1Jilid 2 : Halaman 3
Segolongan ulama mempermudah isnad dalam hadits yang berkaitan dalam keutamaan suatu ibadah, mereka meriwayatkannya dari semua orang, namun di lain pihak mereka sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits yang berkaitan dengan hukum.
Beliau berkata. “Kita tidak perlu mengetahui ulama yang menjadikan hadits keutamaan ibadah sebagai dalil.”1 Inilah
hal terakhir yang penulis ketahui dari dalil-dalil ulama salaf dalam masalah ini, ditambah dengan pernyataan Ibnu Abdilbar Rahimahullahu, karena dekatnya beliau dengan ulama salaf dan kemiripan pernyataannya dengan mereka. Dalil- dalil ini merupakan sandaran pemilik kaidah ini dan tidak ada salahnya untuk dikaji dan dibandingkan dengan pendapat ulama kontemporer.
Penulis dengan keterbatasan ilmunya berkata, jika berhadapan dengan masalah yang serupa, maka saya akan mengikuti perkataan Al Hafidz bin Hajar:2
“Beliau mengatakan secara jelas bahwa mayoritas ahli hadits dan selain mereka berbondong-bondong untuk meriwayatkan hadits dari sesepuh mereka dan mengikutinya maka sesepuh mereka inilah yang mereka percaya, bahkan yang mereka cari karena image mereka yang baik.”
Inilah sebenarnya titik masalah yang timbul dalam pembahasan para ulama yang mengadopsinya dengan suara 1 Diambil oleh As Sakhowi dalam kitabnya Al Mughits, Bab I Hal : 267
2 Dalam kata pengantar kitab Al Fathu Hal: 465 Fasal Jumlah Hadits yang terdapat dalam Kitab Sahih Bukhari, sebagai sebuah bantahan terhadap Syeikh Muhiddin An Nawawi yang mengadopsi sejumlah hadits dairi kitab sahih bukhari berdasarkan klasifikasi bab dari Abi Al Fadli bin Thohir dalam bukunya Jawab Al Muta’annah
mutlak dan mufakat yang bulat. Dalam masalah ini seperti An Nawawi Rahimahullahu, pengikutnya dan para senior mereka, seperti Abu Umar bin Adilbar, seperti yang disebutkan dalam dalil yang keenam pada fasal pembahasan ini, 1 Hal yang
sama juga terjadi dalam pembahasan hukum mengamalkan hadits dho’if dalam mengamalkan keutamaan ibadah.
Pasal II
Studi Kritis Terhadap Argumen Para Ulama
Penulis berpendapat bahwa para ulama tidak mempunyai argumen uang sesuai bahkan sebuah semi-argumen pun terhadap problematika yang dimunculkan oleh para ilmuwan hadits kontemporer tentang pengamalan hadits yang mempunyai tingkatan lemah ini sebagai landasan hukum kegiatan-kegiatan positif (Keutamaan ibadah). Perjelasannya seperti ini :
Pertama,
Statemen Sufyan Ast Tsaury, “Janganlah mengambil sebuah ilmu…. kecuali dari para ilmuwan-ilmuwan besar yang valid keilmuwannya…… Tapi boleh juga mengambil ilmu dari para ilmuwan yang dianggap setingkatan dengannya.”
Interpretasi dari “Ilmuwan besar yang valid keilmuwannya” adalah mereka-mereka yang sudah masuk dalam katagori “Huffadz “ yang mengerti secara detail apa yang mereka hafalkan, yang sangat sadar atas fluktuasi hafalannya, orang-orang yang sering disebut sebagai ‘terpercaya dan terpercaya’ (tsiqah-tsiqah) atau ‘terpercaya secara tetap (tsiqah-tsubut) dan istilah-istilah yang hampir sama dengannya. Katagori tsiqoh atau terpercaya ini hanya disebutkan untuk menunjukkan personalitas mereka saja dan 1 Penulis telah mengkaji pernyataannya setelah menulis
tidak pernah bermaksud menunjuk yang lain. Dimana dalam sejarahnya tidak seorangpun yang mencap hadits-hadits mereka mempunyai kelemahan akan tetapi pasti masuk dalam katagori Sahih atapun Hasan dan yang sederajat dengannya. Singkatnya, mereka yang mempunyai image dan julukan “Tsiqah” [terpercaya] “Suduq” [terkenal kejujurannya] dan lain sebagainya.
Kedua,
Komentar Iman Ahmad tentang kedudukan Muhammad bin Ishaq, pengarang buku Al Maghazi, bahwa dialah sebenarnya sumber yang valid dalam periwayatan hadits-hadits ini, maksdunya hadits yang terdapat dalam kitab itu. Maka penulis membandingkan ini dengan dengan komentar Ahmad yang lain tentang haditts itu sebagai klasifikasi hadits ‘Hasan Shahih’.
Ketiga,
Komentar Al Baihaqy : “Mereka mempermudah dalam mengambil pentafsiran mereka karena yang mereka tafsirkan adalah lafaznya, yaitu dari segi bahasa. Sesungguhnya yang mereka lakukan adalah mengumpulkan hadits dan mendekati mereka saja. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya beliau tidak bermaksud percaya dengan para periwayat hadits yang mempunyai kelemahan-kelemahan dalam proses pentafsiran itu, karena proses interpretasi itu tidak mengharuskan adanya sikap ‘tsiqah’ atau kejujuran ideal, apa yang dibutuhkan adalah fakta dan bukti-bukti yang benar yang berfungsi untuk mendukung dan membackup argumennya. Kendatipun demikian, tidaklah etis untuk mengatakan bahwa Hadits dho’if adalah layak dijadikan sebagai landasan hukum dan norma dan sebagainya.
Sebuah kenyataan yang terdapat dalam komentar Ahmad dan Ibnu Al Mubarak dengan statement yang mengandung hipotesa latar belakang masalah ini. Ahmad berkomentar bahwa kemungkinan mereka itu bersikap permisif dalam penetapan Isnad, sampai diketahui ada kaitannya dengan hukum. Sementara itu, Ibnu Mubarak berkata, “Kemungkinan dia memang periwayat hadits dha’if jenis ini atau yang serupa dengannya.
Maka sebenarnya ini adalah sebuah permasalahan yang dianggap enteng, bukan sebuah masalah yang pelik atau bersifat wajib dan bukan pula sebuah perkara yang perlu mendapat resistensi tapi sebuah permasalahan yang bisa saja dilakukan dan bisa pula ditinggalkan.
Kelima,
Kasus Tasyaddud [Kehati-hatian yang penuh sampai memberatkan] dan Tasahul [permisifisme] sebenarnya belumlah terbukti secara ilmiah dan juga limit definisinya juga belum jelas, para ilmuwan juga kenyataannya mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang definisnya yang sebenarnya.
Pihak yang berpendapat bahwa Tasyaddud dalam proses pembuatan hukum dan pembentukan argumen berdasarkan hadits mempunyai keistimewaan tersendiri. Sementara Tasahul dalam proses pembuatan hadits sebagai argumen mempunyai nilai keistimewaan yang lebih rendah bahkan lebih rendah dari tingkatan pelandasan hukum, Imam Ats Tsaury telah banyak berkomentar banyak dalam hal ini dalam pembahasan sebelumnya. Sikap ini dapat di implementasikan dalam kasus hadits yang masuk dalam katagori Shahih dan Hasan.
Sementara itu pihak lain berpendapat bahwa sikap Tasyaddud dapat dibenarkan dalam pembuatan hukum sementara Tasahul tidak.Contohnya dalam dua penilaian hadits yang
bersamaan, disatu pihak Shahih Hasan dan pihak lain di nilai Dho’if.
Keenam,
Di bawah ini adalah sumber yang melatarbelakangi pendirian mereka :1
-[…….Maka dengarkanlah hadits yang berkomentar kepada pahala dan sebagainya] -[…….Kami telah bersikap tasahul dalam peroses penetapan isnad]
-[…….Kemungkinan besar mereka telah bersikap tasahul]
-[…….Wajib tunduk dengannya, dan bersikap tasahul dalam periwayatannya]
-[…….Kami bersikap tasahul pada penetapan isnad dan permisif pada penentuan personalitas perawinya.
-[…….Bersikap tasahul lah pada penafsiran atas golongan yang tidak mempercayai mereka akan hadits.
-[Mereka memuji Hadits-haditsnya, dan menuliskan tafsir darinya]
-[….Dialah seorang yang menulis darinya hadits ini, -seakan-akan Al Maghozi dan yang serupa dengannya.]
-[ Janganlah bersandarkan dengan pengetahuan seperti ini dalam penentuan halal dan haram kecuali….. tapi tidak masalah mengikuti selainnya]
-[ Kemungkinan dia telah merawikan hadits dho’if ini dan yang serupa dengannya]
Inilah sepuluh landasan bersikap, sebagai sumber pijakan dalam mengamati masalah ini, Sebelum penulis melakukan studi lebih lanjut saya menyampaikan beberapa nilai-nilai eksplisit yang dikemukaan oleh sebagian Huffadz, seperti Al 1 Pengambilan kesimpulan di pengaruhi oleh masalah-masalah ini, demi penjelasan perkara ini, dan telah diteliti dalam statement yang digunakan oleh para ulama mengenai
defenisinya. Penulis mengikuti pendapat ini dengan pendirian sebagian para Huffadz yang di sebut dalam statement itu dengan melakukan studi banding dengan faham Imam Nawawi tentang hal ini dan para pengikutnya.
Hafidz Abi Bakr Al Khotib, seperti yang terdahulu pembahasannya dalam kitab Al Kifayah.
1.Komentarnya, Bab mengenai Tasyaddud dalam hadits yang berkaitan dengan hukum, dan bolehnya bersikap tasahul dalam hadits yang berkaitan dengan keutamaan ibadah…. Tidak boleh meriwayatkan hadits yang berkaitan dengan hukum penghalalan dan pengharaman kecuali…. Sedangakn hadits yang berkaitan dengan anjuran dan nasehat, boleh ditulis dari seluruh Ulama.
Beginilah menurut Al Hafidz bin Rajab Al Hambali, dalam penelitiannya tentang buku “Syarhu Ilal At Turmudzi”1 atas
pernyataan Abu Isya’ : Siapapun yang meriwayatkan hadits dari perawi yang dituduh pemalsu atau lemah karena kebodohannya, banyak salahnya sedagkan hadits tersebut tidak dikenal kecuali dari perawi itu, maka tidak bisa dijadikan sebagai dalil.
2. Ibnu Rajab berkata : Sedangkan apa yang disebutkan oleh Turmudzi. Maksudnya adalah tidak bisa dijadikan dalil dalam hukum-hukum syar’I, perkara-perkara amal, walaupun hadits itu sudah diriwayatkan oleh sebagain mereka dalam hadits yang berkaitan dengan akhlaq, anjuran dan larangan. Mayoritas ulama telah meringankan persyaratan dalam mengeluarkan hadits-hadits berkaitan dengan nilai itu dari perawi yang lemah, di antara yang membolehkan adalah Ibnu Mahdi dan Ahmad bin Hambal.
Kemudian mereka berkata sesungguhnya periwayatan hadits yang berkaitan dengan larangan, anjuran dan zuhud serta adab, adalah hadits yang dirriwayatkan oleh ulama yang pelupa namun bukan seorang pemalsu. Apabila ia seorang pemalsu maka ditolak haditsnya. Inilah yang dikatakan oleh Ibnu Abi Hatim dan kawan-kawan.
3. Menurut Abi Umar bin Sholah dalam kata pengantarnya pada Kitab Ulumul Hadits1 Beliau berkata, baik ahli hadits maupun bukan dibolehkan bersikap permisif dalam isnad dan riwayat apapun selain yang palsu diantara hadits-hadits dho’if tanpa memperhatikan keterangan letak kelemahannya selama tidak berhubungan dengan sifat Allah SWT, hukum-hukum syariah berupa halal dan haram. Dan maksudnya itu seperti nasehat-nasehat, kisah, keutamaan ibadah, dan semua bentuk anjuran dan larangan serta semua yang tidak berkaitan dengan hukum-hukum dan akidah. Di antara ulama yang membolehkan bersikap permisif dalam hal ini adalah Abd Rahman Bin Mahdi dan Ahmad Bin Hambal RA.
4. Menurut Ibnu Wajir Al Yamani dalam buku Tanqih Al Anzhor2 Dilarang menyebutkan hadits palsu kecuali dengan
keterangannya. Jika selain hadits palsu maka boleh bersikap permissif dan meriwayatkannya tanpa menerangkan segi kelemahannya. Jika yang demikian itu tidak berkaitan dengan hukum-hukum dan aqidah seperti sifat-sifat Allah SWT yang jaiz dan mustahil. Diantara ulama uanh mengatakan hal ini adalah Abd rahman bin mahdi, Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Al Mubarak.
Abu Al Yasar, penulis statement dibawah ini, berkata : Aku persembahkan bagi para pencari kebenaran, dalil-dalil ulama berdasarkan
statement mereka, kemudian aku teliti bagimu intisarinya dan aku tambahkan dengan menyebutkan pemahaman sebagian Huffadz di dalamnya. Mengikuti konvensi ulama salaf juga karena keengganan atas dengan keterbatasan ilmu. Maka menurutku : 1 Diteliti kembali oleh Dr. Aisah Abd Rahman dan dengan Isinya ‘Mahasin Al Istilah’ Karangan Al Balqini Hal : 217 2 Jilid II Hal : 109-111 dari penjelasan kitab Taudhih Al Afkar karangan Al Sun’ani yang telah diteliti olehMuhammad Muhiddin Abd Hamid.
Istilah-istilah para ulama salaf adalah tentang tasyaddud, tasahul, sima’, penulisan dan periwayatan hadits dari perawi yang lemah atau tidak dapat dipercaya dalam hadits-hadits yang berkaitan dengan keutamaan ibadah dan sebagainya.
Kemudian istilah-istilah para Huffadz periode setelah ulama salaf adalah tentang masalah kapasitas dan periwayatan tanpa disertai keterangan lemah pada hadits-hadits yang berkaitan dengan keutamaan ibadah dan sebaginya dari hadits- hadits yang berkaitan dengan hukum.
Mereka yang mengkaji pendapat suatu golongan dan mengikuti cara mereka dalam kemampuan sima’ hadits, dalam Dapat kita ketahui dalam hal ini bahwa mereka mempunyai beberapa sistem :
5. Komentar Al Uqaily tentang para perawi yang lemah (1/15).
Yahya Bin Usman berkata kepada kami, Na’im Bin Hamad berkata, Hatim Al Fahir [Seorang Rawi yang dapat dipercaya berkata: Saya mendengar Sufyan Ats Tsaury berkata : Saya meriwayatkan hadits dari tiga segi, Pertama : Saya mendengar hadits dari seorang rawi maka saya jadikan dalil, saya mendengar hadits dari seorang perawi dan saya bersikap abstein, saya mendengar hadits dari seorang perawi dan saya tidak meriwayatkannya tapi penasaran. Dan Ibnu Abdilbar, dalam buku Jami’ Bayan Al Ilmi bab keringanan dalam menulis ilmu hal : 38, juga meriwayatkan hal yang serupa.
Menurut penulis, lebih kurang :
1. Mengambil Hadis yang diriwayatkannya sebagi dalilm dianggap suatu ibadah jika hadits yang diriwayatkannya shahih dan dapat dijadikan landasan hukum kepada orang yang mendengarnya.
2. Kemampuan dalam sima’ hadits dengan kemudian bersikap abstein tentang kebenaran hadits dan feasibilitasnya sebagai hukum yang disebabkan adanya cacat di hadits semua ini tidak menutup kemungkinan untuk meriwayatkannya selama isnadnya jelas. Karena penyebutan isnad menurut ulama salaf, kedudukannya sederajat dengan interpretasinya. Mereka beranggapan bahwa periode mereka terbebas dari itu. Anggapan ini mendapat bantahan dari ulama kontemporer, Al Hafidz Al Sakhowi menyatakan bahwa periode mereka tidak terbebas dari itu, karena tidak pernah ada periode yang terlepas dari hal itu.
3. Kemampuan mendengarkan hadits yang tidak bisa dijadikan landasan hukum, pembuktian atau untuk mendapat loyalitas.
4. kemampuan mendengarkan hadits yang dijelaskan segi kelemahannya untuk membedakannya dan mengetahuinya supaya tidak bercampur dengan hadits yang shahih.
5. Periwayatan seorang ahli hadits yang cerdas yang mampu melakukan klasifikasi antara hadits yang shahih dan lemah.
Menurut penulis, Kita dapat mengikuti statemen para ulama dalam hal yang berkaitan dalam keutamaan ibadah dan sebagainya berdasarkan katagori nomor dua dan tiga dari lima katagori di atas.
Ada sistem lain menurut penulis yang lebih sesuai dari apa yang dikandung dalam pembahasan ini, sistem itu adalah Mutlak dalam penerimaan nasehat dan penjelasan. Maksud dari semua yang disebutkan oleh penulis berupa tasahul, sima’, kodifikasi, menulis, menghafal dan meriwayatkan adalah yang berhubungan dengan hadits dho’if dalam keutamaan ibadah, pahala, sangsi, anjuran dan larangan. Yang mana nilai
perbuatan ini sudah tetap hukumnya dalam syar’I. Dengan begitu dapat diperlakukan dengan sikap toleransi.. Hikmah dari semua itu, sebagai mana saya sebutkan adalah mutlak menerima nasehat dan penjelasan tentang yang berkaitan dengan hadits berupa anjuran dan larangan yang mana riwayatnya didengar langsung sebagai perintah dalam mengerjakan suatu ibadah jika perintah itu terpuji dan sebagai larangan untuk meninggalkan ibadah tersebut jika tercela.
Dengan catatan, jika hadits dho’if tersebut mempunyai penjelasan dan ketentuan atau limit yang tidak menetapkannya sebagai sunnah maka tidak boleh diikuti karena semau itu termasuk bid’ah buatan.1 Seperti hadits tentang keutamaan
sholat pada waktu tertentu, dengan bacaan tertentu atau sifat tertentu dan sebagainya. Kita tidak boleh mengatakan hakikat sholat itu diwajibkan, tetapi kita mengakatakan apa yang ditambahka dari hakikat sholat yang ada belum ditetapkan oleh hukum Islam. Ibadah adalah perkara yang pasti. Yang dikiaskan atas ketaatan yang lain seperti puasa, koma, sedekah, zikir, baca al qur’;an dan sebagainya.
Inilah yang penulis uraikan secara global yaitu, pengkajian terhadap kasus yang sangat penting dalam memahami statemen ulama dan dalil-dalil mereka, pada kenyataannya tidak boleh mengamalkan hadits dho’if secara mutlak baik itu dalam hukum maupun ibadah, yang ada hanyalah periwayatannya dengan cara yang telah saya jelaskan. Hal ini adalah sebuah usaha preventif terhadap agama dari isu- isu yang tidak relevan juga dari ulama yang terlibat.
1 Lihat statemen Al Allamah As Syatibi tentang bid’ah tambahan yang dijelaskannya dalam buku Al ‘Itisham jilid satu hal : 286
Ini adalag kesimpulan dari semua pembahasan dari masalah ini semua. Termasuk didalamnya pendapat para ilmuwan yang saya ikuti :
6. Syeikh Islam, Ibnu Taimiyah RA, berkata :1
Pendapat para ulama tentang amalan terhadap keutamaan ibadah bukanlah berarti penetapan hukum sunnah berdasarkan hadits yang sebenarnya tidak perlu, akan tetapi itu semua sangat memerlukan proses-proses hukum berdasarkan syariat. Mereka yang menyebarkan pendapat bahwa Allah SWT menyukai amalan yang tidak mempunyai landasan hukum yang jelas berarti telah terlibat dalam pemberitaan sesuatu yang tidak dilarang. Seperti halnya penetapan hukum wajib dan haram. Oleh karena itu para ulama berbeda pendapat dalam hal penetapan hukum sunnah seperti halnya masalah-masalah lain bahkan dalam masalah pokok-pokok agama sekalipun.
Maksud mereka adalah agar itu semua merupakan ibadah yang telah ditetapkan oleh Allah SWT sebagai ibadah yang dicintai-Nya atau telah ditetapkan sebagai perbuatan yang dibencinya berdasarkan Al Quran, al Sunah dan ijma’. Seperti membaca al Quran, tasbih, do’a, sedekah, membebaskan budak, berbuat baik kepada orang lain, dibencinya kebohongan dan khianat dan sebagainya. Jika diriwayatkan sebuah hadits yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang dimubahkan beserta pahala-pahalanya dan hadits yang berkaitan dengan dibencinya sebagian perbuatan berserta sangsinya maka ukuran pahala dan sangsi jika diriwayatkan di dalam hadits yang tidak diketahui kepalsuannya maka boleh meriwayatkannya dan mengamalkannya. Artinya : Bahwa jiwa seseorang mengharapkan pahala dan waspada terhadap sangsi seperti kondisi seseorang yang mengerti bahwa bisnis itu adalah sesuatu yang 1 Kitab Majmu’ fatawa karya Ibnu Taimiyah Jilid 18 Hal : 65- 68 Penerbit, Riyad
mendatangkan profit, kemudian dikhabarkan bahwa dia untung dengan jumlah yang besar. Jika berita tiu didapat dari seorang yang jujur maka akan bermanfaat sebaliknya jika berita itu bersumber dari seorang pembohong maka tidak akan membayahakan.1
Contohnya, Anjuran, larangan-berdasarkan israiliyat dan ta’wil mimpi, pernyataan ulama salaf dan fakta serta yang sejenisnya yang tidak layak dijadikan landasan dalam penetapan hukum syar’I, memubahkan sesuatu dan seterusnya. Tetapi boleh disebutkan dalam anjran, larangan, petunjuk, peringatan dan sebagala sesuatu yang telah jelas efeknya dengan dalil syar’i. Maka semua inil adalah sesuatu yang bermanfaat dan tidak berbahaya. Baik itu, dalam hal serupa, benar atau salah.2 Jika diketahui hal tersebut bathil dan
palsu tidak boleh diikuti. Jika telah terbukti dapat dijadikan landasan hukum. Kalau misalnya mempunyai derajat yang sama makam diriwayatkan berdasarkan kemungkinan kebenaran dan tidak adanya bahaya dalam kebohongan.
1 dengan syarat ukuran ini tidak dikenal dari seseorang yang tidak menguasai ilmu hadits dan dasar-dasarnya, sampai orang lain percaya bahwa siperawi adalah seorang yang adil, tap hal ini bagi ulama yang mengetahui titik kelemahan si perawi berdasarkan jenis perintah dan larangannya, sebagaimana yang dijelaskan penulis juga akan diterangkan seperti apa yang disebutkannya dari Al Hafidz bin Hajar Rahimahullahu, pada fasal ketiga.
2 Kedua hal ini tidak sama , jika itu terjadi pada kasus yang sama akan menjadi batil, maka kita bersandarkan kepada hukum syar’I untuk ukuran pahala dan hukuman yang kadang dilehi-lebihkan. Penulis akan menjelaskannya lagi pada fasal III. Insyaallah.
Imam Ahmad berkata : jika ada hadits yang berkaitan dengan anjuran dan larangan maka kami bersikap permisif dalam isnad. Artinya : kami meriwayatkan hadits itu dengan isnadnya walaupun perawinya bukan seseorang perawi yang “tsiqot”[mempunyai sifat yang benar-benar adil ] yang dapat dijadikan landasan hukum. Ada juga ulama yang mengatakan : dapat diamalkan dalam keutamaan ibadah1. Yang dimaksud
dengan perbuatan disini adalah perbuatan yang baik seperti membaca al Quran, zikir, dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang tercela.
Sebagaiman yang disabdakan Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al bukhori2 dari Abdillah bin
Amru,” sampaikanlah apa yang berasal dariku walau satu ayat, dan katakanlah apa yang berasal dari bani israil dan kamu tidak akan berdosa , siapa yang sengaja berbohong atasku maka disediakan baginya tempat duduk dari api neraka”. Dalam sebuah hadits sohih3 yang lain ,” Jika ahli kitab mengatakan
1 Perhatikan klasifikasi Syeikh Islam Ibnu Taimiyah antara pernyataan Imam Ahmad dengan pernyataan ulam yang menyatakan bolehnya mengamalkan hadits dho’if dalam keutamaan ibadah. Hal ini sesuai dengan apa yang ditetapkan penulis bahwa stateman para ulama tadi sama sekali bukan tentang masalah pengamalan.
2 Buku Ahadits Al Anbiya’ bab : apa yang dikatakan bani Israil. Hadits nomor : 3461
3 hadits shohih denag lafaz “ janganlah kamu mempercayai ahli kitab dan jangan pula mengingkari mereka. Namun katakanlah ,” kami beriman kepada Allah SWT dan apa yang telah diturunkan kepada kami dan apa yang telah diturunkan kepada kalian.” Disebutkan Al Bukhori dalam 3 tempat dikitab shohihnya . Pertama dalam masalah kesaksian, bab : 29 yaitu larangan untuk bertanya kepada golongan yang menyekutukan
sesuatu kepada kalian maka janganlah dipercaya dan jangan juga diingkari.”
Ini semua merupakan keringanan dalam periwayatan hadits mereka, yang berisi larangan mempercayai dan membenarkan merela. Namun jika apa yang mereka ucapkan benar-benar tidak bermanfaat, maka tidak ada keringanan lagi. Kalau dibolehkan mempercayai mereka hanya dengan berdasarkan hadits ini, maka tidak akan dilarang mempercayai mereka. Karena seseorang akan mengambil manfaat dari apa yang dikiranya suatu kebenaran dalam kepalsuan.
Allah SWT tentang hal yang berkaitan dengan kesaksian, kemudian beliau sambung dalam tafsir, firman Allah SWT,”katakanlah kami beriman kepada Allah SWT dan kepada apa yang telah diturunkan kepada kami.”hadits nomor: 4485. dalam buku Al I’tisom bab sabda Nabi SAW : Janganlah bertanya kepada ahli kitab tentang sesuatupun. Hadits no. 407 dari surah Al Ankabut, diteribitkan oleh Markaz Al Sunnah Li Al bahtsi Al Ilmi dan keduanya bersumber dari Abi Huraitah RA. Adapun kalimat hadits seperti ini, telah