• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

ADA PERKENI Kandungan Giz

Diabetes Association (ADA) dan Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) (Sukardji, 2006) terdapat pada Tabel 4.

Tabel 4. Standardisasi Kandungan Gizi bagi Diabetisi menurut ADA dan PERKENI

ADA PERKENI Kandungan Gizi Tahun 2003 Tahun 2006 Karbohidrat 45-60 % 45-65 % Sukrosa <10 % <10 % Serat 20-35 g 25 g

Pemanis Sesuai ADI

Total lemak 25-35 % 20-25 %

Kolesterol <300 mg <300 mg

Protein 10-20 % 15-20 %

Berdasarkan PERKENI (2006), kandungan gizi energi makanan untuk Diabetisi harus cukup untuk mencapai dan mempertahankan berat badan normal. Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi, pembatasan karbohidrat total yang kurang dari 130 g/hari tidak dianjurkan. Kandungan sukrosa kurang lebih 10% dari total asupan energi, sedangkan kebutuhan protein normal, yaitu 15-20% dari kebutuhan energi total. Sumber protein yang baik antara lain ikan, seafood, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, susu rendah lemak, kacang, dan kacang-kacangan (tahu dan tempe).

Sebaiknya makanan diet untuk Diabetisi mengandung serat tinggi kadar yang dianjurkan adalah sebanyak 25 g/hari. Diabetisi dianjurkan mengonsumsi cukup serat larut air yang terdapat di dalam sayur dan buah, kacang-kacangan, sumber tinggi serat, serta mengandung vitamin dan mineral. Penggunaan pemanis bergizi seperti gula alkohol dan fruktosa sebaiknya perlu dibatasi, karena gula alkohol mengandung 2 Kal/g, sedangkan fruktosa tidak dianjurkan pada diabetisi karena memiliki efek samping pada lipid plasma. Pemanis buatan (aspartam, sakarin, sukralos, accesulfame potassium, neotame) boleh digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman untuk dikonsumsi (PERKENI, 2006).

Penentuan Jumlah Kalori Diet Diabetes

Berdasarkan Almatsier (2004), diet yang digunakan dalam penatalaksanaan Diabetes Mellitus dikontrol berdasarkan kandungan energi, protein, lemak, dan karbohidrat. Berdasarkan Almatsier (2004), ditetapkan 8 jenis Diet Diabetes Mellitus seperti pada Tabel 5.

Tabel 5. Jenis Diet Diabetes Mellitus menurut Kandungan Energi dan Protein

Jenis Diet Energi (Kal) Protein (g)

I 1100 43 II 1300 45 III 1500 51.5 IV 1700 55.5 V 1900 60 VI 2100 62 VII 2300 73 VIII 2500 80

Kedelapan jenis Diet Diabetes Mellitus yang sudah dibagi menurut nilai energi 1100-2500 Kal selanjutnya dibagi lagi berdasarkan kandungan nilai protein yaitu 30 g, 40 g, 50 g. Protein 50 g sehari hanya diterapkan untuk diet (Diabetes Mellitus Rendah Protein) DMRP 2100 Kal, 2300 Kal, 2500 Kal. Diet protein diberikan sesuai dengan kebutuhan energi dan kemampuan fungsi ginjal pasien.

Makanan dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan siang (30%), makan sore (25%), dan 2-3 porsi makanan selingan (masing-masing 10- 15%) (PERKENI, 2006). Cara memesan diet adalah Diet DM I/II/III/IV/V/VI/VII/VIII (Almatsier, 2004). Dalam penelitian ini, kandungan kalori diet ditetapkan sesuai dengan kandungan energi dan proteinnya.

Pelayanan Gizi di Rumah Sakit

Pelayanan Gizi Rumah Sakit (PGRS) merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan paripurna RS dengan beberapa kegiatan, antara lain pelayanan gizi rawat inap dan rawat jalan. Pelayanan gizi rawat inap dan rawat jalan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan gizi pasien melalui makanan sesuai penyakit yang diderita (Almatsier, 2004).

Proses pelayanan gizi rawat inap dan rawat jalan terdiri atas empat tahap yaitu asesmen atau pengkajian gizi, perencanaan pelayanan gizi dengan

menetapkan tujuan dan strategi, implementasi pelayanan gizi sesuai rencana, monitoring dan evaluasi pelayanan gizi (Almatsier, 2004).

Pelayanan gizi di rumah sakit bertujuan untuk mencapai pelayanan gizi pasien yang optimal dalam memenuhi kebutuhan gizi orang sakit, baik untuk keperluan metabolisme tubuhnya, peningkatan kesehatan, ataupun untuk mengoreksi kelainan metabolisme dalam upaya penyembuhan pasien yang dirawat dan berobat jalan (Waspadji et al. 2002).

Untuk mencapai kondisi kesehatan pasien yang optimal, maka rumah sakit umumnya akan menyediakan :

1. makanan dengan kandungan gizi yang baik dan seimbang menurut keadaan penyakit dan status gizi masing-masing pasien

2. makanan dengan tekstur dan konsistensi yang sesuai menurut kondisi gastrointestinal dan penyakit masing-masing pasien

3. makanan yang mudah dicerna dan tidak merangsang 4. makanan yang bebas unsur aditif yang berbahaya

5. makanan dengan penampilan dan citarasa yang menarik untuk menggugah selera makan pasien yang umumnya terganggu oleh penyakit dan kondisi indra pengecap atau pembaunya (Hartono, 2000).

Para ahli gizi harus memberikan perhatian baik kepada penampakan suatu hidangan maupun pada kandungan gizi dalam hidangan tersebut. Makanan baru memberikan manfaat gizi kalau dimakan. Pasien yang selera makannya menurun cenderung memakan hidangan yang tampak menarik dan menggoda selera (Beck, 1994).

Selain itu, untuk meningkatkan efektifitas diet agar diperoleh kesehatan pasien yang optimal, maka Diabetisi harus diberikan penyuluhan tentang hubungan antara asupan makanan dan pengendalian diabetes. Umumnya upaya pengendalian diperoleh melalui perawatan di rumah sakit dengan pemberian diet yang ketat. Hal ini selain berguna sebagai sarana penyuluhan, juga untuk memperbaiki pengendalian metabolisme Diabetisi (Hartono, 2000).

Status Gizi

Cara pengukuran status gizi yang paling sering digunakan masyarakat adalah antropometri gizi. Antropometri gizi berhubungan dengan berbagai pengukuran dimensi dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat usia dan tingkat gizi. Laporan FAO/WHO/UNU tahun 1985 menyatakan bahwa indeks

antropometri yang digunakan dalam mengukur status gizi kurang atau lebih pada orang dewasa, ditentukan berdasarkan nilai body mass index (BMI), di Indonesia BMI diterjemahkan menjadi indeks massa tubuh (IMT) (Supariasa et al. 2002).

Berbagai penelitian menunjukkan adanya korelasi positif (James et al. 1988, diacu dalam Riyadi 2003) antara indeks massa tubuh dengan lemak tubuh dan resiko terkena penyakit degeneratif (resiko kematian karena penyakit degeneratif). Oleh karena itu, indeks ini juga digunakan untuk mengklasifikasikan keadaan gizi lebih (obese) pada orang dewasa dalam hubungannya dengan resiko penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung koroner, tekanan darah tinggi, Diabetes Mellitus, dan batu empedu (Riyadi, 2003).

Soegondo (2002) menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat meningkatkan resiko Diabetes Mellitus adalah yang berstatus gizi obes (>20% berat badan ideal) atau IMT >27 kg/m2. Obesitas yang bersifat sentral (bentuk apel), kebiasaan kurang gerak badan, dan makanan tinggi lemak berperan sebagai penyebab resistansi insulin pada Diabetes Mellitus tipe 2 (Tupitu, 2006).

Angka Kebutuhan Gizi

Angka kebutuhan gizi adalah banyaknya zat-zat gizi yang dibutuhkan seseorang (individu) untuk mencapai dan mempertahankan status gizi adekuat. Selain kebutuhan gizi menurut umur, gender, aktivitas fisik, dan kondisi khusus, dalam keadaan sakit, penetapan kebutuhan gizi harus memperhatikan perubahan kebutuhan gizi karena infeksi, gangguan metabolik, penyakit kronik, dan kondisi abnormal lainnya (Almatsier, 2004).

Kebutuhan Energi

Energi bagi manusia berperan penting dalam mempertahankan hidup, menunjang pertumbuhan, dan melakukan aktifitas fisik. Energi dihasilkan melalui proses oksidasi karbohidrat, protein, lemak yang terdapat pada makanan serta alkohol. Energi harus cukup terpenuhi, agar sintesis protein dapat berlangsung dan penggunaan asam amino dalam memenuhi kebutuhan energi dapat dicegah (Nelson et al. 1994).

Setiap gram karbohidrat dan protein menghasilkan energi sebesar 4 Kal. Kekurangan energi pada orang dewasa dapat menyebabkan penurunan berat badan dan kerusakan jaringan tubuh. Kelebihan energi pun tidak baik, karena kelebihannya akan diubah menjadi lemak tubuh yang dapat mengakibatkan kegemukan. Pada akhirnya dapat menyebabkan gangguan fungsi tubuh

sehingga menjadi penyakit kronis dan memperpendek harapan hidup (Almatsier, 2002).

Komponen utama yang menentukan kebutuhan energi pada orang sakit adalah angka metabolisme basal (AMB) atau basalt metabolic rate (BMR), aktivitas fisik, dan faktor stres. Kebutuhan energi ditentukan dengan memperhitungkan kebutuhan untuk metabolisme basal sebesar 25-30 Kal/kg BB (berat badan) normal, ditambah kebutuhan untuk aktivitas fisik dan keadaan khusus, misalnya kehamilan atau laktasi serta ada tidaknya komplikasi (Almatsier, 2004).

Karbohidrat

Karbohidrat dalam tubuh selain berperan penting sebagai sumber energi, juga berperan dalam mencegah timbulnya ketosis, pemecahan protein tubuh yang berlebihan, mencegah kehilangan mineral, dan berguna untuk membantu metabolisme lemak dan protein (Winarno, 1997). Klasifikasi karbohidrat yang terdiri atas gula sederhana dan karbohidrat kompleks sebenarnya tidak tepat dan harus dirubah, menjadi istilah yang lebih berarti yaitu gula (monosakarida dan disakarida), pati (polimer glukosa), serat (karbohidrat tidak tercerna) (Heimburger dan Ard, 2006).

Asupan serat makanan dapat bermanfaat dalam manajemen diabetes. Serat kasar seperti pektin, gum, mucin, betaglukan yang terdapat pada apel, jeruk, kacang-kacangan, dan gandum dapat secara khusus bermanfaat. Karena serat kasar cenderung melemahkan respon glisemik post prandial dan insulinemik, terutama dengan menghambat hidrolisis pati dan penyerapan glukosa, serta menunda pengosongan lambung (Heimburger dan Ard, 2006). Selain itu serat juga memperpendek waktu transit dalam saluran cerna dan kemungkinan memperlambat hidrolisis pati (Almatsier, 2002). Rekomendasi asupan karbohidrat bagi Diabetisi, berdasarkan berat optimal dan tingkat aktifitas fisik adalah 45-60% kebutuhan kalori (Heimburger dan Ard, 2006).

Kebutuhan karbohidrat berdasarkan jenis diet DM, dibedakan atas 8 kelompok. Jumlah karbohidrat pada diet DM I adalah 172 g, pada diet DM II adalah 192 g, pada diet DM III adalah 235 g, pada diet DM IV adalah 275 g, pada diet DM V adalah 299 g, pada diet DM VI adalah 319 g, pada diet DM VII adalah 369 g, pada diet DM VIII adalah 396 g.

Pendekatan Indeks Glisemik

Miller et al. (1997) menyatakan bahwa pendekatan Indeks Glisemik (IG) tidak hanya bermanfaat pada penanganan Diabetisi tetapi juga dapat mencegah diabetes dan komplikasi yang mungkin akibat diabetes. Indeks Glisemik menggambarkan respon glukosa darah pasca mengonsumsi pangan (postprandial).

Penelitian pada hewan dan penelitian jangka pendek pada manusia menunjukkan bahwa kelompok yang mengonsumsi karbohidrat dengan Indeks Glisemik tinggi, menghasilkan resistansi insulin yang lebih tinggi daripada kelompok yang mengonsumsi karbohidrat IG rendah (Byrnes et al. 1994 ; Higgins

et al. 1997, diacu dalam Siagian 2006). Penelitian epidemiologik prospektif menunjukkan bahwa pangan dengan IG tinggi maupun beban glisemik berkaitan dengan meningkatnya resiko diabetes pada pria maupun wanita (Kliens, Ricther, 1996 ; Pereira et al. 1997, diacu dalam Siagian 2006). Pangan dengan IG tergolong tinggi antara lain roti, kentang, dan sereal (Suyono, 1994).

Protein

Protein merupakan sumber asam amino dengan kandungan unsur-unsur C, H, O, N yang tidak dimiliki karbohidrat dan lemak (Winarno, 1997). Protein berfungsi membentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang sudah ada. Selain itu, protein diperlukan dalam pembentukan protein yang baru dengan fungsi khusus di dalam tubuh yaitu enzim, hormon, hemoglobin (Beck, 1994).

Kebutuhan protein normal adalah 10-15% dari kebutuhan energi total, atau 0.8-1 g/kg BB. Kebutuhan energi minimal untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen adalah 0.4-0.5 g/kg BB. Demam, sepsis, operasi, trauma, dan luka dapat meningkatkan katabolisme protein, sehingga meningkatkan kebutuhan protein sampai 1.5-2.0 g/kg BB. Sebagian besar pasien yang dirawat membutuhkan 1.0-1.5 g protein/kg BB (Almatsier, 2004).

Berdasarkan PERKENI (2006), protein yang dibutuhkan bagi Diabetisi adalah 15-20% kebutuhan total energi sehari (Total Daily Energy). Tingginya kandungan protein berdasarkan ketetapan PERKENI ditujukan karena protein merupakan nutrient penting untuk mempercepat penyembuhan luka, terutama bila Diabetisi mengalami penyakit infeksi yang menyebabkan terjadi banyak kehilangan nitrogen tubuh, sehingga memerlukan konsumsi protein sebagai pengganti.

Pada pasien DM dengan nefropati (gangguan ginjal) dan hati perlu penurunan asupan protein menjadi 0.8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi total dan hendaknya 65% bernilai biologik tinggi. Hal ini disebabkan karena fungsi ginjal dalam mengekskresikan hasil pemecahan protein mengalami gangguan, sehingga jumlah protein dalam makanan harus dibatasi (Beck, 1994).

Pada diet rendah protein ini, protein dengan nilai biologis tinggi seperti dalam telur, susu, daging, dan ikan harus memasok seluruh protein dalam diet. Sedangkan makanan yang kaya akan protein nabati, seperti tempe, tahu, kacang hijau, kacang tanah, biasanya tidak diberikan dalam diet rendah protein, karena protein nabati relatif lebih mengandung asam amino non-esensial. Sedangkan makanan pokok seperti nasi, ketela, ubi, dan kentang mengandung protein nabati yang sedikit sehingga masih diperbolehkan. Diet rendah protein harus memberikan nilai kalori yang cukup. Bila tidak, tubuh akan menggunakan protein jaringan untuk memenuhi kebutuhan kalorinya (Beck, 1994).

Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Ada dua cara pengumpulan data konsumsi pangan yaitu : metode penimbangan langsung (seperti weighing method dan food inventory method) dan metode penimbangan tidak langsung, seperti metode mengingat (food recall method) (Hardinsyah dan Briawan, 1994).

Penilaian terhadap kandungan energi dan protein dari beragam pangan merupakan penjumlahan dari masing-masing zat gizi pangan komponennya. Untuk mengetahui tingkat konsumsi energi dan protein, penilaian konsumsi pangan dilakukan terhadap makanan yang dikonsumsi dengan satuan per orang per hari. Secara umum konsumsi pangan sehari merupakan penjumlahan dari makan pagi, siang, malam dan makanan selingan dalam kurun waktu 24 jam. Karena pengumpulan data konsumsi pangan tiga hari maka konsumsi pangan perhari merupakan rata-rata total konsumsi zat gizi selama tiga hari pengumpulan data tersebut.

Pada dasarnya pengolahan data konsumsi pangan adalah proses menghitung jumlah pangan yang dikonsumsi menurut jenis-jenis pangan dalam satuan berat dan waktu yang sama. Satuan akhir pengolahan data konsumsi pangan yaitu gram per hari karena satuan kecukupan gizi adalah per hari. Dalam

penilaian konsumsi pangan, data ini dikonversikan menjadi energi dan protein sesuai dengan tujuan penilaian.

Kandungan zat gizi makanan disusun dalam suatu daftar yang disebut daftar kandungan zat gizi bahan makanan (DKBM). DKBM Indonesia memuat angka-angka kandungan zat gizi berbagai jenis makanan baik mentah maupun masak (olahan) yang banyak dijumpai di Indonesia. Sebagian besar jenis pangan yang disajikan dalam DKBM ini dalam bentuk pangan mentah, DKBM ini memuat energi dan 10 jenis zat gizi yang meliputi protein, lemak, karbohidrat, kalsium (Ca), fosfor (P), besi (Fe), vitamin A, vitamin C, vitamin B1 dan termasuk di dalamnya kandungan air.

Dalam menggunakan DKBM, komposisi zat gizi yang tercantum dalam DKBM dinyatakan dalam satuan 100 gram bahan makanan yang dapat dimakan (%BDD). Artinya bagian-bagian yang biasa tidak dimakan seperti kulit, akar, biji, tulang, cangkang dan sebagainya yang tidak lazim dikonsumsi tidak dianalisis (Hardinsyah dan Briawan, 1994).

Makanan dari Luar Rumah Sakit

Habis tidaknya suatu makanan yang disajikan banyak dipengaruhi oleh citarasa makanan, selera makan, makanan dari luar, dan cara penyajian (Prakoso, 1982). Apabila pasien selalu makan makanan yang berasal dari luar rumah sakit maka makanan yang disajikan dari penyelenggaraan makanan rumah sakit tidak dimakan sehingga terjadi sisa makanan, selain itu proses pemulihan kondisi pasien tidak berjalan efektif (Moehyi, 1999).

Sumber perhitungan kandungan gizi makanan dari luar rumah sakit menggunakan daftar kandungan gizi makanan jajanan (DKGJ), sebagai daftar yang memuat angka-angka kandungan zat gizi berbagai jenis makanan jajanan. DKGJ merupakan campuran dari berbagai bahan makanan yang dianalisis secara bersamaan dalam bentuk olahan. Dalam DKGJ susunan zat gizi dicantumkan dalam satuan gram BDD (100% dapat dimakan) menurut ukuran rumah tangga masing-masing, sehingga tidak dicantumkan kolom BDD (Hardinsyah dan Briawan, 1994).

Nutrisi Parenteral

Nutrisi parenteral atau infus adalah pemberian nutrient melalui pembuluh darah balik yang bisa berupa vena perifer atau vena sentral. Nutrisi parenteral diperlukan bagi pasien yang menghadapi risiko malnutrisi namun tidak mampu dan atau tidak boleh mendapatkan kecukupan nutrient lewat saluran cerna. Nutrisi parenteral total, diberikan bila seluruh kebutuhan gizi pasien diberikan lewat pembuluh darah, sedangkan nutrisi parenteral parsial bila hanya sebagian kebutuhan saja diberikan lewat pembuluh darah (Hartono, 2000).

Berdasarkan Heimburger dan Ard (2006), nutrisi parenteral diberikan ketika saluran pencernaan tidak lagi berfungsi selama lebih dari 5 hingga 7 hari, atau dimaksudkan untuk mengistirahatkan sebagian besar organ pencernaan dengan tujuan pengobatan. Kandungan energi dalam infus diperoleh melalui dextrose

dan vegetable oil (turunan dari emulsi lemak); protein, yang terdiri dari kristal asam amino; vitamin; mineral, dan trace elements dalam bentuk alami. Selain itu, upaya pengobatan dapat ditambahkan melalui infus seperti pemberian insulin (bagi pasien Diabetes Mellitus).

Malnutrisi dalam Kondisi Sakit

Malnutrisi klinis dapat terjadi ketika seseorang pasien tidak dapat makan cukup melalui mulut, yang disebabkan karena beberapa faktor antara lain :

1. mual, tidak ada nafsu makan dan muntah disebabkan misalnya penyakit lambung, atau uremia, pengaruh obat

2. acuh tak acuh terhadap makanan, yang ditemui pada banyak keadaan fisik dan dalam beberapa keadaan emosional seperti takut, dendam, dan putus asa

3. rasa sakit, mengakibatkan kesukaran menelan seperti pada tonsilitis, radang tenggorokan, sesudah tonsilektomi, pada fraktur tulang wajah dan rahang

4. sukar bernafas, seperti pada asma dan bronkhitis. Hal ini disebabkan karena kemungkinan tidak dapat mengunyah, karena bila bernafas sulit maka menelan pun terhalang

5. kelemahan otot kunyah, yang dapat timbul pada paralisa (kelumpuhan) wajah dan juga pada beberapa keadaan gangguan saraf

6. pernah mengalami stroke, maka akan sulit mengunyah dan menelan (Pearce, 2002).

Dampak dari malnutrisi klinis antara lain dapat berakibat fungsi organ tubuh akan berkurang, obat-obatan bekerja tidak secara normal, berat badan pasien semakin menurun, penyembuhan luka terhambat, kekebalan tubuh akan terganggu (sehingga mudah terserang penyakit infeksi), lama rawat di rumah sakit meningkat, dan angka kematian meningkat (Sunatrio, 2007).

Menurut Kresnawan (2007), paramedik rumah sakit harus mengetahui indikasi dukungan nutrisi yang tepat untuk pasien tertentu, seperti pasien

pascabedah dengan komplikasi, termasuk pasien kritis di ICU. Indikasi dukungan nutrisi dapat diketahui dengan menentukan kebutuhan kalori, protein dan lemak untuk pasien tersebut, termasuk memilih metode dukungan nutrisi yang sesuai dengan kondisi pasien, secara parenteral (infus), enteral (lewat saluran cerna) maupun kombinasi keduanya. Selain itu harus diperhatikan pula formula yang tepat sehubungan dengan kebutuhan dan jenis penyakit pasien seperti pada pasien DM dan ginjal, yang memerlukan asupan nutrisi sesuai dengan kondisinya.

Daya Terima terhadap Makanan

Menurut Nasoetion (1980), diacu dalam Hardinsyah et al. (1989) daya terima terhadap suatu makanan ditentukan oleh rangsangan yang ditimbulkan makanan, melalui indera penglihat, pencium, pencicip, dan bahkan indera pendengar. Namun demikian faktor utama yang akhirnya mempengaruhi daya penerimaan terhadap makanan adalah rangsangan cita rasa yang ditimbulkan oleh makanan itu.

Menurut Lowe, diacu dalam Hardinsyah et al. (1989) hal pertama yang dinilai dari suatu makanan adalah berdasarkan indera penglihat, yaitu meliputi warna, bentuk, ukuran dan sifat permukaan seperti halus, kasar, berkerut, dan sebagainya. Selain itu dinilai penyajian makan seperti pemilihan alat yang digunakan, cara menyusun makanan di tempat saji, termasuk penghias hidangan (Moehyi, 1997). Pasien yang selera makannya kurang sebaiknya diberi hidangan dalam porsi kecil-kecil (Beck, 1994).

Untuk mengetahui daya terima makanan dilakukan dengan uji hedonik skala verbal. Uji penerimaan menyangkut penilaian seseorang akan suatu sifat atau kualitas suatu bahan yang menyebabkan orang menyenangi. Dalam hal ini, panelis mengemukakan tanggapan senang atau tidaknya terhadap sifat sensorik atau kualitas yang dinilai pada skala hedonik yaitu suka, biasa, dan tidak suka

(Hardinsyah et al. 1989). Daya terima terhadap makanan yang disajikan di rumah sakit terdiri atas warna, aroma, tekstur, rasa, bentuk, suhu, variasi menu, serta kebersihan alat.

Rasa makanan

Rasa merupakan suatu komponen flavour yang terpenting karena mempunyai pengaruh yang dominan. Pada citarasa lebih banyak melibatkan indra kecapan (lidah). Penginderaan kecapan dapat dibagi menjadi empat rasa utama, yaitu asin, manis, pahit, dan asam. Masakan yang mempunyai variasi keempat macam rasa tersebut lebih disukai daripada hanya mempunyai satu macam rasa yang dominan (Winarno, 1997).

Timbulnya respon tidak sama untuk rasa yang berbeda, respon terhadap rasa asin lebih cepat dibandingkan respon terhadap rasa pahit. Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi, dan interaksi dengan komponen rasa yang lain (Winarno, 1997).

Rasa makanan merupakan faktor kedua yang menentukan citarasa makanan setelah penampilan makanan itu sendiri. Apabila penampilan makanan yang disajikan merangsang saraf melalui indra penglihatan sehingga mampu membangkitkan selera untuk mencicipi makanan itu, maka pada tahap berikutnya citarasa makanan itu akan ditentukan oleh rangsangan terhadap indra pencium dan indra pengecap (Moehyi, 1992a).

Aroma Makanan

Aroma yang dikeluarkan oleh setiap masakan berbeda-beda. Demikian pula cara memasak makanan akan memberikan aroma yang berbeda pula. Aroma makanan banyak menentukan kelezatan bahan makanan tersebut. Penggunaan panas yang tinggi dalam proses pemasakan makanan yang digoreng, dibakar, atau dipanggang akan menimbulkan aroma yang harum, berbeda dengan makanan yang direbus, hampir-hampir tidak mengeluarkan aroma yang merangsang, dalam hal ini disebabkan senyawa yang memancarkan aroma sedap larut air (Moehyi, 1992a). Umumnya aroma utama yang diterima oleh hidung dan otak yaitu harum, asam, tengik, dan hangus (Winarno, 1997).

Tekstur makanan

Tekstur dan konsistensi suatu bahan akan mempengaruhi citarasa yang ditimbulkan oleh bahan tersebut. Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan diketahui bahwa perubahan tekstur dapat mengubah rasa dan bau yang timbul karena dapat mempengaruhi kecepatan timbulnya rangsangan terhadap sel reseptor olfaktori dan kelejar air liur (Winarno, 1997). Dengan tekstur kita dapat mengartikan kualitas makanan, dengan merasakan apakah dengan jari, lidah, gigi, atau langit-langit (tekak) (Sukarni dan Kusno, 1980).

Menurut Beck (1994), makanan yang disajikan rumah sakit harus dapat dimakan dengan mudah, sebaiknya tidak membuat pasien berkutat dengan daging yang alot atau bersusah payah memisahkan tulang-tulang ikan satu persatu.

Warna makanan

Warna makanan memegang peranan utama dalam penampilan makanan. Suatu bahan makanan yang bernilai gizi, enak, dan teksturnya sangat baik tidak akan dimakan bila memiliki warna yang tidak sedap dilihat atau memberi kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya (Winarno, 1997).

Warna daging yang sudah berubah menjadi coklat kehitaman, warna sayur yang sudah berubah menjadi pucat sewaktu disajikan, akan menjadi sangat tidak menarik dan menghilangkan selera untuk memakannya (Moehyi, 1992a). Selain itu warna makanan tidak hanya membantu dalam menentukan kualitas, tetapi dapat pula memberitahukan banyak hal. Warna biasanya merupakan tanda kemasakan atau kerusakan (Sukarni dan Kusno, 1980). Penerimaan warna suatu bahan makanan berbeda-beda tergantung dari faktor alam, geografis, dan aspek sosial masyarakat penerima (Winarno, 1997).

Bentuk potongan

Makanan biasanya akan menjadi lebih menarik bila disajikan dalam

Dokumen terkait