• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

B. Saran

Dengan segala keterbatasan dan kendala dalam penelitian ini, maka kiranya di sini ada beberapa hal yang perlu dijadikan bahan pertimbangan bagi pihak-pihak lain yang berkaitan. Berikut beberapa pertimbangan tersebut:

Pertama, maraknya karya tafsir yang ditulis oleh sarjana Muslim Indonesia seharusnya menjadi kesempatan bagi mereka yang berkepentingan untuk lebih mengembangkan lagi studi al-Quran di dalam negeri. Tentu akan sangat disayangkan jika mahasiswa dari studi Tafsir-Hadis tidak ikut

berpartisipasi dalam proses intelektual ini, khususnya, untuk melakukan penelitian ilmiah terhadap karya tafsir dari sisi metodologi. Penelitian dari sisi metodologi sebuah karya tafsir setidaknya bisa menjadi pintu masuk pertama untuk melihat adakah perkembangan terbaru dalam studi al-Quran.

Kedua, Allah memang tidak pernah menyerahkan ‘tulisan-Nya’ itu bagi satu kelompok masyarakat saja. Al-Quran sengaja ‘diterbitkan’ agar bisa dibaca dan dipelajari semua orang. Tapi tentu saja perlu keahlian tersendiri untuk mempelajarinya. Artinya, tidak bisa sembarang orang bisa menjadi ‘juru bicara’ al-Quran. Harus ada mekanisme ‘fit and proper test’ terlebih dahulu dengan cara melihat rekam jejak intelektual sang penafsir.

Ketiga, satu Islah Gusmian memang sudah membantu. Tapi kalau bisa ada seribu Islah Gusmian tentu sangat membantu memetakan karya-karya tafsir dalam negeri dari sisi metodologi yang digunakannya. Apalagi untuk para peneliti pemula yang ingin mencoba hal yang sama.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin, kata pengantar dalam Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia (Jakarta: Teraju, 2003).

Abu-Zayd, Nasr Hamid, Tekstualitas al-Quran; Kritik Terhadap Ulumul Quran, penerjemah Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LkiS, 2003).

____________________, Kritik Wacana Agama, penerjemah Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LkiS, 2003).

Affifuddin, M., “Apresiasi Spiritual Q.S. al-Fatihah; Survei Profil Karya-karya Jalaluddin Rakhmat, Anand Krishna, dan Ahmad Chodjim,” (Skripsi S1, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2004).

Ali-Fauzi, Ihsan, “Kaum Muslimin dan Tafsir al-Quran; Survey Bibliografis atas Karya-karya dalam Bahasa Arab.” Ulumul Quran 2, No. 2 (1990).

Qaththân, al, Mannâ' Khalîl, Mabâhis fî 'Ulûm al-Qur`ân (Beirut: Mu`assasah ar-Risâlah, 1405 H/1985 M).

Attas, al, Syed M. Naguib, The Mysticism of Hamzah Fansuri (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970).

Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1989).

Azra, Azyumardi, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara (Bandung: Mizan, 2002).

A’la, Abd, al-Quran dan Hermeneutik; Memahami Bahasa Agama dalam Wacana Neo-Modernitas (Jakarta: Jurnal taswirul Afkar, Edisi VIII, 2000).

Bahri, Samsul, Konsep-konsep Dasar Metodologi Tafsir dalam Abd. Mu'in Salim (ed.), Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2005).

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996).

Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000).

______________, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005).

Chodjim, Ahmad, Alfatihah; Membuka Mata Batin Dengan Surah Pembuka [edisi baru] (Jakarta: Serambi, 2008).

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahan (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2008).

Esack, Farid, Menghidupkan Al-Qur’an dalam Wacana & Prilaku, terjemahan Norma Arbi’a Juli Setiawan (Depok: Inisiasi Press, 2006).

Esack, Farid, Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas, terjemahan Watung A. Budiman (Bandung: Mizan, 2000).

Emmerson, Donald K., Pemilu dan Kekerasan: Tantangan Tahun 1999-2000 dalam Donald K. Emmerson (ed) Indonesia Beyond Soeharto, penerjemah Perikles Kattopo dan Ketut Arya Mahardika (Jakarta: Gramedia dan The Asian Foundation Indonesia, 2001).

Fathurahman, Oman, “Abdur Rauf Singkel Ulama Dari Serambi Mekkah,” Kompas, 01 Januari 2000.

Farmawi, al, Abdul Hayy, Metode Tafsir Maudhu’i, penerjemah Rosihan Anwar (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002).

Federspiel, Howard M., Kajian al-Quran di Indonesia; Dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, penerjemah Tajul Arifin, (Bandung: Mizan, 1996).

Fuaida, Lisma Dyawati, “Kajian al-Quran Kontemporer: Gagasan tentang Metode dan Pendekatan Penafsiran al-Quran di Indonesia,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2002).

Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Ideologi (Teraju: Bandung, 2003).

Hadi WM, Abdul, Tasawuf yang Tertindas; Kajian Hermeneutik Karya-karya Hamzah Fansuri (Jakarta: Paramadina, 2000).

Izutsu, Toshihiko, Relasi Tuhan dan Manusia, penerjemah Agus Fahri Husein, Supriyanto Abdullah, dan Aminuddin, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2003).

Johns, Anthony H., “Tafsir al-Quran di Dunia Indonesia-Melayu: Sebuah Penelitian Awal.” Jurnal Studi Al-Qur’an 1, No. 3, (2006).

Jurjani, al, Kitâb al-Ta’rifat (Beirut: Maktabah Lubnan, Sahatu Riyad al-Suhl, 1965).

Kusmana, “Rekontekstualisasi Tradisi Tafsir al-Quran di Indonesia; Mencari Kemungkinan Penggunaan Analisa Metodologi ‘Barat.” Jurnal refleksi 4, No. 3, (2002).

Muhsin, Amina Wadud, Al-Qur’an dan Perempuan dalam Charles Kurzman (ed), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global (Jakarta: Paramadina, 2003).

Mustaqim, Abdul, Aliran-aliran Tafsir: dari Periode Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005).

Nahrowi, Izza Rohman, “Karakter Kajian al-Quran di Indonesia” (Skripsi S1, fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2002).

Nasution, Harun, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1998).

Nawawi, Rif’at Syauqi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh; Kajian Masalah Akidah dan Ibadat (Jakarta: Paramadina, 2002).

Rahardjo, M. Dawam, Ensiklopedi al-Quran: Tafsir Sosial Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Paramadina dan Jurnal Ulumul Qur’an, 2002).

Random House Webster’s College Dictionary (New York: Random House, 1999). Saenong, Ilham B., Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-Quran

Menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002).

Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu al-Quran, penerjemah Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008).

Saleh, Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman (Jakarta dan Jambi: Gaung Persada Press dan Sulthan Taha Press, 2007).

Setiawan, Nur Kholis, dalam kata pengantar Aksin Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritik atas nalar Tafsir Gender (Jogjakarta: Safiria Insania Press, 2004).

Shihab, M. Quraisy, Mukjizat al-Quran Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib (Bandung: Mizan, 2001).

__________et al., Sejarah & ‘Ulûm al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008). _____________, Tafsir al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002).

Sihabulmilah, A., “Stratifikasi Pembaca Teks Alquran.” Artikel diakses pada 19 Ferbuari 2010 dari http://islamlib.com/id/artikel/stratifikasi-pembaca-teks-alquran/

Sirojuddin AR, D., “al-Quran Berwajah Puisi: Dibenarkan Tapi Tidak Diakui.” Ulumul Qur’an 5, vol. IV (1993).

Suplemen, Ulumul Qur’an 5, vol. IV (1993).

Suyûthî, Jalâl ad-Dîn, Al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân (Beirut: Dâr al-Fikr, 1399 H/1979 M), Jilid II.

Syafruddin, Didin, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, jilid IV).

_______________, Ilmu al-Quran Sebagai Sumber Pemikiran dalam Ensiklpodei Tematis Dunia Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, t.,t.), jilid IV.

93

____________, “Karakter Literatur Indonesia tentang al-Qur’an”, Studia Islamika 2, No. 2 (1995). Review buku Howard M. Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia; Dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, penerjemah Tajul Arifin, (Bandung: Mizan, 1996).

The New Lexicon Webster’s Dictionary of English Language, vol. I (Danbury, CT: Lexicon Publications, INC., 2004).

Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997).

Umar, Nasaruddin, “Refleksi Sosial dalam Memahami Al-Qur’an: Menimbang Ensiklopedi Qur’an Karya M. Dawam Rahardjo.” Jurnal Studi Al-Qur’an 1, No. 3 (2006).

Verdiansyah, Very, Islam Emansiaptoris: Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat [P3M] dan Ford Foundation Jakarta, 2004).

Wansbrough, John, Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretastion (London: Oxford University, 1977).

Wawancara pribadi dengan Achmad Chodjim. Pamulang, Senin 15 Februari 2010. Yusuf, M. Yunan, “Karakteristik Tafsir al-Quran di Indonesia Abad Keduapuluh.”

Ulumul Quran 3, No. 4 (1992).

Zarqani, al, Abd al-‘Azhim, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qurân (Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, t.th.), jilid II.

Hasil Transkrip Wawancara Pribadi Dengan Achmad Chodjim. Pamulang, Senin, 15 Februari 2010.

Buku Alfatihah diterbitkan pertama kali pada 2002. Adakah konteks tertentu yang mendorong Anda untuk menulisnya?

Saya memahami bahwa al-Fatihah adalah surat yang paling sering dibaca umat Islam. Bagi yang aktif salat, al-Fatihah dibaca sebanyak 17 kali dalam sehari. Al-Fatihah juga dibaca pada momen-momen tertentu seperti dalam doa, pembuka pertemuan, dan tahlilan. Inilah yang mendorong saya untuk menulis tafsir al-Fatihah agar mereka yang sering membaca al-al-Fatihah tahu makna al-al-Fatihah. Memang sudah banyak yang menafsirkan al-Fatihah. Tapi karena ditafsirkan secara ortodoks, penafsirannya tidak terkait dengan realitas kekinian. Padahal al-Fatihah sering dibaca. Kalau begitu, mesti diberi sebuah penafsiran yang mengena alam pikiran yang sekarang sedang berjalan.

Apa yang Anda maksud dengan ‘alam pikiran yang sedang berjalan’?

Ketika membaca al-Fatihah itu kan ada harapan. Ada yang berharap kesembuhan, ada yang berharap keterbukan hati dan pikiran. Harapan-harapan itu kan adanya di alam pikiran. Tapi kadang-kadang tidak termanifestasikan. Jadi hampir setiap orang yang menafsirkan al-Fatihah dari ayat dan kalimatnya tidak mengalami perubahan. Yang berubah sama sekali yang ditulis oleh Amin Aziz yang berjudul Paradigma Al-Fatihah. Tapi yang ditulis Amin Aziz terlalu luas cakupannya. Singkat kata, saya ingin menafsirkan al-Fatihah secara simpel tapi poin-poinnya memberikan motivasi orang untuk melangkah dengan benar.

Berapa lama waktu yang Anda habiskan untuk menulis tafsir Alfatihah?

Buku itu sudah saya tulis pada 1999 akhir dan selesai pada 2000. Cuma baru bisa diterbitkan pada Maret 2002. Saat itu saya adalah seorang staff di sebuah perusahan dan bukan seorang penulis. Makanya tidak gampang untuk menyakinkan penerbit apalagi saya bukan dari lingkungan IAIN. Inilah yang jadi bahan pertimbangan penerbit dan membuat prosesnya agak lama. Malah sebelumnya ada kekhawatiran di penerbit kalau tulisan saya itu tidak bernilai komersial. Judul awal buku saya adalah Jalan Pencerahan. Baru pada 2003 judulnya diganti seperti yang sekarang. Dan setelah diganti, penerbit kewalahan terus mencetak ulang.

Tulisan saya sempat tertahan tiga bulan di penerbit karena saat itu ada pergantian staff redaksi di tingkatan penerbit. Dan alhamdulillah tidak ada draft kedua atau ketiga.

Pada 2001 tulisan saya masuk ke Serambi lalu diterbitkan pada Maret 2002. Tapi pada 2000 tulisan saya ini sudah diterbitkan oleh Gramedia. Kepindahan ke Serambi karena pada Juli 2000, Gramedia didemo oleh FPI (Front Pembela Islam) dengan alasan Gramedia menerbitkan buku-buku agama Islam. Oleh FPI, Gramedia dianggap bukan bagian dari Islam. Kalaupun ada buku-buku agama Islam yang diterbitkan Gramedia tentu buku-buku agama Islam yang mendukung misi Gramedia yang mendukung liberalisme dan sejenisnya.

Akhirnya pihak Gramedia menghubungi saya untuk mengatakan bahwa saat itu mereka tidak bisa lagi menerbitkan buku-buku ajaran Islam. Kecuali buku-buku ajaran Islam yang digabungkan dari koran-koran Kompas. Seperti bukunya Komaruddin Hidayat. Oleh pihak Gramedia, saya disarankan untuk menerbitkan buku saya itu ke penerbit-penerbit yang jelas-jelas punya Muslim. Lalu saya pilih Serambi dengan pertimbangan buku-buku yang pernah diterbitkan Serambi dan mendapat sambutan di awal 2001.

Waktu itu Anda menulis buku itu hanya ‘iseng-iseng’?

Saya menulis buku itu sudah menggunakan sistematika penulisan tertentu. Kebetulan saya adalah seorang staff di sebuah perusahaan yang tentunya sudah terbiasa membuat laporan. Tapi tentu saja mesti ada titik temu dengan penerbit terkait tulisan tersebut. Setelah al-Fatihah selesai, maka tulisa saya yang selanjutnya seperti Annas dan al-Falaq bisa lolos dengan mudah.

Berapa eksemplar buku Anda yang sudah terjual dari hasil laporan penerbit?

Laporan dari penerbit rutin per semester. Kebetulan saya memang tidak pernah menghitung kumulatif dari buku saya itu. Normatifnya, Alfatihah sudah cetakan berapa lalu dikali 5000. Kalau sembilan berarti dikalikan limu ribu saja.

Dilihat dari latar belakang pendidikan formal, Anda tidak memelajari studi keagamaan khususnya studi tafsir. Apa yang membuat Anda berani menafsirkan al-Quran?

Meski pendidikan formal saya bukan di jalur pendidikan agama tapi waktu SMU, saya pernah belajar kepada guru tafsir dan hadis yang ada di Malang pada saat itu seminggu sekali. Dan guru-guru tersebut, bagi saya levelnya sudah level nasional. Saya belajar tafsir kepada K.H. Achmad Chair, ketua rohani Islam di Korem Angkatan Darat di Malang. Dan untuk hadis, saya belajar kepada Muhammad Bejo adalah mubalig nasional Muhammadiyah.

Dari belajar itulah saya mendapat pemahaman lebih dibanding hanya membaca terjemahan al-Quran saja. Guru tersebut juga menginformasikan kepada kami macam-macam kitab tafsir, baik yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Arab untuk kami pelajari. Ini tentu saja mendorong saya untuk mendalami bahasa Arab sebagai landasan penafsiran tapi bukan sebagai percakapan. Dalam bahasa Arab, saya juga belajar nahwu, sorf, mantiq, dan sastra.

Dari pembelajaran itu timbul permenungan tersendiri. Misalnya, kenapa ibn Katsir bobot penafsirannya hanya pada titik tertentu. Kenapa as-Suyuti lebih menitikberatkan di satu tempat. Artinya, banyak pilihan-pilihan yang disediakan ketika kita ingin menafsirkan Quran. Maka pilihan saya agar terjemahan al-Quran diberi penjelasan yang lebih kontemporer yang bisa dipahami oleh pembaca zaman sekarang.

Lalu modal apa yang Anda miliki untuk menafsirkan al-Quran, selain bahasa Arab tadi?

Saya tentu saja membaca ‘Ulûm al-Quran dari berbagai macam penulis. Lalu memahami hadis-hadis Nabi dan khitah-khitah yang ada dalam agama Islam. Saya juga membaca sirah Nabi dan para sahabat. Dengan memelajari ilmu-ilmu tadi, ketika akan menulis saya tahu tafsir ini lingkupnya akan ke mana arah penulisannya, karena saya sudah mengidentifikasi tafsir yang sudah kita baca sebelumnya. Pertanyaannya, kenapa kita tidak menulis setelah membaca banyak literatur?

Adakah ilmu lain yang Anda masukan dalam tafsir Anda tersebut?

Tentu saja. Sebab ketika kita membaca al-Quran tentu kita tidak bisa lepas dari pemahaman fisika, kimia, geologi, sosiologi, dan lain-lain.

Apa metode yang Anda gunakan untuk menafsirkan al-Quran?

Semua metode. Ketika kita ingin menafsirkan al-Quran hendaknya kita merujuk kepada ayat-ayat yang lain yang sama temanya. Lalu dalam menafsirkan al-Quran kita juga harus merujuk kepada hadis-hadis dan riwayat-riwayat sahabat yang ada yang relevan dalam pembahasan ayat tersebut. Kita juga bisa menggunakan asbab al-nuzul, meskipun tidak semua ayat ada asbab al-nuzul dan asbab al-nuzul bukan informasi yang eksak. Artinya, semua sumber bisa kita eksplor untuk menafsirkan ayat.

Tafsir saya bukan tafsir berdasarkan topik tertentu, tapi berdasarkan surat. Oleh sebab itu, dalam tafsir saya ada model tafsir berdasarkan urutan ayat dan karena di dalam surat ada berbagai tema, maka tema-tema yang ada saya bahas juga.

Kenapa Anda tidak menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang sesuai dengan latar belakang pendidikan formal Anda. Seperti ayat-ayat tentang pertanian atau tentang alam?

Kalau kita ingin menafsirkan al-Quran kita tidak boleh hanya terpaku pada latar belakang semata. Sebab nanti al-Quran tidak bisa lagi diakses oleh banyak orang. Kalau membahas tentang pertanian, berarti menafsirkan ayat-ayat yang secara maudu’i berbicara tentang pertanian. Dengan begitu kita tidak bisa lagi membahas al-Quran yang maknanya lebih luas baik ditinjau dari segi riwayat, dirayat, atau kaitan ayatnya. Lagipula, Wahyu yang diterima Nabi kan tidak spesifik.

Setidaknya bila ditopang dengan latar belakang pendidikan Anda, tafsir Anda tentang pertanian akan lebih mendalam?

Lebih mendalam tidak berarti lebih fungsional. Katakanlah, misalnya saya menulis karya tafsir yang sesuai dengan latar pendidikan formal saya atau tafsir yang fokus pada pertanian, maka pembacanya hanya terbatas pada orang yang mengerti pertanian. Padahal orang pertanian yang jenius tidak butuh tafsir al-Quran tentang pertanian.

Buat apa kita mendalami pertanian dengan membaca karya tafsir. Malah yang ada nanti kita dianggap orang melakukan justifikasi ayat terhadap ilmu pengetahuan yang ada. Contoh, ilmu pertanian yang sudah ada lalu kita konfirmasi dengan ayat

IV

al-Quran. Bukankah itu hal yang buruk. Ini sama dengan kasus penemuan ilmiah mutakhir oleh Barat lalu sebagian dari umat mengklaim bahwa al-Quran sudah mengatakan itu sebelumnya. Kecuali setelah kita membaca al-Quran kita mampu merumuskan sebuah ilmu baru, ini yang lebih baik.

Apa motivasi Anda menulis Alfatihah?

Agar kehidupan pembaca lebih baik lagi sebelumnya. Sehingga kualitas hidup mereka juga lebih baik lagi.

Adakah yang menggugat terhadap karya Anda tersebut?

Pada 2000 saya pernah diundang dalam sebuah forum di IAIN Jakarta. Saat itu Pak Salman Harun keberatan dengan apa yang saya tulis itu sebagai tafsir. Dia berkata kepada saya, “Tafsir bukan wilayah saya dan oleh sebab itu sebaiknya Anda tidak memasuki ranah itu.”

Mengetahui

Dokumen terkait