• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mayda Dina Fitriani SMKN 1 Depok, Sleman

WAKTU silih berganti. Dengan eloknya, fajar kembali men jemput mentari untuk menghangatkan langit dan me-nyinari bumi, seakan mengisyaratkan pada semesta bahwa cerita akan segera dimulai. Semua bercahaya, bersinar indah, bahkan pada celah ranting kecil pun mendapat sepercik cahayanya. Tetes an air pada dedaunan mulai mengering. Hawa dingin yang menyeruak ke tulang rusuk, kini berganti dengan ke hangatan yang erat memeluk. Merdu suara kicauan burung menenteramkan suasana di sebuah desa di pinggir kota.

Suara petokan ayam menggugahku. Aku sudah siap dengan seragam putih abu-abu beserta atributnya. Kutatap diriku me-lalui pantulan cermin. Sudah rapi, pikirku. Kulangkahkan kaki ke sebuah gedung sejuta ilmu. Hingga langkahku terhenti di depan kelas. Terlihat beberapa siswa berhamburan ke sana ke-mari dengan membawa sebuah buku.

”Itu, Revo!” teriak salah satu teman sekelasku.

”Rev, kamu udah ngerjain tugas dari Bu Indi, kan? Lihat dong!” ucap Robit, teman sekelasku. Belum sempat aku me-le takkan tas, Robit langsung merebutnya dan mengambil se-buah buku yang ada di dalam tasku. Beberapa teman sekelas langsung mengerumuni Robit yang tengah membawa salah satu bukuku.

***

Namaku Revo. Teman sekelasku mengatakan bahwa aku siswa terpandai di kelas, bahkan aku sering dijuluki dengan juluk an ‘Si Jenius’. Tak jarang, aku mendapat piala peng har-gaan atas berbagai lomba olimpiade yang telah kuikuti. Aku ber syukur, sudah 4 tahun berturut-turut aku berhasil me mer-tahankan peringkat pertamaku. Mengapa 4 tahun? Karena sejak SMP, aku selalu mendapat peringkat pertama di kelas hingga kini aku menginjakkan kaki di bangku kelas 2 SMA. Syukurlah, peringkat itu masih sanggup kupertahankan. Banyak pujian yang masuk dalam telingaku, namun tak membuatku besar kepala, justru itu yang membuatku harus semakin bekerja keras.

Aku ber harap bisa memertahankan prestasi hingga dapat me-wujudkan cita-cita yang selama ini kuimpikan.

Seperti biasa, sepulang sekolah, aku selalu melewati sawah yang berada di pinggir desa. Namun, kali ini aku merasa kan ada sesuatu yang mengganjal menurut penglihatanku. Tak ada lagi para petani yang bekerja. Biasanya sepulang sekolah se-lalu ada petani yang menyapaku. Apa mereka sedang libur?

Atau sedang istirahat? Tapi, tak biasanya sepi seperti ini. Ku-sipitkan mataku mencoba memertajam penglihatanku pada salah satu objek. Apakah itu artificial intelligence?(robot yang dapat melakukan apa yang biasanya dilakukan oleh manusia dikehidupan sehari-hari)

”Apa kau ingin bertanya tentang benda itu?” tanya Pak Tri, salah seorang petani yang tiba- tiba sudah berada di sam-pingku. Aku menoleh ke arahnya, menatapnya dengan ke-bingungan.

”Sawah itu bukan lagi hak kami. Mereka sudah meng-ambilnya dan menghadirkan benda itu,” ucapnya.

”Maksud, Pak Tri? Lantas bagaimana dengan pekerja lain?”

tanyaku.

”Kita semua diberhentikan dan mereka telah meng ganti-kannya dengan mesin itu,” jawabnya. Aku terkejut, apa mereka

setega itu? Lantas jika benar, bagaimana nasib para petani di desa ini. Lalu, mengapa Pak Tri dan pekerja lainnya tidak protes dan malah memilih diam? Bukankah sebagian lahannya masih milik desa ini? Ah, ini sungguh tidak adil!

***

Jarum jam menunjukkan pukul 3 pagi, Aku terbangun karena merasa haus. Kusibakkan selimutku dan beranjak dari tempat tidur. Saat hendak menuju dapur, langkahku terhenti ketika mendengar isak tangis. Aku mencoba memertajam pen-dengaranku. Ternyata, suara itu berasal dari kamar ayah dan ibu. Siapa yang menangis? Apakah ibu? Mengapa? Karena pe-nasaran, aku mencoba mendengar perbincangan mereka.

Hiks...hiks...

”Bagaimana nasib kita sekarang, Yah? Kita tak memiliki penghasilan lagi. Apa mereka tidak memikirkan nasib para petani setelah mereka memecatnya? Lantas, bagaimana kita ber-tahan hidup jika tak ada lagi pemasukan?”

”Sudahlah, Bu. Mungkin belum jadi rezeki kita. Ibu tidak perlu khawatir, ayah akan berusaha mencari pekerjaan lain untuk bisa membiayai hidup kita,” ucap ayah.

”Ibu masih belum ikhlas, Yah! Kita diberhentikan begitu saja tanpa tahu apa kesalahan kita, tetapi mereka justru meng-ganti tenaga kita dengan mesin.”

”Bagaimanapun sawah itu milik mereka, hak mereka. Kita hanya seorang pekerja dan orang miskin. Memberontak pun percuma. Kita tak sebanding dengan mereka yang berlinang harta. Mereka bisa bertindak semaunya karena ada uang yang dijadikan senjata. Sedangkan kita? Hanya rasa syukur dan ikhlas yang bisa kita lakukan,” ucap ayah.

Aku tertegun mendengar perbincangan mereka. Jadi, mereka juga diberhentikan dari pekerjaannya? Sungguh, rasa-nya aku ingin menangis saat mengetahui kondisi kedua orang

tuaku saat ini. Memang kuakui kecanggihan mesin-mesin itu.

Tapi, apakah mereka tidak memikirkan nasib kalangan bawah seperti kami yang tak memiliki harta berlimpah dan hanya berharap mendapatkan pekerjaan layak untuk bisa memenuhi kebutuhan dan bertahan hidup? Apakah mereka tak tahu, be-tapa sulitnya mencari pekerjaan?

***

Pukul delapan malam, aku sibuk berkutik dengan puluh-an lembar kertas. Halampuluh-an demi halampuluh-an kubaca dpuluh-an ku tulis setiap ringkasannya. Kukuras habis setiap lembaran buku hingga aku hafal dengan beberapa isinya. Kucermati betul se-tiap kata yang kutulis. Malam itu, aku benar-benar mem per-siapkannya.

Hari yang kunanti pun tiba. Hari di mana aku akan ber-saing dengan puluhan siswa untuk tetap memertahankan pres-tasiku yang selama ini telah kudapatkan. Ya, hari ini adalah hari penilaian akhir semester dilaksanakan. Sebelum bel masuk berbunyi, kusempatkan membaca kembali materi yang akan diujikan. Saat bel berbunyi, seluruh siswa berbaris di depan ruang ujian, hendak dibagikan kartu ujian. Saat giliranku, Bu Indi tidak memberikan kartu ujian kepadaku, melainkan me-nyuruhku untuk ikut ke ruangannya. Seluruh siswa menatap bingung ke arahku. Begitupun denganku, aku menatap Bu Indi bingung, kemudian aku berjalan mengikutinya.

”Sebelumnya saya minta maaf karena setelah saya me-ngata kan hal ini, kamu pasti akan merasa sedih dan kecewa,”

ucap Bu Indi tiba-tiba. Aku semakin bingung. Ada apa ini? Apa aku melakukan kesalahan? Tapi, apa?

”Dengan terpaksa, pihak sekolah tidak bisa menyerta kan-mu dalam ujian ini,” tuturnya.

Deg!

”Kenapa? Apa saya melakukan kesalahan?” tanyaku dengan suara gemetar. Seketika semangatku yang tadinya ber-kobar, kini hancur seperti diterpa gelombang tsunami.

”Oh, tidak, tidak. Kamu sama sekali tidak melakukan ke-salahan apapun. Hanya saja sudah tiga bulan lebih kamu belum membayar SPP. Sebelumya, kami sudah membicarakan ini kepada pihak sekolah untuk memberikan keringanan untuk-mu. Namun, karena sudah terlalu lama kamu tidak membayar, pihak sekolah tidak bisa lagi membantumu. Itulah sebabnya kami tidak bisa menyertakanmu pada ujian ini,” jelas Bu Indi.

Aku hanya diam dan menunduk mendengar tuturnya. Aku sangat paham dengan maksud Bu Indi dan memang salahku yang belum membayar SPP selama tiga bulan. Aku tak berani mengatakannya kepada kedua orang tuaku. Apalagi saat ini kondisi ekonomi keluargaku sedang tidak baik.

***

”Kenapa tadi Revo nggak ikut ujian, ya?”

”Bukannya dia tadi dipanggil sama Bu Indi? Apa mungkin dia kena masalah?”

”Kayaknya enggak deh. Revo kan anak baik­baik,”

”Eh, tunggu! Kemarin temenku bilang kalau sawah di desanya Revo sekarang diganti sama tenaga mesin,”

”Terus, apa hubungannya sama Revo?”

”Ck! Lemot banget sih kamu! Orang tuanya Revo kan petani.”

”Jadi, maksud kamu, orang tuanya Revo sekarang sudah nggak kerja lagi?”

”Iya, dan kemarin aku juga nggak sengaja dengar pembicaraan guru­guru, katanya Revo telat bayar SPP selama tiga bulan.”

”Oh, mungkin gara­gara itu, Revo nggak ikut ujian.”

”Kasihan, ya, Revo, padahal kalau aku lihat selama ini, Revo itu punya semangat tinggi untuk sekolah.”

”Iya, sayang banget, ya. Padahal, dia kan pintar.”

Begitulah perbincangan yang kudengar dibalik tembok.

Ya, saat bel istirahat berbunyi aku hendak mema suki kelas.

Namun, langkahku terhenti saat mendengar perbin cangan itu.

Setelah itu, kulangkahkan kembali kakiku. Seisi kelas meman-dan gku aneh. Sekilas aku memanmeman-dang mereka kemudian me-nunduk dan berjalan melewati mereka yang menatapku. Tak hanya menatap, banyak siswa yang berbisik dan samar-samar terdengar di telingaku.

”Cie… yang habis jalan-jalan sama Bu Indi,” ucap Robit yang tiba-tiba sudah duduk di sampingku sambil menyenggol lenganku. Aku meliriknya dengan tatapan tajam.

”Hehe bercanda kali, serem amat tuh mata. Oh, iya, ngomong-ngomong kenapa tadi kamu nggak ikut ujian?” tanya Robit. Aku diam.

”Oh, aku tahu! Kamu pasti takut dicontekin sama temen­

temen kan, jadi, kamu ujian di ruang tersendiri,” ucap Robit dengan gaya sok tahunya.

”Tapi, jangan gitu dong, Abang Robit kan jadi bingung tadi mau nyontek siapa. Mana di sebelah cuma ada si Ujang lagi.

Ya, kali bego nyontek bego, kan sama aja,” ucapnya dengan memanyunkan bibirnya. Menjijikkan. Sungguh rasanya ingin sekali aku memukul mulutnya saat ini juga.

”Mau jadi bego nggak, Rev? Kalau kamu mau, dengan senang hati Abang Robit mau kok kalau suruh tukeran otak,”

ucapnya. Astaga! Omong kosong macam apa itu. Entahlah, aku pusing mendengarnya. Dia seperti tak lelah berbicara tanpa henti.

***

Di sinilah aku berada. Di sebuah tempat di mana aku bisa memandang masa depanku yang kini terombang-ambing bak kapal di tengah gelombang lautan. Pikiranku mulai berputar.

Kutatap langit, terlihat selimut kegelapan mulai terangkat.

Hanya hawa dingin dan sepi yang menemaniku.

”Kenapa kau malah mematung di sini. Apa kau tidak ingin pulang dan mengerjakan tugas-tugasmu?” tanya Lusi sambil duduk di sebelahku. Lusi adalah teman sekelasku dan dia ada-lah tipe orang yang banyak bicara dan ingin tahu urusan orang lain.

Aku menatapnya lekat. Dalam hati, aku bertanya-tanya, dari mana gadis ini tahu bahwa aku berada di sini? Seingat ku, tak ada seorang pun yang kuberi tahu tentang keber adaan ku dan tak banyak orang tahu tentang tempat sepi ini.

”Kenapa melihatku seperti itu? Aku tahu, aku memang cantik,” Lusi berkata dengan kepercayaan diri yang teramat tinggi. Aku menghela napas kesal.

”Kenapa kau bisa ada di sini?” tanyaku balik dengan datar.

”Sebenarnya, aku tadi hanya ingin membeli es krim di kedai Mang Toha. Namun, sayangnya kedai itu tutup. Saat hen dak pulang, aku melihat bayanganmu dari kejauhan, lalu aku meng hampirimu,” jawabnya.

Aku mengalihkan pandanganku dari dirinya. Kembali menatap langit yang mulai gelap. Matahari sudah kembali ke peraduannya, digantikan oleh kerlipan bintang dan bulan yang menghiasi langit.

”Kau belum menjawab pertanyaanku. Mengapa kau malah mematung di sini? Apakah kamu tidak belajar? Kamu kan anak jenius, biasanya si jenius tak pernah melewatkan wak tu belajarnya.” ucapnya. Aku terdiam sejenak tanpa me-noleh ke arah gadis itu.

”Lihat itu!” ucapku sambil menunjuk ke sebuah layar lebar yang terpasang di sebuah gedung pencakar langit. Gadis itu mengikuti arah telunjukku. Ia terlihat mengernyitkan kening-nya.

”Apa bagusnya layar itu? Membosankan,” ucap Lusi dengan sedikit kesal. Walaupun memang harus kuakui bahwa apa yang dia katakan itu memang benar. Layar lebar yang hanya memerlihatkan proses transaksi sebuah perusahaan yang dijalankan oleh robot. Aku paham maksud dari orang yang memasang layar lebar itu berkeinginan memromosikan robot-robot untuk mempermudah pekerjaan manusia.

”Lepas dari kata membosankan, layar itu menampilkan akan hancurnya masa depan kita. Kau tahu itu?” tanyaku. Lusi menatapku dengan mengerutkan dahinya sambil menggeleng.

”Untuk apa bersusah payah belajar, mengerjakan ribuan kertas, menghafalkan segudang rumus, dan mengerjakan ber-bagai pekerjaan, jika semuanya hanya akan berakhir sia-sia.

Bumi ini telah dipenuhi benda mati! Mereka tak memikirkan kehidupan seekor burung kenari yang selalu bekerja keras men cari rumput kering hanya untuk mendapatkan sebuah sarang sebagai tempatnya tinggal. Mereka selalu berusaha dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan lahan luas yang bisa mendatangkan banyak keuntungan tanpa memikirkan rumput kering yang sangat berarti bagi seekor burung kenari,”

jelasku panjang lebar. Namun, gadis itu sepertinya masih tidak paham dengan ucapanku. Terlihat dari raut mukanya yang tampak sedang berpikir keras.

”Apa maksudmu?” tanyanya dengan nada polos. Aku meng hela napas kasar. Sepertinya aku salah mengatakan ini kepadanya yang memiliki tingkat IQ di bawah rata-rata.

”Gadis bodoh,” gumamku pelan. Aku menatapnya dengan saksama.

”Dunia kita saat ini sudah penuh dengan mesin dan robot.

Sekarang semuanya serba otomatis dan canggih. Seluruh te-naga manusia bisa digantikan oleh mesin,” jelasku lebih detail.

Dia terlihat mengerjapkan matanya berkali-kali.

”Ohh, aku mengerti maksudmu,” Lusi tersenyum lebar sembari balas menatapku. Aku mendengus.

”Lemot,” gumamku pelan.

”Kau bilang apa?” Lusi berucap dengan kesal.

”Kau mengataiku lemot?” gadis itu menatapku tajam. Ku-balas tatapannya dengan datar dan tenang.

”Faktanya begitu, kau memang lemot,” ucapku santai. Lusi terlihat mengerucutkan bibirnya dengan kesal. Tanpa aba-aba, ia memukul punggungku dengan cukup keras. Aku me ringis kesakitan, lalu menatapnya tajam. Kulihat ia sudah meng-alih kan pandangannya. Aku kembali menghembuskan napas dengan kesal. Gadis ini benar-benar menyebalkan.

Selang beberapa menit, lamunanku terbuyarkan dengan sebuah deringan ponsel. Aku menoleh, terlihat Lusi yang tengah berbicara dengan sesorang melalui ponsel. Tak ku-pikir kan apa yang sedang mereka bicarakan. Kuarahkan pan-danganku kembali menatap kerlipan bintang dan cahaya bulan digelapnya selimut malam.

”Kau yakin masih ingin tetap di sini?” tanya lusi setelah memutuskan sambungan telponnya. Aku hanya mengangguk tanpa menatapnya. Lusi mendengus kesal. Setelahnya, gadis itu beranjak pergi. Baru beberapa langkah gadis itu berjalan, ia menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahku. Terlihat dari bayangan tubuhnya yang berada di bawah sinar rembulan.

Gadis itu menggelengkan kepalanya pelan kemudian ia berlari pergi.

”Revo benar, dunia semakin canggih. Perkembangannya sangat pesat dan dengan mudah diterima masyarakat. Hingga saat ini, hampir seluruh jenis pekerjaan manusia tergantikan oleh mesin. Manusia bagaikan benda mati, sementara, para mesin itu seolah menjadi benda hidup.”

”Sia-sia saja, selama ini kita mengerjakan tugas, meng-hafalkan segudang rumus, belajar berbagai macam materi jika

pada akhirnya jerih payah kita dapat dengan mudah digantikan oleh robot.”

”Manusia semakin serakah dan keji. Mereka egois. Hanya memikirkan kesejahteraan mereka sendiri tanpa memikirkan kesejahteraan masyarakat kalangan bawah,” jelas Lusi.

”Lantas, apa gunanya manusia di bumi ini jika semua nya tergantikan oleh robot?” Revo dan Lusi saling bertanya.

***