• Tidak ada hasil yang ditemukan

Priska Fortunata SMA Negeri 1 Mlati

RIFY adalah seorang gadis remaja berambut panjang yang sangat pintar di sekolahnya. Umurnya masih 18 tahun. Ia adalah pelajar SMA di sekolah yang terkenal dengan murid-murid-nya yang berprestasi. Untuk bisa masuk ke sekolah itu harus mengeluarkan biaya cukup mahal. Sekolah itu adalah SMA Jayanegara. Rify bisa masuk sekolah itu dengan menggunakan beasiswa. Ia berbeda dengan teman-temannya yang hidup berkecukupan. Ia hanya hidup sederhana bersama neneknya, seorang penjual makanan di pasar. Teman-temannya sering-kali mengejeknya hanya karena kehidupannya yang kurang mampu. Tetapi ada seorang anak yang walaupun dia berke-cukupan, tetapi berbeda dengan teman-teman yang lain, dia selalu baik hati kepada Rify. Anak itu bernama Alvia. Alvia ada-lah satu-satunya sahabat Rify di sekoada-lah itu. Saat ini, Rify sudah kelas 12 dan sebentar lagi ujian kelulusan akan diadakan.

Di suatu pagi, ketika para murid sedang serius meng ikuti pelajaran, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kelas.

Tok tok tok...

”Masuk!” ujar guru di kelas. Ternyata, yang datang adalah seorang guru BK.

”Permisi, saya mencari anak, bernama Rify Saufika. Apa-kah ada?” tanya guru BK itu.

Sekejap, semua mata tertuju ke arah Rify. Rify sebenar-nya takut bercampur bingung, mengapa ia sampai dipanggil guru BK. Apakah ia berbuat kesalahan yang fatal? Ia cepat-cepat menghilangkan pikiran buruknya itu.

”Anak yang kurang mampu bisa membuat masalah juga, ya! Sampai dipanggil guru BK pula,”celetuk salah satu teman Rify. Hal itu membuat Alvia, sahabat Rify marah dan jengkel.

”Kamu itu kalau tidak tahu apa-apa jangan asal bicara!”

ucap Alvia.

”Sudah anak-anak, jangan ribut! Rify silakan, kamu boleh keluar,” ucap guru di kelas Rify. Rify diminta untuk meng ikuti-nya ke ruang kepala sekolah. Sesampaiikuti-nya di sana, ia duduk berhadapan dengan guru BK dan ibu kepala sekolah itu.

”Rify, maaf, kami mengganggu waktu belajar kamu. Kami ingin menyampaikan bahwa satu-satunya murid yang belum melunasi uang untuk ujian hanya tinggal kamu. Saya tahu kamu mendapat beasiswa di sekolah ini, tetapi untuk uang ujian harus kamu lunasi sendiri,” ucap ibu kepala sekolah.

”Jika dalam waktu 1 bulan ini kamu belum melunasi nya, kami terpaksa tidak mengizinkan kamu mengikuti ujian ke-lulusan dan akan mengeluarkan kamu dari sekolah,” tambah guru BK.

Setelah kejadian itu, Rify terus melamun, memikirkan bagai mana cara ia agar dapat segera melunasi uang itu. Alvia yang duduk di sampingnya memandang Rify dengan bingung.

”Kamu kenapa, dari tadi melamun terus? Apa ada ma-salah?” tanya Alvia.

”Aku belum melunasi uang untuk ujian nanti. Kalau 1 bulan ini tidak juga dilunasi, aku tidak bisa ikut ujian dan bakal dikeluarkan dari sekolah,” jawab Rify sedih.

Alvia berpikir sejenak. ”Bagaimana kalau pakai uangku dulu? Kamu bisa menggantinya kalau nanti sudah ada uang,”

ucap Alvia.

Rify memandangnya dengan tatapan kaget, tidak me-nyangka ada orang sebaik Alvia. Akhirnya uang ujiannya bisa dilunasi berkat bantuan Alvia. Suatu hari, Alvia tiba-tiba menelepon Rify dan mengajaknya belajar bersama di rumah-nya. Rify dengan senang hati menyetujuirumah-nya. Ketika sampai di rumah Alvia, ia langsung disambut oleh Alvia dan kedua orang tuanya. Alvia lalu mengajak Rify ke kamarnya. Rify bisa melihat kedua orang tua Alvia memandangnya dengan tatapan yang tidak biasa. Tetapi ia tidak mau terlalu memikirkan nya.

Ia mengira mungkin itu hanya perasaannya saja. Di tengah mereka belajar, tiba-tiba Alvia menanyakan sesuatu yang mem-buat Rify sedikit bingung.

”Kamu kok bisa sepintar ini, bagaimana caranya? Aku sudah belajar setiap hari, tetapi nilaiku tidak sebagus nilaimu,”

ucap Alvia.

Rify hanya tertawa menanggapi ucapan Alvia. Ia ber-pikir Alvia hanya bercanda. Menurutnya, nilai Alvia juga sudah bagus-bagus.

Pagi harinya di sekolah, terjadi sesuatu yang membingung-kan. Di meja yang biasa Rify tempati, ada coretan cairan merah seperti darah bertuliskan ”PERGI KAMU ANAK MISKIN TIDAK TAHU DIRI”. Rify kaget dan langsung menangis.

Alvia yang melihat itu langsung memeluk dan menenangkan sa habat nya itu.

”Siapa yang berani menulis ini di meja Rify?” teriak Alvia kepada semua orang yang ada di kelas itu. Semuanya meng-geleng pertanda tidak ada yang tahu. Tetapi ada yang me-ngatakan bahwa tulisan itu sudah ada sejak dia pertama kali masuk kelas. Rify kemudian membersihkan tulisan itu di-bantu oleh Alvia.

”Ini pasti kerjaan salah satu teman sekelas kita Fy, mungkin dia cuma iseng,”hibur Alvia. Rify hanya mengangguk dan ber-usaha untuk tidak memermasalahkannya lagi.

Ketika waktu istirahat tiba, teman sekelas Rify ternyata ada yang kehilangan dompet. Ketua kelas segera memeriksa semua isi tas yang ada di kelas itu. Ternyata dompet itu di-temukan di tas milik Rify. Semuanya, termasuk Alvia menatap Rify tidak percaya.

”Bukan aku yang mengambilnya!” ucap Rify berusaha men jelaskan pada teman-temannya. Ia berusaha untuk tidak me nangis dalam situasi tersebut.

”Maling kok ngaku!” cibir teman Rify. Semua menyoraki Rify dan langsung meninggalkan kelas menyisakan Alvia dan Rify di sana.

”Aku gak mau punya teman pencuri,” ucap Alvia. Dia pun ikut keluar kelas meninggalkan Rify sendirian. Tangisan yang sejak tadi Rify tahan akhirnya keluar dengan deras. Ia benar-benar tidak pernah mencuri. Walaupun ia miskin, nenek nya mengajarkan ia agar selalu berusaha dalam memenuhi ke-inginannya tidak dengan kecurangan apalagi dengan men curi.

Rify pun hanya pasrah menerima masalah ini. Ia yakin, teman-temannya tidak akan percaya padanya karena bukti bahwa ia mencuri sudah jelas. Ia terus berpikir siapa yang sampai setega itu menuduhnya seperti itu. Ia tahu teman-temannya banyak yang tidak menyukainya. Tetapi, mereka tidak akan setega itu sampai menuduh dan mengancamnya begitu. Rify yakin bahwa yang melakukan ini semua adalah orang yang memang benar-benar berniat untuk menyingkirkannya.

Pulang sekolah, Rify mendapat pesan dari Alvia yang mengajaknya bertemu di gudang belakang sekolah. Ia sempat bingung kenapa harus bertemu di sana, menurutnya, tempat itu pasti sepi dan jaraknya jauh dari kelasnya. Tetapi, harapan Rify bahwa Alvia akan mengajaknya berbaikan menutupi se-gala rasa curiganya. Ia pun langsung pergi menuju ke sana.

Gudang itu benar-benar sepi dan ia tidak melihat Alvia di sana.

Dengan sedikit takut, ia berjalan masuk ke gudang untuk

memastikan apakah Alvia ada di dalam atau tidak. Di dalam gudang, ia melihat sebuah kertas di atas meja.

Hari ini menyenangkan, aku bisa melihat sahabatku mendapat banyak masalah. Masalah coretan di atas mejamu tadi, dan seseorang yang menuduh kamu mencuri. Itu semua adalah perbuatanku.

(Alvia)

Rify gemetaran setelah membaca tulisan di kertas itu. Dan tepat saat itu, ada sebuah bayangan berada di belakangnya.

Ketika ia menoleh ke belakang, betapa kagetnya Rify melihat Alvia di sana, memandangnya dengan wajah mengerikan dan posisi memegang pisau. Rify yang ketakutan reflek mendorong Alvia hingga jatuh tersungkur. Hal ini digunakan Rify untuk ber lari secepatnya. Ia terus berteriak minta tolong walaupun bagi nya percuma saja.

Sekolah itu sudah sangat sepi karena hari juga mulai petang. Ia bisa melihat Alvia mengejarnya dengan tawa yang mengerikan. Ia tidak pernah menyangka Alvia bisa seperti itu. Ia hanya bisa terus berlari dengan tubuhnya yang bergetar.

Ber harap ada sebuah keajaiban yang menolongnya. Karena ke -takutannya, ia menjadi tidak fokus dan malah tersandung jatuh. Kenapa sekarang ia merasa ada di film-film? Ia hanya ingin menghindari Alvia, kenapa sesulit ini? Kenapa masalah justru menimpanya berkali-kali? Segalanya berkecamuk di pikir an Rify saat itu. Ia menangis sekeras-kerasnya dan masih berusaha meminta tolong. Ia bisa melihat Alvia mendekat ke arahnya sambil tertawa cekikikan. Ketika sampai di depan Rify, tanpa berpikir panjang Alvia langsung mengangkat pisau nya dan mengarahkannya ke arah Rify. Rify memejamkan mata-nya sampai akhirmata-nya terdengar suara pistol dan teriakan ke-sakitan Alvia. Ternyata di belakang Alvia ada seorang polisi yang terpaksa menembak kaki Alvia menggunakan cairan

bius, disusul oleh kedua orang tua Alvia yang menatap Rify khawatir. Polisi itu langsung mengamankan Alvia ke dalam mobil.

Kedua orangtua Alvia menghampiri Rify dan mencerita-kan apa yang sebenarnya terjadi. Dulu, saat Alvia masih kecil, dia sering sekali melukai teman-temannya tanpa sebab. Alvia juga sering berbicara dan tertawa sendiri. Setelah diperiksa, Alvia ternyata memiliki gangguan psikis yang membuatnya harus dirawat oleh dokter psikis khusus anak selama 5 tahun.

Setelah 5 tahun itu, orangtua Alvia menganggap bahwa Alvia sudah benar-benar sembuh. Mereka lalu memutuskan untuk kembali menyekolahkan Alvia demi masa depan anak-nya itu. Padahal menurut saran dokter, Alvia masih belum di-perbolehkan untuk bertemu dengan dunia luar. Dan benar saja, baru-baru ini kedua orangtua Alvia tidak sengaja melihat Alvia mengambil uang secara diam-diam di kamar mereka sambil tertawa-tertawa sendiri. Kedua orangtua Alvia tidak menyangka kebiasaan Alvia yang dulu terulang lagi. Setelah dicari tahu, ternyata uang tersebut diberikan kepada Rify untuk melunasi biaya sekolahnya. Kedua orangtua Alvia sebenarnya senang melihat Alvia memiliki seorang sahabat dan mau me-nolong sahabatnya yang sedang kesusahan. Tetapi yang mem-buat mereka curiga adalah kenapa Alvia harus mencuri, pada-hal jika Alvia meminta pun pasti akan mereka berikan.

Mereka khawatir, Alvia akan kembali seperti dulu dan akan berbuat buruk kepada Rify. Kecurigaan mereka terjawab ketika melihat Rify las a ke rumah untuk belajar. Mereka bisa melihat tingkah laku Alvia sama seperti 5 tahun lalu ketika ber-sama Rify. Ternyata las an lain Alvia seperti itu kepada Rify juga karena obsesinya yang ingin juara kelas. Ia menganggap kepintaran Rify merusak semuanya. Petang itu, kedua orang-tua Alvia meminta maaf yang sebesar-besarnya dan berkata bahwa mereka akan pindah ke luar negeri bersama Alvia juga.

Sebagai permintaan maafnya, uang ujian yang kemarin di-lunasi Alvia tidak usah dikembalikan.

Rify menatap sedih kepergian Alvia. Padahal ia sudah senang bisa mendapatkan seorang sahabat. Dari semua kejadian ini, ia berharap ada hikmah tersembunyi yang didapatkannya.

Terkadang kebahagiaan yang dirasakan, bisa jadi itu menjadi awal kesedihan yang tidak pernah disangka.

***

Biodata Penulis Priska Fortunata. Lahir di Surakarta, pada tanggal 24 Juli 2003. Dia me nempuh pendidikannya di Sleman. TK, di TK Kartika III, SD, di SD Negeri Cebongan, dan SMP, di SMP Negeri 1 Mlati. Saat ini dia duduk di kelas 11 di SMA Negeri 1 Mlati. Suka menulis sejak masih SD.

Sekarang sedang aktif mengikuti organisasi Rohis dan pernah menjadi anggota PMR.

Sebenarnya, menulis hanya untuk mengisi waktu luang. Awalnya suka membaca cerita yang ada di majalah atau novel. Dari membaca cerita atau novel itu yang membuatnya suka menulis. Priska Fortunata dapat dihubungi lewat email di priskafor24@gmail.com