• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nuzula Miftahul Janah SMK Negeri 1 Godean

AKU berjalan di atas harapan-harapan, di atas awan.

Berada di sisi di mana aku dapat melihat keceriaan matahari dan ke sunyian cahaya redup rembulan. Melihat dari kejauhan, ke-senangan bermain pasir di pantai, perjalanan yang tenang hingga perjuangan mendaki bukit yang tinggi. Mereka melangkah menuju awan, berpijak dengan harapan, tinggi semakin tinggi, jauh menjauh dan pergi entah ke mana, mungkin harapan yang aku punya tak sebanyak harapan yang mereka punya.

Aku mulai sadar, memang benar, aku dapat berpijak dengan harapan yang ada di depan mataku. Aku bisa pergi ke atas, ke awan yang lebih tinggi, jauh, dan tak tahu apa yang akan ada di sana. Tapi aku tak mau jatuh terlalu sakit, jika pijak-an ypijak-ang kupunya, rapuh akpijak-an waktu, goyah akpijak-an keke cewapijak-an, han cur akan kenyataan. Semua itu dapat terjadi jika aku terus melaju ke atas tanpa memandang ke bawah dan melihat apa yang terjadi.

Kuputuskan untuk mengakhiri semua, aku tak mau terus berjalan dengan semua ketakutan ini. Ya, aku memang ber-pijak pada semua harapan yang kalian berikan padaku hingga aku mampu naik ke atas awan, melihat semua kenyataan, dan akhirnya kusadar. Ku ingin berjalan di atas kerasnya bumi dan hentakan kakiku yang tak akan membuatku rapuh. Tapi, jika aku berpijak pada harapan yang kalian berikan padaku dan

ber-jalan ke atas awan yang membuat aku semakin tinggi, tampak elok, cantik dilihat, sedap dipandang dan senang dirasakan, tak sekokoh apa yang kalian lihat. Aku terombang-ambing dengan hembusan angin, tak dapat kuhentakkan kaki karena aku tahu, harapan kalian yang begitu mudah untuk hancur, terseret, ter-cacar, dan tak ada artinya lagi. Aku selalu memikirkan apa yang akan terjadi padaku, berpikir kapan aku akan jatuh, di-awal perjalanan inikah? Atau di atas awan yang tinggi nanti?

Ketakutanku akan semua itu memang tak terlihat karena semua itu ada dalam hatiku, ada dalam diriku, tertutup oleh senyumku. Saat aku melihat rindu, harapan kalian padaku, jutaan bias cahaya matahari yang menimpaku, sendu cahaya bulan yang menenangkanku, merdu desiran angin yang bersiul di antara sela-sela awan. Yaa, sekali lagi kenyataan tak sesuai dengan apa yang kalian atau orang lain katakan tentang aku.

Baiklah, kuputuskan untuk turun dan beranjak dari se-mua kesenangan ini. Akan aku jelaskan satu persatu apa yang terjadi, kenyataan apa yang kudapat, dan pengajaran apa yang bisa kuambil saat aku menuruti pijakan yang kalian berikan padaku. Dan benar, pijakanku berkurang, semua harapan yang kalian berikan padaku, sedikit demi sedikit pudar dan akhir -nya menghilang. Aku tahu itu akan terjadi, aku sudah me-nguat kan hatiku, jika apa yang aku pikirkan akan menjadi ke nyataan.

Sampailah aku di bumi, dasar dari semua tangga yang men jadi pijakanku menuju awan, awal dari semua harapan yang kalian berikan padaku. Aku melihat ke atas, ternyata masih banyak orang yang berharap padaku walaupun mereka sudah tahu kenyataannya bahwa aku bukan siapa-siapa. Ber beda memang, kini aku tak dapat melihat kenyataan, bukan lagi khayalan semata. Satu demi satu, peristiwa yang aku temui, se dikit demi sedikit mulai kupahami, berbeda, tak serupa.

Aku tetap berjalan, kuhentakkan kaki ini tanpa takut bumi ini

rapuh. Aku berjalan dengan tenang tanpa takut terjatuh dan diterpa angin, sebuah ketenangan yang tak dapat aku rasakan saat aku berada di atas awan.

Kini yang dapat kudengar bukan siulan awan, tapi hem-pasan angin, guyuran ombak, melodi indah, kicauan burung, dan bisik-bisik dedaunan. Sementara, satu hal yang membuat-ku bertanya-tanya, terdengar tangisan pilu, suara yang me-nyayat hati, sampai-sampai air matanya mengalir bagai air hujan. Hal itu membuat aku iba. Kuputuskan untuk bertanya padanya, kenapa dia bersedih?

”Hai, Luka, kenapa engkau menangis? Apa yang terjadi padamu? Siapa namamu?” tanyaku. Dengan isak tangis, ia men-jawab pertanyaanku.

”Aku adalah luka, aku adalah kesedihan, kekecewaan, dan rasa pedih. Aku adalah kesalahan, semua ada padaku, aku selalu menangis untuk diriku sendiri, basah semua tubuhku dengan air mataku. Tak ada yang mau menginginkanku, se-mua membenciku, aku dikucilkan (menunduk bagai tak mau melihatku). Apa yang harus aku lakukan, tolong bantu aku!

(mengangkat kepalanya dan mulai melihatku). Keluarkan aku dari semua ini, aku tidak kuat, aku tak mampu menjalani ini semua, ini begitu berat bagiku, tolong akuuu,” pintanya lirih.

”Kini, aku hidup tak seperti hidup, bagai orang mati, tapi tak mati. Tidak ada yang mampu aku lakukan.”

”Aku tak tahu harus bagaimana, Luka, maafkan aku,”

jawab ku sambil menunduk dipenuhi oleh rasa bersalah.

”Kenapa harus aku, kenapa aku menangis, aku pun tak tahu,” jawab Luka dengan sesenggukan.

Aku baru ingat, ia adalah luka, luka yang mengingatkan ku akan rasa kecewa dan pedih saat memilih sebuah pilihan yang membuatku memutuskan untuk turun ke bumi dan meng awali semua ini menjadi hal baru sesuai dengan keinginanku. Luka membuat aku sadar, semua yang aku lakukan adalah sesuai

dengan keinginanku. Jadi, aku paham, semua yang terjadi adalah pilihan, aku memilih meninggalkan kesenangan yang tak sesuai dengan apa yang aku inginkan, aku memilih pergi untuk memulai dengan hal yang baru, sebuah pengajaran baru yang aku dapat dari semua keputusanku. Lama aku memikirkan semua ini hingga muncul rasa bersalah yang tak hentihenti -nya menghujatku, memburuku, dan memberikan rasa sedih yang mendalam. Semua itu adalah perjalanan hidupku yang aku tempuh dengan keyakinan, aku yakin aku mampu me-lakukan ini semua. Diam tak akan mengubah apapun dalam hidupku. Aku berjalan dengan rasa sakit, rasa senang, rasa pilu, dan semua itu membuatku jadi mengerti. Saat aku tersadar, aku mulai memberanikan diri untuk berbicara kembali pada luka

”Luka, kenapa tadi kau berbicara bahwa semua orang tidak menginginkanmu,? Apa yang membuatmu berbicara se-perti itu? Lalu, apa yang membuatmu yakin dengan apa yang ada pada dirimu adalah sebuah kutukan? Aku mohon, jelas-kan padaku,” tanyaku pada Luka.

Luka masih diam, seakan-akan tak mau mengungkap-kan apa pun kepadaku. Kugenggam tangannya dingin, lemas tak berdaya, seperti tak ada harapan lagi untuk bangkit. Dia menatapku, kulihat matanya sendu. Hancur hatiku melihat ini, kenapa begitu berat beban yang ia terima? Apakah semua ini adil, Tuhan? Aku tak bisa membayangkan, hilangnya harapan seseorang itu saja sudah membuatku sedih dan merasa bahwa ia memang tak pantas menanggung semua itu. Hening dalam ketenangan yang sunyi, aku mulai bicara.

”Percayalah padaku, akan kubantu membawa semua be-ban mu itu, tak akan kubuat dirimu menangis,” kataku sambil menyakinkan Luka agar dia mau biacara.

”Kenapa semua orang bilang itu padaku, nyatanya mereka tak mengubah apa pun dalam hidupku ini,” jawabnya mem-buatku terkejut dan tak percaya, apakah sudah hilang semua

kepercayaannya pada seseorang, begitu banyakkah orang yang mengkhianatinya?.

Aku mulai tak yakin, akankah aku bisa membuatnya senyum kembali meski aku tak tahu apakah dia pernah ter-senyum atau tidak sama sekali. Bisakah aku membuat bulan yang dingin bisa tersenyum secerah matahari? Bisakah aku mem buat ukiran kecil melengkung manis di bibirnya? Apakah semua itu bisa terjadi?.

”Tunggu, aku membantumu bukan untuk membuatmu berubah, aku tidak akan mengubahmu, lebih tepatnya bukan aku, tapi dirimu sendirilah yang akan mengubah semua itu, semua tergantung pada keputusanmu sendiri. Kau yang me-milih, kau mau berubah atau kau akan tetap seperti ini,” aku men coba menjelaskan biar ia mantap dengan keputusannya.

Luka berhenti menangis, ia mulai menatapku, memper-lihatkan pancaran baru di matanya. Ya, aku melihat ada se-titik harapan di dalamnya, ada sese-titik cahaya dalam kegelapan sorot matanya. ”Ayo, aku bisa membantumu, lakukan yang terbaik,”kataku

”Apakah kau serius dengan semua itu? Semua itu bukan omong-kosong, kan? Bukan hanya sebatas kata-kata, kan?”

tanyanya dengan ragu.

”Kau akan membuktikannya sendiri, kau bisa melaku-kannya, ubah dirimu, hapus semua takdir yang kau tulis saat ini, ubah pandangan burukmu pada dirimu sendiri dan jadi-lah bintang baru yang bersinar yang tak kajadi-lah indahnya dari cayaha rembulan,” kucoba meyakinkan Luka.

”Baiklah, aku akan mencobanya,” jawabnya sambil ter-senyum kepadaku.

”Lalu, apa yang harus aku lakukan?” tanyanya padaku.

”Mulai sekarang, buatlah keputusan untuk dirimu sendiri.

Wujudkan semua mimpimu, jangan takut mengambil keputus-an ykeputus-ang akkeputus-an mengubah keadakeputus-an. Luka, kamu adalah pilihkeputus-an,

tidak semua orang membencimu, kau adalah penguat, kau diciptakan untuk memberikan sebuah pengajaran baru dalam hidup, pandangan orang tentangmu itu berbeda-beda. Tak se-mua menganggapmu bencana atau lara. Mulai sekarang, kau harus bisa memahami dirimu, kau adalah kau, bukan orang lain,” jawabku sambil kupegang tangannya erat.

”Terima kasih atas semuanya,” luka tersenyum padaku, dan tak lupa kubalas dengan senyuman.

Aku pergi meninggalkan Luka dengan lengkung senyum dibibirnya. Tak apa, biarkan semuanya mengalir seperti air sungai yang memburu, terjun ketempat di mana ia harus pergi.

Jangan biarkan batu besar menghalangi, biarlah batu itu me-nyingkir, beralih dan terus pergi ke mana yang dikehendaki.

Berawal di sini, tempat di mana aku hadir, kusapa rindu dengan gelisah, kusapa cinta dengan bahagia, suka dan lara hingga hadirlah luka, yang membisu, diam mencekam, melukai hatiku tanpa ragu. Tunggu, yang kini jadi pertanyaan adalah siapa aku? Kenapa aku ada disini bersama kalian? Kalian pasti tahu jawabannya, yaa, aku adalah aku, bukan kalian.

***

Biodata

Nuzula Miftahul Janah adalah se orang siswi dari SMKN 1 Godean, angkatan 2018.

Nuzula merupakan peserta Pembinaan Komunitas Baca di Daerah Pemasyarakatan Kebahasa an dan Kesastraan Indonesia untuk Remaja (Bengkel Bahasa dan Sastra Indonesia bagi Siswa SMA/SMK/MA) Kabupaten Sleman 2019. Nuzula tinggal di Seyegan. Nuzula bisa dihubungi via email

@nuzulamiftahuljanah@gmail.com dan via Instagram @zulla_mifta.