tuhan. Kendati begitu antara bayangan (alam) dengan yang memancarkan bayangan (Tuhan) tentu terdapat keserupaan, pada alam yang tampak

52 Oman Fathurrahman, loc. cit 53 Ibid, him. 5 0 - 5 1

ini, Tuhan menampakkan diri-Nya (tajalli).54 Sifat-sifat Tuhan secara tidak langsung tampak pada manusia, dan secara relatif paling sempuma pada insan kamil.55

Dari kesemua pandangan tentang wahdatul wujud maka disini perlu ditegaskan bahwa betapapun asyiknya seorang hamba terhadap Allah s.w.t, Khalik dan makhluk tetap memiliki arti sendiri.

54 Harun Nasution, et al, “Abdur-Rauf As-Singkel"Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992, hlm.33

55 “Syekh Abdur Rauf Singkel” Ensiklopedi Islam jilid I, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994

Dokumen terkait