• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV : Implikasi pandangan wahdatul wujud Abdurrauf Singkel

A. Pengertian Pendidikan Tauhid

BAB V : Penutup

A. Kesimpulan

BAB II

MENGENAL ABDURRAUF SINGKEL

A. Biografi Abdurrauf Singkel

Nama Abdurauf Singkel dalam ejaan Arab adalah ‘Abd al Ra’uf bin ‘Ali Al Jawiy Al Fansuriy al Singkiliy. Beliau adalah seorang Melayu dari Fansnr tepatnya di daerah Singkel yaitu daerah sebelah barat laut Aceh. Ayahnya adalah seorang Arab bemama Syaikh ‘Ali. Mengenai tahun kelahiran tidak ada yang mengetahui tepatnya, namun diperkirakan beliau lahir pada tahun 1615. Nenek moyang Abdurrauf Singkel berasal dari Persia yang datang ke Sultanan Samudra Pasai pada akhir abad ke-13. Kemudian mereka menetap di Fansur (Barus), sebuah kota pelabuhan tua yang penting di daerah pantai Sumatra Barat.1

Abdurrauf meninggal dunia pada tahun 1693 dan dimakamkan di sebelah makam Teungku Anjong yang di anggap paling keramat di Aceh, dekat Kuala sungai Aceh.2

B. Situasi Kondisi Sosio Budaya

Semasa karimya menjadi seorang ulama besar Abdurrauf mengalami berbagai corak perkembangan politik di kesultanan Aceh. Ciri yang paling menarik di periode ini adalah bahwa kesultanan diperintah oleh empat sultanah berturut-turut hingga akhir abad 17. Salah satu Sultanah

1 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVIIDan XVIII, Mizan, Bandung, 1994, him. 190

tersebut yaitu Safiyyatuddin, yang menggantikan suaminya Iskandar Sani pada 1051/1641. Di bawah kepemimpinannya yang relatif lama hingga 1086/1675, kesultanan mengalami banyak kemunduran, banyak wilayah di bawah kekuasaanya di semenanjung Melayu dan Sumatera melepaskan dari kekuasaan Aceh, dan perlu diingat kontroversi mengenai paham wahdatul wujud pada saat kepemimpinannya pun masih berlangsung 3

Pada masa pemerintahan Sultanah Safiyyatuddin, Abdurrauf diangkat sebagai Qadhi Malik Al Adil yang bertanggung jawab terhadap berbagai masalah keagamaan. Oleh karenanya, sebagai wuj ud loyalitasnya kepada Sultanah, Abdurauf jadi berkepentingan untuk meredakan ketegangan yang terjadi akibat kontroversi doktrin wujudiyah pada masa pemeintahan Sultan Iskandar Sani.4

Dengaan demikian sepanjang kariemya di Aceh, Abdurrauf mendapat perlindungan dari para sultanah. Dari perlindunag para sultanah tersebut beliau mengarang berbagai kitab yang membicarakan berbagai bidang keilmuan diantara kitab-kitab tersebut membahas tentang fiqh, tafsir, kalam dan tasawuf.

Dalam kitab-kitabnya Abdurauf menunjukkan bahwa perhatian utamanya adalah rekonsiliasi antara syariat dan tasawuf, atau antara yang bathin dengan yang dhahir, jadi ajaran-ajaran yang disebarkan di Melayu- Indonesia adalah ajaran-ajaran yang termasuk ke dalam Neo-sufisme.

3 Ibid, him. 199

Terlepas dari berbagai masalah pertikaian mengenai doktrin wahdatul wujud di atas, pada saat itu Aceh mulai dari abad 16-18 merupakan sebuah Kerajaan yang tampil sebagai kekuatan politik yang besar di kawasan Melayu-Indonesia. Aceh mempunyai pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam.5

C. Latar Belakang Pendidikan dan Guru-guru Abdurrauf Singkel

Mengenai latar belakang pendidikan, tampaknya Abdurauf semasa masih kecil sudah mulai belajar agama di daerah kelahirannya, baik dari ayahnya sendiri, yang merupakan seorang yang alim yang juga mendirikan sebuah madrasah, maupun kepada para ulama setempat lainnya, selanjutnya ia meneruskan pendidikannya di Fansur.

Karena pada waktu itu negeri itu adalah pusat Islam yang penting dan merupakan titik penghubung antara Melayu dengan muslim dari Asia Barat dan Asia Selatan. Hingga pada sekitar tahun 1642, ia mengembara untuk menambah ilmu pengetahuan agama ketanah Arab.6

Sebelum Abdurrauf mengembara ke tan ah Arab, sekitar tahun 1642, Aceh ditandai kontroversi dan pertikaian antara penganut doktrin wujudiyah dan pengikut ar Raniri, sehingga sebelum ia pergi ke Arabia, Abdurrauf mengetahui tentang ajaran Fansuri dan Syams al Din serta fatwa dan penganiayaan yang di jatuhkan ar Raniri atas para pengikut mereka.7

5 Soekama Karya, et al, Ensiklopedi Mini Sejarah Dan Kebudayan Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta 1966, him. 190

6 Azyumardi Azra, loc. cit, him. 190 7 Ibid, him. 191

Abdurrauf meninggalkan Aceh dan mengembara ke tanah Arabia sekitar pada tahun 1642. Ketika beliau di tanah Arab dalam tulisannya beliau menyebutkan beberapa daftar guru yang pemah beliau jadikan guru, tidak kurang dari 15 orang guru, dari mereka dia mempelajari berbagai cabang disiplin Islam, dan 27 ulama terkenal lainnya yang dengan mereka dia mempunyai kontak dan hubungan pibadi, dan 15 tokoh mistik kenamaan di Jeddah, Mekkah, Madinah, Mokha, Baith al Faqih dan lain-lain.*’

Dari sekian banyaknya guru Abdurrauf, hanya ada beberapa orang yang sangat berpengaruh terhadap pemikiran-pemikiran beliau. Di antara guru-guru yang sangat berpengaruh pada dirinya yaitu Ahmad al Qusyasyi, beliau merupakan guru spiritualnya di Madinah, dari Qusyasyi Abdurrauf belajar tentang ilmu-ilmu bathin (tasawuf) dan ilmu-ilmu yang terkait lainnya, beliau menuntut ilmu kepada Qusyasyi sampai mendapat ijazah untuk menjadi khalifah dalam tarekat Syatariyyah dan Qadiriyyah, kemudian pada tahun 1660 Qusyasyi meninggal dunia.8 9

Kemudiaan setelah itu Abdurrauf menuntut ilmu kepada Ibrahim al Kurani, dari beliau ia mempelajari berbagai ilmu pengetahuan selain tasawuf yang menimbulkan pemahaman intelektual tentang Islam dan bukannya pengetahuan tentang mistis atau spiritual. Dengan kata lain bagi Abdurrauf, Qusyasyi lebih merupakan guru spiritual dan mistisnya, sementara al Kurani menjadi guru intelektualnya.10

8 Oman Fathurahman, op. cit, him. 27 9 Azyumardi Azra, op. cit, him. 195

D. Karya-karya Abdurrauf Singkel.

Sebagai ulama besar dan menguasai berbagai bidang disiplin ilmu keagamaan dan juga mendapat perlindungan dari Sultanah Shaffiyat al Din dan beliau juga mendapat jabatan sebagai Qadhi Malik al ‘Adil, sebagai ulama besar beliau telah menghasilkan berbagi karangan yang mencakup bidang fiqh, tasawuf, tafsir, hadis dan ilmu-ilmu agama lainnya.

Beberapa karangan beliau yang dihubungkan dengan Abdurrauf dalam bidang fiqh dan keagamaan, antara lain:

1. Mir’ah at Tullab fi Tashil Ma ’rifah al Ahkam asy Syar ’iyyahli al Malik al Wahhab (Cermin Para Penuntut Ilmu, Untuk Memudahkan Mengetahui Hukum-hukum Syara’ Tuhan)

2. Bay an al Arkan (Penjelasan Rukun-rukun) 3. Bidayah al Baligah (Permulaan yang Sempuma) 4. Majmu ’ al Masa ’il (Kumpulan Masalah)

5. Fatihah Syaaikh ‘Abd ar R a’u f (Metode Bacaan Fatihah Syaikh Abdurauf)

6. Tanbih al ‘Amil f i Tahqiq an Nawafil (Peringatan bagi Orang yang mentahqiqkan Kalam Sembahyang Sunat)

7. Sebuah uraian mengenai Niat Sembahyang

8. Wasiyah (Tentang Wasiat-wasiat Abdurrauf kepada muridnya) 9. Doa yang di Anjurkan oleh Syaikh ‘Abd arRauf Kuala Aceh

10. Sakaratul Maut (Hal-hal yang di alami Manusia menjelang ajalnya) Kitab-kitab dalam bidang tasawuf:

11. Tanbih al Masyi al Mansub ila Tariq al Qusyasyi (Pedoman bagi Orang yang Menempuh Tarekat Qusyasyi)

12. ‘Umdah al Muhtajin ila Suluk Maslak al Mufaidin (Pijakan bagi Orang- orang yang Menempuh Jalan Tasawuf)

13. Sullam Mustafidin (Tangga setiap Orang yang Mencari Faidah) 14. Piagam tentang Zikir

15. Kifayah al Muhtajin ila Masyrab al Muwahhidin al Qa’ilin bi Wahdah al Wujud (Bekal bagi Orang yang membutuhkan Minuman ahli Tauhid Penganut wahdatul wujud)

16. Bayan Agmad al M asa’il wa as Sifat al Wajibah li Rabb al Ard wa as Samawat (Penjelasan tentang Masalah-masalah tersembunyi dan sifat- sifat Wajib bagi Tuhan, penguasa Langit dan Bumi)

17. Bayan Tajalli (Penjelasan Tajalli)

18. Daqa ’iq al H uruf (Kedalaman makna Huruf) 19. Risalah Adab Murid akan Syaikh

20. Munyah al I ’tiqad (Cita-cita Keyakinan) 21. Bayan al Itlaq (Penjelasan makna istilah Itlaq)

22. Risaalah A ’yan Sabitah (Penjelasan tentang A’yan Sabitah)

23. Risalah Jalan Makrifatullah (Karangan tentang jalan menuju Makrifat kepada Allah)

24. Risalah Mukhtasarah fi Bayan Syurut asy Syaikh wa al Murid (Karangan Ringkas tentang syarat-syarat guru dan Murid)

25. Faidah yang tersebut di dalamnya kaifiyah mengucap zikir la ilaha ilia Allah

26. Syair M a’r if ah 27. Otak ilmu Tasawuf

28. ‘Umdah al Ansab (Pohon Segala Nasab)

29. Idah al Bayan fi Tahqiq Masa ’il al Adyan (Penjelasan dalam Menyatakan Masalah-masalah Agama)

30. Ta ’yidal Bayan Hasyiyah Idah al Bayan (Penegasan Penjelasan, Catatan atas Kitab Idah al Bayan)

31. Lubb al K asyf wa al Bayan li ma Yarahu al Muhtadar bi al Iyan (Hakikat Penyingkapan dan Penjelasan atas apa yang di lihat secara terang-terangan)

32. Risalah Simpan (Membahas Aspek-aspek sembahyang secara Mistis) 33. Syatariyyah (Tentang ajaran dan tata cara Zikir Tarikat Syatariyah)

Di bidang Tafsir:

1. Tarjuman al Mustaffid bi al Jawiyy (Tafsir pertama di dunia Islam dalam bahasa Melayu)

Di bidang Hadis:

1) Syarh Latif ‘ala Arba’in Hadisan li al Imam an Nawawiy (Penjelasan Terperinci atas Kitab Empat Puluh Hadis karangan Imam Nawawi)

Abdurrauf dalam menulis kitab-kitabnya tidak hanya untuk kaum muslim awam, mengenai ilmu-ilmu dhahir, tetapi juga di kalangan elit yaitu mengenai topik-topik yang berkaitan dengan ilmu-ilmu bathin seperti kalam dan tasawuf.11

BAB III

KONSEP WAHDATUL WUJUD MENURUT ABDURRAUF SINGKEL

A. Pengertian Wahdatul Wujud

Pada awal penyebaran agama Islam, hal yang utama diajarkan adalah keimanan kapada Allah sebagai Tuhan pencipta segala sesuatu. Dan di sini sikap seorang hamba dalam beriman dengan Allah bagaikan seorang pelayan terhadap tuan-Nya. Yang di antara keduanya mempunyai perbedaan yang jelas, karena hamba hanya dapat melakukan segala apa-apa yang diperintahkan oleh tuannya tanpa adanya sanggahan dari sang pelayan (sami ’na wa ata ’na/ kami dengar dan kami laksanakan/taat).

perubahan dalam bersikap terhadap Allah. Yaitu sebuah pemahaman yang mengusung ajaran bahwa Tuhan itu dapat didekati oleh hamba sedekat mungkin, pandangan ini berdasarkan firman Allah s.w .t.:

Semula pemahaman ini dimulai oleh seorang tokoh namun lambatlaun dari para tokoh ini mempunyai pengikut sehinggga menyebar luas. Sikap yang berubah dari kaum muslimin itu berpangkal dari tidak tersalurkannya sebagian perasaan religius kaum muslimin dalam praktek

1 Nazri Adlany, et al, Al Quran Terjemah Indonesia, PT Sari agung, Jakarta, 2001, him. 1039

Namun pada abad ketiga H dalam dunia Islam timbul sebuah

'"Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (QS. Qaf: 16)1

agama Islam pada waktu itu. Ajaran cinta kepada Allah mulai menuntut hak hidupnya. Perubahan sikap manusia terhadap Tuhan yang tidak lagi dipandang sebagai Dia yang terlampau jauh tak terhampiri, kalau dengan akal budi tidak dapat menjangkau-Nya, maka dalam pengalaman mistis dapat mencapai persatuan dengan-Nya. Dalam persatuan itu manusia tenggelam dalam Allah dan segala yang lain di luar Allah lenyap, bahkan mengenai kesadaran pribadinya, sehingga tak ada sesuatu yang lain kecuali Dia.2 3

Sebagian kelompok yang tidak merasa puas akan praktek agama Islam pada masa itu, yang dalam kepustakaan Islam sering disebut “Sufi”. Pada abad ketiga H timbul dalam Islam sebuah ajaran tentang persatuan antara makhluk dengan pencipta-Nya, antara hamba dengan Tuhan-Nya. Konsep persatuan antara hamba dan Tuhan itu mendapat label-label berbeda namun pada intinya yaitu persatuan hamba dengan TuhanJWahdah Al Wujud dapat diartikan secara garis besar, yaitu: kesatuan eksistensi, kesatuan wujud, atau kesatuan penemuan. Di akhir peijalanan hanyalah Allah yang

# i

ditemukan.

Di antara paham-paham yang mendapat perhatian lebih dari kaum muslimin yaitu paham al Ittihad (Abu Yazid al Bustami), al Hulul (al Hallaj) dan wahdatul wujud (Ibn ‘Arabi). Paham bersatunya hamba dan Tuhan ini sering disamakan dengan paham pantheisme, yang mana paham

P.J.Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme Dan Monisme Dalam Sastra Suluk Jawa, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, him. 22

3 Amatullah Armstrong, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, Mizan, Bandung, 1996 him. 311

pantheisme memandang bahwa seluruh kosmos ini adalah Tuhan. Semua yang ada dalam keseluruhannya ialah Tuhan dan Tuhan ialah semua yang ada dalam keseluruhannya.4

Dalam pantheisme cenderung menekankan segi imanensi Tuhan (serupa dengan alam) dan tanpa menekankan aspek transenden Tuhan akan ciptaan-Nya. Berbeda dengan ajaran yang diusung oleh tokoh-tokoh sufi diatas, walaupun mereka mengajarkan paham manunggaling kawula gusti walaupun mereka mengajarkan aspek imanensi Tuhan akan ciptaan-Nya namun mereka tetap mengakui akan transendensi Tuhan akan segala ciptaan-Nya dan tidak mengaku bahwa dirinya Tuhan.

Selain itu kesatuan antara Tuhan dengan hamba dapat juga digambarkan dengan pancasila yang disitu merupakan kesatuan keseluruhan yang utuh. Kesatuan keseluruhan itu tersusun atas bagian- bagian (sila-sila) dan bagian-bagian yang menyusun kesatuan tersebut harus tidak saling bertentangan. Semua bagian (sila) harus secara bersama-sama menyusun hal barn dan utuh. Setiap bagian (sila) merupakan bagian yang mutlak, apabila dihilangkan satu bagian (sila) saja, maka hilanglah juga kesatuannya (pancasila), akan kehilangan kedudukan dan fungsinya dan kesatuannya sendiri juga akan tidak ada lagi.5

Juga dapat penulis contohkan seperti halnya “wedang kopF, wedang kopi itu merupakan minuman yang terdiri dari tiga elemen, yaitu air (jarang; jawa), gula dan kopi, kalau ketiganya disatukan maka akan menjadi

4 Harun Nasution, Falsafat Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, him. 36

5 Notonagoro, Pengantar Ke Alam Pemikiran Kefilsafatan, UGM, Yogyakarta, him. 190

wedang kopi, kemudian pertanyaannya apakah kalau ketiga elemen itu dipisahkn akan tetap dinamai wedang kopi? maka walau sudah bersatu disini perlu ditegaskan bahwa dari ketiga elemen di atas berdiri sendiri-sendiri, kopi ya kopi, air ya air dan gula ya tetap gula.

Dalam istilah Jawa kesatuan hamba dan Tuhan sering diistilahkan dengan manunggaling kawula gusti, yaitu perlambang kesatuan antara hamba dengan Tuhan, perlambang kesatuan antara rakyat dan negara. Konsep manunggaling kawula gusti atau kesatuan manusia dengan Tuhan (wahdatul wujud) yang dipergunakan untuk menggambarkan, dalam kepustakaan Islam kejawen adalah “curigo manjing warangka” yakni manusia masuk dalam diri Tuhan, laksana Arya Sena masuk dalam tubuh Dewa Ruci. Atau sebaliknya ”warangka manjing curigo” yakni Tuhan masuk (nitis) dalam diri manusia, seperti halnya Dewa Wisnu nitis (masuk) pada diri Kresno.6

Selanjutnya konsep manunggaling kawula gusti dalam serat Dewa Ruci diterangkan: “mungguh pamoring kawula lan gusti iku, koyo dene paesan karo sing ngilo, wayangan kang ono sajroning pangilon, iyo iku jenenge kawulo” artinya: “yakni kesatuan manusia dengan Tuhan, ibarat cermin dengan orang yang bercermin, bayang-bayang dalam cermin itulah manusia. Jadi dalam kepustakaan Islam kejawen di lukiskan bahwa Tuhan

304

memiliki sifat-sifat yang sama dengan manusia dan manusia digambarkan sama dengan Tuhan.7

Berbeda dengan paham wahdatul wujud walaupun antara hamba dan Tuhan bersatu keduanya tetap berbeda, Tuhan ya Tuhan dan manusia tetaplah manusia. Tidak ada yang berubah diantara kedunya.

B. Teori-teori Tentang Paham Wahdatul Wujud

1. Abu Yazid al Bustami

Nama kecil beliau adalah Taifur,8 Abu Yazid al Bustami (selanjutnya ditulis Abu Yazid saja) dilahirkan di Bistam, wilayah Qumis yang terdapat di daerah timur laut Persia pada tahun 874 M dan beliau meninggal dunia pada tahun 260H/874M.9 Walaupun beliau termasuk dalam keluarga yang terpandang, ayahnya adalah salah satu pemuka masyarakat yang berada di Bistam, namun Abu Yazid memilih kehidupan sederhana.

Beliau adalah seorang tokoh sufi yang memperkenalkan tentang konsep al Ittihad. Ittihad dapat dicapai ketika seorang sufi sudah megalami al fana ’ dan al baqa

1 loc. cit

8 Hamka, Tasauf Perkembangan Dan Pemurniannya, PT Pustaka Panjimas, Jakarta, 1983, him. 93

9 Departemen Agama RI, “Abu Yazid Al Bustami’, Ensiklopedi Islam jilid 1, Jakarta, 1987/1988, him. 54

Fana’ yaitu penghancuran atau kesadaran seseorang tentang dirinya dan tentang makhluk lain di sekitamya.10 Sebenanya dirinya tetap ada dan demikan juga makhluk lain tetap ada, tetapi ia tidak sadar lagi tentang wujud mereka bahkan juga tentang wujud dirinya sendiri. Di ketika itulah ia sampai kepada al baqa ’ atau kelanjutan wujud dalam diri Tuhan.

Al Qusyairi membagi fana ’ dalam dua aspek yaitu fana’ dalam aspek moral dan fana’ dalam aspek jasmani. Fana’ dalam aspek moral yaitu, hilangnya sifat-sifat tercela, dan kata baqa’ adalah terbinanya sifat-sifat yang tercela, sedangkan fana’ dalam apek jasmani yaitu, pada awalnya lenyapnya kesadaran akan diri dan sifat-sifat pribadinya lantaran telah menghayati sifat-sifat Allah, lalu lenyapnya kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah mulai menyaksikan keindahan Zat Allah, kemudian akhimya lenyap kesadaran akan kefana’annya itu sendiri lantaran telah merasa lebur menyatu dalam wujud Allah.11

Dalam fa n a’nya Abu Yazid adalah simanya segala sesuatu yang selain Allah dari pandangannya, di mana seorang sufi tidak lagi menyaksikan kecuali hakikat yang satu yaitu Allah. Bahkan dia tidak

10 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Universitas Indonesia, Jakarta, 1978, him. 83

11 Simuh, Tasauf Dan Pekembangannya Dalam Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm.106

lagi melihat dirinya sendiri karena dirinya terlebur dalam Dia yang disaksikannya, sebagaimana ia terangkan dalam sebuah perkataannya:

“Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka akupun hidup. ” 12 13

Dengan berusaha meninggalkan dirinya itu ia akhimya sampai kepada al baqa ia mengatakan:

“7a membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati, kemuman ia membuat aku gila pada-Nya, dan akupun hidup...aku berkata: gila pada diriku adalah kehancuran dan gila padaMu adalah kelanjutan hidup. ” 14

Dengan tercapainya al fana ’ dan al baqa ’ sampailah Abu Zayid kepada ittihad. Ketika sampai ke ambang pintu ittihad, dari mulut seorang sufi keluar ungkapan-ungkapan yang ganjil atau yang dalam istilah tasawuf disebut syatahat (ungkapan teopatis).

Menurut Ahmad Sultoni (2005: 92) bahwa minimal ada tiga hal yang bisa ditarik dari kefanaan para sufi:

a. Fana muncul sebagai pengalaman spiritual (spiritual experience) yang dikenali dari gejolak intuisi mereka.

b. Ucapan-ucapan syatahat sesungguhnya muncul dari

ketidakmampuan sufi menginterpretasikan pengalaman spiritual dalam tataran kata/bahasa yang sangat terbatas untuk mewakilinya.

12 Abu al Wafa’ al Ghanimi al Taftazani, Sufi Dari Zaman Ke Zaman, Pustaka, Bandung, 1974, him. 1 1 5 - 1 1 6

13 Harun Nasution, Falsafat Dan Mistisisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, him. 81

c. Pengakuan pada keadaan lenyap, lebur, hilang, musnah, bukan dalam arti fisik, namun melibatkan bagian manusia yang paling halus, yaitu kalbu.

Dalam ittihad, yang dipandang dan dirasakan hanya ada satu wujud, sebenamya ada dua wujud yang berbeda. Karena itu, bisa terjadi pertukaran peranan antara sang sufi dan Tuhan, atau antara sang pencinta dan Yang Dicintai. Identitas sang sufi hilang dan yang disadarinya hanyalah satu wujud, yaitu wujud Tuhan. Tingkat ittihad ini dicapai sang sufi setelah mengalami al fana ’, dengan al fa n a ’ ini sang sufi kehilangan kesadaran dirinya, dan yang tersisa hanyalah kesadaran tentang Tuhan (al baqa ’).15

Karena hubungan al fana ’ dan al baqa ’ adalah hubungan yang memperlihatkan perlawanan, di dalam istilah tasawuf, hubungan keduanya menunujukkan proses atau sisi yang berbeda terhadap kenyataan yang sama berarti bahwa keduanya dalam kenyataannya adalah sama, tetapi apabila dilihat dari sudut yang berbeda menimbulkan konsep yang berbeda. Dilihat dari sudut kemakhlukan, sufi telah mengalami al fana ’, sebab segala makhluk telah hilang dari kesadarannya. Dan dilihat dari sudut Tuhan, sufi telah mengalami al baqa \ sebab hanya Tuhan yang terns ada di dalam kesadarannya.16

Ketika seorang sufi telah mencapai tingkatan al ittihad dari mulutnya akan mengungkapkan perasaannya dengan kalimat-kalimat

13 Abdul Aziz Dahlan, et al, Tasawuf Filosofis, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Pemikiran Dan Peradaban jilid 4, PT Ichtiar Bam Van Hoeve, Jakarta, 2002, him. 1 5 8 - 1 5 9

teopatis (syatahat), dan kalimat yang pemah diungkapkan oleh Abu Yazid al Bustami di antaranya yaitu:

^3aC-t Ua \U< IrvUjj

^

-uthi

> ' ' ' <dl!

"Maha suci aku, maha suci aku, alangkah agungnya urusanku”“Sungguh aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain aku, maka

hendaklah engkau menyembah aku. ”

“Tidak ada dalam jubah ini kecuali A llahT '1

Dalam pengertian kaum sufi, kata-kata di atas memang betul dari mulut Abu Yazid, tetapi tidak berarti bahwa ia mengaku sebagai Tuhan. Tetapi Tuhanlah yang mengaku diri-Nya Allah melalui lidah Abu Yazid. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang mengucapkan kata-kata itu memang lidah Abu Yazid, tetapi sungguh pun demikain Abu Yazid tidak mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan. Itu adalah kata-kata Tuhan yang diucapkan lewat lidah Abu Yazid.17 18

Abu Zayid dikenal pula seorang sufi yang dapat mengkombinasikan antara asketisme yang keras dan penghormatan kepada Fiqh dengan kekuatan intelektual yang luar biasa. Tidak seperti yang sering disalah-tafsirkan, Abu Zayid meski telah mencapai al Ittihad, beliau tetap berpegang pada hukum Islam secara ketat. Seperti yang terlihat dalam ucapannya: “kalau kamu lihat seseorang mampu

17 Simuh, Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam Islam, Rajawali Press, Yogyakarta, 1996, him. 144

melakukan keramat yang besar-besar, walaupun dia sanggup ter bang di udara, maka janganlah kamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia mengikuti suruhan dan menghentikan larangan dan menjaga batas-batas syariaf ’.19

Dari perkataan Abu Yazid di atas dapat diambil sebuah penjelasan bahwasnya ajar an yang beliau ajarkan tidak keluar dari hukum syara’ Islam (fiqh). Menurut Abu Yazid seorang wali harus tetap

Dokumen terkait