DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN TAUHID
Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Pendidikan Islam (S.Pd.I)
SKRIPSI
Disusun oleh:
MUAZIN
11102053
JURUSAN T ARBI YAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SALATIGA
Jl. Stadion No. 03 Telp. (0298) 323706, 323433 Salatiga 50721
Website: www.stainsalaliga.ac.id E-mail: administrasiia stain.salatiua.ac.id
PENGESAHAN
Skripsi Saudara: Muazin dengan Nomor Induk Mahasiswa 11102053 yang
berjudul:
KONSEP WAHDATUL WUJUD MENURUT ABDURRAUF SINGKEL DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN TAUHID
Telah dimunaqosyahkan dalam sidang Panitia Ujian, Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri Salatiga pada hari: Sabtu, tanggal: 6 September 2006 M yang
bertepatan dengan tanggal: 12 Ruwah 1427 H dan telah diterima sebagai bagian
dari syarat-syarat untuk memperoleh gelar Saijana dalam ilmu Tarbiyah.
Salatiga, 6 September 2006 M 12 Ruwah 1427 H
Jl. Tentara Pelajar No. 2 Telepon (0298) 323706, 323433, faks. 3234333 Kode Pos 50721
NOTA PEMBIMBING
Salatiga, 01 Agustus 2006
Lamp : 1 (satu) naskah
Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
Yth. Ketua STAIN Salatiga
Di Salatiga
Assalamualaikum Wr. Wb
Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka bersama ini,
kami kirimkan naskah skripsi mahasiswa:
Nama : Muazin
NIM : 11102053
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Judul : KONSEP WAHDATUL WUJUD MENURUT ABDURRAUF
SINGKEL DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN
TAUHID
Untuk diujikan dalam Sidang Munaqasyah Skripsi
Demikian harap menjadi periksa.
Wassalamualaikum Wr. Wb
“TfUidiipan D i Dunia Ini Jfanya “Mampir !Ngom6e”
fipa Tang TeCaH Tjiu Siapdgn Vntu^Kfdufupan Tang Se6enamya? ”
“Manusia Dengan VsaHanya (Dan Tudan Dengan Taf(dir-Nya”
y
(
Bapaf^dan i6u yang tercinta serta HeCuargaku yang teCaH mendo ’afigndan meme6eriHan perHatian 6ai
£
moriC maupun materiiC daCarnpem6uatan sHripsi ini
y Teman-temanHu sepeijmngan {(DHuHa, (DHopar, Tpsyid, JLCif, Tppif^
(YuCianto
,
(Djafarin, Mas Tat, Mas JAriefdan HeCuarga 6esarJLCManar}y SaHa6at - saHa6atHu di mapaCa MITJATJASA (Amef^ TfHer, Cemot,
Cermitd, (Pencor
;
Sonto, 0 6 i M a ' e , (Denof^ Vina, Iis, Qaci, Chino,Tent Ho C, QenduCdan semuayang teCaH menemaniHu mendaki gunung J
y M y soHi6 {TaiHfian, Jiniq, Tais, Tay, Sa6iC, Tauzan, Oamroni, Vmam,
Tfur TCadi, Jlgus SaCim, Tny, Tvy, Vmy, Yusy, SianieH^ IndaH, Listari,
I Ha, Navif^dan semua temen-temen waHtu 6ercanda 6ersama
J V l j J j —<^Jl(^JLP j a^L^aJl j la-bj^* lSL>j < * * j t £ j i I j J - a uj l*J->
Segala puji bagi Allah dengan semua pujian yang mampu memenuhi
nikmat-nikmat-Nya dan mencukupi tambahan-Nya, dan shalawat beserta salam
kiranya terlimpah kepada al Musthafa. Sang Rasul yang terjaga dan mulia, serta
berlimpah pula kepada keluarga, para sahabat dan pengikut yang setia.
Berkat rahmat Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, skripsi ini
dapat penulis selesaikan, meskipun masih banyak kekurangan. Dalam kesempatan
inilah penulis mengharapkan kritik dan saran kepada semua pihak demi
kesempuman selanjutnya, dan akhimya penulis mendapat ilmu yang bermanfaat
di dunia maupun di akhirat.
Dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mengakhiri program studi
tingkat sarjana (SI) pada Jurusan Tarbiyah STAIN Salatiga, maka penulis
mengajukan skripsi yang beijudul: “Konsep Wahdatul Wujud Menurut Abdurrauf
Singkel Dan Implikasinya Dalam Pendidikan Tauhid”.
Secara keseluruhan penulisan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan dan
petunjuk dari bapak pembimbing serta bapak/ibu dosen lainnya, oleh karena itu
penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Ketua STAIN Salatiga
2. Bapak Drs. Miftahuddin, M.Ag, selaku Ketua Progdi PAI
3. Bapak Drs. Djuz’an, M.Hum, selaku pembimbing skripsi
HALAM JUDUL
HALAMAN NQTA PEMBIMBING
HALAMAN MOTTO
HALAMAN PERSJCMBAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : Pendahuluan... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah... 7
C. Penegasan Istilah... 7
D. Tujuan Penelitian... ... 9
E. Manfaat Hasil Penelitian... ... ' ... 9
F. Metode Penelitian... 9
G. Sistematika Penulisan Skripsi... ... 11
BAB II : Mengenal Abdurrauf Singkel... 13
A. Biografi Abdurrauf Singkel... 13
B. Situasi Kondisi Sosio Budaya... 13
C. Latar Belakang Pendidikan dan Guru-guru Abdurrauf S ingkel... 15
D. Karya - Karya Abdurrauf Singkel... 17
BAB III : Konsep Wahdatul Wujud menurut Abdurauf Singkel... 21
2. AlHallaj... 30
3. Ibnu ‘Arabi... 32
4. Abdurrauf Singkel... 35
BAB IV : Implikasi pandangan wahdatul wujud Abdurrauf Singkel dalam Pendidikan Tauhid... 44
A. Pengertian Pendidikan Tauhid... 44
B. Unsur-unsur Pendidikan... 47
a) Anak Didik/Siswa... 47
b) Pendidik/Guru... 49
c) Materi... 56
d) Metode... 60
e) Lembaga/Lingkungan... 69
f) Media Pendidikan Islam... 73
BAB V : Penutup... 76
A. Kesimpulan... 76
B. Saran... 78
C. Penutup... 78
MENURUT ABDURRAUF SINGKEL
DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN TAUHID
A. Latar Belakang Masalah
Agama Islam masuk ke Indonesia melalui berbagai cara/saluran.
Salah satu cara masuknya agama Islam ke daerah Aceh yaitu dengan saluran
tasawuf.1 Ini sesuai dengan argumen yang mengatakan bahwa Islam pertama
kali masuk kenusantara adalah Islam yang dibawa kaum sufi, tegasnya Islam
sangat dipengaruhi konsepsi-konsepsi tasawuf.2
Dengan tasawuf para sufi mengajarkan ajaran Islam kepada
penduduk pribumi lebih mudah karena sebelum kedatangan agama Islam
penduduk pribumi telah menganut agama Hindu dan Budha. Dalam ajaran
tasawuf mempunyai banyak persamaan dengan alam pikiran mereka yang
dahulunya memeluk agama Hindu dan Budha. Salah seorang tokoh penyebar
agama Islam dengan metode tasawuf yaitu Hamzah Fansuri -selanjutnya di
tulis Hamzah saja- (w. 1016/1607)).
Beliau adalah seorang tokoh yang berasal dari Kota
Barns. Pada waktu itu merupakan daerah kekuasaan Aceh Damssalam, yang
dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Hamzah adalah salah seorang tokoh yang mempunyai andil
yang besar dalam khasanah keilmuan Islam, salah satunya yaitu mengenai
1 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, PT.Raja Grafindo Persada, JaKare
2 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara AbadXVII Dan XVIII, Mizan, Bandung, 1994, him. 45
berbagai risalah dan syair-syair tasawuf, melalui risalah dan syair tersebut
beliau mengajarkan tentang tasawuf khususnya paham wahdatul wujud
(wujudiyah), dalam ajaran ini menganggap imanensi Tuhan dalam alam secara
mutlak.
Namun sejarah mencatat pada masa pemerintahan Sultan Iskandar
Sani (1637-1641) ajaran wahdatul wujud ini mendapat kritikan yang tajam
dari seorang sufi besar sekaligus tokoh penganut tarekat Rifa’iyah, beliau
adalah Nuruddin ar Raniri (w. 1068/1658) -selanjutnya di tubs ar Raniri-
beliau ailahirkan di Ranir (Randir) sebuah kota pelabuhan tua di pantai
Gujarat. Namun secara umum ar Raniri dianggap sebagai seorang alim
Melayu-Indonesia dari pada India atau Arab.
k
Ar Raniri menganggap ajaran yang diusung oleh Hamzah Fansuri
merupakan paham yang sesat. Ar Raniri mengklaim Hamzah Fansuri beserta
pengikutnya kafir, karena dianggap menyimpang dari akidah Islam.
Perseteruan tersebut terjadi pada abad 17. Perdebatan tentang paham
wujudiyah ini lebih di kenal sebagai perdebatan tentang a ’yan thabitah (esensi
segala sesuatu)/
Puncak perseteruan antara Hamzah dengan ar Raniri yang tidak f
terselesaikan di atas, mengakibatkan tragedi yang sangat mengerikan yaitu
pembakaran karya-karya Hamzah dan pengejaran serta pembunuhan terhadap *
pengikutnya yang dilakukan oleh ar Raniri dan tindakan ini didukung penuh
oleh Sultan Iskandar Sani.
Akibat kontroversi paham wahdatui wujud tersebut berdampak
lama dan meluas di kalangan masyarakat Aceh. Untuk itu perlu adanya
counter untuk meredam perseteruan atau pergumulan yang di akibatkan
perbedaan interpretasi antara Hamzah dengan ar Raniri.
Sebelumnya konsep wahdatui wujud diperkenalkan oleh seorang
tokoh yang bemama Sadruddin Qunawi (w.1274) yang mempunyai pengertian
positif, namun telah diartikan negatif oleh Ibn Taimiyyah (w.1328). Qunawi
menghubungkan pengertian wahdat al wujud dengan tauhid dan Taimiyyah
dengan panteisme.*
Panteisme merupakan sebuah konsep tentang ketuhanan yang
berpendapat bahwa seluruh kosmos ini adalah Tuhan. Semua yang ada dalam
keseluruhannya adalah Tuhan dan Tuhan ialah semua yang ada dalam
keseluruhannya. Benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca indra
adalah bagian dari Tuhan, diumpamakan: manusia, lampu, pohon, meja, kursi,
rokok, yang intinya semua yang dapat di panca indra adalah semuanya bagian
dari Tuhan. Karena Tuhan adalah kosmos ini dalam keseluruhannya dan
karena benda-benda adalah bagian dari Tuhan. Maka Tuhan adalah dalam
panteisme hanya ada satu, namun dalam pandangan paham ini Tuhan
mempunyai bagian-bagian. Dalam panteisme Tuhan Yang Maha Besar itu
hanya ada satu, dan tak berubah. Alam panca indra yang dilihat berubah ini, 4
dan yang mana bagian dari Tuhan, adalah ilusi atau khayal belaka, jadi yang
ada hanya ada satu yaitu Tuhan.3
Salah seorang tokoh yang dalam kitab-kitabnya waiaupun tidak
secara langsung untuk menanggapi perselisihan antara Hamzah dan ar Raniri
namun dalam kontek Aceh saat itu maka dari tulisannya dapat dianggap
sebagai tanggapan maupun kritik dalam menyikapi perseteruan antara
Hamzah dan ar Raniri. Beliau yaitu Abdurrauf Singkel (10241105)
-selanjutnya ditulis Abdurrauf saja- yang pada waktu teijadi perseteruan
tentang paham wahdatul wujud Abdurrauf masih remaja dan untuk menambah
ilmu agamanya, beliau hijrah ke tanah Arab selama 19 tahun disana beliau
menuntut ilmu dari berbagai bidang ilmu, baik ilmu lahir (fiqh, hadits, tafsir,
*
dll) maupun ilmu batin (tasawuf).
Setelah itu Abdurrauf kembali ke tanah Aceh, sebagai mana
disebutkan di atas perseteruan tentang wahdatul wujud masih memanas
diantara para tokoh sufi ortodoks dengan para penganut ajaran wujudiyah.
Dalam kitab-kitab Abdurrauf khususnya kitab Tanbih Al Masyi
beliau memberikan interpretasi mengenai doktrin wahdatul wujud, dalam
memahami doktrin tersebut Abdurrauf memadukan antara tasawuf falsafi dan
tasawuf amali sehingga dalam menanggapi doktrin wujudiyah beliau
mengambil sikap tidak cenderung kapada salah satu pihak yang bertikai,
melainkan berdiri di tengah-tengah sebagai juru damai dan tindakan ini tidak
lepas dari guru intelektualnya al Kurani yang dikenal sebagai seorang juru 5
damai yang lebih suka mendamaikan dua sudut pandang yang bertentangan
daripada memilih salah satu diantara keduanya.6
Di satu sisi Abdurrauf bemsaha mengemukakan interpretasi sendiri
atas doktrin wujudiyah agar dapat diterima para ulama sufi dan para fuqaha’.
Dalam interpretasi doktrin wahdatul wujud Abdurauf lebih kompromistis dan
lebih moderat.
Kemudian adakah implikasinya pandangan Abdurauf tentang
wahdatul wujud dengan pendidikan tauhid. Kalau paham wahdatul wujud
dikaitkan dengan pendidikan tauhid dapat diambil beberapa faktor yang perlu
dikaji, yaitu bagaimana seharusnya unsur-unsur dalam pendidikan yang
meliputi: anak didik, pendidik, materi, metode, lingkungan, media dan
*
sebagainya yang kesemuanya kemudian dikaitkan dengan konsep wahdatul
wujud / pendidikan yang dilandaskan pada keimanan.
Dalam pendidikan Islam khususnya mengenai pendidikan tauhid
keimanan merupakan fundamen yang paling utama dalam Islam. Iman Dalam
pendidikan Islam khususnya mengenai pendidikan tauhid, keimanan
merupakan fundamen yang paling utama dalam Islam. Iman sebagai
fundamen utama apabila tertanam secara kuat maka akan mempengaruhi
seluruh proses pendidikan pada khususnya dan pada umumnya dalam proses
menjalani kehidupan di dunia ini.
Sebagaimana diketahui bahwa Islam mengandung berbagai ajaran-
ajaran yang kesemuanya itu bepusat pada iman, salah satu contoh ajaran Islam
yaitu tentang aspek syari’ah, ia merupakan perwujudan dari aspek akidah.
Orang percaya pada kepada Allah perlu mengimplementasikan perintah-
perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Allah dalam mengatur
manusia di dunia telah menyiapkan aturan-aturan yang dapat membantu untuk
memakmurkan muka bumi, karena manusia diciptakan oleh Allah adalah
sebagia khalifah fil ardhi, maka perlu ada pandangan hidup untuk mengatur
kamaslahatan manusia di muka bumi.
Manusia merupakan makhluk sosial maka, perlu aturan-aturan
yang dapat menjadikan antar hubungan dapat berjalan sesuai aturan Allah,
4
maka Allah membuat aturan yang berhubungan dengan semua aktivitas
manusia. Sebab manusia sendiri tidak dapat dilepaskan dari berbagai
hubungan, baik itu hubungan dengan Tuhan (hablun min Allah) hubungan
dengan manusia (hablun min al nas) maupun hubungan dengan alam (hablun
min al-alam) atau sering di sebut hubungan tripartiat7
Berangkat dari latar belakang di atas penulis tertarik untuk
mengkaji lebih lanjut mengenai pandangan Abdurrauf mengenai doktrin
Wahdatul Wujud dan selanjutnya mengimplikasikannya dalam pendidikan
tauhid.
D. Tujuan Penelitian
Segala sesuatu yang di laksanakan secara sadar pasti mempunyai
tujuan yang ingin di capai, maka tujuan penulisan penelitian ini adalah:
Untuk mengetahui pandangan Abdurrauf tentang ajar an wahdatul
wujud dan implikasinya dalam pendidikan tauhid.
E. Manfaat Hasil Penelitian
Adapun manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1) Memberikan sumbangan keilmuan tasawuf yang dilakukan oleh Abdurrauf
mengenai doktrin -wahdatul wujud
2) Bagi lembaga (STAIN), menjadi literatur tambahan dalam khasanah
keilmuan sufistik {tasawuf) dan pendidikan tauhid
F. Metode Penelitian
Untuk mengumpulkan data penulis menempuh riset kepustakaan
terhadap data yang menyangkut dan membicarakan permasalahan yang
penulis teliti.
1. Sumber Data
i
Karena sifat penelitian ini literer maka datanya bersumber dari
literer. Adapun yang menjadi sumber data primer adalah buku Menyoal
Tauhid karangan Syaikh Abdurrahman Bin Nasir As Sa’di, Pinsisp-
Prinsip Dan Metoda Pendidikan Islam oleh Abdurahman an Nahlawi.
2. Metode komparatif
Penelitian komparasi bertujuan untuk menemukan persamaan-
persamaan dan perbedaan-perbedaan tentang benda-benda, tentang
orang, tentang prosedur, keija, tentang ide-ide, kritik terhadap orang,
kelompok, terhadap suatu ide atau suatu prosedur keija. Dapat juga
membandingkan kesamaan pandangan dan perubahan-perubahan
pandangan orang, grup atau negara, terhadap kasus, terhadap orang,
peristiwa, atau terhadap ide-ide.13
Metode komparasi ini penulis gunakan supaya memperoleh
gambaran yang jelas tentang pemikiran Abdurrauf Singkel tentang
wahdatul wujud, yang membedakan dengan pemikiran umum, yaitu
dengan membandingkan pemikiran tokoh yang dimaksud dengan
pemikiraan yang lain entah dekat dengannya atau justru sangat berbeda.
Karena penelitian ini bersifat literer maka penulis menggunakan
penelitian kepustakaan yaitu menelaah sumber-sumber buku-buku yang
ada kaitannya dengan judul yang penulis angkat.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam mencema masalah yang dibahas, penulis
menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I :
C. Latar Belakang Pendidikan dan Guru-guru Abdurrauf
Singkel
D. Karya - Karya Abdurrauf Singkel.
Konsep Wahdatul Wujud menurut Abdurauf Singkel
A. Pengertian Wahdatul Wujud
B. Teori-Teori Tentang Paham Wahdatul Wujud
1. Abu Yazid A1 Bustami
2. AlHallaj
3. Ibnu ‘Arabi
4. Abdurrauf Singkel
Implikasi pandangan wahdatul wujud Abdurrauf Singkel
A. Pengertian Pendidikan Tauhid
B. Unsur-unsur Pendidikan
BAB V : Penutup
A. Kesimpulan
BAB II
MENGENAL ABDURRAUF SINGKEL
A. Biografi Abdurrauf Singkel
Nama Abdurauf Singkel dalam ejaan Arab adalah ‘Abd al Ra’uf
bin ‘Ali Al Jawiy Al Fansuriy al Singkiliy. Beliau adalah seorang Melayu
dari Fansnr tepatnya di daerah Singkel yaitu daerah sebelah barat laut Aceh.
Ayahnya adalah seorang Arab bemama Syaikh ‘Ali. Mengenai tahun
kelahiran tidak ada yang mengetahui tepatnya, namun diperkirakan beliau
lahir pada tahun 1615. Nenek moyang Abdurrauf Singkel berasal dari Persia
yang datang ke Sultanan Samudra Pasai pada akhir abad ke-13. Kemudian
mereka menetap di Fansur (Barus), sebuah kota pelabuhan tua yang penting
di daerah pantai Sumatra Barat.1
Abdurrauf meninggal dunia pada tahun 1693 dan dimakamkan di
sebelah makam Teungku Anjong yang di anggap paling keramat di Aceh,
dekat Kuala sungai Aceh.2
B. Situasi Kondisi Sosio Budaya
Semasa karimya menjadi seorang ulama besar Abdurrauf
mengalami berbagai corak perkembangan politik di kesultanan Aceh. Ciri
yang paling menarik di periode ini adalah bahwa kesultanan diperintah oleh
empat sultanah berturut-turut hingga akhir abad 17. Salah satu Sultanah
1 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVIIDan XVIII, Mizan, Bandung, 1994, him. 190
tersebut yaitu Safiyyatuddin, yang menggantikan suaminya Iskandar Sani
pada 1051/1641. Di bawah kepemimpinannya yang relatif lama hingga
1086/1675, kesultanan mengalami banyak kemunduran, banyak wilayah di
bawah kekuasaanya di semenanjung Melayu dan Sumatera melepaskan dari
kekuasaan Aceh, dan perlu diingat kontroversi mengenai paham wahdatul
wujud pada saat kepemimpinannya pun masih berlangsung 3
Pada masa pemerintahan Sultanah Safiyyatuddin, Abdurrauf
diangkat sebagai Qadhi Malik Al Adil yang bertanggung jawab terhadap
berbagai masalah keagamaan. Oleh karenanya, sebagai wuj ud loyalitasnya
kepada Sultanah, Abdurauf jadi berkepentingan untuk meredakan
ketegangan yang terjadi akibat kontroversi doktrin wujudiyah pada masa
pemeintahan Sultan Iskandar Sani.4
Dengaan demikian sepanjang kariemya di Aceh, Abdurrauf
mendapat perlindungan dari para sultanah. Dari perlindunag para sultanah
tersebut beliau mengarang berbagai kitab yang membicarakan berbagai
bidang keilmuan diantara kitab-kitab tersebut membahas tentang fiqh, tafsir,
kalam dan tasawuf.
Dalam kitab-kitabnya Abdurauf menunjukkan bahwa perhatian
utamanya adalah rekonsiliasi antara syariat dan tasawuf, atau antara yang
bathin dengan yang dhahir, jadi ajaran-ajaran yang disebarkan di Melayu-
Indonesia adalah ajaran-ajaran yang termasuk ke dalam Neo-sufisme.
3 Ibid, him. 199
Terlepas dari berbagai masalah pertikaian mengenai doktrin
wahdatul wujud di atas, pada saat itu Aceh mulai dari abad 16-18
merupakan sebuah Kerajaan yang tampil sebagai kekuatan politik yang
besar di kawasan Melayu-Indonesia. Aceh mempunyai pengaruh yang besar
dalam penyebaran agama Islam.5
C. Latar Belakang Pendidikan dan Guru-guru Abdurrauf Singkel
Mengenai latar belakang pendidikan, tampaknya Abdurauf
semasa masih kecil sudah mulai belajar agama di daerah kelahirannya, baik
dari ayahnya sendiri, yang merupakan seorang yang alim yang juga
mendirikan sebuah madrasah, maupun kepada para ulama setempat lainnya,
selanjutnya ia meneruskan pendidikannya di Fansur.
Karena pada waktu itu negeri itu adalah pusat Islam yang penting
dan merupakan titik penghubung antara Melayu dengan muslim dari Asia
Barat dan Asia Selatan. Hingga pada sekitar tahun 1642, ia mengembara
untuk menambah ilmu pengetahuan agama ketanah Arab.6
Sebelum Abdurrauf mengembara ke tan ah Arab, sekitar tahun
1642, Aceh ditandai kontroversi dan pertikaian antara penganut doktrin
wujudiyah dan pengikut ar Raniri, sehingga sebelum ia pergi ke Arabia,
Abdurrauf mengetahui tentang ajaran Fansuri dan Syams al Din serta fatwa
dan penganiayaan yang di jatuhkan ar Raniri atas para pengikut mereka.7
5 Soekama Karya, et al, Ensiklopedi Mini Sejarah Dan Kebudayan Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta 1966, him. 190
Abdurrauf meninggalkan Aceh dan mengembara ke tanah Arabia
sekitar pada tahun 1642. Ketika beliau di tanah Arab dalam tulisannya beliau
menyebutkan beberapa daftar guru yang pemah beliau jadikan guru, tidak
kurang dari 15 orang guru, dari mereka dia mempelajari berbagai cabang
disiplin Islam, dan 27 ulama terkenal lainnya yang dengan mereka dia
mempunyai kontak dan hubungan pibadi, dan 15 tokoh mistik kenamaan di
Jeddah, Mekkah, Madinah, Mokha, Baith al Faqih dan lain-lain.*’
Dari sekian banyaknya guru Abdurrauf, hanya ada beberapa
orang yang sangat berpengaruh terhadap pemikiran-pemikiran beliau. Di
antara guru-guru yang sangat berpengaruh pada dirinya yaitu Ahmad al
Qusyasyi, beliau merupakan guru spiritualnya di Madinah, dari Qusyasyi
Abdurrauf belajar tentang ilmu-ilmu bathin (tasawuf) dan ilmu-ilmu yang
terkait lainnya, beliau menuntut ilmu kepada Qusyasyi sampai mendapat
ijazah untuk menjadi khalifah dalam tarekat Syatariyyah dan Qadiriyyah,
kemudian pada tahun 1660 Qusyasyi meninggal dunia.8 9
Kemudiaan setelah itu Abdurrauf menuntut ilmu kepada Ibrahim
al Kurani, dari beliau ia mempelajari berbagai ilmu pengetahuan selain
tasawuf yang menimbulkan pemahaman intelektual tentang Islam dan
bukannya pengetahuan tentang mistis atau spiritual. Dengan kata lain bagi
Abdurrauf, Qusyasyi lebih merupakan guru spiritual dan mistisnya,
sementara al Kurani menjadi guru intelektualnya.10
8 Oman Fathurahman, op. cit, him. 27 9 Azyumardi Azra, op. cit, him. 195
D. Karya-karya Abdurrauf Singkel.
Sebagai ulama besar dan menguasai berbagai bidang disiplin
ilmu keagamaan dan juga mendapat perlindungan dari Sultanah Shaffiyat al
Din dan beliau juga mendapat jabatan sebagai Qadhi Malik al ‘Adil, sebagai
ulama besar beliau telah menghasilkan berbagi karangan yang mencakup
bidang fiqh, tasawuf, tafsir, hadis dan ilmu-ilmu agama lainnya.
Beberapa karangan beliau yang dihubungkan dengan Abdurrauf dalam
bidang fiqh dan keagamaan, antara lain:
1. Mir’ah at Tullab fi Tashil Ma ’rifah al Ahkam asy Syar ’iyyahli al Malik
al Wahhab (Cermin Para Penuntut Ilmu, Untuk Memudahkan
Mengetahui Hukum-hukum Syara’ Tuhan)
2. Bay an al Arkan (Penjelasan Rukun-rukun)
3. Bidayah al Baligah (Permulaan yang Sempuma)
4. Majmu ’ al Masa ’il (Kumpulan Masalah)
5. Fatihah Syaaikh ‘Abd ar R a’u f (Metode Bacaan Fatihah Syaikh
Abdurauf)
6. Tanbih al ‘Amil f i Tahqiq an Nawafil (Peringatan bagi Orang yang
mentahqiqkan Kalam Sembahyang Sunat)
7. Sebuah uraian mengenai Niat Sembahyang
8. Wasiyah (Tentang Wasiat-wasiat Abdurrauf kepada muridnya)
9. Doa yang di Anjurkan oleh Syaikh ‘Abd arRauf Kuala Aceh
10. Sakaratul Maut (Hal-hal yang di alami Manusia menjelang ajalnya)
11. Tanbih al Masyi al Mansub ila Tariq al Qusyasyi (Pedoman bagi Orang
yang Menempuh Tarekat Qusyasyi)
12. ‘Umdah al Muhtajin ila Suluk Maslak al Mufaidin (Pijakan bagi Orang-
orang yang Menempuh Jalan Tasawuf)
13. Sullam Mustafidin (Tangga setiap Orang yang Mencari Faidah)
14. Piagam tentang Zikir
15. Kifayah al Muhtajin ila Masyrab al Muwahhidin al Qa’ilin bi Wahdah
al Wujud (Bekal bagi Orang yang membutuhkan Minuman ahli Tauhid
Penganut wahdatul wujud)
16. Bayan Agmad al M asa’il wa as Sifat al Wajibah li Rabb al Ard wa as
Samawat (Penjelasan tentang Masalah-masalah tersembunyi dan sifat-
sifat Wajib bagi Tuhan, penguasa Langit dan Bumi)
17. Bayan Tajalli (Penjelasan Tajalli)
18. Daqa ’iq al H uruf (Kedalaman makna Huruf)
19. Risalah Adab Murid akan Syaikh
20. Munyah al I ’tiqad (Cita-cita Keyakinan)
21. Bayan al Itlaq (Penjelasan makna istilah Itlaq)
22. Risaalah A ’yan Sabitah (Penjelasan tentang A’yan Sabitah)
23. Risalah Jalan Makrifatullah (Karangan tentang jalan menuju Makrifat
kepada Allah)
24. Risalah Mukhtasarah fi Bayan Syurut asy Syaikh wa al Murid (Karangan
25. Faidah yang tersebut di dalamnya kaifiyah mengucap zikir la ilaha ilia
Allah
26. Syair M a’r if ah
27. Otak ilmu Tasawuf
28. ‘Umdah al Ansab (Pohon Segala Nasab)
29. Idah al Bayan fi Tahqiq Masa ’il al Adyan (Penjelasan dalam
Menyatakan Masalah-masalah Agama)
30. Ta ’yidal Bayan Hasyiyah Idah al Bayan (Penegasan Penjelasan, Catatan
atas Kitab Idah al Bayan)
31. Lubb al K asyf wa al Bayan li ma Yarahu al Muhtadar bi al Iyan
(Hakikat Penyingkapan dan Penjelasan atas apa yang di lihat secara
terang-terangan)
32. Risalah Simpan (Membahas Aspek-aspek sembahyang secara Mistis)
33. Syatariyyah (Tentang ajaran dan tata cara Zikir Tarikat Syatariyah)
Di bidang Tafsir:
1. Tarjuman al Mustaffid bi al Jawiyy (Tafsir pertama di dunia Islam
dalam bahasa Melayu)
Di bidang Hadis:
1) Syarh Latif ‘ala Arba’in Hadisan li al Imam an Nawawiy
(Penjelasan Terperinci atas Kitab Empat Puluh Hadis karangan
Imam Nawawi)
Abdurrauf dalam menulis kitab-kitabnya tidak hanya untuk kaum
muslim awam, mengenai ilmu-ilmu dhahir, tetapi juga di kalangan elit yaitu
mengenai topik-topik yang berkaitan dengan ilmu-ilmu bathin seperti kalam
dan tasawuf.11
BAB III
KONSEP WAHDATUL WUJUD MENURUT ABDURRAUF SINGKEL
A. Pengertian Wahdatul Wujud
Pada awal penyebaran agama Islam, hal yang utama diajarkan
adalah keimanan kapada Allah sebagai Tuhan pencipta segala sesuatu. Dan
di sini sikap seorang hamba dalam beriman dengan Allah bagaikan seorang
pelayan terhadap tuan-Nya. Yang di antara keduanya mempunyai perbedaan
yang jelas, karena hamba hanya dapat melakukan segala apa-apa yang
diperintahkan oleh tuannya tanpa adanya sanggahan dari sang pelayan
(sami ’na wa ata ’na/ kami dengar dan kami laksanakan/taat).
perubahan dalam bersikap terhadap Allah. Yaitu sebuah pemahaman yang
mengusung ajaran bahwa Tuhan itu dapat didekati oleh hamba sedekat
mungkin, pandangan ini berdasarkan firman Allah s.w .t.:
Semula pemahaman ini dimulai oleh seorang tokoh namun
lambatlaun dari para tokoh ini mempunyai pengikut sehinggga menyebar
luas. Sikap yang berubah dari kaum muslimin itu berpangkal dari tidak
tersalurkannya sebagian perasaan religius kaum muslimin dalam praktek
1 Nazri Adlany, et al, Al Quran Terjemah Indonesia, PT Sari agung, Jakarta, 2001, him. 1039
Namun pada abad ketiga H dalam dunia Islam timbul sebuah
agama Islam pada waktu itu. Ajaran cinta kepada Allah mulai menuntut hak
hidupnya. Perubahan sikap manusia terhadap Tuhan yang tidak lagi
dipandang sebagai Dia yang terlampau jauh tak terhampiri, kalau dengan
akal budi tidak dapat menjangkau-Nya, maka dalam pengalaman mistis
dapat mencapai persatuan dengan-Nya. Dalam persatuan itu manusia
tenggelam dalam Allah dan segala yang lain di luar Allah lenyap, bahkan
mengenai kesadaran pribadinya, sehingga tak ada sesuatu yang lain kecuali
Dia.2 3
Sebagian kelompok yang tidak merasa puas akan praktek agama
Islam pada masa itu, yang dalam kepustakaan Islam sering disebut “Sufi”.
Pada abad ketiga H timbul dalam Islam sebuah ajaran tentang persatuan
antara makhluk dengan pencipta-Nya, antara hamba dengan Tuhan-Nya.
Konsep persatuan antara hamba dan Tuhan itu mendapat label-label berbeda
namun pada intinya yaitu persatuan hamba dengan TuhanJWahdah Al Wujud
dapat diartikan secara garis besar, yaitu: kesatuan eksistensi, kesatuan
wujud, atau kesatuan penemuan. Di akhir peijalanan hanyalah Allah yang
# i
ditemukan.
Di antara paham-paham yang mendapat perhatian lebih dari
kaum muslimin yaitu paham al Ittihad (Abu Yazid al Bustami), al Hulul (al
Hallaj) dan wahdatul wujud (Ibn ‘Arabi). Paham bersatunya hamba dan
Tuhan ini sering disamakan dengan paham pantheisme, yang mana paham
P.J.Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme Dan Monisme Dalam Sastra Suluk Jawa, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, him. 22
pantheisme memandang bahwa seluruh kosmos ini adalah Tuhan. Semua
yang ada dalam keseluruhannya ialah Tuhan dan Tuhan ialah semua yang
ada dalam keseluruhannya.4
Dalam pantheisme cenderung menekankan segi imanensi Tuhan
(serupa dengan alam) dan tanpa menekankan aspek transenden Tuhan akan
ciptaan-Nya. Berbeda dengan ajaran yang diusung oleh tokoh-tokoh sufi
diatas, walaupun mereka mengajarkan paham manunggaling kawula gusti
walaupun mereka mengajarkan aspek imanensi Tuhan akan ciptaan-Nya
namun mereka tetap mengakui akan transendensi Tuhan akan segala
ciptaan-Nya dan tidak mengaku bahwa dirinya Tuhan.
Selain itu kesatuan antara Tuhan dengan hamba dapat juga
digambarkan dengan pancasila yang disitu merupakan kesatuan
keseluruhan yang utuh. Kesatuan keseluruhan itu tersusun atas bagian-
bagian (sila-sila) dan bagian-bagian yang menyusun kesatuan tersebut harus
tidak saling bertentangan. Semua bagian (sila) harus secara bersama-sama
menyusun hal barn dan utuh. Setiap bagian (sila) merupakan bagian yang
mutlak, apabila dihilangkan satu bagian (sila) saja, maka hilanglah juga
kesatuannya (pancasila), akan kehilangan kedudukan dan fungsinya dan
kesatuannya sendiri juga akan tidak ada lagi.5
Juga dapat penulis contohkan seperti halnya “wedang kopF,
wedang kopi itu merupakan minuman yang terdiri dari tiga elemen, yaitu air
(jarang; jawa), gula dan kopi, kalau ketiganya disatukan maka akan menjadi
4 Harun Nasution, Falsafat Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, him. 36
wedang kopi, kemudian pertanyaannya apakah kalau ketiga elemen itu
dipisahkn akan tetap dinamai wedang kopi? maka walau sudah bersatu disini
perlu ditegaskan bahwa dari ketiga elemen di atas berdiri sendiri-sendiri,
kopi ya kopi, air ya air dan gula ya tetap gula.
Dalam istilah Jawa kesatuan hamba dan Tuhan sering diistilahkan
dengan manunggaling kawula gusti, yaitu perlambang kesatuan antara
hamba dengan Tuhan, perlambang kesatuan antara rakyat dan negara.
Konsep manunggaling kawula gusti atau kesatuan manusia dengan Tuhan
(wahdatul wujud) yang dipergunakan untuk menggambarkan, dalam
kepustakaan Islam kejawen adalah “curigo manjing warangka” yakni
manusia masuk dalam diri Tuhan, laksana Arya Sena masuk dalam tubuh
Dewa Ruci. Atau sebaliknya ”warangka manjing curigo” yakni Tuhan
masuk (nitis) dalam diri manusia, seperti halnya Dewa Wisnu nitis (masuk)
pada diri Kresno.6
Selanjutnya konsep manunggaling kawula gusti dalam serat
Dewa Ruci diterangkan: “mungguh pamoring kawula lan gusti iku, koyo
dene paesan karo sing ngilo, wayangan kang ono sajroning pangilon, iyo
iku jenenge kawulo” artinya: “yakni kesatuan manusia dengan Tuhan, ibarat
cermin dengan orang yang bercermin, bayang-bayang dalam cermin itulah
manusia. Jadi dalam kepustakaan Islam kejawen di lukiskan bahwa Tuhan
304
memiliki sifat-sifat yang sama dengan manusia dan manusia digambarkan
sama dengan Tuhan.7
Berbeda dengan paham wahdatul wujud walaupun antara hamba
dan Tuhan bersatu keduanya tetap berbeda, Tuhan ya Tuhan dan manusia
tetaplah manusia. Tidak ada yang berubah diantara kedunya.
B. Teori-teori Tentang Paham Wahdatul Wujud
1. Abu Yazid al Bustami
Nama kecil beliau adalah Taifur,8 Abu Yazid al Bustami
(selanjutnya ditulis Abu Yazid saja) dilahirkan di Bistam, wilayah
Qumis yang terdapat di daerah timur laut Persia pada tahun 874 M dan
beliau meninggal dunia pada tahun 260H/874M.9 Walaupun beliau
termasuk dalam keluarga yang terpandang, ayahnya adalah salah satu
pemuka masyarakat yang berada di Bistam, namun Abu Yazid memilih
kehidupan sederhana.
Beliau adalah seorang tokoh sufi yang memperkenalkan tentang
konsep al Ittihad. Ittihad dapat dicapai ketika seorang sufi sudah
megalami al fana ’ dan al baqa
1 loc. cit
8 Hamka, Tasauf Perkembangan Dan Pemurniannya, PT Pustaka Panjimas, Jakarta, 1983, him. 93
Fana’ yaitu penghancuran atau kesadaran seseorang tentang
dirinya dan tentang makhluk lain di sekitamya.10 Sebenanya dirinya
tetap ada dan demikan juga makhluk lain tetap ada, tetapi ia tidak sadar
lagi tentang wujud mereka bahkan juga tentang wujud dirinya sendiri. Di
ketika itulah ia sampai kepada al baqa ’ atau kelanjutan wujud dalam diri
Tuhan.
Al Qusyairi membagi fana ’ dalam dua aspek yaitu fana’ dalam
aspek moral dan fana’ dalam aspek jasmani. Fana’ dalam aspek moral
yaitu, hilangnya sifat-sifat tercela, dan kata baqa’ adalah terbinanya
sifat-sifat yang tercela, sedangkan fana’ dalam apek jasmani yaitu, pada
awalnya lenyapnya kesadaran akan diri dan sifat-sifat pribadinya
lantaran telah menghayati sifat-sifat Allah, lalu lenyapnya kesadaran
akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah mulai
menyaksikan keindahan Zat Allah, kemudian akhimya lenyap kesadaran
akan kefana’annya itu sendiri lantaran telah merasa lebur menyatu dalam
wujud Allah.11
Dalam fa n a’nya Abu Yazid adalah simanya segala sesuatu yang
selain Allah dari pandangannya, di mana seorang sufi tidak lagi
menyaksikan kecuali hakikat yang satu yaitu Allah. Bahkan dia tidak
10 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Universitas Indonesia, Jakarta, 1978, him. 83
lagi melihat dirinya sendiri karena dirinya terlebur dalam Dia yang
disaksikannya, sebagaimana ia terangkan dalam sebuah perkataannya:
“Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka akupun hidup. ” 12 13
Dengan berusaha meninggalkan dirinya itu ia akhimya sampai
kepada al baqa ia mengatakan:
“7a membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati, kemuman ia membuat aku gila pada-Nya, dan akupun hidup...aku berkata: gila pada diriku adalah kehancuran dan gila padaMu adalah kelanjutan hidup. ” 14
Dengan tercapainya al fana ’ dan al baqa ’ sampailah Abu Zayid
kepada ittihad. Ketika sampai ke ambang pintu ittihad, dari mulut
seorang sufi keluar ungkapan-ungkapan yang ganjil atau yang dalam
istilah tasawuf disebut syatahat (ungkapan teopatis).
Menurut Ahmad Sultoni (2005: 92) bahwa minimal ada tiga hal
yang bisa ditarik dari kefanaan para sufi:
a. Fana muncul sebagai pengalaman spiritual (spiritual experience)
yang dikenali dari gejolak intuisi mereka.
b. Ucapan-ucapan syatahat sesungguhnya muncul dari
ketidakmampuan sufi menginterpretasikan pengalaman spiritual
dalam tataran kata/bahasa yang sangat terbatas untuk mewakilinya.
12 Abu al Wafa’ al Ghanimi al Taftazani, Sufi Dari Zaman Ke Zaman, Pustaka, Bandung, 1974, him. 1 1 5 - 1 1 6
13 Harun Nasution, Falsafat Dan Mistisisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, him. 81
c. Pengakuan pada keadaan lenyap, lebur, hilang, musnah, bukan
dalam arti fisik, namun melibatkan bagian manusia yang paling
halus, yaitu kalbu.
Dalam ittihad, yang dipandang dan dirasakan hanya ada satu
wujud, sebenamya ada dua wujud yang berbeda. Karena itu, bisa terjadi
pertukaran peranan antara sang sufi dan Tuhan, atau antara sang
pencinta dan Yang Dicintai. Identitas sang sufi hilang dan yang
disadarinya hanyalah satu wujud, yaitu wujud Tuhan. Tingkat ittihad ini
dicapai sang sufi setelah mengalami al fana ’, dengan al fa n a ’ ini sang
sufi kehilangan kesadaran dirinya, dan yang tersisa hanyalah kesadaran
tentang Tuhan (al baqa ’).15
Karena hubungan al fana ’ dan al baqa ’ adalah hubungan yang
memperlihatkan perlawanan, di dalam istilah tasawuf, hubungan
keduanya menunujukkan proses atau sisi yang berbeda terhadap
kenyataan yang sama berarti bahwa keduanya dalam kenyataannya
adalah sama, tetapi apabila dilihat dari sudut yang berbeda menimbulkan
konsep yang berbeda. Dilihat dari sudut kemakhlukan, sufi telah
mengalami al fana ’, sebab segala makhluk telah hilang dari
kesadarannya. Dan dilihat dari sudut Tuhan, sufi telah mengalami al
baqa \ sebab hanya Tuhan yang terns ada di dalam kesadarannya.16
Ketika seorang sufi telah mencapai tingkatan al ittihad dari
mulutnya akan mengungkapkan perasaannya dengan kalimat-kalimat
13 Abdul Aziz Dahlan, et al, Tasawuf Filosofis, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Pemikiran Dan Peradaban jilid 4, PT Ichtiar Bam Van Hoeve, Jakarta, 2002, him. 1 5 8 - 1 5 9
teopatis (syatahat), dan kalimat yang pemah diungkapkan oleh Abu
□ "Maha suci aku, maha suci aku, alangkah agungnya urusanku” □ “Sungguh aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain aku, maka
hendaklah engkau menyembah aku. ”
□ “Tidak ada dalam jubah ini kecuali A llahT '1
Dalam pengertian kaum sufi, kata-kata di atas memang betul
dari mulut Abu Yazid, tetapi tidak berarti bahwa ia mengaku sebagai
Tuhan. Tetapi Tuhanlah yang mengaku diri-Nya Allah melalui lidah
Abu Yazid. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang
mengucapkan kata-kata itu memang lidah Abu Yazid, tetapi sungguh
pun demikain Abu Yazid tidak mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan.
Itu adalah kata-kata Tuhan yang diucapkan lewat lidah Abu Yazid.17 18
Abu Zayid dikenal pula seorang sufi yang dapat
mengkombinasikan antara asketisme yang keras dan penghormatan
kepada Fiqh dengan kekuatan intelektual yang luar biasa. Tidak seperti
yang sering disalah-tafsirkan, Abu Zayid meski telah mencapai al
Ittihad, beliau tetap berpegang pada hukum Islam secara ketat. Seperti
yang terlihat dalam ucapannya: “kalau kamu lihat seseorang mampu
17 Simuh, Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam Islam, Rajawali Press, Yogyakarta, 1996, him. 144
melakukan keramat yang besar-besar, walaupun dia sanggup ter bang di
udara, maka janganlah kamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia
mengikuti suruhan dan menghentikan larangan dan menjaga
batas-batas syariaf ’.19
Dari perkataan Abu Yazid di atas dapat diambil sebuah
penjelasan bahwasnya ajar an yang beliau ajarkan tidak keluar dari
hukum syara’ Islam (fiqh). Menurut Abu Yazid seorang wali harus tetap
melaksanakan syariat agar Tuhan tetap melestarikan tingkat pengalaman
spiritual yang telah dicapainya.
Dan di sini para pembela Abu Yazid menegaskan bahwa al
ittihad Abu Yazid tidak sedang menyatakan kesamaan Tuhan dengan
manusia. Paham ini tetap mempertahankan perbedaan Tuhan dengan
manusia, bahwa ada dua wujud yang berbeda, yakni Khaliq dan
makhluk. Jelasnya, meskipun menekankan emanasi Tuhan, tetapi
sekaligus mengakui transendensi-Nya, karena itu ucapan syatahat Abu
Yazid tidak dipandang sebagai kepercayaan teologis, karena ucapan itu
terlontar dari mulutnya ketika sedang mabuk spiritual.20
2. Al Hallaj (858 - 922)
Nama lengkap beliau adalah Abu al Mughits al Husain ibn
Mansur ibn Muhammad al Baidhawi, dia mendapat gelar al Hallaj
19 Hamka, op. cit, him. 94
karena kehiduparmya dia peroleh dari memintal wol.21 Namun dalam
sumber lain bahwasanya gelar al Hallaj didapatnya karena
kemampuannya berbicara tentang had paling dalam (sirr).22 23
Al Hallaj adalah tokoh sufi yang memperkenalkan paham al
Hulul (menempati, nitis berinkamasi/immament) sebagai bentuk
tersendiri dari dalam persatuan dengan Tuhan. Al Hulul adalah paham
yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu
untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan
yang di dalam tubuh dihilangkan. Bagi al Hallaj di dalam diri manusia
terdapat sifat kemanusiaan (an nasut) dan sifat-sifat Ketuhanan (al
lahut) bila manusia dapat menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan dari
dirinya dengan jalan fana’, maka akan tinggallah di dalam dirinya sifat-
sifat Ketuhanan. Ketika itulah Tuhan masuk kedalam dirinya yang
disebut al Hulul.
Sebagaimana Abu Yazid, al Hallaj menempuh tingkat fa n a ’
terlebih dahulu untuk bersatu dengan Tuhan. Pencapaian hulul yang
diperoleh melalui fa n a ’ yang bersifat total ini, dapat terjadi karena
manusia mempunyai sifat-sifat Ketuhanan (lahut), dan pada saat yang
sama Tuhan mempunyai sifat-sifat kemanusiaan (nasut). Pandangan ini
berdasakan pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari
dan Muslim, yang mengatakan:
21 Abu al Wafa’ al Ghanimi al Tatazani, opc. cit, him. 120 22 Departemen Agama RI, op. cit, him. 97
21 Simuh, op. cit, him. 148
’’Sesungguhnya Allah menciptakan Adam menurut bentuk-Nya”} 4
Ketika sifat-sifat kemanusiaan (an nasut) al Hallaj hancur, yang
tinggal hanyalah sifat-sifat Ketuhanannya (al lahut), dan ketika itulah ia
mengalami hulul. Ungkapan-ungkapan yang aneh (syatahat) akan timbul
dari mulutnya seperti perkatan al Hallaj yang terkenal yaitu dengan
ucapan Ana al Haq.24 25
Dalam hulul yang terjadi adalah persatuan manusia dengan
Tuhan. Namun hulul dalam penafsiran non-panteistik yaitu penafsiran
yang tetap mempertahankan perbedaan antara Tuhan dengan alam, tidak
dapat diartikan pengidentikan Tuhan dengan manusia, atau manusia
dengan Tuhan, karena konsep ini tetap mempertahankan perbedaan antara
Tuhan dan manusia. Bahkan al Hallaj sendiri mengecam orang-orang yang
telah mencampuradukkan Ketuhanan dengan kemanusiaan.26 27
Jadi perlu digarisbawahi disini ketika al Hallaj mengatakan
ana al Haq, bukanlah al Hallaj yang mengucapkan kata itu, tetapi roh
Tuhan yang mengambil tempat dalam dirinya (hulul)}1 Meskipun al
Hallaj mengemukakan ucapan-ucapan ekstatiknya yang ganjil,
sebenamya pengalaman , mistik tersebut, walaupun menekankan
24 Harun Nasution, op. cit, him. 89
25 Abdul Aziz Dahlan. et al, loc. cit, him. 159 26 Ibid. him. 159
imanensi Tuhan, juga sekaligus mempertahankan transendensi mutlak-
Nya atas semua ciptaan-Nya.
3. Ibn al ‘Arabi
Nama lengkap Ibn ‘Arabi adalah Muhammad ibn Ahmad ibn
Abdullah al Hatimi. Ia lahir pada tahun 560 H di kota Murcia, Spanyol.
Ayahnya, Ali ibn Muhammad, salah seorang yang alim dalam bidang
fikih dan hadis dan terkenal kezuhudannya.28
Ibn ‘Arabi adalah salah satu sufi yang mengajarkan paham
wahdatul wujud yaitu sebuah paham yang mengajarkan tentang kesatuan
wujud makhluk dengan Tuhan, paham ini menekankan bahwa tidak ada
wujud yang sejati, kecuali hanya Allah Yang Maha Mutlak. Kemutlakan
wujud Tuhan itu akan menenggelamkan seluruh wujud selain diri-Nya.
Dalam paham ini nasut yang ada dalam hulul dirobah oleh Ibn
‘Arabi menjadi al khalq (makhluk) dan lahut menjadi al Haq (Tuhan).
Khalq dan Haq merupakan dua aspek bagi tiap sesuatu. Aspek yang
sebelah luar disebut khalq, sedangkan aspek sebelah dalam disebut haq.
Menurut faham ini tiap-tiap yang ada mempunyai dua apek. Aspek luar
( ‘ard[ khalq) yang mempunyai sifat kemakhlukan, dan aspek dalam
(haq, jawhar) mempunyai sifat ketuhanan. Dengan kata lain dalam
tiap yang berwujud itu terdapat sifat ketuhanan atau haq dan sifat-sifat
9 0 kemakhlukan atau khalq.
Paham wahdatul wujud timbul dari filsafat bahwa Tuhan ingin
melihat diri-Nya diluar diri-Nya. Kemudian diciptakannya alam sebagai
cemin yang merefleksikan gambaran iri-Nya. Setiap kali ia ingin melihat
diri-Nya maka Ia melihat alam karena pada setiap benda alam terdapat
aspek al Haq.29 30 * *
Tuhan, dalam pandangan Ibn ‘Arabi pada awalnya adalah
sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadist qudsi:
“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk dan melalui aku*31 merekapun kenal padaKu”
Alam sebagai makhluk adalah penampakan diri dari Tuhan.
Alam sebagai cermin yang dalamnya terdapat gambar Tuhan. Sebagai
bayangan, wujud alam tak mungkin wujud tanpa wujud Tuhan. Atau
dengan kata lain, wujud alam tergantung kepada wujud Tuhan. Sebagai
T9
bayangan, wujud alam bersatu dengan wujud Tuhan.
Al Haqq (Tuhan) dan al khalq (alam) adalah satu, tetapi tetap
berbeda. Doktrin wahdatul wujud menekankan tidak hanya sisi tasybih
(penyerupaan Tuhan dengan alam) tetapi juga sisi tanzih (penyucian
29 Harun Nasution, op. cit, him. 92 - 93
30 “Wahdatul Wujud” Ensiklopedi Islam jild 5, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994, him. 158
sifat-sifat Tuhan dari penyerupaan-Nya dengan alam). Dilihat dari
tasybih, Tuhan adalah identik, atau lebih tepat serupa dan satu, dengan
alam -walaupun keduanya tidak setara- karena Dia, melalui nama-Nya,
menampakkan diri-Nya dalam alam. Namun dilihat dari sisi tanzih,
Tuhan sama sekali berbeda dengan alam karena Dia adalah Zat Mutlak
yang tidak terbatas di luar alam nisbi yang terbatas. Gagasan ini
dirumuskan Ibn ‘Arabi dengan ungkapan singkat, huwa la huwa (Dia
dan bukan Dia). Dalam pandangan ini Tuhan adalah transenden dan
sekaligus imanen.
Kesatuan tanzih dan tasybih yang transenden sekaligus imanen
adalah prinsip al Jam ’ baina al ‘adad, yang secara paralel terwujud pula
dalam kesatuan ontologis antara Yang Tersembunyi {al Batin) dan Yang
Tampak {al Zahir), antara Yang Satu {al Wahid) dan Yang Banyak {al
Kasir).* 34
Dilihat dari Zat-Nya, Tuhan adalah transenden, munazzah
(tidak dapat dibandingkan dengan alam), Yang Tersembunyi dan Yang
Satu, dilihat dari segi nama-nama-Nya, Tuhan adalah imanen,
musyabbah (serupa dengan alam), Yang Tampak dan Yang Banyak.
Tuhan sebagai satu-satunya Wujud Hakiki, Zat Mutlak yang munazzah,
Yang Tersembunyi dan Yang Satu, menampakkan diri-Nya melalui
nama-Nya dalam banyak bentuk yang tidak terbatas pada alam.35
3j Abdul Aziz Dahlan, et al, op. cit, him. 166 34 Abdul Aziz Dahlan, et al, loc. cit
Doktrin wahdatul wujud Ibn ‘Arabi telah menimbulkan suatu
perdebatan panjang yang tidak berkesudahan selama berabad-abad
antara para ulama yang mengecamnya, dan para ulama yang
mendukungnya. Para ulama yang mengecam doktin wahdatul wujud
memandang doktrin ini sebagai ajaran sesat, kufur, dan bid’ah.
Sebaliknya, para ulama yang mendukung doktin wahdatul wujud
mengakui bahwa doktrin ini adalah tauhid yang paling tinggi.
4. Abdurrauf Singkel
Dalam konsep wahdatul wujud Abdurrauf, pembahasannya
meliputi tentang hubungan antara Tuhan, alam dan manusia.
Pembahasan tentang paham wahdatul wujud, Abdurrauf dimulai dengan
penegasan tentang tauhid bagi pemeluk agama Islam. Karena tauhid
merupakan sebuah konsep yang paling penting yaitu dimana seseorang
bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan yang wajib disembah kecuali
Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.
Fundamen utama dalam agama Islam yaitu aqidah, yang
merupakan hal utama yang dicamkan dalam sanubari kaum muslimin
sebelum ajaran-ajaran yang lain, karena aqidah berisi tentang hubungan
antara Tuhan dengan manusia (hablun min Allah). Hal pertama Yang
yang haras dilakukan oleh umat Islam adalah menyatakan bahwa tidak
ada Tuhan yang wajib di sembah kecuali Allah {la illaha illallah). 36
Pengakuan tersebut merupakan syarat seseorang dapat diakui sebagai
seorang muslim, karena kesaksian tentang tidak adanya Tuhan selain
Allah sangat penting dalam agama Islam, maka orang yang tidak
bersaksi bahwa Tuhan yang wajib disembah itu hanya Allah, dapat
dianggap kafir. Sebagaimana firman Allah:
t li
AJ°£
Uj
”Beribadahlah kamu sekalian kepada Allah (saja) dan janganlah berbuat syirik sedikitpun kepada-Nya”. (QS, an
Nisa: 36)37 38
Bagi orang awam mungkin tauhid hanya dijadikan sebuah
pembeda antara dirinya sebagai seorang muslim dengan seorang yang
kafir. Namun bagi seorang sufi, tauhid tidak hanya sebagai pembeda
antara muslim dengan non muslim, namun lebih dari itu tauhid
merupakan sebuah wahana yang terbuka luas untuk menyelami dan
memahami dan sebagai pintu untuk memahami dan masuk dalam
TO realitas hakiki, yaitu al Haq, Allah Swt.
Menurut Abdurrauf makna tauhid yaitu “tindakan
mengaitkan”, oleh karena itu arti kalimat "aku mengesakan Allah”
adalah aku mengaitkan Allah dengan sifat Esa, bukan Uaku menjadikan
Allah Esa", karena Keesaan Allah itu telah melekat pada Zat-Nya
sendiri, bukan karena diberikan oleh pihak lain.39
J? Nazri Adlany et al, op.cit, him. 152
Tauhid merupakan hal yang vital dalam dunia tasawuf,
sebagaimana Abdurrauf menyebutkan bahwasanya penegasan tentang
tauhid dengan mengucapkan la illaha illallah merupakan sebuah
kewajiban yang pertama sebelum seseorang melakukan hal-hal yang lain
(ajaran tasawufnya).
Abdurrauf mendasarkan pandangannya pada sebuah ayat al
Qur’an tentang ke-Esaan Allah:
...i 3 S £ - a
'y iT ji
“Sekiranya pada keduanya (langit dan di bumi) ada Tuhan-tuhan selain Allah, niscaya keduanya binasa”.(Q.S al Ambiyaa’: 22)40
Sehingga dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa tidak
rusaknya langit dan bumi dikarenakan hanya adanya satu Tuhan yaitu
Allah s.w.t.
Kemudian dari konsep tauhid inilah, Abdurrauf kemudian
memulai membicarakan tentang hubungan antara Tuhan dan alam,
antara al Haq dan al khalq, antara al Wujud dan al maujuddat, antara
Wajib al Wujud dan al mumkinat.41
Menurut Abdurrauf alam didefinisikan sebagai berikut:“ nama
untuk segala sesuatu selain al Haq (Allah) Yang Maha Mulia dan Maha
Agung”. Dan Abdurrauf menambahkan bahwa hakikat alam adalah:
“wujud yang terikat dengan sifat-sifat mumkinat (sifat-sifat yang
mungkin). Oleh karena itulah alam ini dikatakan sebagai sesuatu selain
al Haq (Allah).42
Dari hubungan ontologis antara al Haq dan al khalq, dan
berangkat dari penjelasan tauhid di atas bahwa satu-satunya wujud
adalah Allah {la ilaha ilia Allah), tidak ada wujud selain wujud Allah.
Dengan kata lain, wujud dalam pengertian hakiki hanya milik al Haq,
segala sesuatu selain al Haq tidak memiliki wujud. Jika satu-satunya
wujud adalah al Haq maka di mana kedudukan ontologis al khalq (alam).
Apakah alam identik dengan Tuhan? atau apakah alam tidak mempunyai
wujud sama sekali?43
Pandangan Abdurrauf tentang permasalahan di atas terungkap
dalam Tanbih al Masyi:
“ Dan jika dihubungkan dengan al Haq, alam itu bagaikan bayangan, ia bukanlah hakikat lain di samping hakikat-hakikat Allah yang diketahui sejak zaman azali, dan kemudian memiliki wujud. Karena itu menurut konsep ini, manusia adalah bayangan al Haq, atau bayangan dari bayangan-Nya.”
Dalam kutipan di atas bahwa menurut Abdurrauf, alam tidak
identik secara mutlak dengan al Haq, karena alam hanya merupakan
bayangan-Nya, bukan wujud-Nya. Dengan ini Abdurrauf menegaskan
transendensi Tuhan atas makhluk-Nya. Alam dengan demikian tidak
memiliki wujud tersendiri, karena dia hanya merupakan bayangan
Tuhan, atau bahkan hanya bayangan dari bayangan-Nya. Kehadiran
42 Ibid, him. 46
bayangan sangat tergantung pada ada dan tidak adanya sumber
bayangan. Oleh karena itu, wujud hakiki yang sebenamya adalah sumber
Dengan pandangan bahwa alam adalah bayangan Allah
semata, berarti Abdurrauf menegaskan bahwa alam bukan benar-benar
zat al Haq, karena anggapan tersebut, menurutnya, akan membatalkan
status al Haq sebagai Pencipta alam raya. Menurut Abdurrauf, sangat
tidak masuk akal jika Sang Pencipta menciptakan zat-Nya sendiri secara
utuh.45 46Abdurrauf mengutip sebuah ayat al Qur’an yang menegaskan
“Pencipta segala sesuatu maka sembahlah Dia” (Q.S al
Abdurrauf juga berdalih bahwa di dalam al Quran, tidak sekali
pun Allah mengatakan bahwa la menciptakan zat-Nya sendiri. Kepada
Nabi Muhammad, Allah mengatakan: Qul Allahu khaliqukulli syai’in
(Katakanlah wahai Muhammad: Allah adalah Pencipta segala sesuatu)
tapi Dia tidak mengatakan Qul Allahu khaliqu ‘ainihi (Katakanlah!
Allah adalah pencipta Zat-Nya sendiri), dan dalam al Quran juga
dikatakan: al hamdu li Allahi rabbi al alamina (segala puji bagi Allah,
Tuhan seru sekalian alam), tidak dikatakan: al hamdu li Allahirabbi
‘ainihi (segala puji Allah, Tuhan zat-Nya sendiri). Satu lagi argumen
44 Ibid, him. 4 6 - 4 7 45 Ibid, him. 48
46 Nazri Adlany, et al, op. cit, him. 256
bayangan tersebut berikut segala sifat yang melekat padanya.44
bahwa:
yang dikemukakan Abdurrauf adalah, jika alam dalah Zat Allah sendiri,
tentu Dia tidaka akan menitahkan kewajiban-kewajiban syariat yang
memberatkan, seperti puasa, salat dan sebagainya.47
Selain itu jika manusia (alam) benar-benar merupakan Zat
Allah, seharusnya manusia dapat mewujudkan apa saja yang
dikehendaki dan kemudian dikatakannya, dalam sekejap, karena Allah
telah mengatakan dalam al Quran: “Idza arada syai ’in an yaqula lahu
kun, fayakunu (Apabila Dia menghendaki sesuatu, hanyalah berkata
kepadanya: jadilah! maka teijadilah ia)”. Namun, kenyataanya manusia
tidak mampu melakukan hal tersebut, karena kehendaknya tidak bisa
selaulu seiring dengan kehendak Allah. Hal ini menjadi bukti bahwa
manusia, alam atau al khalq tidak identik dengan Allah, secara mutlak.
Dalam hal ini Abdurauf mengutip sebuah hadis qudsi, di mana Allah persulit apa yang engkau inginkan, sehingga tidak akan terjadi
kecuali apa yang Aku inginkan ”.48
Dengan berpijak pada argumen-argumen yang telah
dikemukakan tentang hubungan ontologis antara Tuhan dan alam, dan
kesimpulannya bahwa alam tidak memiliki wujud tersendiri. Dan yang
tidak dapat dipisahkan dalam pembahasan tentang wahdatul wujud
adalah mengenai pandangan Abdurrauf tentang proses penciptaan alam.
Yang juga menjadi topik pembicaraan di kalangan para sufi.49
Menurut Abdurrauf alam tercipta melalui proses pemancaran
(emanensi, al faid) dari zat Allah. Ia menyamakan proses keluamya alam
tersebut dengan proses keluamya pengetahuan dari Allah. Dengan
demikian, meskipun alam bukan zat Allah secara mutlak, namun ia juga
tidak berbeda dengan-Nya secara mutlak pula, karena alam bukan wujud
kedua yang benar-benar terpisah dari-Nya.50
Allah sendiri menurut Abdurauf tetap seperti keadaan-Nya di
zaman azali. Ia tidak mempunyai sekutu, karena Ia ada sebelum segala
sesuatu tercipta. Setelah alam tercipta melalui pancaran-Nya, Allah tetap
tidak berubah, sedangkan alam bersifat hadis (bam), karena ia hanya
sebagai pancaran dari wujud Allah. Tingkat wujudnya tidak kemudian
sejajar dengan wujud Allah (rutbah al m a’iyyah), melainkan karena di
bawah-Nya (rutbah al taba ’iyah).51
Demikianlah pandangan-pandangan Abdurauf dalam Tanbih al
Masyi, baik tentang hubungan ontologis antara Tuhan dan alam, maupun
tentang proses penciptaan alam. Bagi Abdurrauf, semua yang telah
dikemukakannya itulah yang ia namakan sebagai doktrin wahdatul
wujud (kesatuan wujud), jadi alam menurut konsep wahdatul wujud
49 Oman Fathurrahman, loc. cit Ibid, h lm .4 9 -5 0
Abdurrauf, bukan merupakan wujud kedua yang benar-benar terpisah
dari al Haq, karena ia adalah pancaraan dari zat-Nya.
Dalam hal ini, berarti Abdurrauf mengemukakan konsep
imanensi (penyatuan) Tuhan dalam alam (tasybih, al faid). Akan tetapi,
alam juga bukan al Haq secara mutlak, melainkan sekedar bayangan-
Nya, atau bahkan bayangan dari bayangan-Nya, karena Tuhan adalah
Zat Yang Esa, tidak ada sesuatu pun yang menyertai-Nya (la syarika
lahu), meskipun Ia selalu menyertai segala sesuatu (al Muhit). Dalam hal
ini, Abdurrauf tetap mempertahankan konsep transendensi Tuhan atas
ciptaan-Nya (tanzih, al zill).52 53
Dasar yang digunakan Abdurrauf untuk mendukung
pandangannya tentang imanensi Tuhan atas ciptaan-Nya yaitu sebuah
hadis: “Z)a« Dia bersama kamu dimana saja kamu berada” dan untuk
menunjukkan transendensi-Nya, berdasarkan hadis: “Allah tetap seperti
ada-Nya, tak ada sesuatu pun yang menyertai-Nya
Dari uraian di atas dapt diambil kesmpulan bahwa Abdurrauf
merupakan tokoh yang menganut paham bahwa satu-satunya wujud
hakiki adalah Allah, sedangkan alam ciptaan-Nya bukanlah wujud
hakiki, tapi wujud bayangan, yakni bayangan dari wujud hakiki. Dengan
demikian jelas bahwa Tuhan lain dari alam atau alam lain dari Tuhan.
Kendati begitu antara bayangan (alam) dengan yang memancarkan
bayangan (Tuhan) tentu terdapat keserupaan, pada alam yang tampak
ini, Tuhan menampakkan diri-Nya (tajalli).54 Sifat-sifat Tuhan secara
tidak langsung tampak pada manusia, dan secara relatif paling sempuma
pada insan kamil.55
Dari kesemua pandangan tentang wahdatul wujud maka disini
perlu ditegaskan bahwa betapapun asyiknya seorang hamba terhadap
Allah s.w.t, Khalik dan makhluk tetap memiliki arti sendiri.
54 Harun Nasution, et al, “Abdur-Rauf As-Singkel"Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992, hlm.33
BAB IV
IMPLIKASI PANDANGAN WAHDATUL WUJUDABDURRAUF
SINGKEL DALAM PENDIDIKAN TAUHID
A. Pengertian Pendidikan Tauhid
Pendidikan dalam bahasa Arab berasal dari kata keija “rabbet” yang
merupakan kata keija dari “tarbiyah” yang memiliki beberapa arti antara
lain mengasuh, mendidik dan memelihara.1 2
Dari pengertian di atas pendidikan bertujuan untuk mengasuh,
mendidik, dan memelihara anak didik untuk mengembangkan potensinya
agar sesuai dengan fitrahnya.
Ditinjau dari asal bahasanya istilah tarbiyah menurut Abdurahman al
Bani terdiri atas empat unsur yaitu:
1. Menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang baligh
2. Mengembangkan seluruh potensi dan kesiapan yang bermacam-macam
3. Mengarahkan seluruh fitrah dan potensi ini manusia menuju kepada
kebaikan dan kesempumaan yang layak baginya
4. Proses ini dilaksanakan secara bertahap.
1 Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, Aditya Media, Yogyakarta, 1992, him. 14
Pendidikan ialah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan
anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya kearah
kedewasaan.3
Orang dewasa dalam mendidik, haruslah mengetahui perkembangan
anak didik, baik rohani maupun jasmaninya, supaya dalam proses
pendewasaanya dapat sesuai dengan taraf pemikiran anak. Agar nantinya ia
dapat menjadi insan yang sempuma sesuai dengan perkembangan jasmani
dan rohaninya.
Pendidikan menurut Noeng Muhadjir adalah aktivitas interaksi
antara pendidik dan subyek-didik untuk mencapai tujuan baik dengan cara
baik dalam konteks positif.4 5
Proses belajar yang baik dalam mendewasakan anak didik haruslah
setiap pendidikan itu mempunyai tujuan-tujuan yang baik sesuai dengan
ajaran Islam dan dicapai melalui dengan jalan yang digariskan oleh agama
Islam sesui dengan al Qur’an dan as Sunnah.
Maka pendidikan Islam adalah pembentukan kepribadian muslim,
yang mempunyai ciri perubahan sikap dan tingkah laku sesuai dengan ajaran
Islam.3
3 M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis Dan Praktis, CV. Remaja Karya, Bandung, 1988, him. 11
4 Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan Dan Perubahan Sosial Suatu Teori Pendidikan, Rake Sarasin, Yogyakarta, 1993, him. 4
Hakekat dari diselenggarakannya pendidikan dalam Islam tidak lain
adalah membentuk kepribadian seorang insan kamil yang tujuan akhimya
hanyalah untuk menyembah kepada Allah s.w.t.
Kata tauhid bermakna pemyataan Keesaan Allah, “tiada Tuhan
melainkan Allah, la ilaha Illallah”, kalimat tauhid ini adalah poros utama
dalam Islam.6 Keyakinan tentang adanya Allah Yang Maha Esa, yang tidak
ada sesuatupun yang menyamai-Nya dalam Zat, Sifat atau perbuatan-
perbuatan-Nya.7
Keyakinan kepada Allah dalam zat, sifat maupun perbuatannya
sangatlah penting bagi kaum muslimin karena tonggak ajaran Islam
tertumpu pada kalimat tauhid la ilaha illallah, kalau pondasinya kuat maka
seterusnya akan kokoh pula.
Pendidikan Tauhid dapat diartikan secara umum sebagai, pendidikan
yang diarahkan untuk mengesakan Allah s.w.t, dan menolak Tuhan-tuhan
yang lain selain Allah sebagai sesembahan.
Dalam sebuah aktivitas pendidikan tidak dapat dilepaskan dari
berbagai unsur pendidikan, agar nantinya proses pendidikan tersebut dapat
menciptakan hasil yang sesuai dengan tuntutan zaman. Di antara unsur-
unsur tersebut mempunyai keterikatan yang erat sehingga antara unsur satu
dengan unsur yang lainnya dapat bersinergi mewujudkan cita-cita dari
6 Amatullah Armstrong, Kunci Memasuki Dimia Tasawuf, Mizan, Bandung, 1996, him. 293