• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sambutan dari Pusat Riset dan Studi Ilmiah Ilmu Hadits

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sambutan dari Pusat Riset dan Studi Ilmiah Ilmu Hadits"

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

Nama buku : Hukmu al ‘Amal Bi al Hadîts al Dha’îf Judul terjemah : Hukum Mengamalkan Hadits Yang Lemah Penulis : Dr Asyrif bin Sa’id

(2)

Bismillahirrahmanirrahim

Sambutan dari Pusat Riset dan Studi Ilmiah Ilmu Hadits

Segala puji bagi Allah SWT, Kami memujinya, meminta pertolongannya dan memohon ampunan-Nya, Kami berlindung kepada Allah SWT dari kejahatan jiwa dan perbuatan yang tercela. Siapa yang diberi hidayah Allah SWT maka tidak akan sesat. Dan siapa yang sesat tidak akan mendapatkan hidayah-Nya. Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah SWT dan tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad SAW adalah hamba dan Rasul-Nya.

Allah SWT berfirman, “ Wahai orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah SWT dengan taqwa yang benar dan janganlah kamu meninggal kecuali kamu berada dalam keadaan muslim.” QS Ali Imran : 102. Allah SWT berfirman, “ Wahai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari satu jiwa dan menciptakan darinya pasangan-pasangannya dan dari pada keduanya Allah SWTmemperkembang biakan laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertakwalah kamu kepada Allah SWT yang dengan mempergunakan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain , peliharalah tali silaturahmi sesungguhnya Allah SWT selalu menjaga dan mengawasi kamu.” QS An Nisa’ : 1. Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah lepada Allah SWT dan berkatalah perkataan yang benar niscay Allah SWT memperbaiki bagi kamu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu dan barang siapa mentaati Allah SWT dan rasulnya maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan.” QS Al Ahzab: 70-71.

(3)

Muhammad SAW. Perkara yang paling buruk adalah perkataan baru yang direkayasa. Segala sesuatu yang baru adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan ada dalam neraka.

Segala puji bagi Allah SWT yang telag memerintahkan kita untuk menaatinya dan menaati Nabi-Nya SAW, mengikuti sunnahnya yang mulia, menjauhi bid’ah dan hawa nafsu. Allah SWT berfirman, “Taatilah Allah SWT dan Rasul-Nya supaya kamu sekalin dikasihi oleh Allah SWT.” QS Ali Imran: 132. Allah SWT berfirman, “Dan apabila kamu taat kepada-Nya, kamu akan mendapatkan hidayah. Dan tidak lain kewajiban Rasulullah SAW kecuali untuk menyampaikan amanat Allah SWT yang jelas.” QS An Nur : 54. Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah SWTdan Rasul-Nya dan janganlah kamu merusak pahala amal-amalmu.” QS Muhammad : 33. Allah SWT berfirman, “Taatilah Allah SWT dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu saling berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu mejadi gentar dan hilang kekuatan.” QS Al Anfal : 46. Allah SWT berfirman, “Siapa yang menaati Rasulullah SAW maka telah menaati Allah SWT.” QS An Nisa’ : 80.

Allah SWT berfirman, “Segala perintah Rasulullah SAW kepadamu, kerjakanlah! dan segala larangannya, jauhilah!” QS Al Hashar : 7. Allah SWT berfirman, “Apabila kamu berbeda pendapat dalam suatu hal maka kembalikanlah kepada Allah SWT dan Rasul-Nya jika kamu benar-benar beriman kepada Allah SWT dan hari akhir.” QS An Nisa’ : 59. Ayat-ayat yang berhubungan dengan masalah ini sangat banyak.

(4)

mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, sesungguhnya Allah SWT maha pengampun dan maha penyayang.” QS Ali Imran : 31. Allah SWT berfirman, “ Sesungguhnya pada diri Rasulullah SAW terdapat suri tauladan yang baik.” QS Al Ahzab : 21. Allah SWT berfirman, “Demi Allah, sesungguhnya mereka pada hakekatnya tidak akan beriman sampai mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak keberatan dalam hati terhadap keputusanmu dan mereka menerima sepenuhnya.” QS An Nisa’ : 65. Allah SWT berfirman,” Sesungguhnya jawaban orang-orang yang beriman apabila mereka dipanggil Allah SWT dan Rasulullah SAW agar Rasul mengadili mereka ialah ucapan kami mendengar dan kami patuh dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” QS An Nur : 51. Setiap orang yang memahami ilmu syariah menyakini bahwa hadits adalah sebagai pentafsir al qur’an, penjelas segala sesuatu dalam al qur’an berupa hukum-hukum dan permasalahan agama. Keduanya harus ditaati.

Sunnah tidak dapat dipisahkan dari al qur’an, bahkan keberadaannya adalah sebagai penjelas bagi al qur’an, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT, “Dan kami telah menurunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” QS An Nahl : 44. Rasulullah SAW bersabda, “Bukankah aku telah diberikan al qur’an dan yang serupa dengannya1.” Dalam sebuah riwayat,” bukankah segala sesuatu yang diharamkan oleh Rasulullah SAW itu sama dengan apa yang diharamkan oleh Allah SWT. “

Bentuk ketaatan kepada Nabi, setelah beliau wafat, adalah dengan mengikuti sunnah dan hidayahnya. Karena

(5)

seandainya tanpa loyalitas tersebut, akan berakhirlah risalah Nabi terakhir bersamaan dengan wafatnya. Hal ini dapat mengancam eksistensi ajaran agama Islam sampai hari kebangkitan.

Sumber dari segala kebaikan adalah dengan mengikuti Al Quran dan sunah, mengikuti petunjuk keduanya, menyelam di lautan keduanya dan kebaikan keduanya yang global. Tidak ada yang lebih memberi petunjuk, membahagiakan dan mensucikan bagi jiwa dari memahami Al Quran dan sunah , mengetahui pengetahuan didalam keduanya, memikirkan makna-makna yang terkandung didalamnya dan melaksanakan tujuannya. Disemua inilah akan didapatkan kesucian hati , kemurnian akal dan kesempurnaan jiwa.

Semua orang tahu bahwa sunah pada awalnya belum disusun dalam buku akan tetapi dihafalkan didalam hati. Bahkan awal pertama akan disusunnya sunah terjadi perselisihan pendapat yang akhirnya ditetapkan kebolehan untuk menyusun sunah berdasarkan bukti yang ada sesuai tempatnya.

Ketika islam mulai tersebar, meluas negara islam, berpencarnya para sahabat diberbagai negri, banyaknya yang meninggal diantara mereka, menyebarnya bid’ah dan semakin sedikitnya yang mempunyai hafalan yang baik menyebabkan pentingnya untuk menyusun dan menulis hadits, karena akal menghafal dan tulisan menjaga. Pada masa kekhalifahan Imam yang terkenal adil Umar bin Abdul Aziz beliau menulis surat kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm Al Anshory pegawai dan hakim di kota yang berisi, lihatlah apa yang ada pada hadits Rasulullah SAW maka tulislah sesungguhnya aku takut hilangnya ilmu dan meninggalnya ulama.1

Para sahabat muslim sangat berhati- hati dan teliti dalam menerima hadits dan riwayat, menyandarkan setiap

(6)

perkataan kepada yang mengatakannya. Muhammad bin Sirin mengatakan,” Sesungguhnya ilmu ini (hadits) adalah agama, maka lihatlah kepada siapa kamu menyandarkan agamamu.”1

Karena itu Isnad (rantai periwayatan hadits) yang merupakan salah satu keistimewaan umat ini merupakan agama, tanpa isnad orang akan mengatakan apa yang dia suka.2

Ketika terjadi banyaknya fitnah, tersebarnya berbagai kejahatan dan pendapat-pendapat yang merusak isnad merupakan pelindung khusus. Muhammad bin Sirin mengatakan,” Pada awalnya mereka tidak menanyakan tentang isnad, ketika terjadi banyak fitnah, mereka berkata : beritahukan kepada kami perawi yang baik. Maka lihatlah kepada ahli sunah dan ambillah hadits dari mereka serta lihatlah ahli bid’ah dan jangan mengambil hadits dari mereka.”3 Mulailah adanya ilmu

al-jarhu wa at ta’dil (ilmu untuk mengetahui kebenaran hadits yang dikeluarkan oleh perawi sekaligus mengetahui keadaan perawi hadits), menetapkan dasar-dasar dan kaidah atau aturannya, tanpa nepotisme, karena para sahabat nabi tidak takut akan celaan orang yang dengki.

Diantaranya Ali Al Madani, guru Al Bukhori beliau menyatakan lemah hadits yang diriwayatkan orang tuanya Abdullah bin Ja\far dan mengatakan,” Ini adalah agama.”. Abu Daud penulis kitab Al Sunan juga menyatakan lemah hadits yang diriwayatkan anaknya sebagai nasehat untuk umat islam. Zaid bin Abi Unaisah mengatakan,” Janganlah kalian

1 Pembukaan Shohih Muslim ( 1/14) hadits ini telah diteliti oleh penyusun di buku As Syama’il Al Muhammadiyah (nomor 417)

2 Dikatakan oleh Abdullah bin Mubarak , lihat pembukaan Shohih Muslim ( 1/15)

(7)

meriwayatkan hadits dari saudaraku Yahya.” Dan sebagainya yang dilakukan ulama lain.

Segala puji bagi Allah SWT yang telah menjadikan sunah sebagai penjelas Al Quran , cahaya petujuk bagi orang-orang yang berilmu, mentakdirkannya dari orang-orang bertakwa yang menghafal Al Quran, perawi-perawi yang benar , para pengeritik hadits yang berilmu yang benar-benar mengkhidmahkan dirinya untuk agama, menjaganya dengan kehormatannya yang dengannya mencegah penyelewengan dari orang-orang fanatik, klaim para pendusta, kebohongan para perusak kerusakan para dajjal, pentafsiran orang –orang yang bodoh. Maka mereka mengkualifikasikan penulisan hadits, memisahkan yang shohih dari yang palsu erdasarkan apakah hadits-hadits tersebut bisa diterima ataupu ditolak.

Para ulama telah meletakan kaidah-kaidah dan aturan-aturan untuk masalah ini, yaitu ilmu ushul (dasar-dasar )hadits untuk menerima perawi dan menerima hadits yang diriwayatkanya, apabila memenuhi syarat-syarat yang ada maka haditsnya diterima dan ditolak apabila tidak memenuhi syarat.

Telah tersebar luas diantara kebanyakan ulama dan murid-muridnya tentang kebolehan mengamalkan hadits yang lemah dalam keutamaan ibadah, dan mereka mengira tidak adanya perbedaan pendapat dalam hal ini bahkan berkayakinan bahwa Imam Nawawy menyebutkan kesepakatan ulama dalam hal ini.

(8)

benar-benar lemah telah menetapkan syarat-syarat penting yang harus dipenuhi dalam mengamalkan hadits tersebut.

Sayangnya banyak orang yang terlalu meudahkan syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam hal ini, mereka mengamalkan hadits tanpa mengetahui kebenaran dan kelemahan hadits, apakah kelemahan yang ada dalam hadits tersebut ringan ataupun berat.

Saudaraku tesis yang berisi seputar judul penting ini, ditulis oleh saudara kita yang mulia Asyrof Bin Sa’id .Terhimpun didalamnya pendapat-pendapat para ulama dan menerangkan mazhab yang benar dalam hal ini yang harus kita ikuti. Jelas dari pendapat-pendapat para ulama yang ada dalam tesis ini bahwa tidak ada ijma’ dan kesepakatan yang menyatakan bolehnya mengamalkan hadits dho’if dalam keutamaan ibadah. Semua ini akan menjadi satu-satunya tulisan yang lengkap, penuh dengan faidah, banyak manaat, dan mulia.

Tesis ini sangat penting pada zaman kita dimana telah benyak pendapat yang mengatakan bolehnya mengamalkan hadits dho’if dalam keutamaan ibadah bahkan mengenggapnya sebagai suatu kaidah yang dapat diterima. Kebanyakan mereka melampaui pengamalan hadits dho’if diatas keutamaan ibadah dan membolehkan pengamalan hadits dho’if dalam menetapkan hukum selain hukum syar’I dan sebagainya. Bahkan sebagian yan lain ada yang menolak hadits shohih hanya karena bertentangan dengan pendapat mereka yang rusak dan tercela kemudian mereka mengambil hadits dho’if dalam keutamaan ibadah dengan alasan bahwa hadits tersebut sesuai dengan apa yang tersirat dalam Al Quran, demi kebenaran arti dan semacam alasan yang mereka buat.

(9)

perawi, banyaknya hukum cabang (far’u) yang mengenyampingkan hukum asli, sehingga kemulian jiwa sudah hampir hilang, masalah berlalu begitu saja tanpa hukum, perginya hukum syar’I yang mengatur kepentingan individu dengan lainnya dan hilangnya nilai-nilai luhur. Segala sesuatu hanya milik Allah SWT dan kepada-Nya lah semua kembali

Hal ini merupakan suatu aklamasi yang benar dalam berpegang teguh dengan Al Quran dan sunah yang benar, mempelajari keduanya dan mengamalkan apa yang terkandung dengan niat yang ikhlas dan tulus sebagaimana yang diajarkan dalam syari’at . Barang siapa yang tidak mempunyai ilmu tentang Al Quran dan sunah tidak mempunyai sinar hidayah dan cahaya kenabian yang telah menerangi dajâjir1 syubhat dan kegelapan turuhât2. Walaupun hal ini ada karena kebodohan akal seseorang, akalnya sulit mencapai kebenaran yang jelas, hatinya kosong dari keimanan dan rasa takut terhadap agama.

Saya memohon kepada Allah SWT untuk menjadikan kita semua digolongan orang-orang yang mendengarkan petunjuk dan mengerjakan kebaikan dan Allah SWT menunjukan kita semua kepada hal yang diridhinya. Sesungguhnya Allah SWT Maha kuasa atas segala sesuatu

Maha suci Allah SWT Tuhan yang Mulia dengan segala sifat-Nya, salam kepada para rasul, dan segala puji bagi Allah SWT.

Ditulis Abu Abdullah

Sayid bin Abbas bin Ali Al Jalimi

1 Bentuk jamak dari daijûr yang artinya kegelapan

2 Turuhât ; kebathilan, bentuk tunggalnya turhat. Arti

(10)

Pusat Riset dan Studi Ilmiah Keillmuan Cairo 4 / 3 / 1411 H, 24 / 9 / 1990 M

Bismillahirrahmannirahim

Sambutan penulis

Segala puji bagi Allah SWT, Kami memujinya, meminta pertolongannya dan memohon ampunan-Nya, Kami berlindung kepada Allah SWT dari kejahatan jiwa dan perbuatan yang tercela. Siapa yang diberi hidadayah Allah SWT maka tidak akan sesat. Dan siapa yang sesat tidak akan mendapatkan hidayah-Nya. Aku bersdaksi tiada Tuhan selain Allah SWT dan tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad SAW adalah hamba dan Rasul-Nya.

Allah SWT berfirman, “ Wahai orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah SWT dengan taqwa yang benar dan janganlah kamu meninggal kecuali kamu berada dalam keadaan muslim.” QS Ali Imran : 102.

Allah SWT berfirman,”Wahai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari satu jiwa dan menciptakan darinya pasangan-pasangannya dan dari pada keduanya Allah SWTmemperkembang biakan laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertakwalah kamu kepada Allah SWT yang dengan mempergunakan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain , peliharalah tali silaturahmi sesungguhnya Allah SWT selalu menjaga dan mengawasi kamu.” QS An Nisa’ : 1.

(11)

mentaati Allah SWT dan rasulnya maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan.” QS Al Ahzab: 70-71.

Sesungguhnya perkataan yang paling benar adalah yang ada dalam Al Qur’an dan hidayah yang paling baik, hidayah Muhammad SAW. Perkara yang paling buruk adalah yang perkataan baru yang direkayasa. Segala sesuatu yang baru adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan ada dalam neraka.

Tesis ini bagus, saya susun didalamnya apa yang terserak dan saya ikat serta satukan apa yang terpisah dari pendapat-pendapat ulama salaf, maupun kontemporer yang merupakan ulama hadits yang terkenal dalam umat islam, baik ulama maupun umat biasa, tentang bolehnya mengamalkan hadits dho’if dalam keutamaan ibadah atau yang serupa dengannya seperti nasehat-nasehat, kisah-kisah dan segala sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam agama dan tidak berhubungan dengan masalah tauhid

(12)

menyandarkan kepadanya aturan mereka, menjalaninya sebagai jalan mereka dan menjadikannya sebagai alasan dalam bid’ah, hawa nafsu dan mazhab mereka, kemudian mengaku ataupun berpura-pura tidak tahu.

Mereka pasti mempunyai alasan dalam hal ini, bagaimana tidak? Menurut mereka Imam Muhyiddin An Nawawi, rahimahullahu telah melontarkan kesepakatan ulama tentang bolehnya mengamalkan hadits dho’if padda keutamaan ibadah disebuah buku yang bukan karyanya. Maka mereka beralasan kepada hal ini sehingga sudut pandang mereka menjadi sempit. Akan tetapi para peneliti hadits dari ulama setelah mereka meneliti kembali apa yang di katakan oleh An Nawawi dan mendiskusikannya . Sampai saat ini mayoritas ulama besar kontemporer dari ulama-ulama hadits dari Mesir, Syam, Hijaz, Yaman berpendapat harus meninggalkan kaidah ini , berhati-hati dari akibat yang ditimbulkan , menyerahkan perkara ini kepada ahli hadits dengan dalil yang kuat dan bukti yang benar. Karena mereka sangat memahami kaidah ini. Sedangkan orang yang mencetuskan kaidah ini diagungkan, walaupun sebenarnya mereka melihat hal yang bertentangan akan tetapi mereka mengabaikannya, mengingkari dalil yang disebutkan oleh ulama yang tidak sependapat, walaupun jumlah ulama yang menentang lebih banyak dan lebih pintar. Tampaknya kebenaran tdak selalu berdasarkan jumlah, akan tetapi dengan bukti dan dalil. Saya dengan kekuatan dan kekuasaan Allah SWT , saya seorang hamba yang lemah, berusaha memaparkan masalah hadits dho’if ini dengan mendetail berdasarkan pendapat dua golongan dan dalil-dalil dua mazhab1 dengan menisbatkan

(13)

setiap perkataan kepada yang mengatakan dan setiap dalil kepada sumbernya1 dengan rinci dan penjelasannya sambil

berdoa kepada Allah SWT semoga memberi rizki kepada saya dan kalian semua berupa keikhlasan didalam ucapan dan perbuatan, kemudahan dalam ilmu dan memahami serta adil kepada diri sendiri dan orang lain. Amin .

Ketauhilah bahwa saya tidak mengenal seorangpun yang menulis masalah ini kecuali :

Syeikh terkenal sekaligus peneliti hadits zaman keemasan Abdurrahman bin Yahya Al Mu’alimy Al Yamany. Beliau menyebutkan dalam bukunya ( Al Anwar al Kasyifah lima fî Kitâbi adhwa’I ala Al Sunnah min Al Tadhlil wa Al Mujazafah ) halaman : 91. Didalamnya masih ada tulisan yang belum jelas yang juga disebutkan dalam buku (Al fawa‘id al Majmu’ah fî Al Ahâdits al Maudhu’ah) yang ditulis oleh Imam As Syaukani dan di teliti olehnya, pada halaman : 10. Saya tidak tahu apakah sudah diperjelas atau belum.

Selain beliau ada juga yang menulis buku ( Hukum Mengamalkan Hadits Dho’if )

Yang lebih umum dari judul tesis saya. Diantaranya :

 Abu Ishaq Al Huwainy Al Atsary, menyebutkan dalam bukunya ( An Naqilah Fi Al Ahaditsi Dho’ifah Wa Al Bathilah ) jilid 1, halaman : 55. Beliau juga menulis buku (Al dho’if secara mutlak tanpa pengkhususkan dalam keutamaan ibadah. Tesis ini tentang keutamaan ibadah sebagaimana judul. Telah saya susun sebuah pasal pada akhir buku ini yang

menyebutkan mazhab ketiga, yaitu mutlaknya menjadikan hadits dho’if sebagai dalil serta mendahulukannya diatas qiyas dan pendapat ulama biasa.

(14)

Zillu Al Warîf Fî Hukmil Amal Bilhâdits Al Dho’if ) dan setahu saya belum dicetak.

 Abdul Karim Bi Abdullah Al Khudhoir beliau menulis tesis doktor yang membahas hal ini. Tesisnya bagus secara umum sama dengan apa yang terkandung dalam tesis saya.

 Alawy al Maliky menulis buku ( Al Manhal Al Latif Fî Ahkâm Al Hadits Dho’if ) telah dicetak dan belum saya baca.

Sehubungan dengan pentingnya hal ini sebagaimana telah saya sebutkan tadi, maka akan lebih dijelaskan lagi tentang hal ini, insya’allah. Tidak ada dalam cakupan para penuntut ilmu sesuatu yang telah disepakati hukumnya , dengan senang hati saya akan menjelaskan apa yang saya ketahui, sebagai nasehat untuk diri saya pribadi , persembahan untuk para ulama hadits dan murid-muridnya. Ini adalah suatu hal yang kecil yang dapat saya persembahkan untuk mereka. Mereka adalah orang yang pling berhak untuk dilayani dan ditolong karena mereka adalah manusia-manusia yang dipercaya Rasulullah SAW untuk menjaga sunah-sunahnya. Mereka adalah penjaga agama dan hukum syar’i. Merekalah pewaris segala sesuatu yang ditinggalkan Rasulullah SAW berupa sunah dan hukum islam. Mereka adalah manusia pilihan yang menyeru kebaikan dan mencegah kemunkaran. Mereka adalah manusia yang pertama kali selamat di akhirat. Mereka hamba yang lebih dahulu diciptakan. Tanpa mereka islam akan hilang, cahaya syar’I akan terhapus dari dunia. Tanpa bergaul dengan mereka dan melihat wajah mereka akan keruhlah wajah dunia.

(15)

hak dari yang bathil, yang benar dari yang salah, akan meningkatlah suara kedzoliman, akan hilanglah hadits Rasulullah SAW dalam tipu daya penipu dan dengki orang yang dengki.

Ya Allah SWT jadikanlah kami diantara mereka, himpunlah kami bersama golongan mereka, dan jangan jadikan kami fitnah setelah mereka, jangan Kau haramkan bagi kami pahala mereka. Ya Allah SWT jadikanlah kami mencintai mereka dan mereka mencintai kami dan jadikanlah kami dari pengikut-pengikut mereka dan pembawa panji-panji mereka, dan berikanlah kami kemuliaan tempat – tempat tinggal mereka dan kebaikan perjalanan hidup mereka. Amin .

Saya akhiri sambutan ini dengan harapan semoga pembaca dapat mengambil suatu manfaat, mendoakan saya agar mendapat maaf dan ampunan-Nya. Sesungguhnya aku malu kepada Allah SWT dari apa yang akan kamu dapatkan wahai pembaca dari panasnya penaku, hasil pemikiranku dan sudut pandangku dengan sedikitnya ilmu yang kumiliki serta terbatasnya kemampuan saya dalam ilmu yang sangat mulia ini.

Wahai saudaraku seagama janganlah kamu mencela hinanya penulis buku ini, ringan timbangannya disisi Allah SWT ataupun menghina suatu faidah didalamnya apalagi manakut-nakuti orang muslim. Takutlah kamu kepada Allah SWT dari hal ini. Kepada Allah SWT lah aku meminta agar memberi ku sema saudaraku petunjuk kepada yang banar dengan izinnya. Sesungguhnya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki kepada jalan yang lurus.

Penulis menyusun buku ini sebagai berikut : DAFTAR ISI:

(16)

II.Pendahuluan :Menyebutkan perintah untuk mengikuti hadits-hadits shohih, serta menghindari riwayat hadits dho’if. Juga berisi perintah untuk menjaga sunah-sunah dan menyebarkannya.

III.Kemudian disusun dalam enam pasal :

1.Pasal pertama :Menyebutkan dalil-dalil ulama yang merupakan dalil kaidah “kebolehan mengamalkan hadits dho’if dalam keutamaan ibadah”.

2.Pasal kedua : Mengkaji dalil-dalil para ulama

3.Pasal ketiga :Menyebutkan syarat-syarat yang ditetapkan mazhab pertama yang mengklaim kaidah ini serta mengkaji pendapat mereka.

4.Pasal keempat : Menyebutkan mazhab kedua yang menyamakan pengamalan hadits dho’if dalam hukum-hukum, keutamaan ibadah dan lainnya.

5.Pasal kelima :Kajian terhadap dalil-dalil mazhab kedua, serta menyebutkan dalil-dalil mereka. Fa’idah : Menyebutkan usaha pemimpin islam dalam

hadits : Syu’bah bin Al Hujaj dalam meneliti hadits yang berkaitan dengan keutamaan ibadah, untuk memastikan kebenaran perawi haditsnya dan perjalanan yang dilalui dalam hal ini.

(17)

hadits hasan ( yang baik ) dan yang mendekatinya.

IV.Lampiran : Menyebutkan satu persatu hadits-hadits dho’if dan hadits-hadits palsu yang terkenal , sebagai peringatan agar tidak menyatakannya sebagai hadits shohih dan mengamalkannya.

V. Penutup .

Allah SWT yang menghendaki sesuatu, cukup bagiku Allah SWT sebaik-baiknya wakil.!!!

Ditulis oleh:

Hamba yang mengharap ampunan Tuhannya yang Mulia

Abu Al Yasari Asyrof bin Sa’id Allah SWT memperbaiki keadaannya

Cairo 4 Dzulqo’dah 1410 H Bertepatan dengan 28 mei 1990 M

Kata pengantar

Perlu diketahui bahwa ulama dalam hukum mengamalkan hadits dho’if pada keutamaan ibadah ada dua mazhab 1:

Pertama : Boleh dengan syarat –syarat yang berbeda menurut pendapatulama yang dikumpulkan oleh Syeikh Islam Al Hafiz Ibnu Hajar Al Asqolany rahimahullahu. Akan disebutkan secara rinci.

Kedua : Tidak boleh , karena adanya kesamaan keutamaan ibadah dengan hukum-hukum dalam pengamalan hadits dho’if

(18)

Mazhab yang pertama, dikatakan oleh segolongan ulama yang dipimpin oleh Syeikh Muhyiddin An Nawawi rahimahullahu. Yang telah menyatakan kesepakatan ulama akan bolehna hal ini di dalam buku yang tidak dia tulis sendiri. Bahkan memubahkan mengamalkan hadits dho'if dalam keutamaan ibadah dan yang serupa dengannya. Tetapi beliau tidak menambahkan syarat lain yang harus dipenuhi dalam mengamalkan hadits dho'if kecuali khusus dalam keutamaan ibadah 1. Kemudian ditambahkan oleh Al Hafiz Al Alâi agar

hadits yang diamalkan jangan terlalu lemah , beliau menyatakan kesepakatan ulama dalam hal ini. Ibnu Daqiq Al Iid menyebutkan dua syarat lain yaitu : pertama, hadits dho'if itu harus benar -benar ada berdasarkan sumber yang asli artinya bukan merupakan hadits rekayasa seseorang. Kedua tidak menganggap sebagai penetapan hadits dho'if tersebut ketika mengamalkannya, akan tetapi dimaksudkan untuk berhati-hati .

Syarat tersebut telah dikumpulkan oleh : Al Hafiz Ibnu Hajar , sebagaimana disampaikan oleh murid beliau Syamsudin al Sakhowy di buku ( Al Qoul Al Badi’ Fî Al Sholat Alal Habib Al Syafi’ ) halaman 255.

Kemudian diikuti oleh An Nawawi rahimahullahu, begitu juga para ulama lain seperti Al Suyuthi, Al Haitamy, Ibnu Urrôk dan masih banyak lagi. An Nawawi rahimahullahu adalah

1 Ini yang dimaksud kebanyakan ulama, An Nawawi

rahimahullahu tidak menyebutkan selain syarat ini, ini

(19)

ulama pertama2 memperkenalkan masalah ini dengan bentuk

seperti ini. Orang yang melihat pendapat para ulama yang sebelum An Nawawi rahimahullahu tidak akan menemukan ulama yang mengatakan bolehnya bahkan mubahnya masalah ini. Akan tetapi yang ada hanyalah terlalu memudahkan dalam “isnad” rantaian perawi hadits-hadits dan ekstensi hadits yang berkaitan dengan keutamaan ibadah, pahala dan hukuman, nasehat, kelembutan, sejarah, kisah - kisah dan yang serupa dengannya. Abu Umar Bin Al Solah rahimahullahu sebagaimana disebutkan dalam buku (ulumul hadits) mazhab ulama dalam hal ini hanya mengkhususkan pada masalah terlalu memudahkan dalam rantaian perawi hadits-hadits dan ekstensi hadits itu sendiri sebagaimana yang telah disebutkan. Ketika Imam An Nawawi rahimahullahu meringkas kitab Ibnu Solah (Al Irsyad) dan ( At Taqrîb) menambahkan masalah hukum mengamalkan hadits dho'if menurut pemahaman dan keyakinannya………

Akan saya paparkan untuk pembaca secara rinci apa – apa yang saya globalkan disini. Akan disebutkan apa yang ada antara pendapat-pendapat ulama salaf dengan tarekatnya dan antara pendapat Imam Nawawi dengan pengikutnya berupa perbedaan- perbedaan.

2 Mengkhususkan Nawawy sebagai yang pertama kali

memperkenalkan , untuk membedakan dengan orang lain yang menukil perkataan An Nawawy, sedangkan pendapatnya tidak dikenal, kemudian menjadi dasar hukum bagi orang sesudahnya. Sebagaimana yang terjadi pada Imam Nawawy. Penulis

(20)

Terlalu memudahkan masalah isnad , tidak berarti mengamalkan ekstensi yang ada dalam isnad tersebut. Akan tetapi mengandung makna selain yang dikenal atau masyhur dari kaidah ini.1 Akan saya paparkan usaha sebagian para

hufadz dan pemimpin mereka 2 dalam mencari isnad hadits yang

berkaitan degan keutamaan ibadah, sampai jelas dalilnya . ini adalah sebagian contoh yang menyatakan bahwa kaidah3 ini

belum ditolak oleh mereka hanya tidak boleh diceritakan kecuali oleh orang yang meriwayatkannya. Sedangkan seluruh ulama salaf membolehkan apabila perbuatan mereka menunjukan sikap mazhab tertentu secara jelas. Jika tidak maka tidak boleh. Bertentangan dengan apa yang dinukil berupa kesepakatan atau ijma’ dalam hal ini. Bagaimana bisa sedangkan yang mereka nukil adalah masalah terlalu dimudahkannya masalah isnad yang berkaitan dengan keutamaan ibadah yang jumlahnya bisa dihitung jari. Kemudian mereka berselisih pendapat dalam arti ‘terlalu memudahkan isnad’ sebagaimana akan dijelaskan.

Mazhab kedua , diceritakan4 oleh sebagian ulama salaf

seperti Yahya Bin Mu’in

Dapat dipahami dari perkataan sebagian mereka seperti Imam Muslim Bin Al Hujaj di pendahuluan shohihnya , di tampakan 5 dari Abi Abdullah Al Bukhori kemudian diikuti

oleh segolongan ulama yang sedikit terlambat dari mereka dan

1 Yang dimaksud adalah kaidah dalam mengamalkan hadits dho'if.

2 Yaitu pemimpin orang mukmin dalam hadits Abu Bastom Syu’bah Bib Al Hujaj rahimahullahu.

3 Yang dimaksud adalah terlalu memudahkan dalam isnad hadits 4 Oleh Inbu Sayid an Nas di buku (Uyun Al Atsar)

(21)

diikuti mayoritas ulama kontemporer. Mereka mengatakan hal ini dengan dalil-dalil yang tidak cukup untuk ditulis dalam pendahuluan ini. Namun akan dibahas pada pasal selanjutnya. Ini adalah mazhab yang benar menurut pendapatku ( penyusun). Akan saya paparkan bagi orang yang berkecimpung dalam masalah ini dalil-dalil sebagian ulama yang memerintahkan untuk beragama sebagaimana yang telah ditetapkan pada hadits Rasulullah SAW yang tidak lemah, anjuran untuk menghafal hadits dan menerimanya dari perawi –perawi yang dapat dipercaya serta menjaga sunah dan menyebarkannya dengan membedakan yang shohih dari yang bathil dan yang baik dari yang buruk.

Pendahuluan

Anjuran untuk mengikuti hadits-hadits yang shohih , menghindari meriwayatkan hadits dari perawi yang lemah dan

anjuran untuk menjaga sunah serta menyebarkannya.

1.Abu Bakar Al Khotib dalam bukuya ( Al Kifayah Fii Ilmi Riwayah)mengatakan :1

Bab dalam memilih pendengar hadits yang dapat dipercaya Dan dibencinya meriwayatkan dari perawi yang lemah

Diterangkan dalam isnadnya diceritakan oleh Thowus Bin Kaisân

1. Disandarkan kepada Al Syafi’I rahimahullah yang berkata: paman saya Muhammad Bin Ali Bin Syafi’ berkata : dia memuji hisyam bin urwah dari ayahnya Urwah Bin Zubair yang mengatakan ,” Sesungguhnya jika saya mendengar hadits yang saya anggap baik, maka tidak suatu apapun

(22)

yang mencegah saya untuk menyebutkannya kecuali saya takut akan didengar seseorang kemudian mengikuti hadits tersebut, yang demikian apabila aku mendengarnya dari orang yang tidak kupercaya. Kadang aku mendengar hadits dari perawi yang kupercaya, sedangkan bila kumendengarnya dari perawi yang tidak kupercaya maka aku tidak berbicara tentang hadits tersebut.”

Syafi’I berkata :

Ibnu Sirin, Ibrohin Al Nakh’i dan banyak ulama dari thabi’in tidak menerima hadits kecuali dari perawi yang dikenalnya dan menghafal hadits. Tidak pernah kulihat salah seorang dari ulama mengatakan hal yang bertentangan dengan mazhab ini. Thowus jika mendengar seseorang menyebutkan hadits beliau berkata,” jika hadits ini dari perawi yang hafiz dan mali’1, maka riwayatkanlah jika

tidak maka jangan menyebutkan hadits ini.”

2. Khotib menyandarkan kepada Ya’qub Bin Sufyan, berkata : dia memuji Abu Bakir yang berkata : Ibnu Wahab berkata kepadaku : Malik berkata kepadaku, yaitu Ibnu Abbas,” saya datang kepada a’isyah binti Sa’ad bin Abi Waqosh, maka saya bertanya kepadanya tentang beberapa hadits , tetapi hati ini tidak ridho untuk meriwayatkan hadits darinya karena dia perawi yang lemah.”

Malik berkata : aku mengenal banyak perawi diantara mereka hidup pada masa shahabat, tetapi aku tidak bertanya mengenai sesuatu apapun kepada mereka . seakan Malik menganggap lemah para perawi tersebut.

(23)

3. Dalam sebuah hadits yang disandarkan kepada ya’kub bin Sufyan juga, beliau berkata : saya mendengar Aba Basyir Bakar Bin Kholaf berkata : Abdurrahan Bin Al Mahdi berkata : Tidak layak bagi seseorang menyibukan diri menulis hadits dari perawi yang lemah, maka paling sedikit dari apa yang ditulisnya dia akan kehilangan sejumlah apa yang dia tulis dari hadits-hadits dho'if, dia akan kehilangan hadits dari perawi yang dapat dipercaya.1

2. Celaan Imam Muslim kepada para perawi hadits-hadits dho'if dan munkar yang menyebarkannya kepada masyarakat awam . serta mewajibkan periwayatan dari perawi yang dikenal dengan kebenaran sumbernya

4.Imam Muslim rahimahullahu dalam pendahuluan shohihnya mengatakan 2,’ Sesungguhnya Allah SWT mengasihi kamu dengan

penciptaanmu. Aku ingat bahwa kamu ingin meneliti sejumlah hadits yang disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam sunah-sunah agama dan hukum-hukumnya dan yang berkaitan dengannya berupa pahala, hukuman, anjuran, larangan dan sebagainya..kemudian beliau berkata3, “ Apabila hal ini seperti yang telah kami

sebutkan, maka tujuan mencapai kebenaran yang sedikit lebih utama dari bertambahnya kerusakan. Sebagian orang yang memenfaatkan keadaan ini memperbanyak hadits-hadits dho'if dan mengumpulkan pengulangan- pengulangan dalam hadits demi kepentingan suatu golongan dari orang-orang yang dikaruniai Allah SWT sedikit kepandaian dan pengetahuan dengan berbagai sebab dan alasannya.

1 Dalam buku Al Ma’rifah karangan Al Baihaqy (2: 449) 2 Syarhun Nawawy (1 : 45 )

(24)

Kemudian menyebutkan sistem yang dijalaninya dalam menyusun shohihnya , dan mengatakannya kepada sebagian perawi hadits yang jujur dan dapat dipercaya, kepada orang-orang yang dituduh sebagai pemalsu hadits dan membuat-buat hadits begitu juga kepada orang yang mayoritas hadits-haditsnya munkar dan salah. Beliau berkata :Semoga Allah SWT mengasihimu, kalau bukan karena kita melihat banyaknya pemalsu yang mengklaim dirinya sebagai ahli hadits kemudian melontarkan hadits-hadits dho'if , riwayat yang munkar dengan meninggalkan hadits-hadits shohih terkenal yang diriwayatkan oleh para perawi yang dapat dipercaya dan dikenal dengan kejujuran serta sifat amanahnya. Setelah mengetahui tentang mereka dan mendengar pengakuan dari mulut mereka.Kebanyakan orang yang menyebarkan hadits dho'if adalah al aghbiya’1 dari golongan manusia, mereka pengingkar dan berasal dari golongan yang tidak disenangi. Diantara yang mencela hadits riwayat mereka adalah ulama ahli hadits, seperti : Malik Bin Abbas, Syu’bah Bin Al Hujaj, Sufyan Bin Uyaynah, Yahya Bin Sa’id Al Quthôn, Abdurrahman Bin Mahdi dan seterusnya. Mudah bagi kami untuk menjawab persoalan ini berupa perbedaan dan hasil, tetapi agar kami bisa memberitahumu tentang golongan yang menyebarkan hadits-hadits yang munkar dengan perawinya yang lemah dan tidak dikenal kemudian mereka menyebarkan hadits-hadits tersebut kepada orang awam yang tidak mengetahui aib mereka .maka mudah bagi kami menjawab pertanyaanmu.

Ketahuilah , semoga Allah SWTmemberimu taufik bahwa setiap orang harus bisa membedakan antara riwayat hadits yang shohih dari yang dho’if, antara perawi yang kuat

(25)

dan dapat dipercaya dari yang suka membuat hadits-hadits dho'if. Supaya mereka tidak meriwayatkan hadits kecuali dari perawi yang diketahui kebenaran sumber haditsnya dan Al Sitâroh1 dari orang-orang yang meriwayatkan hadits darinya. Serta berhati-hati dari mereka apabila mereka termasuk golongan yang senang memalsukan hadits dan orang –orang yang sesat dari ahli bid’ah.

Dalil yang menyatakan wajibnya hal yang kami paparkan tadi tanpa boleh menentangnya , firman Allah SWT,”Hai orang-orang yang beriman apabila datang kepadamu oran fasik yang membawa suatu kabar, maka carilah kejelasannya supaya kamu sekalian tidak dibodohi, maka menyesali perbuatan kamu.” Allah SWT berfirman,” Diantara saksi-saksi yang kalian sukai.” Allah SWT berfirman,” Dan datangkanlah dua orang saksi yang adil diantara kamu.”

Ayat-ayat Al Quran yang kami sebutkan diatas menunjukan bahwa kabar yang dibawa orang fasik tidak dapat diterima dan kesaksian dari saksi yang tidak adil ditolak.

Kabar walaupun berbeda arti dengan kesaksian dalam beberapa segi, tetapi mempunyai banyak kesamaan dari segi yang lain. Kabar yang dibawa orang fasik ditolak menurut ulama sebagaimana ditolaknya kesaksian mereka. Dengan ini sunah menunjukan penolakan riwayat yang munkar dalam kabar (hadits) seperti Al Quran menolak kabar yang dibawa oleh orang fasik. Sebagaimana dalam hadits Rasulullah SAW yang terkenal , “ Barang siapa yang menisbatkan kepadaku sebuah hadits yang palsu, maka dia termasuk golongan pendusta.” 3. Pernyataan Abi Hatim Bin Hibban Al Busty rahimahullah

dalam pengantar tentang para rowi yang lemah

1 An Nawawi berkata Al Sitâroh dengan kasroh pada huruf sin adalah alat untuk menutup. Dalam kalimat ini berarti

(26)

5.Beliau mengatakan 1: ( Mencegah secara keras kebohongan

terhadap Rasulullah SAW)

Beliau menyandarkan periwayatan hadits kepada abdullah bin amru bin ash , beliau mengatakan, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda ,” sampaikanlah apa yang berasal dariku walaupun hanya satu ayat dan katakanlah apa yang berasal dari bani isra’il, dan kamu tidak berdosa, akan tetapi barang siapa yang sengaja berbohong atasku maka siapkanlah tempat duduknya dari api neraka.”2

Abu Hatim mengatakan dalam perintah Rasulullah SAW kepada umatnya untuk menyampaikan hadits kepada generasi setelah mereka dengan menyebutkan balasan neraka bagi pendusta hadits menunjukan bahwa Rasulullah SAW menetapkan penyampaian ini haruslah apa yang telah disampaikan Rasulullah SAW, yang merupakan sunah pekerjaan nabi ataupun sunah taqriry artinya yang Rasulullah SAW tidak mengatakan sesuatu ketika melihat suatu perbuatan. Namun tidak semua orang termasuk dalam perkatan nabi SAW,” Allah SWT memudahkan seseorang” yaitu seluruh ahli hadits. Akan tetapi yang termasuk dalam arti literal hadits ini hanyalah orang yang mengamalkan hadits shohih saja tanpa hadits yang lemah.

Saya takut orang yang meriwayatkan apa yang dia dengar berupa hadits yang shohih dan lemah termasuk golongan yang pendusta atas Rasulullah SAW jika dia mengetahui apa yang dia riwayatkan.

1 Halaman : 6

(27)

Membedakan antara rawi yang adil, yang lemah dan yang harus ditinggalkan berdasarkan hukum yang yang jelas dari Allah SWT.

6.Beliau menyandarkan periwayatan hadits kepada samroh bin jundub RA yang mengatakan , Rasulullah SAW bersabda :“ Barang siapa yang mengatakan suatu hadist dariku, kemudian dia terlihat seperti pendusta, sunguh dia salah satu pendusta”1

Kemudian beliau menyandarkan periwayatan hadits kepada Mughiroh Bin Syu’bah RA, Rasulullah SAW bersabda,” Barang siapa yang meriwayatkan suatu hadist dariku, kemudian dia terlihat seperti pendusta, sunguh dia salah satu pendusta”2

Kemudian beliau berkata : dalam hadits ini menunjukan kebenaran atas apa yang telah kami sebutkan, bahwa seorang ahli hadits jika meriwayatkan sesuatu yang bukan dari Rasulullah SAW dan dia mengetahui hal tersebut, maka dia adalah seorang pendusta. Karena makna eksternal hadits diatas lebih menguatkan. Karena itu Rasulullah SAW bersabda,” Barang siapa yang meriwayatkan suatu hadist dariku, kemudian dia terlihat seperti pendusta.” Disini

(28)

Rasulullah SAW tidak mengatakan ,”..dan diyakini bahwa dia seorang pendusta…”

Setiap orang yang ragu dengan apa yang diriwayatkannya pakah hadits yang shohih atau lemah, dia termasuk dalam makna hadits ini. Walaupun dia belum mempelajari sejarah nama-nama rawi yang dapat dipercaya dan rawi-rawi yang lemah dan para perawi yang dibolehkan berdalil dengan hadits-hadits mereka dan yang tidak, kecualiuntuk hadits ini.

Wajib bagi setiap orang yang mengikuti sunah agar tidak menyepelekan sejarah, agar tidak termasuk dalam pendusta atas Rasulullah SAW. Minimal mengetahui aturan menetapkan hadits-hadits tertentu. Sehingga menjadi dalil baginya atas ulama: bahwa ini khobar wahid (hadits yang diriwayatkan oleh kurang dari 3 orang pada setiap masa) dari rawi yang dapat dipercaya dalam agamanya, yang dikenal jujur dalam ucapannya, masuk akal dengan perkataannya, sangat mengetahui makna yang terkandung dalam kalimat hadits, terbebas dari kebohongan ketika mendengar apa yang dia riwayatkan dari satu orang perawi yang serupa dengan keadaannya, ilmunya dan sifat-sifatnya sehingga periwayatan hadits ini sampai kepada Rasulullah SAW dengan cara mendengar langsung dari perawi sebelumnya.

7.Beliau menyandarkan periwayatan hadits ke-empat kepada Abi Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda,”Seseorang itu akan berdosa jika mengatakan semua yang dia dengar”1

(29)

Abu Hatim menatakan, hadits ini merupakan peringatan untuk orang yang selalu mengatakan apa yang dia dengar, sampai mereka mengetahui benar keshohihan hadits dengan mengesampingkan yang tidak shohih, sebagaiman yang telah kami sebutkan tadi.

Kemudian beliau menyebutkan perintah untuk mengeritik rawi yang lemah, beliau berkata :1

8.Tidak ada satu zamanpun yang lebih mewajibkan mempelajari ilmu ini dari zaman kita. Terutama dengan meninggalnya ulama yang ahli dalam bidang ini dan sedikitnya pelajar yang mempelajari ilmu ini2, karena mereka sibuk

hadits.

Perkataan sahabat ini ( atsar) ada yang tidak menerapkan kaidah ini, diantara yang mengkhususkan dengan penambahan sambungan antar rawi : Ali Bin Hafs Al Mada’I, seorang yang jujur. Beliau ditentang oleh 6 orang hufadz ( yang menghafal lebih dari 100.000 hadits) yang diketuai oleh Ibnu Mahdi .Telah dijelaskan hadits yang perawinya hanya sampai thabi’in : imam para ulama dalam Ilmu al Ilal. Ulama yang dikenal dengan hafalannya, keritikannya dan kekuatannya : Al Darulquthni rahimahullahu ini adalah salah satu hadits yang diteliti oleh Imam Muslim. Sebagaimana dalam buku ( Al Ilzamat wa tatabbu’) milik Imam Muslim. Hadits nomor 1. Atsar ini dibenarkan oleh perkataan Umar dan Ibnu Mas’ud RA dengan lafadz ,” Seseorang itu akan berdosa jika mengatakan semua yang dia dengar”. Muslim meriwayatkan dari mereka berdua dalam pengantar buku shohihnya , bab ke-tiga : larangan mengatakan semua yang didengar. Halaman: 74-75.

1 Halaman ; 11

(30)

mempelajari ilmu yang ada pada zaman ini. Maka mereka terbagi menjadi dua kelompok : yang pertama pelajar yang mencari hadits ke negri-negri lain mayoritas tekad mereka adalah untuk menulis hadits, mengumpulkannya tanpa menghafalkannya dan mempunyai ilmu ini serta membedakan yang shohih dari yang lemah . mazhab yang kedua ahli fikih yang menyibukan diri untuk menghafal pendapat-pendapat dan perbedaan pendapat antar ulama, lupa untuk sunah dan makna-makna yang terkandung didalamnya, cara menerima hadits, membedakan yang shohih dan yang lemah dari hadits serta meninggalkan seluruh sunah dibelakang punggung mereka.

Rasulullah SAW telah mengabarkan bahwa ilmu akan berkurang pada akhir zaman, menurut saya semua ilmu akan berambah pada akhir zaman kecuali ilmu ini (ilmu hadits) karena ilmu ini berkurang setiap hari. Seakan akan ilmu yang dikabarkan Rasulullah SAW kepada umatnya akan berkurang pada akhir zaman adalah ilmu yang berkaitan dengan sunah-sunah yang mana ilmu ini hanya bisa dikuasai dengan mengetahui yang lemah dan harus ditinggalkan dari para perawi.

Abi Hatim mengatakan setelahnya :1

9.Barang siapa yang tidak menjaga sunah Rasulullah SAW. Membedakan yang shohih dari yang lemah, tidak mengetahui yang rawi yang kuat diantara para ahli hadits, tidak mengetahui yang lemah dan yang harus ditinggalkan diantara para ahli hadits, tidak mengetahui rawi yang wajib diterima

(31)

hadits yang diriwayatkan sendirian, dari mereka yang tidak wajib diterima penambahan lafadznya dalam hadits yang diriwayatkannya, tidak ahli dalam mengetahui makna-makna yang terkandung dalam lafadz hadits dan menyatukan hadits-hadits yang berlawanan secara literal, tidak bisa menjelaskan yang global dari hadits, tidak bisa menyimpulkan yang rinci dari hadits, tidak mengetahui naskh dan mansukh (hadits yang sudah diangkat hukumnya dan hadits yang menggantikan hukum hadits tersebut) , tidak mengetahui lafadz khusus yang dimaksud secara umum dan lafadz umum yang dimaksud secara khusus, tidak mengetahui perintah yang mengandung makna wajib dan fardhu dan perintah yang mengandung makna keutamaan dan anjuran , tidak mengetahui larangan yang pasti serta tidak boleh dikerjakan dari larangan yang bermakna boleh dikerjakan dalam semua fase sunah dan berbagai macam hadits yang kami sebutkan pada buku ( fusuul al sunan ) : bagaimana bisa1 diizinkan baginya

memberi fatwa atau bagaimana membolehkan dirinya mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram dengan hanya mengikut-ngikuti mereka ( yang tidak menghafal sunah dan semua yang berkaitan dengannya) yang kadang benar dan salah dalam fatwa dengan menolak apa yang berasal dari orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya dalam berbicara, dan

(32)

hanya berbicara berdasarkan wahyu saja yaitu Rasulullah SAW…..

10. Abu Hatim mengatakan, 1

“Kita tidak boleh berdalil dengan hadits yang tidak sah dari segi periwayatan pada suatu hal dalam buku kita karena, kalau seandainya terbukti benar maka “Alhamdulilah!”, dan kita tidak perlu berdalil dalam agama dengan sesuatu yang tidak valid.2 Kalau tidak ada isnad dan hadits yang ada

belum diteliti, akan menyebabkan penyelewengan agama pada ummat ini sebagai mana yang terjadi pada ummat lain.

11. Abu Hatim mengakhiri dalilnya dengan mengatakan,3

“Garda ilmu ini adalah mereka yang menjaga agama orang muslim, memberi mereka petunjuk kepada jalan yang lurus, meninggalkan jejak-jejak kemenangan dan mengikuti mereka untuk bepergian ke berbagai negeri guna mencari hadits, mengumpulkannya dengan kewaspadaan dan mengelilingi dunia sehingga ada salah seorang diantara mereka bepergian dalam mencari hadits ini dengan menempuh jaraj yang sangat jauh. Dan memakan waktu yang banyak dalam mencari satu kalimat agar orang-orang yang sesat tidak dapat menyusupkan suatu kesesatan di dalam sunnah. Adaikata ada yang melakukan ini, maka para Satria ilmu inilah yang akan mencegah kebohongan tersebut. Merekan inilah yang menegakkan agama Allah SWT.

1 Hal : 25

2 Pernyataan ini merupakan salah satu dalil golongan yang melarang hadits dhoif secara mutlak sebagaimana akan kami terangkan.

(33)

Abu Hatim mengakhiri kata pengantarnya dengan perkataan Abu Bakr Al Khotib pada kata pengantar buku Al Kifayah Fi ilmi Ar Riwayah.4

12. Ulama pada jaman kita telah mencurahkan usahanya dalam menulis hadits dan mengumpulkannya tanpa memakai system yang dijalankan oleh salaf, dan mereka melihat dengan sudut pandang ulama salaf pada keadaan perawi dan hadits, membedakan cara yang jelek dari yang baik, menyimpulkan apa yang ada di sunnah berupa hukum-hukum dan menambahkan di dalamnya ilmu fiqih yang berkaitan dengan halal dan haram. Bahkan mereka rela untuk tidak meneyebut nama mereka dalam menulisan hadits dan buku. Mereka inilah golongan yang telah melakukan banyak perjalanan, menanggung kesulitan yang berat, bepergian ke negeri-negeri yang jauh, di lain sisi mereka tidak terlalu mendapat kesulitan bekal dan merasa letih. Perjalanan itu menepuh jalur laut dan darat, mengorbankan jiwa dan harta, penuh dengan hal-hal yang menakutkan dan mencemaskan, sampai tidak pernah melakukan perawatan pada rambut, wajah yang pucat, kelaparan, sakit pada tubuh, menghabiskan waktu dalam perjalanan di berbagai negeri guna mencari sumber perawi hadits yang pertama. Mereka tidak menginginkan hal lain dan juga tidak mencarinya, Mereka menolak perawi yang tidak adil dan tidak dapat dipercaya, juga tidak menerima hadits yang tidak jelas kebenarannya, tidak yakin bila tidak mendengarnya dengan jelas, tidak berpedoman kepada perawi yang mempunyai bacaan al qur’an yang tidak bagus. Juga kepada para prawi yang tidak qualified, orang-orang yang tidak bisa membedakan antara perawi yang mendengar langsung atau yang hanya mendapat izin ( Izajah ) untuk periwayatan, yang tidak bisa

(34)

membedakan antara yang musnad dan mursal, yang bersumber pada orang-orang fasiq yang juga dicela dalam lingkungan mazhabnya, dan dari orang yang suka membuat isu-isu (bid’ah) dalam agama serta yang mengalami kerusakan pada pemahaman aqidahnya, yang mengira bahwa apa yang mereka lakukan dibilehkan dan meriwayatkan dari mereka adalah wajib.

Apabila riwayat itu didengar dengan baik dan isnadnya mencapai perawi paling pertama, maka riwayat itu bisa dibuat sebagai landasan hukum, inilah sebuah gambaran realitas pada zaman ulama salaf. Banyak para ahli bid’ah yang mencela para ulama salaf sampai mencela hadits dan alhi hadits yang memberikan fatwa dalam agama. Bahkan mereka, dengan kesombongannya, mengaku sebagai salah seorang imam Mujtahid. Ketika mereka berpaling dari hadits ke pendapat yang rusak. Memberikan hukum pada agama dengan pendapatnya yang menyimpang. Ini benar-benar sesuatu yang konyol dan jauh dari nilai-nilai agama.1 Bergabung dengan kaum yang suka

berbuat sewenang-wenang, membantu kaum tersebut jika ada kesulitan. Mereka merasa lelah dalam menghafal hadits, mencampur adukan isan tanpa melakukan verivikasi, menjauhi dalil yang sudah independent, mengikuti apa yang tidak mereka ketahui, mereka lebih suka bersenang-senang dan istirahat. Bahkan mengajar di majlis-majlis padahal mereka tidak berilmu serta mencela ilmu yang tidak mereka kuasai.

Mereka mengambil hadits dari buku-buku yang dijual, hanya mengeluarkan biaya untuka mengumpulkan buku-buku itu,

1 Kaum ini diibaratkan dengan mereka yang dikuasai oleh akal dan menjadikannya sebagai dasar hukum syar’I, yang sesuai dengan akal mereka jadikan hukum sedangkan yang

(35)

tanpa langsung mendengar hadits dari para perawi, tidak mengetahui tentang semua yang berhubungan dengan perawi , apbila mereka menghafal salah satu hadits maka mereka mencampur adukan yang buruk dengan yang baik dan yang benar-benar sohih dengan yang lemah.

Jika ditanyakan kepada mereka tentang isnad atau dalil dari suatu hadits mereka bingung , mengusap jenggotnya yang semua itu menunjukan kebodohan mereka dalam hal ini. Seperti keledai dalam kandangnya, apabila mereka bertemu ahli hadits yang mana ilmu ini tidak mereka kuasai mereka mencela para ahli hadits ini bahkan terus melecehkan mereka.1

Inilah saat terjadinya penetapan hukum yang dimaksud. Saya awali dengan memaparkan perkataan para ulama yang terlalu memudahkan dalam isnad hadits dho’if pada keutamaan ibadah dan terlalu sangat berhati-hati dalam isnad hadits yang berhubungan dengan hukum-hukum, agar kita bisa memikirkan ini semua, mengkaji apa yang mereka katakan dan apakah yang mereka katakan ini benar-benar sesuai dengan yang dikatakan ulama salaf dalam masalah ( mengamalkan hadits dho’if dalam keutamaan ibadah) atau mereka hanya sekedar berkata tanpa tahu hakikatnya?.

Ya Allah SWT mudahkanlah dan tolonglah kami wahai yang Maha Mulia.

Pasal ke-satu

1 Pernyataan Abu Bakar Al Khotib merupakan pernyataan yang baik, mengandung banyak faidah,setiap kalimatnya membutuhkan penjelasan dan penelitian yang terpendam, kalau bukan karena penyusun buku ini menghindari penjelasan yang terlalu

(36)

Menyebutkan dalil-dalil ulama yang merupakan dalil kaidah 1.Abu Bakar Al Khotib dalam buku (Al Kifayah) mengatakan :1

Bab yang tentang wajibnya berhati-hati dalam meriwayatkan hadits yang berkaitan denganhukum-hukum dan bolehnya

memudahkan isnad dalam hadits yang berkaitan dengan keutamaan ibadah

Mayoritas ulama salaf menyatakan larangan meriwayatkan hadits yang berkaitan dengan hukum halal haram kecuali dari rawi yang terbebas dari tuduhan fasik, dan jauh dari hawa nafsunya.

Sedangkan hadits yang berkaitan dengan anjuran, nasehat dan sebagainya boleh diriwayatkan dari seluruh ulama manapun.

 Abu Sa’id Al Almani mengabarkan, Abdullah Bin Addi 2

mengatakan, Ishaq Bin Ibrohim Bin Isma’il Al Ghozzi berkata kepada kami, ayahku berkata kepadaku, Rowad Bin Jaroh berkata kepadaku , saya mendengar Sufyan Al Tsauri berkata : “ Jangan mengambil hadits ini dalam hukum halal dan haram kecuali dari pembesar perawi yang terkenal dengan kedalaman ilmunya, mengetahui yang berupa tambahan dan kekurangan dalam hadits dan boleh dari selain mereka apabila termasuk masyaikh (ulama yang sangat menguasai ilmu agama dengan benar)

 Abu Bakar Al Barqôi berkata kepada kami, Muhammad Bin Hasan Al Saruri berkata, Abdurrahman Bin Hatim berkata, ayahku berkata kepadaku dan Ali Bin Hasan Al Hanjasânî mereka berdua berkata, kami mendengar Yahya Bin Al Mughiroh berkata, saya mendengar Ibnu Uyaynah berkata :

1 Hal : 133

2 penulis buku ( al kamil fi al du’afa) yang diriwayatkannya dalam kata pengantarnya halaman : 159, dan

(37)

“Janganlah kamu sekalian mendengar hadits dari selain pembesar ulama, namun kamu boleh mendengar dari mereka tentang hadits yang berkaitan dengan pahala dan hukuman.’

 Muhammad Bin Al Qottônal Naisabury berkata, Muhammad Bin Abdullah Bin Muhammad Al Hafiz berkata, saya mendengar Aba Zakariya Yahya Bin Muhammad Al anbary berkata, saya mendengar Aba Al Abbas Ahmad Bin Muhammad Al Sajzi berkata, saya mendengar Al Nuflî berkata ( yaitu Aba Abdullah ), saya mendengar Ahmad Bin Hanbal berkata :

“ Jika kami meriwayatkan dari Rasulullah SAW yang berkaitan dengan halal, haram, sunah-sunah dan hukum-hukum maka kami sangat berhati-hati dalam isnad. Jika kami meriwayatkan dari Rasulullah SAW yang berkaitan dengan keutamaan ibadah dan hadits yang tidak menyebabkan penetapan hukum maupun hilangnya hukum maka tidak terlalu mempersulit hal ikhwal isnad.”

 Abdul Aziz Bin Ja’far berkata kepada saya, Abu Bakar Ahmad Bin Muhammad Bin Harun Al Khilal berkata, Al Maimunî berkata kepada saya, saya mendengar Aba Abdillah berkata : “ Kita mungkin mempermudah hal isnad dalam hadits hadits yang berkaitan dengan akhlak sampai ada sesuatu didalamnya yang berhubungan dengan penetapan hukum”

(38)

1. Abu Abdullah Al Hakim Al Naisabury , penulis buku Al Mustadrok dalam buku (Al Madkhol Ilâ Kitâbi Al Iklil)

berkata :1

 Saya mendengar Aba Zakariya Al Anbary berkata, Muhammad Bin Ishak Bin Ibrohim Al Hantoli berkata, ayah saya 2

menceritakan kepada saya tentang Abdurrahman Bin Mahdi yang berkata :

“Jika kami meriwayatkan hadits yang berkaitan dengan pahala, hukuman, keutamaan ibadah maka kami mempermudah dalam isnad, kami maklumkan perawinya. Jika kami meriwayatkan yang berkaitan dengan halal, haram dan hukum-hukum kami persulit dalam hal isnad dan kami keritik para perawinya.”

2. Al Baihaqy dalam kitab Al Madkhol Al Shogir 3 yang

merupakan pengantar ke buku Dalâil Al Nubuwah4

Menyebutkan tentang hadits al madhrub , martabat dan kekuatannya :

Hadits al madhrub adalah hadits yang perawinya tidak dituduh memalsukan hadits, hanya saja dikenal sebagai rawi yang hafalannya buruk, banyak salah dalam apa yang diriwayatkannya atau rawinya tidak dikenal dan tidak memenuhi kriteria rawi yang boleh diterima riwayat haditsnya.

Hadits al madhrub tidak dipakai dalam hukum-hukum sebagaimana dalam kesakasian hukum. Dipakai dalam pengakuan, anjuran, larangan, penjelasan dan ancaman selama tidak berkaitan dengan hukum sesuatu.

1 Hal : 29

2 Ishaq Bin Ibrohim Al Hantoly 3 Hal : 34

(39)

 Saya mendengar Aba Abdillah Al Hafiz1 berkata, saya

mendengar Aba Zakariya Yahya bin Muhammad Al Anbary berkata, saya mendengar Aba Al Hasan Muhammad Bin Ishaq Bin Ibrohim Al Hantoli berkata, ayah saya bercerita kepada saya dari Abdurrahman Bin Mahdi berkata sebagaimana yang diriwayatkan Al Hakim diatas.

 Muhammad Bin Abdullah Al Hafiz mengabarkan kepada kami, Abu Al Abbas Muhammad Bi Ahmad Al Mahbuby mengabarkan, kepada kami, Ahmad Bi Sayyar berkata, saya mendengar Aba Qodamah berkata , Yahya Bin Sa’id Al Qotton berkata : “Permudahlah di pentafsiran hadits dari kaum yang mereka tidak dipercayai dalam hadits” kemudian mereka menyebutkan : Laits Bin Abi Sulaim, Jubair Bin Sa’îd, Al Dohâk, Muhammad In Al Sâib , yaitu Al Kalbî. Kemudian Al Baihaqy berkata : mereka ini yuhmadu memuji2 hadits dari kaum yang

mempermudah dalam hal isnad dan menulis pentafsiran dari mereka.

4. Al Baihaqy rahimahullahu berkata :

“Mereka mempermudah dalam mengambil pentafsiran mereka karena yang mereka tafsirkan adalah lafaznya, yaitu dari segi bahasa. Sesungguhnya yang mereka lakukan adalah mengumpulkan hadits dan mendekati mereka saja.

1 beliau adalah Al Hakim Al Naisabury, guru Al Baihaqy beliau meriwayatkan dari gurunya dari bukunya Al Madkhol. Tetapi Al Baihaqy disini meriwayatkan dengan isnadnya sendiri.

(40)

 Al Baihaqy bersandarkan kepada Abbas Al Daury yang berkata, saya mendengar Ahmad Bin Hanbal ditanya ketika berdiri didepan pintu rumah Abi Nadr Hâsyim Bin Al Qôsim , dikatakan kepadanya : ya Aba Abdillah , apa pendapat kamu tentang Musa Bin Ubaidah dan Muhammad Bin Ishaq?. Beliau berkata : Musa Bin Ubaidah rawi yang baik, akan tetapi beliau meriwayatkan banyak hadits munkar dari Abdullah bin Dinar dari Ibnu Umar dari Rasulullah SAW. Sedang Muhammad Bin Ishaq adalah perawi yang menulis hadits dari Musa bin Ubaidah. Maka jika ada hadits yang berkaitan dengan halal dan haram kami menghendaki kaum yang seperti ini (Abu Fadl atau Abu Abbas menggenggam empat jarinya dari kedua tangannya kecuali ibu jari).

5. Abdurrahman Bin Abi Al Hatim dalam pengantar buku Al Jarhu wa Al Ta’dil1 berkata:

Bab adab dan nasehat yang kemungkinan diriwayatkan oleh rawi yang lemah

 Ayah saya berkata bahwa Abdah yaitu Ibnu Sulaiman berkata bahwa ada yang mengatakan kepada Ibnu Mubarak dan diriwayatkan sebuah hadits dari seorang laki-laki : “Ini perawi yang lemah, beliau berkata kemungkinan dia meriwayatkan hadits dha’if ini atau yang serupa dengannya.” Saya berkata kepada Ubdah, “ Apa yang dimaksud dengan perkatataan [hadits yang serupa dengannya] ??” Ubdah berkata, “Yaitu hadits yang berkaitan dengan adab, nasehat, zuhud dan sebagainya.”

6. Abu Umar Bin Abdilbar berkata di dalam buku Jami’ Bayanil Al Ilmi wa Fadlihi2

1Jilid 2 : Halaman 3

(41)

Segolongan ulama mempermudah isnad dalam hadits yang berkaitan dalam keutamaan suatu ibadah, mereka meriwayatkannya dari semua orang, namun di lain pihak mereka sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits yang berkaitan dengan hukum.

Beliau berkata. “Kita tidak perlu mengetahui ulama yang menjadikan hadits keutamaan ibadah sebagai dalil.”1 Inilah

hal terakhir yang penulis ketahui dari dalil-dalil ulama salaf dalam masalah ini, ditambah dengan pernyataan Ibnu Abdilbar Rahimahullahu, karena dekatnya beliau dengan ulama salaf dan kemiripan pernyataannya dengan mereka. Dalil-dalil ini merupakan sandaran pemilik kaidah ini dan tidak ada salahnya untuk dikaji dan dibandingkan dengan pendapat ulama kontemporer.

Penulis dengan keterbatasan ilmunya berkata, jika berhadapan dengan masalah yang serupa, maka saya akan mengikuti perkataan Al Hafidz bin Hajar:2

“Beliau mengatakan secara jelas bahwa mayoritas ahli hadits dan selain mereka berbondong-bondong untuk meriwayatkan hadits dari sesepuh mereka dan mengikutinya maka sesepuh mereka inilah yang mereka percaya, bahkan yang mereka cari karena image mereka yang baik.”

Inilah sebenarnya titik masalah yang timbul dalam pembahasan para ulama yang mengadopsinya dengan suara

1 Diambil oleh As Sakhowi dalam kitabnya Al Mughits, Bab I Hal : 267

(42)

mutlak dan mufakat yang bulat. Dalam masalah ini seperti An Nawawi Rahimahullahu, pengikutnya dan para senior mereka, seperti Abu Umar bin Adilbar, seperti yang disebutkan dalam dalil yang keenam pada fasal pembahasan ini, 1 Hal yang

sama juga terjadi dalam pembahasan hukum mengamalkan hadits dho’if dalam mengamalkan keutamaan ibadah.

Pasal II

Studi Kritis Terhadap Argumen Para Ulama

Penulis berpendapat bahwa para ulama tidak mempunyai argumen uang sesuai bahkan sebuah semi-argumen pun terhadap problematika yang dimunculkan oleh para ilmuwan hadits kontemporer tentang pengamalan hadits yang mempunyai tingkatan lemah ini sebagai landasan hukum kegiatan-kegiatan positif (Keutamaan ibadah). Perjelasannya seperti ini :

Pertama,

Statemen Sufyan Ast Tsaury, “Janganlah mengambil sebuah ilmu…. kecuali dari para ilmuwan-ilmuwan besar yang valid keilmuwannya…… Tapi boleh juga mengambil ilmu dari para ilmuwan yang dianggap setingkatan dengannya.”

Interpretasi dari “Ilmuwan besar yang valid keilmuwannya” adalah mereka-mereka yang sudah masuk dalam katagori “Huffadz “ yang mengerti secara detail apa yang mereka hafalkan, yang sangat sadar atas fluktuasi hafalannya, orang-orang yang sering disebut sebagai ‘terpercaya dan terpercaya’ (tsiqah-tsiqah) atau ‘terpercaya secara tetap (tsiqah-tsubut) dan istilah-istilah yang hampir sama dengannya. Katagori tsiqoh atau terpercaya ini hanya disebutkan untuk menunjukkan personalitas mereka saja dan

(43)

tidak pernah bermaksud menunjuk yang lain. Dimana dalam sejarahnya tidak seorangpun yang mencap hadits-hadits mereka mempunyai kelemahan akan tetapi pasti masuk dalam katagori Sahih atapun Hasan dan yang sederajat dengannya. Singkatnya, mereka yang mempunyai image dan julukan “Tsiqah” [terpercaya] “Suduq” [terkenal kejujurannya] dan lain sebagainya.

Kedua,

Komentar Iman Ahmad tentang kedudukan Muhammad bin Ishaq, pengarang buku Al Maghazi, bahwa dialah sebenarnya sumber yang valid dalam periwayatan hadits-hadits ini, maksdunya hadits yang terdapat dalam kitab itu. Maka penulis membandingkan ini dengan dengan komentar Ahmad yang lain tentang haditts itu sebagai klasifikasi hadits ‘Hasan Shahih’.

Ketiga,

Komentar Al Baihaqy : “Mereka mempermudah dalam mengambil pentafsiran mereka karena yang mereka tafsirkan adalah lafaznya, yaitu dari segi bahasa. Sesungguhnya yang mereka lakukan adalah mengumpulkan hadits dan mendekati mereka saja. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya beliau tidak bermaksud percaya dengan para periwayat hadits yang mempunyai kelemahan-kelemahan dalam proses pentafsiran itu, karena proses interpretasi itu tidak mengharuskan adanya sikap ‘tsiqah’ atau kejujuran ideal, apa yang dibutuhkan adalah fakta dan bukti-bukti yang benar yang berfungsi untuk mendukung dan membackup argumennya. Kendatipun demikian, tidaklah etis untuk mengatakan bahwa Hadits dho’if adalah layak dijadikan sebagai landasan hukum dan norma dan sebagainya.

(44)

Sebuah kenyataan yang terdapat dalam komentar Ahmad dan Ibnu Al Mubarak dengan statement yang mengandung hipotesa latar belakang masalah ini. Ahmad berkomentar bahwa kemungkinan mereka itu bersikap permisif dalam penetapan Isnad, sampai diketahui ada kaitannya dengan hukum. Sementara itu, Ibnu Mubarak berkata, “Kemungkinan dia memang periwayat hadits dha’if jenis ini atau yang serupa dengannya.

Maka sebenarnya ini adalah sebuah permasalahan yang dianggap enteng, bukan sebuah masalah yang pelik atau bersifat wajib dan bukan pula sebuah perkara yang perlu mendapat resistensi tapi sebuah permasalahan yang bisa saja dilakukan dan bisa pula ditinggalkan.

Kelima,

Kasus Tasyaddud [Kehati-hatian yang penuh sampai memberatkan] dan Tasahul [permisifisme] sebenarnya belumlah terbukti secara ilmiah dan juga limit definisinya juga belum jelas, para ilmuwan juga kenyataannya mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang definisnya yang sebenarnya.

Pihak yang berpendapat bahwa Tasyaddud dalam proses pembuatan hukum dan pembentukan argumen berdasarkan hadits mempunyai keistimewaan tersendiri. Sementara Tasahul dalam proses pembuatan hadits sebagai argumen mempunyai nilai keistimewaan yang lebih rendah bahkan lebih rendah dari tingkatan pelandasan hukum, Imam Ats Tsaury telah banyak berkomentar banyak dalam hal ini dalam pembahasan sebelumnya. Sikap ini dapat di implementasikan dalam kasus hadits yang masuk dalam katagori Shahih dan Hasan.

(45)

bersamaan, disatu pihak Shahih Hasan dan pihak lain di nilai Dho’if.

Keenam,

Di bawah ini adalah sumber yang melatarbelakangi pendirian mereka :1

-[…….Maka dengarkanlah hadits yang berkomentar kepada pahala dan sebagainya] -[…….Kami telah bersikap tasahul dalam peroses penetapan isnad]

-[…….Kemungkinan besar mereka telah bersikap tasahul]

-[…….Wajib tunduk dengannya, dan bersikap tasahul dalam periwayatannya]

-[…….Kami bersikap tasahul pada penetapan isnad dan permisif pada penentuan personalitas perawinya.

-[…….Bersikap tasahul lah pada penafsiran atas golongan yang tidak mempercayai mereka akan hadits.

-[Mereka memuji Hadits-haditsnya, dan menuliskan tafsir darinya]

-[….Dialah seorang yang menulis darinya hadits ini, -seakan-akan Al Maghozi dan yang serupa dengannya.]

-[ Janganlah bersandarkan dengan pengetahuan seperti ini dalam penentuan halal dan haram kecuali….. tapi tidak masalah mengikuti selainnya]

-[ Kemungkinan dia telah merawikan hadits dho’if ini dan yang serupa dengannya]

Inilah sepuluh landasan bersikap, sebagai sumber pijakan dalam mengamati masalah ini, Sebelum penulis melakukan studi lebih lanjut saya menyampaikan beberapa nilai-nilai eksplisit yang dikemukaan oleh sebagian Huffadz, seperti Al

1 Pengambilan kesimpulan di pengaruhi oleh masalah-masalah ini, demi penjelasan perkara ini, dan telah diteliti dalam statement yang digunakan oleh para ulama mengenai

Referensi

Dokumen terkait

Dalam merancang sebuah wahana bermain edukatif sains dan teknologi perancang sangat membtuhkan studi banding maupun studi preseden dari wahana bermain edukatif

Emi (33), ibu rumah tangga warga Komplek Pemda Blok A Sukarame telah menjadi korban penjambretan, akibatnya korban kehilangan dua buah Handphone (HP) merek nokia dan uang tnai Rp

Modifikasi awal yang dilakukan pada model Gedung Kuliah B1 dalam upaya mendapatkan zona nyaman pada penelitian ini adalah menambahkan atap hijau tanaman

selaku Rektor Universitas Bakrie sekaligus Dosen Program Studi Teknik Sipil Universitas Bakrie yang juga telah memberikan pengetahuan-pengetahuan dalam bidang ilmu teknik

Berdasarkan hasil evaluasi pada pengendalian intern system akuntansi pembelian dan persediaan bahan baku PT Fuyindo Multi Perdana yang telah dilakukan dapat disimpulkan, bahwa: (1)

Pembinaan kegiatan yang berhubungan dengan tugas pembinaan Dalam pola pembinaan kepribadian dan kemandirian, narapidana militer maupun narapidana sipil dilaksanakan

Hasil yang di peroleh dari penelitian ini adalah persepsi risiko berpengaruh negatif dan signifikan terhadap niat beli produk fashion via instagram, hal ini

Dokumentasi yang dibutuhkan peneliti berupa media pembelajaran yang digunakan, silabus, dan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) beserta sarana yang mendukung proses