• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP WAHDATUL WUJUD MENURUT ABDURRAUF SINGKEL DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN TAUHID

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KONSEP WAHDATUL WUJUD MENURUT ABDURRAUF SINGKEL DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN TAUHID"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN TAUHID

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Pendidikan Islam (S.Pd.I)

SKRIPSI

Disusun oleh:

MUAZIN

11102053

JURUSAN T ARBI YAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

SALATIGA

(2)

Jl. Stadion No. 03 Telp. (0298) 323706, 323433 Salatiga 50721

Website: www.stainsalaliga.ac.id E-mail: administrasiia stain.salatiua.ac.id

PENGESAHAN

Skripsi Saudara: Muazin dengan Nomor Induk Mahasiswa 11102053 yang

berjudul:

KONSEP WAHDATUL WUJUD MENURUT ABDURRAUF SINGKEL DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN TAUHID

Telah dimunaqosyahkan dalam sidang Panitia Ujian, Sekolah Tinggi Agama

Islam Negeri Salatiga pada hari: Sabtu, tanggal: 6 September 2006 M yang

bertepatan dengan tanggal: 12 Ruwah 1427 H dan telah diterima sebagai bagian

dari syarat-syarat untuk memperoleh gelar Saijana dalam ilmu Tarbiyah.

Salatiga, 6 September 2006 M 12 Ruwah 1427 H

(3)

Jl. Tentara Pelajar No. 2 Telepon (0298) 323706, 323433, faks. 3234333 Kode Pos 50721

NOTA PEMBIMBING

Salatiga, 01 Agustus 2006

Lamp : 1 (satu) naskah

Hal : Pengajuan Naskah Skripsi

Yth. Ketua STAIN Salatiga

Di Salatiga

Assalamualaikum Wr. Wb

Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka bersama ini,

kami kirimkan naskah skripsi mahasiswa:

Nama : Muazin

NIM : 11102053

Program Studi : Pendidikan Agama Islam

Judul : KONSEP WAHDATUL WUJUD MENURUT ABDURRAUF

SINGKEL DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN

TAUHID

Untuk diujikan dalam Sidang Munaqasyah Skripsi

Demikian harap menjadi periksa.

Wassalamualaikum Wr. Wb

(4)

“TfUidiipan D i Dunia Ini Jfanya “Mampir !Ngom6e”

fipa Tang TeCaH Tjiu Siapdgn Vntu^Kfdufupan Tang Se6enamya? ”

“Manusia Dengan VsaHanya (Dan Tudan Dengan Taf(dir-Nya”

(5)

y

(

Bapaf^dan i6u yang tercinta serta HeCuargaku yang teCaH mendo ’afign

dan meme6eriHan perHatian 6ai

£

moriC maupun materiiC daCarn

pem6uatan sHripsi ini

y Teman-temanHu sepeijmngan {(DHuHa, (DHopar, Tpsyid, JLCif, Tppif^

(YuCianto

,

(Djafarin, Mas Tat, Mas JAriefdan HeCuarga 6esarJLCManar}

y SaHa6at - saHa6atHu di mapaCa MITJATJASA (Amef^ TfHer, Cemot,

Cermitd, (Pencor

;

Sonto, 0 6 i M a ' e , (Denof^ Vina, Iis, Qaci, Chino,

Tent Ho C, QenduCdan semuayang teCaH menemaniHu mendaki gunung J

y M y soHi6 {TaiHfian, Jiniq, Tais, Tay, Sa6iC, Tauzan, Oamroni, Vmam,

Tfur TCadi, Jlgus SaCim, Tny, Tvy, Vmy, Yusy, SianieH^ IndaH, Listari,

I Ha, Navif^dan semua temen-temen waHtu 6ercanda 6ersama

(6)

J V l j J j —<^Jl(^JLP j a^L^aJl j la-bj^* lSL>j < * * j t £ j i I j J - a uj l*J->

Segala puji bagi Allah dengan semua pujian yang mampu memenuhi

nikmat-nikmat-Nya dan mencukupi tambahan-Nya, dan shalawat beserta salam

kiranya terlimpah kepada al Musthafa. Sang Rasul yang terjaga dan mulia, serta

berlimpah pula kepada keluarga, para sahabat dan pengikut yang setia.

Berkat rahmat Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, skripsi ini

dapat penulis selesaikan, meskipun masih banyak kekurangan. Dalam kesempatan

inilah penulis mengharapkan kritik dan saran kepada semua pihak demi

kesempuman selanjutnya, dan akhimya penulis mendapat ilmu yang bermanfaat

di dunia maupun di akhirat.

Dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mengakhiri program studi

tingkat sarjana (SI) pada Jurusan Tarbiyah STAIN Salatiga, maka penulis

mengajukan skripsi yang beijudul: “Konsep Wahdatul Wujud Menurut Abdurrauf

Singkel Dan Implikasinya Dalam Pendidikan Tauhid”.

Secara keseluruhan penulisan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan dan

petunjuk dari bapak pembimbing serta bapak/ibu dosen lainnya, oleh karena itu

penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Ketua STAIN Salatiga

2. Bapak Drs. Miftahuddin, M.Ag, selaku Ketua Progdi PAI

3. Bapak Drs. Djuz’an, M.Hum, selaku pembimbing skripsi

(7)
(8)

HALAM JUDUL

HALAMAN NQTA PEMBIMBING

HALAMAN MOTTO

HALAMAN PERSJCMBAHAN

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I : Pendahuluan... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 7

C. Penegasan Istilah... 7

D. Tujuan Penelitian... ... 9

E. Manfaat Hasil Penelitian... ... ' ... 9

F. Metode Penelitian... 9

G. Sistematika Penulisan Skripsi... ... 11

BAB II : Mengenal Abdurrauf Singkel... 13

A. Biografi Abdurrauf Singkel... 13

B. Situasi Kondisi Sosio Budaya... 13

C. Latar Belakang Pendidikan dan Guru-guru Abdurrauf S ingkel... 15

D. Karya - Karya Abdurrauf Singkel... 17

BAB III : Konsep Wahdatul Wujud menurut Abdurauf Singkel... 21

(9)

2. AlHallaj... 30

3. Ibnu ‘Arabi... 32

4. Abdurrauf Singkel... 35

BAB IV : Implikasi pandangan wahdatul wujud Abdurrauf Singkel dalam Pendidikan Tauhid... 44

A. Pengertian Pendidikan Tauhid... 44

B. Unsur-unsur Pendidikan... 47

a) Anak Didik/Siswa... 47

b) Pendidik/Guru... 49

c) Materi... 56

d) Metode... 60

e) Lembaga/Lingkungan... 69

f) Media Pendidikan Islam... 73

BAB V : Penutup... 76

A. Kesimpulan... 76

B. Saran... 78

C. Penutup... 78

(10)

MENURUT ABDURRAUF SINGKEL

DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN TAUHID

A. Latar Belakang Masalah

Agama Islam masuk ke Indonesia melalui berbagai cara/saluran.

Salah satu cara masuknya agama Islam ke daerah Aceh yaitu dengan saluran

tasawuf.1 Ini sesuai dengan argumen yang mengatakan bahwa Islam pertama

kali masuk kenusantara adalah Islam yang dibawa kaum sufi, tegasnya Islam

sangat dipengaruhi konsepsi-konsepsi tasawuf.2

Dengan tasawuf para sufi mengajarkan ajaran Islam kepada

penduduk pribumi lebih mudah karena sebelum kedatangan agama Islam

penduduk pribumi telah menganut agama Hindu dan Budha. Dalam ajaran

tasawuf mempunyai banyak persamaan dengan alam pikiran mereka yang

dahulunya memeluk agama Hindu dan Budha. Salah seorang tokoh penyebar

agama Islam dengan metode tasawuf yaitu Hamzah Fansuri -selanjutnya di

tulis Hamzah saja- (w. 1016/1607)).

Beliau adalah seorang tokoh yang berasal dari Kota

Barns. Pada waktu itu merupakan daerah kekuasaan Aceh Damssalam, yang

dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636).

Hamzah adalah salah seorang tokoh yang mempunyai andil

yang besar dalam khasanah keilmuan Islam, salah satunya yaitu mengenai

1 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, PT.Raja Grafindo Persada, JaKare

2 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara AbadXVII Dan XVIII, Mizan, Bandung, 1994, him. 45

(11)

berbagai risalah dan syair-syair tasawuf, melalui risalah dan syair tersebut

beliau mengajarkan tentang tasawuf khususnya paham wahdatul wujud

(wujudiyah), dalam ajaran ini menganggap imanensi Tuhan dalam alam secara

mutlak.

Namun sejarah mencatat pada masa pemerintahan Sultan Iskandar

Sani (1637-1641) ajaran wahdatul wujud ini mendapat kritikan yang tajam

dari seorang sufi besar sekaligus tokoh penganut tarekat Rifa’iyah, beliau

adalah Nuruddin ar Raniri (w. 1068/1658) -selanjutnya di tubs ar Raniri-

beliau ailahirkan di Ranir (Randir) sebuah kota pelabuhan tua di pantai

Gujarat. Namun secara umum ar Raniri dianggap sebagai seorang alim

Melayu-Indonesia dari pada India atau Arab.

k

Ar Raniri menganggap ajaran yang diusung oleh Hamzah Fansuri

merupakan paham yang sesat. Ar Raniri mengklaim Hamzah Fansuri beserta

pengikutnya kafir, karena dianggap menyimpang dari akidah Islam.

Perseteruan tersebut terjadi pada abad 17. Perdebatan tentang paham

wujudiyah ini lebih di kenal sebagai perdebatan tentang a ’yan thabitah (esensi

segala sesuatu)/

Puncak perseteruan antara Hamzah dengan ar Raniri yang tidak f

terselesaikan di atas, mengakibatkan tragedi yang sangat mengerikan yaitu

pembakaran karya-karya Hamzah dan pengejaran serta pembunuhan terhadap *

(12)

pengikutnya yang dilakukan oleh ar Raniri dan tindakan ini didukung penuh

oleh Sultan Iskandar Sani.

Akibat kontroversi paham wahdatui wujud tersebut berdampak

lama dan meluas di kalangan masyarakat Aceh. Untuk itu perlu adanya

counter untuk meredam perseteruan atau pergumulan yang di akibatkan

perbedaan interpretasi antara Hamzah dengan ar Raniri.

Sebelumnya konsep wahdatui wujud diperkenalkan oleh seorang

tokoh yang bemama Sadruddin Qunawi (w.1274) yang mempunyai pengertian

positif, namun telah diartikan negatif oleh Ibn Taimiyyah (w.1328). Qunawi

menghubungkan pengertian wahdat al wujud dengan tauhid dan Taimiyyah

dengan panteisme.*

Panteisme merupakan sebuah konsep tentang ketuhanan yang

berpendapat bahwa seluruh kosmos ini adalah Tuhan. Semua yang ada dalam

keseluruhannya adalah Tuhan dan Tuhan ialah semua yang ada dalam

keseluruhannya. Benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca indra

adalah bagian dari Tuhan, diumpamakan: manusia, lampu, pohon, meja, kursi,

rokok, yang intinya semua yang dapat di panca indra adalah semuanya bagian

dari Tuhan. Karena Tuhan adalah kosmos ini dalam keseluruhannya dan

karena benda-benda adalah bagian dari Tuhan. Maka Tuhan adalah dalam

panteisme hanya ada satu, namun dalam pandangan paham ini Tuhan

mempunyai bagian-bagian. Dalam panteisme Tuhan Yang Maha Besar itu

hanya ada satu, dan tak berubah. Alam panca indra yang dilihat berubah ini, 4

(13)

dan yang mana bagian dari Tuhan, adalah ilusi atau khayal belaka, jadi yang

ada hanya ada satu yaitu Tuhan.3

Salah seorang tokoh yang dalam kitab-kitabnya waiaupun tidak

secara langsung untuk menanggapi perselisihan antara Hamzah dan ar Raniri

namun dalam kontek Aceh saat itu maka dari tulisannya dapat dianggap

sebagai tanggapan maupun kritik dalam menyikapi perseteruan antara

Hamzah dan ar Raniri. Beliau yaitu Abdurrauf Singkel (10241105)

-selanjutnya ditulis Abdurrauf saja- yang pada waktu teijadi perseteruan

tentang paham wahdatul wujud Abdurrauf masih remaja dan untuk menambah

ilmu agamanya, beliau hijrah ke tanah Arab selama 19 tahun disana beliau

menuntut ilmu dari berbagai bidang ilmu, baik ilmu lahir (fiqh, hadits, tafsir,

*

dll) maupun ilmu batin (tasawuf).

Setelah itu Abdurrauf kembali ke tanah Aceh, sebagai mana

disebutkan di atas perseteruan tentang wahdatul wujud masih memanas

diantara para tokoh sufi ortodoks dengan para penganut ajaran wujudiyah.

Dalam kitab-kitab Abdurrauf khususnya kitab Tanbih Al Masyi

beliau memberikan interpretasi mengenai doktrin wahdatul wujud, dalam

memahami doktrin tersebut Abdurrauf memadukan antara tasawuf falsafi dan

tasawuf amali sehingga dalam menanggapi doktrin wujudiyah beliau

mengambil sikap tidak cenderung kapada salah satu pihak yang bertikai,

melainkan berdiri di tengah-tengah sebagai juru damai dan tindakan ini tidak

lepas dari guru intelektualnya al Kurani yang dikenal sebagai seorang juru 5

(14)

damai yang lebih suka mendamaikan dua sudut pandang yang bertentangan

daripada memilih salah satu diantara keduanya.6

Di satu sisi Abdurrauf bemsaha mengemukakan interpretasi sendiri

atas doktrin wujudiyah agar dapat diterima para ulama sufi dan para fuqaha’.

Dalam interpretasi doktrin wahdatul wujud Abdurauf lebih kompromistis dan

lebih moderat.

Kemudian adakah implikasinya pandangan Abdurauf tentang

wahdatul wujud dengan pendidikan tauhid. Kalau paham wahdatul wujud

dikaitkan dengan pendidikan tauhid dapat diambil beberapa faktor yang perlu

dikaji, yaitu bagaimana seharusnya unsur-unsur dalam pendidikan yang

meliputi: anak didik, pendidik, materi, metode, lingkungan, media dan

*

sebagainya yang kesemuanya kemudian dikaitkan dengan konsep wahdatul

wujud / pendidikan yang dilandaskan pada keimanan.

Dalam pendidikan Islam khususnya mengenai pendidikan tauhid

keimanan merupakan fundamen yang paling utama dalam Islam. Iman Dalam

pendidikan Islam khususnya mengenai pendidikan tauhid, keimanan

merupakan fundamen yang paling utama dalam Islam. Iman sebagai

fundamen utama apabila tertanam secara kuat maka akan mempengaruhi

seluruh proses pendidikan pada khususnya dan pada umumnya dalam proses

menjalani kehidupan di dunia ini.

(15)

Sebagaimana diketahui bahwa Islam mengandung berbagai ajaran-

ajaran yang kesemuanya itu bepusat pada iman, salah satu contoh ajaran Islam

yaitu tentang aspek syari’ah, ia merupakan perwujudan dari aspek akidah.

Orang percaya pada kepada Allah perlu mengimplementasikan perintah-

perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Allah dalam mengatur

manusia di dunia telah menyiapkan aturan-aturan yang dapat membantu untuk

memakmurkan muka bumi, karena manusia diciptakan oleh Allah adalah

sebagia khalifah fil ardhi, maka perlu ada pandangan hidup untuk mengatur

kamaslahatan manusia di muka bumi.

Manusia merupakan makhluk sosial maka, perlu aturan-aturan

yang dapat menjadikan antar hubungan dapat berjalan sesuai aturan Allah,

4

maka Allah membuat aturan yang berhubungan dengan semua aktivitas

manusia. Sebab manusia sendiri tidak dapat dilepaskan dari berbagai

hubungan, baik itu hubungan dengan Tuhan (hablun min Allah) hubungan

dengan manusia (hablun min al nas) maupun hubungan dengan alam (hablun

min al-alam) atau sering di sebut hubungan tripartiat7

Berangkat dari latar belakang di atas penulis tertarik untuk

mengkaji lebih lanjut mengenai pandangan Abdurrauf mengenai doktrin

Wahdatul Wujud dan selanjutnya mengimplikasikannya dalam pendidikan

tauhid.

(16)

D. Tujuan Penelitian

Segala sesuatu yang di laksanakan secara sadar pasti mempunyai

tujuan yang ingin di capai, maka tujuan penulisan penelitian ini adalah:

Untuk mengetahui pandangan Abdurrauf tentang ajar an wahdatul

wujud dan implikasinya dalam pendidikan tauhid.

E. Manfaat Hasil Penelitian

Adapun manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1) Memberikan sumbangan keilmuan tasawuf yang dilakukan oleh Abdurrauf

mengenai doktrin -wahdatul wujud

2) Bagi lembaga (STAIN), menjadi literatur tambahan dalam khasanah

keilmuan sufistik {tasawuf) dan pendidikan tauhid

F. Metode Penelitian

Untuk mengumpulkan data penulis menempuh riset kepustakaan

terhadap data yang menyangkut dan membicarakan permasalahan yang

penulis teliti.

1. Sumber Data

i

Karena sifat penelitian ini literer maka datanya bersumber dari

literer. Adapun yang menjadi sumber data primer adalah buku Menyoal

(17)

Tauhid karangan Syaikh Abdurrahman Bin Nasir As Sa’di, Pinsisp-

Prinsip Dan Metoda Pendidikan Islam oleh Abdurahman an Nahlawi.

2. Metode komparatif

Penelitian komparasi bertujuan untuk menemukan persamaan-

persamaan dan perbedaan-perbedaan tentang benda-benda, tentang

orang, tentang prosedur, keija, tentang ide-ide, kritik terhadap orang,

kelompok, terhadap suatu ide atau suatu prosedur keija. Dapat juga

membandingkan kesamaan pandangan dan perubahan-perubahan

pandangan orang, grup atau negara, terhadap kasus, terhadap orang,

peristiwa, atau terhadap ide-ide.13

Metode komparasi ini penulis gunakan supaya memperoleh

gambaran yang jelas tentang pemikiran Abdurrauf Singkel tentang

wahdatul wujud, yang membedakan dengan pemikiran umum, yaitu

dengan membandingkan pemikiran tokoh yang dimaksud dengan

pemikiraan yang lain entah dekat dengannya atau justru sangat berbeda.

Karena penelitian ini bersifat literer maka penulis menggunakan

penelitian kepustakaan yaitu menelaah sumber-sumber buku-buku yang

ada kaitannya dengan judul yang penulis angkat.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam mencema masalah yang dibahas, penulis

menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:

(18)

BAB I :

C. Latar Belakang Pendidikan dan Guru-guru Abdurrauf

Singkel

D. Karya - Karya Abdurrauf Singkel.

Konsep Wahdatul Wujud menurut Abdurauf Singkel

A. Pengertian Wahdatul Wujud

B. Teori-Teori Tentang Paham Wahdatul Wujud

1. Abu Yazid A1 Bustami

2. AlHallaj

3. Ibnu ‘Arabi

4. Abdurrauf Singkel

Implikasi pandangan wahdatul wujud Abdurrauf Singkel

(19)

A. Pengertian Pendidikan Tauhid

B. Unsur-unsur Pendidikan

BAB V : Penutup

A. Kesimpulan

(20)

BAB II

MENGENAL ABDURRAUF SINGKEL

A. Biografi Abdurrauf Singkel

Nama Abdurauf Singkel dalam ejaan Arab adalah ‘Abd al Ra’uf

bin ‘Ali Al Jawiy Al Fansuriy al Singkiliy. Beliau adalah seorang Melayu

dari Fansnr tepatnya di daerah Singkel yaitu daerah sebelah barat laut Aceh.

Ayahnya adalah seorang Arab bemama Syaikh ‘Ali. Mengenai tahun

kelahiran tidak ada yang mengetahui tepatnya, namun diperkirakan beliau

lahir pada tahun 1615. Nenek moyang Abdurrauf Singkel berasal dari Persia

yang datang ke Sultanan Samudra Pasai pada akhir abad ke-13. Kemudian

mereka menetap di Fansur (Barus), sebuah kota pelabuhan tua yang penting

di daerah pantai Sumatra Barat.1

Abdurrauf meninggal dunia pada tahun 1693 dan dimakamkan di

sebelah makam Teungku Anjong yang di anggap paling keramat di Aceh,

dekat Kuala sungai Aceh.2

B. Situasi Kondisi Sosio Budaya

Semasa karimya menjadi seorang ulama besar Abdurrauf

mengalami berbagai corak perkembangan politik di kesultanan Aceh. Ciri

yang paling menarik di periode ini adalah bahwa kesultanan diperintah oleh

empat sultanah berturut-turut hingga akhir abad 17. Salah satu Sultanah

1 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVIIDan XVIII, Mizan, Bandung, 1994, him. 190

(21)

tersebut yaitu Safiyyatuddin, yang menggantikan suaminya Iskandar Sani

pada 1051/1641. Di bawah kepemimpinannya yang relatif lama hingga

1086/1675, kesultanan mengalami banyak kemunduran, banyak wilayah di

bawah kekuasaanya di semenanjung Melayu dan Sumatera melepaskan dari

kekuasaan Aceh, dan perlu diingat kontroversi mengenai paham wahdatul

wujud pada saat kepemimpinannya pun masih berlangsung 3

Pada masa pemerintahan Sultanah Safiyyatuddin, Abdurrauf

diangkat sebagai Qadhi Malik Al Adil yang bertanggung jawab terhadap

berbagai masalah keagamaan. Oleh karenanya, sebagai wuj ud loyalitasnya

kepada Sultanah, Abdurauf jadi berkepentingan untuk meredakan

ketegangan yang terjadi akibat kontroversi doktrin wujudiyah pada masa

pemeintahan Sultan Iskandar Sani.4

Dengaan demikian sepanjang kariemya di Aceh, Abdurrauf

mendapat perlindungan dari para sultanah. Dari perlindunag para sultanah

tersebut beliau mengarang berbagai kitab yang membicarakan berbagai

bidang keilmuan diantara kitab-kitab tersebut membahas tentang fiqh, tafsir,

kalam dan tasawuf.

Dalam kitab-kitabnya Abdurauf menunjukkan bahwa perhatian

utamanya adalah rekonsiliasi antara syariat dan tasawuf, atau antara yang

bathin dengan yang dhahir, jadi ajaran-ajaran yang disebarkan di Melayu-

Indonesia adalah ajaran-ajaran yang termasuk ke dalam Neo-sufisme.

3 Ibid, him. 199

(22)

Terlepas dari berbagai masalah pertikaian mengenai doktrin

wahdatul wujud di atas, pada saat itu Aceh mulai dari abad 16-18

merupakan sebuah Kerajaan yang tampil sebagai kekuatan politik yang

besar di kawasan Melayu-Indonesia. Aceh mempunyai pengaruh yang besar

dalam penyebaran agama Islam.5

C. Latar Belakang Pendidikan dan Guru-guru Abdurrauf Singkel

Mengenai latar belakang pendidikan, tampaknya Abdurauf

semasa masih kecil sudah mulai belajar agama di daerah kelahirannya, baik

dari ayahnya sendiri, yang merupakan seorang yang alim yang juga

mendirikan sebuah madrasah, maupun kepada para ulama setempat lainnya,

selanjutnya ia meneruskan pendidikannya di Fansur.

Karena pada waktu itu negeri itu adalah pusat Islam yang penting

dan merupakan titik penghubung antara Melayu dengan muslim dari Asia

Barat dan Asia Selatan. Hingga pada sekitar tahun 1642, ia mengembara

untuk menambah ilmu pengetahuan agama ketanah Arab.6

Sebelum Abdurrauf mengembara ke tan ah Arab, sekitar tahun

1642, Aceh ditandai kontroversi dan pertikaian antara penganut doktrin

wujudiyah dan pengikut ar Raniri, sehingga sebelum ia pergi ke Arabia,

Abdurrauf mengetahui tentang ajaran Fansuri dan Syams al Din serta fatwa

dan penganiayaan yang di jatuhkan ar Raniri atas para pengikut mereka.7

5 Soekama Karya, et al, Ensiklopedi Mini Sejarah Dan Kebudayan Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta 1966, him. 190

(23)

Abdurrauf meninggalkan Aceh dan mengembara ke tanah Arabia

sekitar pada tahun 1642. Ketika beliau di tanah Arab dalam tulisannya beliau

menyebutkan beberapa daftar guru yang pemah beliau jadikan guru, tidak

kurang dari 15 orang guru, dari mereka dia mempelajari berbagai cabang

disiplin Islam, dan 27 ulama terkenal lainnya yang dengan mereka dia

mempunyai kontak dan hubungan pibadi, dan 15 tokoh mistik kenamaan di

Jeddah, Mekkah, Madinah, Mokha, Baith al Faqih dan lain-lain.*’

Dari sekian banyaknya guru Abdurrauf, hanya ada beberapa

orang yang sangat berpengaruh terhadap pemikiran-pemikiran beliau. Di

antara guru-guru yang sangat berpengaruh pada dirinya yaitu Ahmad al

Qusyasyi, beliau merupakan guru spiritualnya di Madinah, dari Qusyasyi

Abdurrauf belajar tentang ilmu-ilmu bathin (tasawuf) dan ilmu-ilmu yang

terkait lainnya, beliau menuntut ilmu kepada Qusyasyi sampai mendapat

ijazah untuk menjadi khalifah dalam tarekat Syatariyyah dan Qadiriyyah,

kemudian pada tahun 1660 Qusyasyi meninggal dunia.8 9

Kemudiaan setelah itu Abdurrauf menuntut ilmu kepada Ibrahim

al Kurani, dari beliau ia mempelajari berbagai ilmu pengetahuan selain

tasawuf yang menimbulkan pemahaman intelektual tentang Islam dan

bukannya pengetahuan tentang mistis atau spiritual. Dengan kata lain bagi

Abdurrauf, Qusyasyi lebih merupakan guru spiritual dan mistisnya,

sementara al Kurani menjadi guru intelektualnya.10

8 Oman Fathurahman, op. cit, him. 27 9 Azyumardi Azra, op. cit, him. 195

(24)

D. Karya-karya Abdurrauf Singkel.

Sebagai ulama besar dan menguasai berbagai bidang disiplin

ilmu keagamaan dan juga mendapat perlindungan dari Sultanah Shaffiyat al

Din dan beliau juga mendapat jabatan sebagai Qadhi Malik al ‘Adil, sebagai

ulama besar beliau telah menghasilkan berbagi karangan yang mencakup

bidang fiqh, tasawuf, tafsir, hadis dan ilmu-ilmu agama lainnya.

Beberapa karangan beliau yang dihubungkan dengan Abdurrauf dalam

bidang fiqh dan keagamaan, antara lain:

1. Mir’ah at Tullab fi Tashil Ma ’rifah al Ahkam asy Syar ’iyyahli al Malik

al Wahhab (Cermin Para Penuntut Ilmu, Untuk Memudahkan

Mengetahui Hukum-hukum Syara’ Tuhan)

2. Bay an al Arkan (Penjelasan Rukun-rukun)

3. Bidayah al Baligah (Permulaan yang Sempuma)

4. Majmu ’ al Masa ’il (Kumpulan Masalah)

5. Fatihah Syaaikh ‘Abd ar R a’u f (Metode Bacaan Fatihah Syaikh

Abdurauf)

6. Tanbih al ‘Amil f i Tahqiq an Nawafil (Peringatan bagi Orang yang

mentahqiqkan Kalam Sembahyang Sunat)

7. Sebuah uraian mengenai Niat Sembahyang

8. Wasiyah (Tentang Wasiat-wasiat Abdurrauf kepada muridnya)

9. Doa yang di Anjurkan oleh Syaikh ‘Abd arRauf Kuala Aceh

10. Sakaratul Maut (Hal-hal yang di alami Manusia menjelang ajalnya)

(25)

11. Tanbih al Masyi al Mansub ila Tariq al Qusyasyi (Pedoman bagi Orang

yang Menempuh Tarekat Qusyasyi)

12. ‘Umdah al Muhtajin ila Suluk Maslak al Mufaidin (Pijakan bagi Orang-

orang yang Menempuh Jalan Tasawuf)

13. Sullam Mustafidin (Tangga setiap Orang yang Mencari Faidah)

14. Piagam tentang Zikir

15. Kifayah al Muhtajin ila Masyrab al Muwahhidin al Qa’ilin bi Wahdah

al Wujud (Bekal bagi Orang yang membutuhkan Minuman ahli Tauhid

Penganut wahdatul wujud)

16. Bayan Agmad al M asa’il wa as Sifat al Wajibah li Rabb al Ard wa as

Samawat (Penjelasan tentang Masalah-masalah tersembunyi dan sifat-

sifat Wajib bagi Tuhan, penguasa Langit dan Bumi)

17. Bayan Tajalli (Penjelasan Tajalli)

18. Daqa ’iq al H uruf (Kedalaman makna Huruf)

19. Risalah Adab Murid akan Syaikh

20. Munyah al I ’tiqad (Cita-cita Keyakinan)

21. Bayan al Itlaq (Penjelasan makna istilah Itlaq)

22. Risaalah A ’yan Sabitah (Penjelasan tentang A’yan Sabitah)

23. Risalah Jalan Makrifatullah (Karangan tentang jalan menuju Makrifat

kepada Allah)

24. Risalah Mukhtasarah fi Bayan Syurut asy Syaikh wa al Murid (Karangan

(26)

25. Faidah yang tersebut di dalamnya kaifiyah mengucap zikir la ilaha ilia

Allah

26. Syair M a’r if ah

27. Otak ilmu Tasawuf

28. ‘Umdah al Ansab (Pohon Segala Nasab)

29. Idah al Bayan fi Tahqiq Masa ’il al Adyan (Penjelasan dalam

Menyatakan Masalah-masalah Agama)

30. Ta ’yidal Bayan Hasyiyah Idah al Bayan (Penegasan Penjelasan, Catatan

atas Kitab Idah al Bayan)

31. Lubb al K asyf wa al Bayan li ma Yarahu al Muhtadar bi al Iyan

(Hakikat Penyingkapan dan Penjelasan atas apa yang di lihat secara

terang-terangan)

32. Risalah Simpan (Membahas Aspek-aspek sembahyang secara Mistis)

33. Syatariyyah (Tentang ajaran dan tata cara Zikir Tarikat Syatariyah)

Di bidang Tafsir:

1. Tarjuman al Mustaffid bi al Jawiyy (Tafsir pertama di dunia Islam

dalam bahasa Melayu)

Di bidang Hadis:

1) Syarh Latif ‘ala Arba’in Hadisan li al Imam an Nawawiy

(Penjelasan Terperinci atas Kitab Empat Puluh Hadis karangan

Imam Nawawi)

(27)

Abdurrauf dalam menulis kitab-kitabnya tidak hanya untuk kaum

muslim awam, mengenai ilmu-ilmu dhahir, tetapi juga di kalangan elit yaitu

mengenai topik-topik yang berkaitan dengan ilmu-ilmu bathin seperti kalam

dan tasawuf.11

(28)

BAB III

KONSEP WAHDATUL WUJUD MENURUT ABDURRAUF SINGKEL

A. Pengertian Wahdatul Wujud

Pada awal penyebaran agama Islam, hal yang utama diajarkan

adalah keimanan kapada Allah sebagai Tuhan pencipta segala sesuatu. Dan

di sini sikap seorang hamba dalam beriman dengan Allah bagaikan seorang

pelayan terhadap tuan-Nya. Yang di antara keduanya mempunyai perbedaan

yang jelas, karena hamba hanya dapat melakukan segala apa-apa yang

diperintahkan oleh tuannya tanpa adanya sanggahan dari sang pelayan

(sami ’na wa ata ’na/ kami dengar dan kami laksanakan/taat).

perubahan dalam bersikap terhadap Allah. Yaitu sebuah pemahaman yang

mengusung ajaran bahwa Tuhan itu dapat didekati oleh hamba sedekat

mungkin, pandangan ini berdasarkan firman Allah s.w .t.:

Semula pemahaman ini dimulai oleh seorang tokoh namun

lambatlaun dari para tokoh ini mempunyai pengikut sehinggga menyebar

luas. Sikap yang berubah dari kaum muslimin itu berpangkal dari tidak

tersalurkannya sebagian perasaan religius kaum muslimin dalam praktek

1 Nazri Adlany, et al, Al Quran Terjemah Indonesia, PT Sari agung, Jakarta, 2001, him. 1039

Namun pada abad ketiga H dalam dunia Islam timbul sebuah

(29)

agama Islam pada waktu itu. Ajaran cinta kepada Allah mulai menuntut hak

hidupnya. Perubahan sikap manusia terhadap Tuhan yang tidak lagi

dipandang sebagai Dia yang terlampau jauh tak terhampiri, kalau dengan

akal budi tidak dapat menjangkau-Nya, maka dalam pengalaman mistis

dapat mencapai persatuan dengan-Nya. Dalam persatuan itu manusia

tenggelam dalam Allah dan segala yang lain di luar Allah lenyap, bahkan

mengenai kesadaran pribadinya, sehingga tak ada sesuatu yang lain kecuali

Dia.2 3

Sebagian kelompok yang tidak merasa puas akan praktek agama

Islam pada masa itu, yang dalam kepustakaan Islam sering disebut “Sufi”.

Pada abad ketiga H timbul dalam Islam sebuah ajaran tentang persatuan

antara makhluk dengan pencipta-Nya, antara hamba dengan Tuhan-Nya.

Konsep persatuan antara hamba dan Tuhan itu mendapat label-label berbeda

namun pada intinya yaitu persatuan hamba dengan TuhanJWahdah Al Wujud

dapat diartikan secara garis besar, yaitu: kesatuan eksistensi, kesatuan

wujud, atau kesatuan penemuan. Di akhir peijalanan hanyalah Allah yang

# i

ditemukan.

Di antara paham-paham yang mendapat perhatian lebih dari

kaum muslimin yaitu paham al Ittihad (Abu Yazid al Bustami), al Hulul (al

Hallaj) dan wahdatul wujud (Ibn ‘Arabi). Paham bersatunya hamba dan

Tuhan ini sering disamakan dengan paham pantheisme, yang mana paham

P.J.Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme Dan Monisme Dalam Sastra Suluk Jawa, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, him. 22

(30)

pantheisme memandang bahwa seluruh kosmos ini adalah Tuhan. Semua

yang ada dalam keseluruhannya ialah Tuhan dan Tuhan ialah semua yang

ada dalam keseluruhannya.4

Dalam pantheisme cenderung menekankan segi imanensi Tuhan

(serupa dengan alam) dan tanpa menekankan aspek transenden Tuhan akan

ciptaan-Nya. Berbeda dengan ajaran yang diusung oleh tokoh-tokoh sufi

diatas, walaupun mereka mengajarkan paham manunggaling kawula gusti

walaupun mereka mengajarkan aspek imanensi Tuhan akan ciptaan-Nya

namun mereka tetap mengakui akan transendensi Tuhan akan segala

ciptaan-Nya dan tidak mengaku bahwa dirinya Tuhan.

Selain itu kesatuan antara Tuhan dengan hamba dapat juga

digambarkan dengan pancasila yang disitu merupakan kesatuan

keseluruhan yang utuh. Kesatuan keseluruhan itu tersusun atas bagian-

bagian (sila-sila) dan bagian-bagian yang menyusun kesatuan tersebut harus

tidak saling bertentangan. Semua bagian (sila) harus secara bersama-sama

menyusun hal barn dan utuh. Setiap bagian (sila) merupakan bagian yang

mutlak, apabila dihilangkan satu bagian (sila) saja, maka hilanglah juga

kesatuannya (pancasila), akan kehilangan kedudukan dan fungsinya dan

kesatuannya sendiri juga akan tidak ada lagi.5

Juga dapat penulis contohkan seperti halnya “wedang kopF,

wedang kopi itu merupakan minuman yang terdiri dari tiga elemen, yaitu air

(jarang; jawa), gula dan kopi, kalau ketiganya disatukan maka akan menjadi

4 Harun Nasution, Falsafat Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, him. 36

(31)

wedang kopi, kemudian pertanyaannya apakah kalau ketiga elemen itu

dipisahkn akan tetap dinamai wedang kopi? maka walau sudah bersatu disini

perlu ditegaskan bahwa dari ketiga elemen di atas berdiri sendiri-sendiri,

kopi ya kopi, air ya air dan gula ya tetap gula.

Dalam istilah Jawa kesatuan hamba dan Tuhan sering diistilahkan

dengan manunggaling kawula gusti, yaitu perlambang kesatuan antara

hamba dengan Tuhan, perlambang kesatuan antara rakyat dan negara.

Konsep manunggaling kawula gusti atau kesatuan manusia dengan Tuhan

(wahdatul wujud) yang dipergunakan untuk menggambarkan, dalam

kepustakaan Islam kejawen adalah “curigo manjing warangka” yakni

manusia masuk dalam diri Tuhan, laksana Arya Sena masuk dalam tubuh

Dewa Ruci. Atau sebaliknya ”warangka manjing curigo” yakni Tuhan

masuk (nitis) dalam diri manusia, seperti halnya Dewa Wisnu nitis (masuk)

pada diri Kresno.6

Selanjutnya konsep manunggaling kawula gusti dalam serat

Dewa Ruci diterangkan: “mungguh pamoring kawula lan gusti iku, koyo

dene paesan karo sing ngilo, wayangan kang ono sajroning pangilon, iyo

iku jenenge kawulo” artinya: “yakni kesatuan manusia dengan Tuhan, ibarat

cermin dengan orang yang bercermin, bayang-bayang dalam cermin itulah

manusia. Jadi dalam kepustakaan Islam kejawen di lukiskan bahwa Tuhan

304

(32)

memiliki sifat-sifat yang sama dengan manusia dan manusia digambarkan

sama dengan Tuhan.7

Berbeda dengan paham wahdatul wujud walaupun antara hamba

dan Tuhan bersatu keduanya tetap berbeda, Tuhan ya Tuhan dan manusia

tetaplah manusia. Tidak ada yang berubah diantara kedunya.

B. Teori-teori Tentang Paham Wahdatul Wujud

1. Abu Yazid al Bustami

Nama kecil beliau adalah Taifur,8 Abu Yazid al Bustami

(selanjutnya ditulis Abu Yazid saja) dilahirkan di Bistam, wilayah

Qumis yang terdapat di daerah timur laut Persia pada tahun 874 M dan

beliau meninggal dunia pada tahun 260H/874M.9 Walaupun beliau

termasuk dalam keluarga yang terpandang, ayahnya adalah salah satu

pemuka masyarakat yang berada di Bistam, namun Abu Yazid memilih

kehidupan sederhana.

Beliau adalah seorang tokoh sufi yang memperkenalkan tentang

konsep al Ittihad. Ittihad dapat dicapai ketika seorang sufi sudah

megalami al fana ’ dan al baqa

1 loc. cit

8 Hamka, Tasauf Perkembangan Dan Pemurniannya, PT Pustaka Panjimas, Jakarta, 1983, him. 93

(33)

Fana’ yaitu penghancuran atau kesadaran seseorang tentang

dirinya dan tentang makhluk lain di sekitamya.10 Sebenanya dirinya

tetap ada dan demikan juga makhluk lain tetap ada, tetapi ia tidak sadar

lagi tentang wujud mereka bahkan juga tentang wujud dirinya sendiri. Di

ketika itulah ia sampai kepada al baqa ’ atau kelanjutan wujud dalam diri

Tuhan.

Al Qusyairi membagi fana ’ dalam dua aspek yaitu fana’ dalam

aspek moral dan fana’ dalam aspek jasmani. Fana’ dalam aspek moral

yaitu, hilangnya sifat-sifat tercela, dan kata baqa’ adalah terbinanya

sifat-sifat yang tercela, sedangkan fana’ dalam apek jasmani yaitu, pada

awalnya lenyapnya kesadaran akan diri dan sifat-sifat pribadinya

lantaran telah menghayati sifat-sifat Allah, lalu lenyapnya kesadaran

akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah mulai

menyaksikan keindahan Zat Allah, kemudian akhimya lenyap kesadaran

akan kefana’annya itu sendiri lantaran telah merasa lebur menyatu dalam

wujud Allah.11

Dalam fa n a’nya Abu Yazid adalah simanya segala sesuatu yang

selain Allah dari pandangannya, di mana seorang sufi tidak lagi

menyaksikan kecuali hakikat yang satu yaitu Allah. Bahkan dia tidak

10 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Universitas Indonesia, Jakarta, 1978, him. 83

(34)

lagi melihat dirinya sendiri karena dirinya terlebur dalam Dia yang

disaksikannya, sebagaimana ia terangkan dalam sebuah perkataannya:

“Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka akupun hidup. ” 12 13

Dengan berusaha meninggalkan dirinya itu ia akhimya sampai

kepada al baqa ia mengatakan:

“7a membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati, kemuman ia membuat aku gila pada-Nya, dan akupun hidup...aku berkata: gila pada diriku adalah kehancuran dan gila padaMu adalah kelanjutan hidup. ” 14

Dengan tercapainya al fana ’ dan al baqa ’ sampailah Abu Zayid

kepada ittihad. Ketika sampai ke ambang pintu ittihad, dari mulut

seorang sufi keluar ungkapan-ungkapan yang ganjil atau yang dalam

istilah tasawuf disebut syatahat (ungkapan teopatis).

Menurut Ahmad Sultoni (2005: 92) bahwa minimal ada tiga hal

yang bisa ditarik dari kefanaan para sufi:

a. Fana muncul sebagai pengalaman spiritual (spiritual experience)

yang dikenali dari gejolak intuisi mereka.

b. Ucapan-ucapan syatahat sesungguhnya muncul dari

ketidakmampuan sufi menginterpretasikan pengalaman spiritual

dalam tataran kata/bahasa yang sangat terbatas untuk mewakilinya.

12 Abu al Wafa’ al Ghanimi al Taftazani, Sufi Dari Zaman Ke Zaman, Pustaka, Bandung, 1974, him. 1 1 5 - 1 1 6

13 Harun Nasution, Falsafat Dan Mistisisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, him. 81

(35)

c. Pengakuan pada keadaan lenyap, lebur, hilang, musnah, bukan

dalam arti fisik, namun melibatkan bagian manusia yang paling

halus, yaitu kalbu.

Dalam ittihad, yang dipandang dan dirasakan hanya ada satu

wujud, sebenamya ada dua wujud yang berbeda. Karena itu, bisa terjadi

pertukaran peranan antara sang sufi dan Tuhan, atau antara sang

pencinta dan Yang Dicintai. Identitas sang sufi hilang dan yang

disadarinya hanyalah satu wujud, yaitu wujud Tuhan. Tingkat ittihad ini

dicapai sang sufi setelah mengalami al fana ’, dengan al fa n a ’ ini sang

sufi kehilangan kesadaran dirinya, dan yang tersisa hanyalah kesadaran

tentang Tuhan (al baqa ’).15

Karena hubungan al fana ’ dan al baqa ’ adalah hubungan yang

memperlihatkan perlawanan, di dalam istilah tasawuf, hubungan

keduanya menunujukkan proses atau sisi yang berbeda terhadap

kenyataan yang sama berarti bahwa keduanya dalam kenyataannya

adalah sama, tetapi apabila dilihat dari sudut yang berbeda menimbulkan

konsep yang berbeda. Dilihat dari sudut kemakhlukan, sufi telah

mengalami al fana ’, sebab segala makhluk telah hilang dari

kesadarannya. Dan dilihat dari sudut Tuhan, sufi telah mengalami al

baqa \ sebab hanya Tuhan yang terns ada di dalam kesadarannya.16

Ketika seorang sufi telah mencapai tingkatan al ittihad dari

mulutnya akan mengungkapkan perasaannya dengan kalimat-kalimat

13 Abdul Aziz Dahlan, et al, Tasawuf Filosofis, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Pemikiran Dan Peradaban jilid 4, PT Ichtiar Bam Van Hoeve, Jakarta, 2002, him. 1 5 8 - 1 5 9

(36)

teopatis (syatahat), dan kalimat yang pemah diungkapkan oleh Abu

"Maha suci aku, maha suci aku, alangkah agungnya urusanku”“Sungguh aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain aku, maka

hendaklah engkau menyembah aku. ”

“Tidak ada dalam jubah ini kecuali A llahT '1

Dalam pengertian kaum sufi, kata-kata di atas memang betul

dari mulut Abu Yazid, tetapi tidak berarti bahwa ia mengaku sebagai

Tuhan. Tetapi Tuhanlah yang mengaku diri-Nya Allah melalui lidah

Abu Yazid. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang

mengucapkan kata-kata itu memang lidah Abu Yazid, tetapi sungguh

pun demikain Abu Yazid tidak mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan.

Itu adalah kata-kata Tuhan yang diucapkan lewat lidah Abu Yazid.17 18

Abu Zayid dikenal pula seorang sufi yang dapat

mengkombinasikan antara asketisme yang keras dan penghormatan

kepada Fiqh dengan kekuatan intelektual yang luar biasa. Tidak seperti

yang sering disalah-tafsirkan, Abu Zayid meski telah mencapai al

Ittihad, beliau tetap berpegang pada hukum Islam secara ketat. Seperti

yang terlihat dalam ucapannya: “kalau kamu lihat seseorang mampu

17 Simuh, Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam Islam, Rajawali Press, Yogyakarta, 1996, him. 144

(37)

melakukan keramat yang besar-besar, walaupun dia sanggup ter bang di

udara, maka janganlah kamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia

mengikuti suruhan dan menghentikan larangan dan menjaga

batas-batas syariaf ’.19

Dari perkataan Abu Yazid di atas dapat diambil sebuah

penjelasan bahwasnya ajar an yang beliau ajarkan tidak keluar dari

hukum syara’ Islam (fiqh). Menurut Abu Yazid seorang wali harus tetap

melaksanakan syariat agar Tuhan tetap melestarikan tingkat pengalaman

spiritual yang telah dicapainya.

Dan di sini para pembela Abu Yazid menegaskan bahwa al

ittihad Abu Yazid tidak sedang menyatakan kesamaan Tuhan dengan

manusia. Paham ini tetap mempertahankan perbedaan Tuhan dengan

manusia, bahwa ada dua wujud yang berbeda, yakni Khaliq dan

makhluk. Jelasnya, meskipun menekankan emanasi Tuhan, tetapi

sekaligus mengakui transendensi-Nya, karena itu ucapan syatahat Abu

Yazid tidak dipandang sebagai kepercayaan teologis, karena ucapan itu

terlontar dari mulutnya ketika sedang mabuk spiritual.20

2. Al Hallaj (858 - 922)

Nama lengkap beliau adalah Abu al Mughits al Husain ibn

Mansur ibn Muhammad al Baidhawi, dia mendapat gelar al Hallaj

19 Hamka, op. cit, him. 94

(38)

karena kehiduparmya dia peroleh dari memintal wol.21 Namun dalam

sumber lain bahwasanya gelar al Hallaj didapatnya karena

kemampuannya berbicara tentang had paling dalam (sirr).22 23

Al Hallaj adalah tokoh sufi yang memperkenalkan paham al

Hulul (menempati, nitis berinkamasi/immament) sebagai bentuk

tersendiri dari dalam persatuan dengan Tuhan. Al Hulul adalah paham

yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu

untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan

yang di dalam tubuh dihilangkan. Bagi al Hallaj di dalam diri manusia

terdapat sifat kemanusiaan (an nasut) dan sifat-sifat Ketuhanan (al

lahut) bila manusia dapat menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan dari

dirinya dengan jalan fana’, maka akan tinggallah di dalam dirinya sifat-

sifat Ketuhanan. Ketika itulah Tuhan masuk kedalam dirinya yang

disebut al Hulul.

Sebagaimana Abu Yazid, al Hallaj menempuh tingkat fa n a ’

terlebih dahulu untuk bersatu dengan Tuhan. Pencapaian hulul yang

diperoleh melalui fa n a ’ yang bersifat total ini, dapat terjadi karena

manusia mempunyai sifat-sifat Ketuhanan (lahut), dan pada saat yang

sama Tuhan mempunyai sifat-sifat kemanusiaan (nasut). Pandangan ini

berdasakan pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari

dan Muslim, yang mengatakan:

21 Abu al Wafa’ al Ghanimi al Tatazani, opc. cit, him. 120 22 Departemen Agama RI, op. cit, him. 97

21 Simuh, op. cit, him. 148

(39)

’’Sesungguhnya Allah menciptakan Adam menurut bentuk-Nya”} 4

Ketika sifat-sifat kemanusiaan (an nasut) al Hallaj hancur, yang

tinggal hanyalah sifat-sifat Ketuhanannya (al lahut), dan ketika itulah ia

mengalami hulul. Ungkapan-ungkapan yang aneh (syatahat) akan timbul

dari mulutnya seperti perkatan al Hallaj yang terkenal yaitu dengan

ucapan Ana al Haq.24 25

Dalam hulul yang terjadi adalah persatuan manusia dengan

Tuhan. Namun hulul dalam penafsiran non-panteistik yaitu penafsiran

yang tetap mempertahankan perbedaan antara Tuhan dengan alam, tidak

dapat diartikan pengidentikan Tuhan dengan manusia, atau manusia

dengan Tuhan, karena konsep ini tetap mempertahankan perbedaan antara

Tuhan dan manusia. Bahkan al Hallaj sendiri mengecam orang-orang yang

telah mencampuradukkan Ketuhanan dengan kemanusiaan.26 27

Jadi perlu digarisbawahi disini ketika al Hallaj mengatakan

ana al Haq, bukanlah al Hallaj yang mengucapkan kata itu, tetapi roh

Tuhan yang mengambil tempat dalam dirinya (hulul)}1 Meskipun al

Hallaj mengemukakan ucapan-ucapan ekstatiknya yang ganjil,

sebenamya pengalaman , mistik tersebut, walaupun menekankan

24 Harun Nasution, op. cit, him. 89

25 Abdul Aziz Dahlan. et al, loc. cit, him. 159 26 Ibid. him. 159

(40)

imanensi Tuhan, juga sekaligus mempertahankan transendensi mutlak-

Nya atas semua ciptaan-Nya.

3. Ibn al ‘Arabi

Nama lengkap Ibn ‘Arabi adalah Muhammad ibn Ahmad ibn

Abdullah al Hatimi. Ia lahir pada tahun 560 H di kota Murcia, Spanyol.

Ayahnya, Ali ibn Muhammad, salah seorang yang alim dalam bidang

fikih dan hadis dan terkenal kezuhudannya.28

Ibn ‘Arabi adalah salah satu sufi yang mengajarkan paham

wahdatul wujud yaitu sebuah paham yang mengajarkan tentang kesatuan

wujud makhluk dengan Tuhan, paham ini menekankan bahwa tidak ada

wujud yang sejati, kecuali hanya Allah Yang Maha Mutlak. Kemutlakan

wujud Tuhan itu akan menenggelamkan seluruh wujud selain diri-Nya.

Dalam paham ini nasut yang ada dalam hulul dirobah oleh Ibn

‘Arabi menjadi al khalq (makhluk) dan lahut menjadi al Haq (Tuhan).

Khalq dan Haq merupakan dua aspek bagi tiap sesuatu. Aspek yang

sebelah luar disebut khalq, sedangkan aspek sebelah dalam disebut haq.

Menurut faham ini tiap-tiap yang ada mempunyai dua apek. Aspek luar

( ‘ard[ khalq) yang mempunyai sifat kemakhlukan, dan aspek dalam

(haq, jawhar) mempunyai sifat ketuhanan. Dengan kata lain dalam

(41)

tiap yang berwujud itu terdapat sifat ketuhanan atau haq dan sifat-sifat

9 0 kemakhlukan atau khalq.

Paham wahdatul wujud timbul dari filsafat bahwa Tuhan ingin

melihat diri-Nya diluar diri-Nya. Kemudian diciptakannya alam sebagai

cemin yang merefleksikan gambaran iri-Nya. Setiap kali ia ingin melihat

diri-Nya maka Ia melihat alam karena pada setiap benda alam terdapat

aspek al Haq.29 30 * *

Tuhan, dalam pandangan Ibn ‘Arabi pada awalnya adalah

sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadist qudsi:

“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk dan melalui aku*31 merekapun kenal padaKu

Alam sebagai makhluk adalah penampakan diri dari Tuhan.

Alam sebagai cermin yang dalamnya terdapat gambar Tuhan. Sebagai

bayangan, wujud alam tak mungkin wujud tanpa wujud Tuhan. Atau

dengan kata lain, wujud alam tergantung kepada wujud Tuhan. Sebagai

T9

bayangan, wujud alam bersatu dengan wujud Tuhan.

Al Haqq (Tuhan) dan al khalq (alam) adalah satu, tetapi tetap

berbeda. Doktrin wahdatul wujud menekankan tidak hanya sisi tasybih

(penyerupaan Tuhan dengan alam) tetapi juga sisi tanzih (penyucian

29 Harun Nasution, op. cit, him. 92 - 93

30 “Wahdatul Wujud” Ensiklopedi Islam jild 5, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994, him. 158

(42)

sifat-sifat Tuhan dari penyerupaan-Nya dengan alam). Dilihat dari

tasybih, Tuhan adalah identik, atau lebih tepat serupa dan satu, dengan

alam -walaupun keduanya tidak setara- karena Dia, melalui nama-Nya,

menampakkan diri-Nya dalam alam. Namun dilihat dari sisi tanzih,

Tuhan sama sekali berbeda dengan alam karena Dia adalah Zat Mutlak

yang tidak terbatas di luar alam nisbi yang terbatas. Gagasan ini

dirumuskan Ibn ‘Arabi dengan ungkapan singkat, huwa la huwa (Dia

dan bukan Dia). Dalam pandangan ini Tuhan adalah transenden dan

sekaligus imanen.

Kesatuan tanzih dan tasybih yang transenden sekaligus imanen

adalah prinsip al Jam ’ baina al ‘adad, yang secara paralel terwujud pula

dalam kesatuan ontologis antara Yang Tersembunyi {al Batin) dan Yang

Tampak {al Zahir), antara Yang Satu {al Wahid) dan Yang Banyak {al

Kasir).* 34

Dilihat dari Zat-Nya, Tuhan adalah transenden, munazzah

(tidak dapat dibandingkan dengan alam), Yang Tersembunyi dan Yang

Satu, dilihat dari segi nama-nama-Nya, Tuhan adalah imanen,

musyabbah (serupa dengan alam), Yang Tampak dan Yang Banyak.

Tuhan sebagai satu-satunya Wujud Hakiki, Zat Mutlak yang munazzah,

Yang Tersembunyi dan Yang Satu, menampakkan diri-Nya melalui

nama-Nya dalam banyak bentuk yang tidak terbatas pada alam.35

3j Abdul Aziz Dahlan, et al, op. cit, him. 166 34 Abdul Aziz Dahlan, et al, loc. cit

(43)

Doktrin wahdatul wujud Ibn ‘Arabi telah menimbulkan suatu

perdebatan panjang yang tidak berkesudahan selama berabad-abad

antara para ulama yang mengecamnya, dan para ulama yang

mendukungnya. Para ulama yang mengecam doktin wahdatul wujud

memandang doktrin ini sebagai ajaran sesat, kufur, dan bid’ah.

Sebaliknya, para ulama yang mendukung doktin wahdatul wujud

mengakui bahwa doktrin ini adalah tauhid yang paling tinggi.

4. Abdurrauf Singkel

Dalam konsep wahdatul wujud Abdurrauf, pembahasannya

meliputi tentang hubungan antara Tuhan, alam dan manusia.

Pembahasan tentang paham wahdatul wujud, Abdurrauf dimulai dengan

penegasan tentang tauhid bagi pemeluk agama Islam. Karena tauhid

merupakan sebuah konsep yang paling penting yaitu dimana seseorang

bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan yang wajib disembah kecuali

Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.

Fundamen utama dalam agama Islam yaitu aqidah, yang

merupakan hal utama yang dicamkan dalam sanubari kaum muslimin

sebelum ajaran-ajaran yang lain, karena aqidah berisi tentang hubungan

antara Tuhan dengan manusia (hablun min Allah). Hal pertama Yang

yang haras dilakukan oleh umat Islam adalah menyatakan bahwa tidak

ada Tuhan yang wajib di sembah kecuali Allah {la illaha illallah). 36

(44)

Pengakuan tersebut merupakan syarat seseorang dapat diakui sebagai

seorang muslim, karena kesaksian tentang tidak adanya Tuhan selain

Allah sangat penting dalam agama Islam, maka orang yang tidak

bersaksi bahwa Tuhan yang wajib disembah itu hanya Allah, dapat

dianggap kafir. Sebagaimana firman Allah:

t li

AJ°£

Uj

”Beribadahlah kamu sekalian kepada Allah (saja) dan janganlah berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya”. (QS, an

Nisa: 36)37 38

Bagi orang awam mungkin tauhid hanya dijadikan sebuah

pembeda antara dirinya sebagai seorang muslim dengan seorang yang

kafir. Namun bagi seorang sufi, tauhid tidak hanya sebagai pembeda

antara muslim dengan non muslim, namun lebih dari itu tauhid

merupakan sebuah wahana yang terbuka luas untuk menyelami dan

memahami dan sebagai pintu untuk memahami dan masuk dalam

TO realitas hakiki, yaitu al Haq, Allah Swt.

Menurut Abdurrauf makna tauhid yaitu “tindakan

mengaitkan”, oleh karena itu arti kalimat "aku mengesakan Allah

adalah aku mengaitkan Allah dengan sifat Esa, bukan Uaku menjadikan

Allah Esa", karena Keesaan Allah itu telah melekat pada Zat-Nya

sendiri, bukan karena diberikan oleh pihak lain.39

J? Nazri Adlany et al, op.cit, him. 152

(45)

Tauhid merupakan hal yang vital dalam dunia tasawuf,

sebagaimana Abdurrauf menyebutkan bahwasanya penegasan tentang

tauhid dengan mengucapkan la illaha illallah merupakan sebuah

kewajiban yang pertama sebelum seseorang melakukan hal-hal yang lain

(ajaran tasawufnya).

Abdurrauf mendasarkan pandangannya pada sebuah ayat al

Qur’an tentang ke-Esaan Allah:

...i 3 S £ - a

'y iT ji

“Sekiranya pada keduanya (langit dan di bumi) ada Tuhan-tuhan selain Allah, niscaya keduanya binasa”.(Q.S al Ambiyaa’: 22)40

Sehingga dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa tidak

rusaknya langit dan bumi dikarenakan hanya adanya satu Tuhan yaitu

Allah s.w.t.

Kemudian dari konsep tauhid inilah, Abdurrauf kemudian

memulai membicarakan tentang hubungan antara Tuhan dan alam,

antara al Haq dan al khalq, antara al Wujud dan al maujuddat, antara

Wajib al Wujud dan al mumkinat.41

Menurut Abdurrauf alam didefinisikan sebagai berikut:“ nama

untuk segala sesuatu selain al Haq (Allah) Yang Maha Mulia dan Maha

Agung”. Dan Abdurrauf menambahkan bahwa hakikat alam adalah:

“wujud yang terikat dengan sifat-sifat mumkinat (sifat-sifat yang

(46)

mungkin). Oleh karena itulah alam ini dikatakan sebagai sesuatu selain

al Haq (Allah).42

Dari hubungan ontologis antara al Haq dan al khalq, dan

berangkat dari penjelasan tauhid di atas bahwa satu-satunya wujud

adalah Allah {la ilaha ilia Allah), tidak ada wujud selain wujud Allah.

Dengan kata lain, wujud dalam pengertian hakiki hanya milik al Haq,

segala sesuatu selain al Haq tidak memiliki wujud. Jika satu-satunya

wujud adalah al Haq maka di mana kedudukan ontologis al khalq (alam).

Apakah alam identik dengan Tuhan? atau apakah alam tidak mempunyai

wujud sama sekali?43

Pandangan Abdurrauf tentang permasalahan di atas terungkap

dalam Tanbih al Masyi:

“ Dan jika dihubungkan dengan al Haq, alam itu bagaikan bayangan, ia bukanlah hakikat lain di samping hakikat-hakikat Allah yang diketahui sejak zaman azali, dan kemudian memiliki wujud. Karena itu menurut konsep ini, manusia adalah bayangan al Haq, atau bayangan dari bayangan-Nya.”

Dalam kutipan di atas bahwa menurut Abdurrauf, alam tidak

identik secara mutlak dengan al Haq, karena alam hanya merupakan

bayangan-Nya, bukan wujud-Nya. Dengan ini Abdurrauf menegaskan

transendensi Tuhan atas makhluk-Nya. Alam dengan demikian tidak

memiliki wujud tersendiri, karena dia hanya merupakan bayangan

Tuhan, atau bahkan hanya bayangan dari bayangan-Nya. Kehadiran

42 Ibid, him. 46

(47)

bayangan sangat tergantung pada ada dan tidak adanya sumber

bayangan. Oleh karena itu, wujud hakiki yang sebenamya adalah sumber

Dengan pandangan bahwa alam adalah bayangan Allah

semata, berarti Abdurrauf menegaskan bahwa alam bukan benar-benar

zat al Haq, karena anggapan tersebut, menurutnya, akan membatalkan

status al Haq sebagai Pencipta alam raya. Menurut Abdurrauf, sangat

tidak masuk akal jika Sang Pencipta menciptakan zat-Nya sendiri secara

utuh.45 46Abdurrauf mengutip sebuah ayat al Qur’an yang menegaskan

“Pencipta segala sesuatu maka sembahlah Dia” (Q.S al

Abdurrauf juga berdalih bahwa di dalam al Quran, tidak sekali

pun Allah mengatakan bahwa la menciptakan zat-Nya sendiri. Kepada

Nabi Muhammad, Allah mengatakan: Qul Allahu khaliqukulli syai’in

(Katakanlah wahai Muhammad: Allah adalah Pencipta segala sesuatu)

tapi Dia tidak mengatakan Qul Allahu khaliqu ‘ainihi (Katakanlah!

Allah adalah pencipta Zat-Nya sendiri), dan dalam al Quran juga

dikatakan: al hamdu li Allahi rabbi al alamina (segala puji bagi Allah,

Tuhan seru sekalian alam), tidak dikatakan: al hamdu li Allahirabbi

‘ainihi (segala puji Allah, Tuhan zat-Nya sendiri). Satu lagi argumen

44 Ibid, him. 4 6 - 4 7 45 Ibid, him. 48

46 Nazri Adlany, et al, op. cit, him. 256

bayangan tersebut berikut segala sifat yang melekat padanya.44

bahwa:

(48)

yang dikemukakan Abdurrauf adalah, jika alam dalah Zat Allah sendiri,

tentu Dia tidaka akan menitahkan kewajiban-kewajiban syariat yang

memberatkan, seperti puasa, salat dan sebagainya.47

Selain itu jika manusia (alam) benar-benar merupakan Zat

Allah, seharusnya manusia dapat mewujudkan apa saja yang

dikehendaki dan kemudian dikatakannya, dalam sekejap, karena Allah

telah mengatakan dalam al Quran: “Idza arada syai ’in an yaqula lahu

kun, fayakunu (Apabila Dia menghendaki sesuatu, hanyalah berkata

kepadanya: jadilah! maka teijadilah ia)”. Namun, kenyataanya manusia

tidak mampu melakukan hal tersebut, karena kehendaknya tidak bisa

selaulu seiring dengan kehendak Allah. Hal ini menjadi bukti bahwa

manusia, alam atau al khalq tidak identik dengan Allah, secara mutlak.

Dalam hal ini Abdurauf mengutip sebuah hadis qudsi, di mana Allah persulit apa yang engkau inginkan, sehingga tidak akan terjadi

kecuali apa yang Aku inginkan ”.48

Dengan berpijak pada argumen-argumen yang telah

dikemukakan tentang hubungan ontologis antara Tuhan dan alam, dan

kesimpulannya bahwa alam tidak memiliki wujud tersendiri. Dan yang

tidak dapat dipisahkan dalam pembahasan tentang wahdatul wujud

(49)

adalah mengenai pandangan Abdurrauf tentang proses penciptaan alam.

Yang juga menjadi topik pembicaraan di kalangan para sufi.49

Menurut Abdurrauf alam tercipta melalui proses pemancaran

(emanensi, al faid) dari zat Allah. Ia menyamakan proses keluamya alam

tersebut dengan proses keluamya pengetahuan dari Allah. Dengan

demikian, meskipun alam bukan zat Allah secara mutlak, namun ia juga

tidak berbeda dengan-Nya secara mutlak pula, karena alam bukan wujud

kedua yang benar-benar terpisah dari-Nya.50

Allah sendiri menurut Abdurauf tetap seperti keadaan-Nya di

zaman azali. Ia tidak mempunyai sekutu, karena Ia ada sebelum segala

sesuatu tercipta. Setelah alam tercipta melalui pancaran-Nya, Allah tetap

tidak berubah, sedangkan alam bersifat hadis (bam), karena ia hanya

sebagai pancaran dari wujud Allah. Tingkat wujudnya tidak kemudian

sejajar dengan wujud Allah (rutbah al m a’iyyah), melainkan karena di

bawah-Nya (rutbah al taba ’iyah).51

Demikianlah pandangan-pandangan Abdurauf dalam Tanbih al

Masyi, baik tentang hubungan ontologis antara Tuhan dan alam, maupun

tentang proses penciptaan alam. Bagi Abdurrauf, semua yang telah

dikemukakannya itulah yang ia namakan sebagai doktrin wahdatul

wujud (kesatuan wujud), jadi alam menurut konsep wahdatul wujud

49 Oman Fathurrahman, loc. cit Ibid, h lm .4 9 -5 0

(50)

Abdurrauf, bukan merupakan wujud kedua yang benar-benar terpisah

dari al Haq, karena ia adalah pancaraan dari zat-Nya.

Dalam hal ini, berarti Abdurrauf mengemukakan konsep

imanensi (penyatuan) Tuhan dalam alam (tasybih, al faid). Akan tetapi,

alam juga bukan al Haq secara mutlak, melainkan sekedar bayangan-

Nya, atau bahkan bayangan dari bayangan-Nya, karena Tuhan adalah

Zat Yang Esa, tidak ada sesuatu pun yang menyertai-Nya (la syarika

lahu), meskipun Ia selalu menyertai segala sesuatu (al Muhit). Dalam hal

ini, Abdurrauf tetap mempertahankan konsep transendensi Tuhan atas

ciptaan-Nya (tanzih, al zill).52 53

Dasar yang digunakan Abdurrauf untuk mendukung

pandangannya tentang imanensi Tuhan atas ciptaan-Nya yaitu sebuah

hadis: “Z)a« Dia bersama kamu dimana saja kamu berada” dan untuk

menunjukkan transendensi-Nya, berdasarkan hadis: “Allah tetap seperti

ada-Nya, tak ada sesuatu pun yang menyertai-Nya

Dari uraian di atas dapt diambil kesmpulan bahwa Abdurrauf

merupakan tokoh yang menganut paham bahwa satu-satunya wujud

hakiki adalah Allah, sedangkan alam ciptaan-Nya bukanlah wujud

hakiki, tapi wujud bayangan, yakni bayangan dari wujud hakiki. Dengan

demikian jelas bahwa Tuhan lain dari alam atau alam lain dari Tuhan.

Kendati begitu antara bayangan (alam) dengan yang memancarkan

bayangan (Tuhan) tentu terdapat keserupaan, pada alam yang tampak

(51)

ini, Tuhan menampakkan diri-Nya (tajalli).54 Sifat-sifat Tuhan secara

tidak langsung tampak pada manusia, dan secara relatif paling sempuma

pada insan kamil.55

Dari kesemua pandangan tentang wahdatul wujud maka disini

perlu ditegaskan bahwa betapapun asyiknya seorang hamba terhadap

Allah s.w.t, Khalik dan makhluk tetap memiliki arti sendiri.

54 Harun Nasution, et al, “Abdur-Rauf As-Singkel"Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992, hlm.33

(52)

BAB IV

IMPLIKASI PANDANGAN WAHDATUL WUJUDABDURRAUF

SINGKEL DALAM PENDIDIKAN TAUHID

A. Pengertian Pendidikan Tauhid

Pendidikan dalam bahasa Arab berasal dari kata keija “rabbet” yang

merupakan kata keija dari “tarbiyah” yang memiliki beberapa arti antara

lain mengasuh, mendidik dan memelihara.1 2

Dari pengertian di atas pendidikan bertujuan untuk mengasuh,

mendidik, dan memelihara anak didik untuk mengembangkan potensinya

agar sesuai dengan fitrahnya.

Ditinjau dari asal bahasanya istilah tarbiyah menurut Abdurahman al

Bani terdiri atas empat unsur yaitu:

1. Menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang baligh

2. Mengembangkan seluruh potensi dan kesiapan yang bermacam-macam

3. Mengarahkan seluruh fitrah dan potensi ini manusia menuju kepada

kebaikan dan kesempumaan yang layak baginya

4. Proses ini dilaksanakan secara bertahap.

1 Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, Aditya Media, Yogyakarta, 1992, him. 14

(53)

Pendidikan ialah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan

anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya kearah

kedewasaan.3

Orang dewasa dalam mendidik, haruslah mengetahui perkembangan

anak didik, baik rohani maupun jasmaninya, supaya dalam proses

pendewasaanya dapat sesuai dengan taraf pemikiran anak. Agar nantinya ia

dapat menjadi insan yang sempuma sesuai dengan perkembangan jasmani

dan rohaninya.

Pendidikan menurut Noeng Muhadjir adalah aktivitas interaksi

antara pendidik dan subyek-didik untuk mencapai tujuan baik dengan cara

baik dalam konteks positif.4 5

Proses belajar yang baik dalam mendewasakan anak didik haruslah

setiap pendidikan itu mempunyai tujuan-tujuan yang baik sesuai dengan

ajaran Islam dan dicapai melalui dengan jalan yang digariskan oleh agama

Islam sesui dengan al Qur’an dan as Sunnah.

Maka pendidikan Islam adalah pembentukan kepribadian muslim,

yang mempunyai ciri perubahan sikap dan tingkah laku sesuai dengan ajaran

Islam.3

3 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis Dan Praktis, CV. Remaja Karya, Bandung, 1988, him. 11

4 Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan Dan Perubahan Sosial Suatu Teori Pendidikan, Rake Sarasin, Yogyakarta, 1993, him. 4

(54)

Hakekat dari diselenggarakannya pendidikan dalam Islam tidak lain

adalah membentuk kepribadian seorang insan kamil yang tujuan akhimya

hanyalah untuk menyembah kepada Allah s.w.t.

Kata tauhid bermakna pemyataan Keesaan Allah, “tiada Tuhan

melainkan Allah, la ilaha Illallah”, kalimat tauhid ini adalah poros utama

dalam Islam.6 Keyakinan tentang adanya Allah Yang Maha Esa, yang tidak

ada sesuatupun yang menyamai-Nya dalam Zat, Sifat atau perbuatan-

perbuatan-Nya.7

Keyakinan kepada Allah dalam zat, sifat maupun perbuatannya

sangatlah penting bagi kaum muslimin karena tonggak ajaran Islam

tertumpu pada kalimat tauhid la ilaha illallah, kalau pondasinya kuat maka

seterusnya akan kokoh pula.

Pendidikan Tauhid dapat diartikan secara umum sebagai, pendidikan

yang diarahkan untuk mengesakan Allah s.w.t, dan menolak Tuhan-tuhan

yang lain selain Allah sebagai sesembahan.

Dalam sebuah aktivitas pendidikan tidak dapat dilepaskan dari

berbagai unsur pendidikan, agar nantinya proses pendidikan tersebut dapat

menciptakan hasil yang sesuai dengan tuntutan zaman. Di antara unsur-

unsur tersebut mempunyai keterikatan yang erat sehingga antara unsur satu

dengan unsur yang lainnya dapat bersinergi mewujudkan cita-cita dari

6 Amatullah Armstrong, Kunci Memasuki Dimia Tasawuf, Mizan, Bandung, 1996, him. 293

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Muhammad Abduh menawarkan sebuah pembaharuan dalam dunia pendidikan Islam bahwa dengan menggunakan akal, manusia akan lebih mudah

Relevansi kafa’ah dalam pendidikan keluarga adalah sangat penting karena orang tua adalah pendidik mempunyai kompetensi agama Islam yang kuat, materinya bersumber dari

Faktor-faktor pendukung pelaksanaan pendidikan agama Islam dalam keluarga dapat dikategorikan menjadi dua, yakni faktor internal adalah: Wawasan dan pengetahuan orang tua tentang

Islam sangat menghargai manusia karena akal pikirannya. Kewajiban agama Islam hanya ditujukan kepada orang-orang yang memiliki akal pikir yang baik. Selain itu manusia

Kemudian penyebutan Tuhan dengan kata Allah berkaitan dengan persoalan peribadatan kepada Allah (uluhiyyah) yakni hanya Allah yang berhak disembah, dan Allah itu Maha Esa,

Perlu kita ketahui bersama, dalam penulisan sebuah karya ilmiah, penelitian, atau apapun itu, sangat penting bagi kita untuk mengetahui sejauh mana tulisan itu asli, serta

menjawab, ”Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat;

(2) Didunia pendidikan Islam, implikasi kesehatan mental dalam Pendidikan Agama Islam diantaranya a) Kesehatan mental dan Pendidikan Agama Islam memiliki hubungan