• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II METODOLOGI TAFSIR AL-QURAN

A. Achmad Chodjim:

Upaya menafsirkan al-Quran adalah tugas setiap generasi. Oleh sebab itu, perlu disadari bahwa hasil interpretasi dari tiap-tiap generasi tidak pernah sampai pada level absolut tapi hanya pada derajat relatif. Karena, bagaimanapun penerimaan manusia terhadap wahyu verbal-tertulis, berbeda dari waktu-waktu bergantung pada tingkat nalar masing-masing penafsir dan faktor ekstrenal yang turut mempengaruhinya.

Dalam konteks Indonesia, penafsiran al-Quran terus berkembangan hingga saat ini. Tentu ini fenomena yang sangat membanggakan mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia. Tidak hanya banyak dari sisi kuantitas, karya tafsir al-Quran di Indonesia telah memperlihatkan keragaman dari sisi teknis penulisan tafsir dan metodologi yang digunakan.

Sayangnya, jumlah karya tafsir yang banyak itu tidak dibarengi dengan maraknya penelitian ilmiah, khususnya, oleh mahasiswa Tafsir-Hadis UIN Jakarta. Data yang penulis dapat, hanya ada sekitar 16 judul skripsi yang membahas metodologi sebuah karya tafsir. Dan hanya setengahnya yang membahas metodologi tafsir dari karya tafsir yang ditulis oleh penafsir dalam negeri.

Untuk memberikan semangat positif kepada mahasiswa Tafsir-Hadis yang lain, maka penulis melakukan penelitian ilmiah terhadap tafsir Alfatihah: Membuka Mata Batin dengan Surat Pembuka karya Achmad Chodjim. Yang penulis bidik dari Alfatihah, tentu saja aspek metodologi tafsirnya.

Sosok Achmad Chodjim memang masih asing bagi komunitas mahasiswa Tafsir-Hadis. Pendidikan formalnya bukan dari IAIN atau lebih spesifik lagi Tafsir-Hadis. Profesinya juga tidak bersentuhan langsung dengan teori-teori penafsiran al-Quran atau sebagai dosen studi agama. Ia sekarang adalah mantan karyawan di perusahaan asing dan seorang motivator. Kalaupun ada kegiataan yang berkaitan dengan isu-isu keagamaan, ia dikenal sebagai orang yang getol memasarkan pemikiran Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga.

Layaknya HB. Jassin dan Dawam Rahardjo, Chodjim juga mendapat gugatan ketika meluncurkan karyanya tersebut. Bagi Salman Harun, karyanya itu bukan karya tafsir, dan itu artinya dia bukan penafsir. Meski demikian, menurut Chodjim, Allah tidak pernah memberikan hak istimewa kepada siapapun untuk menafsirkan al-Quran. “Kitab Suci itu terbuka bagi siapa saja yang ingin memahaminya”, tegasnya.

Dalam meneliti metodologi tafsir Alfatihah, penulis mengikuti rumusan yang dibuat oleh Islah Gusmian, sarjana Tafsir-Hadis UIN Jogjakarta. Dengan rumusan Gusmian, metodologi kajian tafsir dilihat dari dua sisi, yakni sisi teknis penulisan dan sisi hermeneutiknya.

LEMBAR PENGESAHAN

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul: "Analisis Metodologi Tafsir Alfatihah Karya Achmad Chodjim; Aplikasi Metodologi Kajian Tafsir Islah Gusmian" diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 14 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Jurusan Tafsir Hadis.

Jakarta, 17 Juli 2010

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Pembimbing Sekretaris Merangkap Anggota

Dr. M. Suryadinata, MA Muslim, S. Th. I

NIP: 19600908 198903 1 005

Anggota,

Dr. Yusuf Rahman, MA Drs. Zainal Arifin Zamzami, MA NIP: 19670213 199203 1 002

PEDOMAN TRANSLITERASI

1. Konsonan

Huruf Arab Huruf Latin Huruf Arab Huruf Latin

Ç

dilambangkan tidak

Ø

Th

È

B

Ù

Zh

Ê

T

Ú

'

Ë

S

Û

Gh

Ì

J

Ý

F

Í

H

Þ

Q

Î

Kh

ß

K

Ï

D

á

L

Ð

Dz

ã

M

Ñ

R

ä

N

Ò

Z

æ

W

Ó

S

å

H

Ô

Sy

Á

`

Õ

Sh

í

Y

Ö

Dh

ÜÉ

Ah

2. Syiddah Ditulis Rangkap

ãÝÓøÑæä

ditulis mufassirûn

ÑÈø

ditulis rabb

3. Vokal Panjang

Tanda Baca Keterangan Ditulis

Üöí

Kasroh + ya mati Î

Üõæ

Dhammah + waw Û

4. Vokal-vokal Pendek yang Berurutan dalam Satu Kata Dipisahkan Apostrof

ÃÃäÊã

ditulis a`antum

ÃÚÏøÊ

ditulis u'iddat 5. Kata Sandang

Bila diikuti huruf "Qamariyyah" ditulis

al-ÇáÚÈÏ

ditulis al-'abd

Bila diikuti huruf "Syamsyiyyah" ditulis dengan menghilangkan huruf L dan menggandakan huruf "Syamsyiyyah" yang mengikutinya

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT. Tuhan yang selalu mengajarkan kepada manusia apa yang belum diketahuinya. Dialah ’Tangan Gaib’ yang selalu ‘menyapa’ dan terus ‘menyemangati’ penulis kala kelelahan mental dan finansial dalam perampungan tugas akhir skripsi ini. Atas pertolongan-Nya pula, penulis berhasil meraih gelar sarjana strata satu di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Salawat serta salam seiring kerinduan, senantiasa tercurah-limpah kepada baginda Nabi Muhammad saw. Beliaulah mata air kehidupan dan teladan sempurna hingga akhir zaman. Motivasi-motivasinya yang selalu menganjurkan pengikutnya untuk selalu menuntut ilmu, bagaimanapun telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan penulis.

Penulis menyadari betul, bahwa skripsi yang berjudul "Analisis Metodologi Tafsir Alfatihah Karya Achmad Chodjim: Aplikasi Metodologi Kajian Tafsir Islah Gusmian" ini tidak akan rampung dengan daya yang penulis miliki sendiri. Banyak sosok, kolega, orang-orang spesial baik langsung maupun tidak langsung telah banyak membantu penulis. Maka dengan segala kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada:

Bapak Prof. Dr. Zainun Kamaluddin F, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Bapak Dr. Bustamin, M.S.i., selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis.

Bapak Dr. M. Suryadinata, M.A., selaku pembimbing yang telah memberikan kontribusi bermakna dalam menyelesaikan skirpsi ini. Bersama beliau, segala proses, perubahan, dan pencapaian adalah pelajaran yang sangat

berharga.

Seluruh dosen, staff, dan pegawai Fakultas Ushuluddin. Kebaikan dan kemurahhatian mereka secara sadar telah mendorong penulis untuk tidak surut sebelum menang serta menantang untuk giat membaca dan tidak pernah puas berwacana.

Bapak Achmad Chodjim untuk wawancara dan diskusinya. Ambisi beliau untuk terus menggali makna yang terdapat dalam al-Quran patut penulis apresiasi. Tugas mulia itu sebenarnya secara formal bukanlah tanggung jawabnya, melainkan tanggung jawab masyarakat Tafsir Hadis, termasuk penulis. Juga untuk Islah Gusmian yang telah menunjukkan kepada penulis dan peminat kajian tafsir sebuah buku tentang metodologi kajian tafsir yang inovatif.

Orangtua, Amrizal dan Nurhasni, yang selalu mengingatkan penulis untuk mengakhiri masa kuliah dengan husn al-khatimah. Salut untuk keduanya karena selalu menyampaikan hal itu dengan bahasa pertemanan, layaknya dari seseorang kepada temannya. Kehangatan inilah yang membuat penulis dengan santai merampungkan karya ini tanpa ada tekanan moril tapi menyiratkan tanggung jawab penuh. Semoga karya ini menjadi bukti buat keduanya bahwa penulis selalu mendengar apa yang keduanya nasihatkan.

Abang-abang dan adik perempuan penulis: Joni Amrizal, Andi Amrizal, Ifan Amrizal, Aan Amrizal, serta Karisma Yuanita. Meski dunia ini kadang begitu membosankan bersama kalian tapi ikatan darah yang mengalir dalam diri kita abadi. Tidak sopan bila penulis melupankan kakak ipar: Ka’ Anim, Ka’ Nela, dan Ka’ Dona serta dua keponakan penulis: Nazwa dan Zakwan.

intelektual penulis: Sahal Mubarok, Agus Rusli, Bagus Irawan, Abdul Majid, Tri Iswahyudi, Hasiolan, Sahro, Syamsul Munir, dan lain-lain. Tanpa Arrisalah mungkin kita tidak akan bertemu. Doakan agar presiden kalian ini bisa mendengar aspirasi kalian.

Keluarga Madina: Pak Haidar Bagir, Mas Putut Widjanarko, Mas Farid Gaban, Bang Ade Armando, Kang Hikmat Darmawan, Warsa Tarsono, Achmad Rifki, M. Husnil, dan Rika Febriani. Bersama kalian, penulis bisa menggambarkan dunia dalam aksara dan kata.

Teman-teman kelas TH-A/2002: Rifki, Asok, Yos, Umam, Away, Gonggo, Husni, Iqbal, dan Tita atas buku-buku dan disket mininya. Teman-teman HMI cabang Ciputat: Idris Madura, Opan, Asyari, Elban, Dodi, Azwar, Isnur, Su’udi, Fikri, dan lain-lain.

Zya Fatimah Baraqbah, Gusti Sari Nadia Ulfah, M. Ja’far, Nanang Sunandar, Tata Septayuda, dan Syofwatillah Mohzaib.

Sebelum mengakhiri, penulis ingin mengutip pantun kuno Minangkabau. Kayu gadang di tangah padang. Bakeh bataduah hari hujan. Bakeh balinduang hari paneh. Ureknyo buliah bakeh baselo. Batangnyo buliah bakeh basanda.

Pohon besar di tengah padang. Untuk berteduh dari hujan. Untuk berlindung hari panas. Akarnya boleh untuk bersila. Batangnya boleh untuk

bersandar.

Jakarta, 10 Mei 2010

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

ABSTRAK ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii

LEMBAR PENGESAHAN ...iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... v

KATA PENGANTAR ...vii

DAFTAR ISI... .x

DAFTAR TABEL...xii

DAFTAR LAMPIRAN...xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...12

C. Metodologi Penelitian ...13

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian...16

E. Sistematika Penulisan ...16

BAB II METODOLOGI TAFSIR AL-QURAN A. Pengertian Metodologi Tafsir...17

B. Sejarah Perkembangan Tafsir...21

C. Pemetaan Metodologi Tafsir ...24

MENDALAMI ALFATIHAH A. Achmad Chodjim: ...37 1.Biografi ...37 2. Karya-karya Intelektual...38 B. Alfatihah...39 1. Konteks Sosial...39

2. Masa Penulisan dan Penerbitan...40

3. Modal Penafsiran ...41

BAB IV ANALISIS METODOLOGI TAFSIR ALFATIHAH A. Aspek Teknis ...45 B. Aspek Hermeneutis...58 C. Catatan Kritis ...81 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...84 B. Saran... … 86 DAFTAR PUSTAKA ... 88

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Karakter Tafsir Menurut M. Yunan Yusuf ...32

Tabel 2 Konstruksi Ilmu Tafsir Nasruddin Baidan...33

Tabel 3 Metodologi Kajian Tafsir Islah Gusmian ...34

Tabel 4 Sistematika Penyajian Alfatihah...47

Tabel 5 Bentuk Penyajian Alfatihah...49

Tabel 6 Gaya Penulisan Alfatihah...51

Tabel 7 Bentuk Penulisan Alfatihah...52

Tabel 8 Sifat Mufasir Alfatihah...53

Tabel 9 Asal-usul Keilmuan Mufasir Alfatihah...54

Tabel 10 Asal-usul Alfatihah...55

Tabel 11 Sumber-sumber Rujukan Alfatihah...57

Tabel 12 Metode Alfatihah...73

Tabel 13 Nuansa Alfatihah...78

Tabel 14 Pendekatan Alfatihah...81

Tabel 16 Metodologi Tafsir Alfatihah...85

DAFTAR LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bagi kalangan Muslim, al-Quran adalah Kitab Suci sekaligus petunjuk (huda). Oleh sebab itu kajian-kajian yang dilakukan kalangan Muslim mengenai al-Quran sebagian besar merupakan kajian dalam rangka mengungkap makna teks al-Quran (baca: tafsir).1

Dengan kerangka al-Quran adalah petunjuk, para sarjana Muslim lalu merumuskan kesepakatan bersama tentang al-Quran: bahwa al-Quran shảlih li kuli zamản wa makản (Quran relevan di setiap zaman dan tempat). Artinya, al-Quran dapat dipahami dengan baik jika penafsir kitab suci mampu mendialogkannya secara kritis, dinamis, dan proporsional. Diktum ini setidaknya memberi ruang bagi berbagai pemahaman al-Quran yang akan selalu berkembang seiring perkembangan peradaban dan budaya manusia.2

Atas dasar proporsisi di atas, maka wajar Nasr Hamid Abu Zayd menyebut peradaban Islam sebagai peradaban teks. Mengingat peradaban Islam berporos pada ‘Narasi Besar’ bernama al-Quran.3 Dari ’Narasi’ ini lahir ribuan karya intelektual yang ditulis para sarjana Muslim, baik klasik maupun mutakhir, sebagai bentuk persembahan pemikiran dan solusi pada konteksnya serta sebagai

1 Ihsan Ali-Fauzi, “Kaum Muslimin dan Tafsir al-Quran; Survey Bibiliografis atas

Karya-karya dalam Bahasa Arab” (Jurnal UQ, II. 1990), h. 12.

2 Very Verdiansyah,

Islam Emansiaptoris: Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat [P3M] dan Ford Foundation Jakarta, 2004), h. 3.

3 Nasr Hamid Abu Zayd,

Tekstualitas al-Quran; Kritik Terhadap Ulumul Quran, penerjemah Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LkiS, 2003), h. 1.

rekapitulasi nilai-nilai agama dan untuk menegaskan kembali pemahaman Islam standar bagi para pengikutnya.4

Semula usaha menafsirkan al-Quran diserahkan sepenuhnya kepada Nabi sebagai penafsir tunggal. Tapi setelah kematian beliau, proses penafsiran al-Quran jatuh ke tangan para sahabat. Setidaknya ada 10 sahabat yang mendapat anugerah berat itu. Seperti Abu Bakar al-Shiddiq, Umar ibn al-Khattab, Usman ibn Affan, Ali ibn Abu Talib, Abdullah ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ubay ibn Ka’ab, Zait ibn Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, dan Abdullah ibn Zubair.5

Bila ditelisik dari sisi sejarah, keberhasilan Islam sebagai pandangan hidup (world view) masyarakat Arab pada abad VII M yang melampaui agama-agama pendahulunya, Yahudi dan Kristen serta kepercayaan lokal kaum pagan (pribumi) tak bisa dipisahkan dari peran tafsir kontekstual-liberatif Nabi.6 Mengingat betapa

pentingnya posisi tafsir al-Quran dalam menentukan wajah Islam sebagai penebar kasih bagi semesta, maka proses dan tradisi ini harus dipertahankan untuk selalu terus-menerus, berkembang, dan kaji-ulang sampai semua metode keilmuan yang dibangun manusia betul-betul bisa menjaring seluruh makna yang terkandung dalam al-Quran. Sebab secara inheren, al-Quran selalu menebarkan sayap maknanya pada setiap pembaca dan kondisi.7

4 Didin Syafruddin, “Karakter Literatur Indonesia tentang al-Qur’an.”

Jurnal Studia Islamika 2, No.2 (1995), h. 180. Review buku Howard M. Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia; Dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, penerjemah Tajul Arifin, (Bandung: Mizan, 1996).

5 Ahli tafsir di kalangan sahabat sebenarnya banyak jumlahnya tapi yang paling terkenal

10 sahabat di atas. Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Quran, penerjemah Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 411.

6 Harun Nasution,

Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1998), h. 298.

7 Lihat M. Quraisy Shihab,

Mukjizat al-Quran Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib (Bandung: Mizan, 2001), h. 94. Schoun, seperti yang dikutip A’la, menambahkan bahwa keunikan al-Quran karena bahasa al-Quran tidak disusun dalam bentuk pernyataan doktrinal melainkan dalam bentuk narasi historis dan eskatologis. Abd A’la, al-Quran dan Hermeneutik; Memahami Bahasa Agama dalam Wacana Neo-Modernitas (Jakarta: Jurnal taswirul Afkar, Edisi VIII, 2000), h. 122.

Karena upaya pengakraban terhadap al-Quran dengan berbagai metode dan pendekatannya adalah tugas setiap generasi, harus diingat bahwa hasil interpretasi tidak pernah sampai pada level absolut dan benar secara mutlak. Sebaliknya hasil pemahaman tersebut hanya sampai pada derajat relatif. Bagaimanapun resepsi manusia terhadap wahyu verbal tertulis berbeda dari waktu ke waktu, sesuai dengan tingkat nalar dan faktor-faktor ekstrenal yang turut mempengaruhinya.8

Dalam konteks Indonesia, sarjana Muslim Indonesia cukup produktif dalam mereproduksi makna al-Quran dan membukukannya dalam sebuah karya.9 Tapi sejauh ini penulis belum menemukan tulisan yang merekapitulasi berapa persisnya jumlah karya tafsir yang ditulis sarjana Muslim Indonesia.10

Sejarah mencatat ada sebuah penggalan karya tafsir surat al-Kahfi (18) dalam bahasa Melayu. Manuskrip itu tertanggal sebelum tahun 1620 yang dibawa ke Belanda oleh sebuah armada Belanda. Bahasanya sangat fasih dan idiomatis. Jelasnya, karya tersebut termasuk kajian al-Quran yang telah terbangun dengan baik, dan yang–tidak kalah dari terjemahan Hamzah Fansuri—telah mencapai standar yang tinggi. Meskipun tidak ada pengarang yang terindikasi, dapat dipastikan bahwa karya tersebut adalah terjemahan Tafsir al-Khazin (w. 1340)

8 Pengantar Nur Kholis Setiawan,dalam Aksin Wijaya,

Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritik atas nalar Tafsir Gender (Jogjakarta: Safiria Insania Press, 2004), h. xiv.

9 Aktivitas penafsiran al-Quran di Indonesia, setidaknya, bisa dibagi menjadi tiga periode.

Periode pertama atau yang disebut periode klasik dimulai dari abad 17 sampai 19 M. Periode kedua dimulai dari awal abad 20 sampai dekade 80-an. Terakhir periode kontemporer yang dimulai dari dekade 80-an sampai sekarang. Bidik Lisma Dyawati Fuaida, “Kajian al-Quran Kontemporer: Gagasan tentang Metode dan Pendekatan Penafsiran al-Quran di Indonesia,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2002).

10 Dalam sebuah makalah yang penulis temukan di internet, dikatakan bahwa Nasruddin

Baidan mencatat ada sekitar 1000 karya tafsir yang ditulis sarjana Muslim Indonesia. Tapi penulis tidak menemukan informasi ini langsung dalam buku-buku yang ditulis Nasruddin Baidan.

atas surat al-Kahfi. Karya ini merefleksikan perbedaan penafsiran atas surat itu dam mazhab tasawuf yang berbeda dengan Hamzah Fansuri.11

Sejarah juga mencatat nama Abd al-Rauf al-Singkel (1024-1105 H/1615-1693 M) sebagai sarjana Nusantara yang menyusun karya tafsir lengkap 30 juz dan diberi judul Tarjuman al-Mustafid. Karya ini ditulis kala dirinya diangkat sebagai mufti pada masa pemerintahan seorang sultanah dari kesultanan Aceh bernama Kamalat al-Din (berkuasa 1098-1109 H/1688-1699 M). Karya ini lahir sebagai tanggapan terhadap gerakan sufisme wujudiyyah yang dipimpin Hamzah Fansuri (w.1607) dan muridnya Syamsuddin al-Sumatrani (w.1630) vis-a-vis

gerakan ortodoksi yang dipimpin Nur Din Muhammad ibn ‘Ali ibn Hasanji al-Humaidi al-‘Aidarusi atau yang biasa dikenal dengan al-Raniri (w.1658).12

Pada masa itu tidak ada karya tafsir yang populer dari sarjana Muslim Nusantara kecuali karya an-Nawawi al-Bantani (1813-1897). al-Bantani adalah salah seorang ulama yang menonjol pada abad ke-19 dan telah menghasilkan lebih dari 100 karya dalam pelbagai bidang ilmu keislaman. Seperti tafsir, fikih, ushuluddin, ilmu tauhid, tasawuf, sejarah Nabi, tata bahasa Arab, hadis, dan akhlak. Pada 1886, ia menyelesaikan karya monumentalnya mengenai tafsir dengan judul Tafsir Marah Labid atau Tafsir al-Munir dalam bahasa Arab setebal 985 halaman yang terdiri dari dua jilid. Mazhab tafsir yang dirujuknya bercorak

11 Anthony H. Johns, “Tafsir al-Quran di Dunia Indonesia-Melayu: Sebuah Penelitian

Awal.” Jurnal Studi Al-Qur’an I, No. 3 (2006), h. 464. Untuk melihat puisi dan prosa Hamzah Fansuri bidik Abdul Hadi WM, Tasawuf yang Tertindas; Kajian Hermeneutik Karya-karya Hamzah Fansuri (Jakarta: Paramadina, 2000); Syed M. Naguib al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970); Didin Syafruddin, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, jilid IV), h. 53-57.

12 Oman Fathurahman, “Abdur Rauf Singkel Ulama Dari Serambi Mekkah,”

Kompas, 01 Januari 2000, h. 12; Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, (Bandung: Mizan, 2002), h. 110-133.

Suni sekalipun di beberapa bagian merujuk pada karya tafsir dari kalangan Muktazilah, terutama karya az-Zamakhsyari.13

Belakangan muncul nama Howard M. Federspiel. Indonesianis yang semula pemerhati dinamika politik Indonesia tapi kemudian tertarik mengamati literatur-literatur terkait studi al-Quran. Ia mencatat beberapa literatur tentang

ulum al-Quran (55 buah), terjemahan al-Quran (69), kutipan al-Quran (29-30), peranan al-Quran (27), bagaimana cara membaca al-Quran (91-92), dan indeks al-Quran (74).14

Beberapa karya tafsir yang dicatat Federspiel antara lain: [1] Hamka,

Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982) 12 jilid. [2] H. Oemar Bakry,

Tafsir Rahmat (Jakarta: Mutiara, 1983). [3] Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs., Tafsir al-Quran (Jakarta: Widjaya, 1959). [4] Ahmad Hassan, Al-Furqan: Tafsir Quran (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah, 1956). [5] A. Halim Hasan, Zainal Arifin Abas, dan Abdur Rahim Haitami, Tafsir Al-Quranul Karim (Kuala Lumpur: Pustaka Antara, 1969) 2 jilid. Pada 1955 diterbitkan lagi di Medan. [6] T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Bayan (Bandung: Al-Ma’arif, 1966) 2 jilid. [7] Bactiar Surin, Terjemah dan Tafsir Al-Quran: Huruf Arab dan Latin

(Bandung: F.A. Sumatera, 1978). [8] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Quran,15 Al-Quran dan Terjemahannya (Jakarta, 1975)

13 Didin Syafruddin,

Ilmu al-Quran Sebagai Sumber Pemikiran dalam Ensiklpodei Tematis Dunia Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, t.,t.), jilid IV, h. 54.

14 Howard M. Federspiel,

Kajian al-Quran di Indonesia; Dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, penerjemah Tajul Arifin, (Bandung: Mizan, 1996), h. 100-248. Lihat juga Didin Syafruddin, “Karakter Literatur Indonesia tentang al-Qur’an.” h. 180.

15 Dua karya (nomor 8 dan 9) yang ditulis bersama-sama itu didanai oleh pemerintah dan

menarik sekelompok ulama, yang dikenal akrab oleh para pejabat Departemen Agama. Sebagian besar dari mereka memiliki hubungan dengan IAIN-IAIN. Mereka adalah Bustami A. Gani (ketua), T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (wakil ketua), Kamal Muhtar (seketaris), Ghazali Thaib, Syukri Ghazali, A. Mukti Ali, M. Toha Yahya Umar, Amin Nashir, Timur Jailani, Ibrahim Husien,

11 jilid. [9] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahannya (Jakarta, 1971). Sebelumnya pernah dicetak pada 1967. [10] H. Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1973).

Selain menginventarisasi, Federspiel juga mengelaborasi masing-masing karya tafsir dan menjelaskan perbedaan karya-karya tafsir generasi tertentu dengan karya tafsir pada generasi setelahnya. Misalnya, karya tafsir nomor 2, 3, 4, 7, dan 10 adalah karya tafsir generasi kedua. Genarasi ini dimulai pada era 1960-1970. Generasi ini merupakan penyempurnaan atas upaya generasi pertama (1900-an sampai 1960-an). Generasi pertama oleh Federspiel ditandai dengan adanya penerjemahan dan penafsiran yang masih terpisah-pisah. Karya tafsir pada generasi kedua biasanya memiliki beberapa catatan, catatan kaki, terjemahan kata per kata, dan kadang-kadang disertai indeks yang sederhana.16 Sedangkan karya

generasi ketiga diwakili oleh karya nomor 1, 5, dan 6. Karya pada generasi ketiga bertujuan untuk memahami kandungan al-Quran secara komprehensif. Oleh karena itu berisi materi tentang teks dan metodologi dalam menganalisa tafsir.17

M. Yunan Yusuf dalam artikelnya mencatat beberapa karya tafsir yang beredar pada abad 20. Karya-karya tafsir yang disebutkannya sebagian besar telah disebutkan oleh Federspiel. Seperti Tafsir Qur’an Karim-nya Mahmud Yunus, Al-Furqon Tafsir Qur’an-nya A. Hassan, dan lain-lain. Dalam artikelnya tersebut, A. Musaddad, Mukhyar Yahya, A. Soenaryo, Ali Maksum, Musyairi Majdi, Sanusi Latif, dan Abdur Rahim. Howard M. Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia, h. 106.

16 Kategorisasi Federspiel memang bermanfaat dalam rangka melihat dinamika penulisan

tafsir di Indonesia. Namun dari segi tahun pemilahannya itu tampak kacau. Ia memasukan tiga karya tafsir yang menurutnya representatif untuk mewakili generasi kedua. Padahal karya itu telah muncul pada pertengahan dan akhir tahun 1950-an, yang dalam kotegorisasinya masuk dalam generasi pertama. Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia:dari Hermeneutika hingga Ideologi (Teraju: Bandung, 2003), h. 65.

17 Howard M. Federspiel,

Kajian al-Quran di Indonesia, h. 129 dan 137. Untuk melihat literature-literatur yang diteliti Federspiel selain karya-karya di atas, bidik halaman 162-164, 224 dan 260.

Yusuf membedakan masing-masing karya tafsir dari sisi metode penafsiran, tehnik penafsiran, dan aliran penafsirannya. Di akhir artikel Yusuf menyimpulkan bahwa sebagian besar karya tafsir yang ia teliti ternyata masih beraliran tradisional.18

Islah Gusmian, untuk penelitian tesisnya, mengumpulkan dan mencatat 24 karya tafsir dalam periode 1990-an. Karya-karya itu di antaranya: [1] Konsep Kufur dalam al-Quran, Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematis

(Jakarta: Bulan Bintang, 1991) karya Harifuddin Cawidu, [2] Konsep Perbuatan Manusia Menurut al-Quran, Suatu Kajian Tafsir Tematis (Jakarta: Bulan Bintang, 1992) karya Jalaluddin Rakhmat, [3] Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Quran (Yogyakarta: LESFI, 1992) karya Musa Asy’ari, dan lain-lain.19 Dalam penelitiannya tersebut, Gusmian melihat ada keragaman dari sisi teknis penulisan tafsir dan metodologi yang digunakan. Menurutnya, itu merupakan fenomena yang memperlihatkan adanya tren baru dalam sejarah penulisan tafsir pada dasawarsa 1990-an.

M. Affifuddin, untuk penelitian skrisinya, mencata sekitar 26 kitab tafsir yang berkonsentrasi hanya pada surat al-Fatihah. Misalnya, [1] Kandungan Surat

Dokumen terkait