• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV GAMBARAN UMUM

4.2. Administrasi Kewilayahan

Wilayah Kecamatan secara administrasi kewilayahan meliputi 10 desa, 50 dusun, 50 Rukun Warga (RW), dan 150 Rukun Tetangga (RT). Gambaran terperinci mengenai administrasi kewilayahan tercantum pada Tabel 6.

Tabel 6. Administrasi Kewilayahan Kecamatan Cariu (2007) No. Desa Luas Wilayah

(Ha) Dusun Rukun Warga Rukun Tetangga 1. Karyamekar 808,191 4 4 14 2. Babakanraden 677,88 4 4 18 3. Cikutamahi 1.134,4 6 6 14 4. Kutamekar 666,3 4 4 14 5. Cariu 511,5 7 7 23 6. Mekarwangi 382,042 5 5 10 7. Bantarkuning 642,17 5 5 14 8. Sukajadi 427 4 4 12 9. Tegalpanjang 441 5 5 17 10. Cibatutiga 945,566 6 6 14 Total 6,636,049 50 50 150

Sumber: Kantor Kecamatan Cariu

4.3. Kondisi Demografi

Penduduk Kecamatan Cariu hingga akhir bulan Desember 2007 tercatat berjumlah 47.237 jiwa, terdiri dari pria sebanyak 23.894 jiwa (50,19 persen) dan wanita sebanyak 23.343 jiwa (49,81 persen), dan jumlah rata-rata anggota keluarga empat jiwa/keluarga. Kepadatan penduduk yaitu 5,91 jiwa/Ha.

Dari jumlah populasi penduduk tersebut sekitar 59,82 persen (sebanyak 28.302 jiwa) berumur 19-60 tahun atau merupakan usia angkatan kerja produktif, namun dari jumlah pada kelompok usia tersebut yang sudah bekerja sekitar 41.47 persen (sebanyak 29.616 orang) dan sekitar 58,53 persen (sebanyak 41.808 orang) belum bekerja. Angka ketergantungan hidup rata-rata yaitu 1 : 4. Keadaan penduduk menurut kategori usia selengkapnya tergambar pada Tabel 7.

Tabel 7. Penduduk Kecamatan Cariu Menurut Kelompok Umur (2007)

Kelompok Umur Jenis Kelamin Jumlah

Laki-laki Perempuan 00-04 tahun 2390 2479 4869 05-09 tahun 2185 2080 4265 10-14 tahun 2249 2262 4511 15-19 tahun 1859 2241 4100 20-24 tahun 1097 2008 4105 25-29 tahun 1906 1970 3876 30-34 tahun 1634 2101 3735 35-39 tahun 1933 1868 3801 40-44 tahun 1862 1671 3533 45-49 tahun 1585 1512 3097 50-54 tahun 1212 1073 2285 55-59 tahun 864 1028 1892 60-64 tahun 852 1228 2053 65-69 tahun 405 364 769 70 tahun ke atas 105 196 301 Total 23.894 23343 47237

Sumber: Kantor Kecamatan Cariu

4.4. Kondisi Sosial Budaya

Kondisi sosial budaya penduduk Kecamatan Cariu ini cenderung masih menunjukkan profil masyarakat pedesaan (rural community), dicirikan antara lain (a) usaha ekonomi masyarakat umumnya di bidang pertanian yang sifatnya masih konvensional; (b) karakteristik sosial budayanya relatif masih homogen dengan masih cukup terpeliharanya ikatan hubungan kekeluargaan dan kekerabatan; dan (c) sosial agama penduduk mayoritas atau sekitar 99,7 persen adalah muslim.

4.5. Kondisi Kesejahteraan Sosial

Tingkat kesejahteraan keluarga menurut kategori Pra-KS sebanyak 4.139 KK, KS.I sebanyak 4.462 KK, KS.II sebanyak 4.298 KK, KS,III sebanyak 1.007 KK, dan K.III plus sebanyak 165 KK. Kondisi kesejahteraan sosial penduduk

menurut aspek pendidikan, kesehatan, dan ekonomi dapat diungkapkan berikut ini.

4.5.1. Kondisi Sosial Pendidikan

Kondisi sosial pendidikan masyarakat cenderung masih sangat rendah, sebagaimana ditunjukkan antara lain sebagian besar tidak tamat SD sebanyak 18.674 orang, tamatan SD juga cukup banyak 16.827 orang dan tamatan SLTP sebanyak 4.294 orang, penduduk yang belum melek huruf sebanyak 2.264 orang, tamatan SLTA sebanyak 2.884 orang, dan tamatan perguruan tinggi yang sangat sedikit hanya berjumlah 87 orang (Diploma dan S1). Gambaran mengenai kondisi pendidikan penduduk sebagaimana tersaji pada Tabel 8.

Tabel 8. Kondisi Pendidikan penduduk Kecamatan Cariu (2007) No. Desa Blm Melek Huruf Tdk tamat SD

Tamatan Tingkat Pendidikan

SD SMP SMA D1-3 S1 >S1 1. Karyame kar 123 1334 1211 358 89 47 6 1 2. Babakanr aden 172 1533 1405 581 282 98 12 1 3. Cikutama hi 714 1470 1371 558 279 108 7 0 4. Kutamek ar 147 1371 1382 451 125 57 3 0 5. Cariu 195 4586 3382 581 829 383 34 2 6. Mekarwa ngi 153 1571 1621 667 503 138 12 0 7. Bantarku ning 232 1759 1861 280 281 58 6 0 8. Sukajadi 162 1135 1076 212 181 27 2 0 9. Tegalpanj ang 179 1841 1782 301 157 78 3 1 10. Cibatutig a 187 2074 1790 305 158 93 2 0 Total 2264 18674 16827 4294 2884 1087 87 5 Sumber: Kantor Kecamatan Cariu

4.5.2. Kondisi Sosial Ekonomi

Kondisi sosial ekonomi menunjukkan pekerjaan penduduk kebanyakan menjadi petani (50,99 persen), pedagang (9,96 persen), dan wiraswasta (10,87 persen), yang bekerja pada sektor jasa dan industri masih sangat sedikit.

Pendapatan penduduk rata-rata sebesar Rp. 492.750,- atau cenderung dominan berada pada tingkat sosial ekonomi rendah, atau hanya mampu mencukupi kebutuhan dasar konsumsi (dalam perhitungan harga setempat).

4.6. Kondisi Sarana Prasarana Wilayah 4.6.1. Kondisi Sarana Prasarana Pendidikan

Sarana pendidikan formal yang terdiri dari satu Sekolah Taman Kanak- Kanak (1 TK), 36 Sekolah Dasar (28 SD, 8 MI), 11 Sekolah Menengah Pertama (8 SMP, 3 MTs), dan dua Sekolah Menengah Atas (satu SMA, satu SMK). Sarana pendidikan nonformal terdiri dari 24 Pondok Pesantren. Ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan formal maupun nonformal tersebut masih sangat terbatas.

4.6.2. Kondisi Sarana Prasarana Perekonomian

Bidang pedagang dan warung usaha ekonomi lainnya, yaitu terdapat tiga unit pasar desa, 46 toko, dan 453 warung, serta telah berdiri cukup lama dua unit koperasi tetapi sudah tidak melakukan aktivitas usahanya. Bidang pertanian, yaitu terdapat areal lahan persawahan yang terdiri dari setengah teknis, tadah hujan, dan irigasi pedesaan sesuai seluas 2.618Ha.

4.6.3. Kondisi Infrastruktur Wilayah

Jalan yang dapat dilalui kendaraan roda empat atau lebih terdiri dari: (a) jalan beraspal sepanjang ± 46 Km; (b) jalan berbatu (onderlag) sepanjang ± 125 Km (kabupaten); (c) jalan tanah 78 Km. Pada ruas jalan tersebut terdapat jembatan beton sebanyak lima buah dan jembatan dekplank sebanyak dua buah.

BAB V

KARAKTERISTIK RESPONDEN

5.1. Usia

Usia adalah variabel yang digunakan untuk mengukur jumlah tahun kelahiran responden sampai dengan tahun 2008 saat penelitian dilakukan. Dari penelitian yang dilakukan didapatkan jumlah responden orang tua sebanyak 30 orang dan responden anak berjumlah 30 orang.

Usia responden orang tua dalam penelitian ini berkisar antara 30 tahun sampai 75 tahun. Berdasarkan data tersebut, karakteristik usia responden orang tua terbagi ke dalam dua kategori. Kategori pertama adalah kelompok umur 30-52 tahun, kategori kedua adalah kelompok umur 53-75 tahun. Sebaran usia responden orang tua secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Usia Responden Orang Tua, Kecamatan Cariu (2008)

Usia Orang Tua Frekuensi (orang) Persentase (%)

53-75 8 26,7

30-52 22 73,3

Total 30 100

Dari tabel diketahui bahwa usia responden orang tua sebagian besar (73,3 %) ada pada rentang usia 53-75 tahun. Responden orang tua yang lebih muda, berada pada rentang usia 30-52 tahun sebanyak 26,7 persen.

Kelompok responden yang kedua adalah responden anak. Usia responden anak dalam penelitian ini berkisar antara 15 tahun sampai dengan 34 tahun. Oleh karena itu, usia responden anak dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok

usia 15-24 tahun, dan kelompok usia 25-34 tahun. Sebaran usia responden anak dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Usia Responden Anak, Kecamatan Cariu (2008)

Usia Anak Frekuensi (orang) Persentase (%)

25-34 11 36,7

15-24 19 63,3

Total 30 100

Dari tabel diketahui bahwa usia responden anak sebagian besar (63,3 %) ada pada rentang usia 15-24 tahun. Responden anak yang lebih muda, berada pada rentang usia 25-34 tahun sebanyak 36,7 persen.

5.2. Jenis Kelamin

Jenis kelamin merupakan variabel yang digunakan untuk mengetahui identitas biologis responden. Dari penelitian yang dilakukan didapatkan hasil yaitu baik responden orang tua laki-laki maupun perempuan berjumlah 30 orang, sedangkan responden anak, baik laki-laki maupun perempuan berjumlah 30 orang. Sebaran jenis kelamin responden orang tua secara rinci dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Jenis Kelamin Responden Orang Tua, Kecamatan Cariu (2008) Jenis Kelamin Frekuensi (orang) Persentase

(%)

Laki-laki 15 50

Perempuan 15 50

Sebaran jenis kelamin responden orang tua tersebar rata di kelompok jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Masing-masing kelompok jenis kelamin orang tua terisi oleh 50 persen responden orang tua, masing-masing sebanyak 15 orang responden orang tua. Sebaran jenis kelamin responden anak secara rinci dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Jenis Kelamin Responden Anak, Kecamatan Cariu (2008)

Jenis Kelamin Anak Frekuensi (orang) Persentase (%)

Laki-laki 10 33,3

Perempuan 20 66,7

Total 30 100

Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi jenis kelamin anak tidak tersebar secara merata. Responden anak yang berjenis kelamin perempuan jauh lebih banyak daripada responden anak berjenis kelamin laki-laki, perbandingannya mencapai 2:1. Hal ini dikarenakan anak muda laki-laki di wilayah penelitian sebagian besar sedang bekerja pada saat penelitian dilakukan.

5.3.Tingkat Pendidikan Orang Tua

Variabel tingkat pendidikan hanya diujikan kepada responden orang tua saja. Tingkat pendidikan merupakan variabel yang digunakan untuk mengetahui sejauh mana responden orang tua mendapatkan ilmu dari sekolah formal. Tingkat pendidikan orang tua dibagi menjadi dua kategori, yaitu kategori SMP dan kategori SMA. Dari 30 responden orang tua dalam penelitian ini, sebaran tingkat pendidikan orang tua dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Tingkat Pendidikan Responden Orang Tua, Kecamatan Cariu (2008) Tingkat Pendidikan Orang Tua Frekuensi (orang) Persentase (%)

SMP 18 60

SMA 12 40

Total 30 100

Secara umum responden orang tua lebih banyak berada di kelompok tingkat pendidikan SMP, sebanyak 60 persen dan 40 persen lainnya berada di kelompok tingkat pendidikan SMA.

Salah satu responden mengatakan bahwa memang rata-rata tingkat pendidikan warga di wilayah penelitian memang terbilang masih rendah, terutama pendidikan orang-orang seusia responden orang tua. Menurut JT, salah seorang responden orang tua yang berpendidikan rendah, hal ini dikarenakan rendahnya tingkat ekonomi di wilayah tersebut, terutama pada waktu lampau di waktu seharusnya para responden orang tua bersekolah. Sulitnya perekonomian kebanyakan warga menyebabkan para warga seusia responden orang tua tidak bersekolah.

5.4. Tingkat Pendapatan Orang Tua

Variabel tingkat pendapatan orang tua adalah variabel yang digunakan untuk mengetahui status ekonomi keluarga responden. Variabel tingkat pendapatan ini dilihat melalui pendapatan ayah dan ibu dalam satu keluarga selama satu bulan. Tingkat pendapatan orang tua dibagi menjadi tiga kategori, yaitu kategori tinggi dan kategori rendah. Kategori tinggi adalah pendapatan orang tua yang berkisar dari Rp. 500.000,- ke bawah, sedangkan kategori rendah adalah pendapatan di atas Rp. 500.000,- dalam sebulan. Variabel tingkat

pendapatan hanya diujikan kepada responden orang tua saja karena diasumsikan pendapatan orang tua adalah penentu disekolahkannya seorang anak atau tidak. Tabel 14 menunjukkan sebaran tingkat pendapatan responden orang tua.

Tabel 14. Tingkat Pendapatan Orang Tua, Kecamatan Cariu (2008)

Tingkat Pendapatan Orang Tua Frekuensi (orang) Persentase (%)

500000 14 46,7

> 500000 16 53,3

Total 30 100

Sebaran tingkat pendapatan responden orang tua pada umumnya tidak memperlihatkan perbedaan yang mencolok. Responden orang tua yang berada pada kelompok tingkat pendapatan rendah sebanyak 46,7 persen, sedangkan responden orang tua yang berada pada kelompok tingkat pendapatan tinggi sebanyak 53,3 persen.

Responden sebagian besar bekerja di bidang pertanian, sebagai buruh tani di sawah orang lain. Sebagian besar pemilik sawah adalah orang-orang di luar daerah yang memilih sawah sebagai investasi, dan mempekerjakan warga untuk menggarap sawahnya. Sebagian besar responden memiliki penghasilan tidak tentu, karena mereka hanya mendapatkan uang pada saat musim panen tiba. Rata penghasilan per bulan yang diperoleh responden sekitar Rp. 500.000,-.

5.5. Wawasan Gender 5.5.1. Marjinalisasi

Variabel marjinalisasi adalah variabel yang digunakan untuk mengukur tingkat kepekaan responden, baik responden orang tua maupun responden anak,

terhadap isu gender marjinalisasi. Marjinalisasi sendiri diartikan sebagai proses peminggiran, umumnya terjadi pada perempuan, yang terepresentasikan dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:

a. Proses pengucilan.

b. Proses penggeseran perempuan ke pinggiran dari pasar tenaga kerja. c. Proses feminisasi atau segregasi.

d. Proses ketimpangan ekonomi yang makin meningkat.

Sebaran tingkat kepekaan responden orang tua terhadap isu marjinalisasi dapat terlihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Tingkat Kepekaan Responden Orang Tua terhadap Isu Gender Marjinalisasi, Kecamatan Cariu (2008)

Marjinalisasi Frekuensi (orang) Persentase (%)

Rendah 13 43,3

Tinggi 17 56,7

Total 30 100

Dari sebaran yang terlihat dari tabel di atas, dapat dikatakan bahwa secara umum, responden orang tua mempunyai tingkat kepekaan tinggi terhadap isu gender marjinalisasi, namun banyak juga responden orang tua yang memiliki kepekaan rendah terhadap isu gender marjinalisasi. Selisih antara responden orang tua yang memiliki kepekaan tinggi dan responden orang tua yang memiliki kepekaan rendah terhadap isu gender marjinalisasi tidak begitu besar. Responden orang tua yang memiliki kepekaan tinggi terhadap isu gender marjinalisasi sebanyak 56,7 persen, sedangkan responden orangtua yang memiliki kepekaan rendah terhadap isu gender marjinalisasi sebanyak 43,3 persen. Sebaran tingkat kepekaan responden anak terhadap marjinalisasi dapat terlihat dari Tabel 16.

Tabel 16. Tingkat Kepekaan Responden Anak terhadap Isu Gender Marjinalisasi, Kecamatan Cariu (2008)

Tingkat Kepekaan Anak Terhadap Isu

Gender Marjinalisasi Frekuensi (orang) Persentase (%)

Rendah 5 16,7

Tinggi 25 83,3

Total 30 100

Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa responden anak sebagian besar memiliki tingkat kepekaan yang tinggi terhadap isu gender marjinalisasi. Responden anak yang memiliki tingkat kepekaan tinggi terhadap isu gender marjinalisasi sebanyak 83,3 persen, sedangkan responden anak yang memiliki kepekaan rendah terhadap isu gender marjinalisasi hanya sebanyak 16,7 persen.

Sebanyak 56,7 persen responden orang tua dan 83,3 persen responden anak berpendapat bahwa perempuan boleh saja bekerja di sektor manapun, dengan upah yang layak. Perempuan tidak lagi wajib hanya berada di rumah mengurusi rumah tangga, suami, dan anak. Perempuan boleh saja lebih maju dari laki-laki dalam hal pekerjaan apabila memang perempuan itu memiliki kemampuan yang tinggi. Responden yang memiliki kepekaan tinggi terhadap isu gender marjinalisasi telah menunjukkan bahwa mereka sudah menolak adanya praktek-praktek pengucilan terhadap perempuan, segregasi, penggeseran perempuan dari pasar tenaga kerja, dan ketimpangan ekonomi.

Salah satu responden orang tua, sebut saja UM, menceritakan bahwa dalam rumah tangganya, dialah yang berperan sebagai kepala rumah tangga. UM merupakan pencari nafkah utama di keluarganya, suaminya yang masih sehat wal afiat memilih untuk tidak bekerja karena penghasilan UM dari warung makan yang dikelolanya sudah mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari, bahkan UM juga mengatakan bahwa setiap hari sebelum berangkat ke warung nasi miliknya,

UM memberikan sejumlah uang untuk suaminya membeli rokok dan kebutuhan lainnya selama UM berada di warung. Selama UM berada di warung, sejak pagi hingga sore, suaminyalah yang bertanggung jawab atas semua urusan rumah tangganya, seperti membersihkan rumah dan menjaga rumah sampai UM selesai mengurus warungnya.

ah suami saya mah ga pegang uang samasekali, setiap hari saya jatah uang jajannya, palingan juga 7000 perak sehari. Kan ini uang saya. Suami saya samasekali ga Bantu saya cari uang. Jadi dia mah tinggal anteng-anteng tunggu rumah aj, sekalian beberes rumah.. (UM, orang tua, 62).

Selain itu, UM juga bercerita mengenai proses pengambilan keputusan dalam rumah tangganya. UM mengatakan bahwa semua keputusan selalu diambil oleh UM sendiri, tanpa kompromi dengan sang suami. Suaminya pun tidak pernah keberatan dengan pembagian tugas seperti itu. Pembagian tugas yang demikian sudah berlangsung sekitar 10 tahun yang lalu, sejak sang suami mengalami pemecatan dari perusahaan tempatnya bekerja sebagai petugas keamanan.

5.5.2. Subordinasi

Isu gender subordinasi adalah isu gender yang berhubungan dengan pengambilan keputusan. Anggapan bahwa perempuan adalah makhluk yang irrasional, terlalu banyak melibatkan perasaan dalam bertindak menyebabkan perempuan banyak dipandang tidak mampu mengambil keputusan secara bijaksana. Semua keputusan haruslah diambil oleh laki-laki, terutama keputusan yang memerlukan pemikiran matang. Kalaupun perempuan boleh mengambil keputusan, sebagian besar hanya keputusan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan rumah tangga, misalnya urusan dapur dan kebersihan rumah.

Tingkat kepekaan responden terhadap isu gender subordinasi adalah mengenai seberapa jauh responden merasa isu gender subordinasi tersebut patut diterapkan dalam kehidupannya sehari-hari. Sebaran frekuensi dan persentase kepekaan responden orang tua terhadap isu gender subordinasi dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17. Kepekaan Responden Orang Tua terhadap Isu Gender Subordinasi, Kecamatan Cariu (2008)

Tingkat Kepekaan Orang Tua terhadap

Isu Gender Subordinasi Frekuensi (orang) Persentase (%)

Rendah 20 66,7

Tinggi 10 33,3

Total 30 100

Sebagian besar responden orang tua masih memiki kepekaan yang rendah terhadap isu gender subordinasi. Responden orang tua yang memiliki tingkat kepekaan rendah terhadap isu gender subordinasi adalah sebanyak 66,7 persen, sedangkan responden orang tua yang memiliki kepekaan rendah terhadap isu gender subordinasi adalah sebanyak 33,3 persen. Sebaran tingkat kepekaan responden anak terhadap isu gender subordinasi dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Tingkat Kepekaan Responden Anak terhadap Isu Gender Subordinasi, Kecamatan Cariu (2008)

Tingkat Kepekaan Anak terhadap Isu

Gender Subordinasi Frekuensi (orang) Persentase (%)

Rendah 23 76,7

Tinggi 7 23,3

Total 30 100

Sama seperti halnya tingkat kepekaan responden orang tua terhadap isu gender subordinasi, tabel menunjukkan bahwa tingkat kepekaan responden orang tua terhadap isu gender subordinasi pun masih sangat rendah. Hal ini dapat

terlihat dari data reponden yang memiliki tingkat kepekaan rendah terhadap isu gender subordinasi sebanyak 76,7 persen, sedangkan hanya 23,3 persen lainnya yang memiliki tingkat kepekaan tinggi terhadap isu gender subordinasi.

Responden orang tua maupun responden anak, lebih banyak menganggap bahwa hukum agama mengajarkan bahwa laki-laki harus selalu menjadi pemimpin dalam segala bidang. Laki-laki adalah orang yang pantas dijadikan panutan, tanpa harus memperhitungkan seberapa perempuan mungkin lebih kompeten dalam beberapa hal.

perempuan harus selalu taat kepada laki-laki, karena laki-laki kan selalu jadi pemimpin. Kalo laki-laki udah bilang A, ya perempuan harus ikut apa kata laki-laki. Itu mah udah jadi hukum alam, ga bisa diapa-apain lagi.. Kalo perempuannya kan mesti nurut ke laki-laki. Masa laki-laki yang nurut ke perempuan?? Itu mah nyalahin kodrat namanya.. (TD, anak, 29 tahun).

5.5.3. Stereotipi

Isu gender stereotipi adalah pelabelan negatif terhadap perempuan. Berbagai label negatif yang ditempelkan pada perempuan sudah sangat melekat di masyarakat umum. Isu gender stereotipi inilah yang kemudian akan menimbulkan isu-isu gender lainnya. Hal ini akan menimbulkan kerugian bagi perempuan. Kebanyakan akan berimplikasi pada perempuan yang hanya dilihat dari keindahan tubuhnya, hanya dieksplor fisiknya saja, tidak diperhatikan intelegensianya, perempuan seolah hanya dianggap sebagai objek keindahan.

Beberapa responden telah mengungkapkan pendapat mereka mengenai isu gender stereotipi. Jawaban-jawaban dari responden tersebut kemudian akan menunjukkan tingkat kepekaan responden terhadap isu gender stereotipi. Tingkat

kepekaan responden orang tua terhadap isu gender stereotipi dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19. Tingkat Kepekaan Responden Orang Tua terhadap Isu Gender Stereotipi, Kecamatan Cariu (2008)

Tingkat Kepekaan Orang Tua terhadap

Isu Gender Stereotipi Frekuensi (orang) Persentase (%)

Rendah 19 63,3

Tinggi 11 36,7

Total 30 100

Kepekaan responden orang tua terhadap isu gender stereotipi masih terbilang rendah karena data menunjukkan bahwa sebanyak 63,3 persen responden masih memiliki kepekaan yang rendah terhadap isu gender stereotipi, dan hanya sebanyak 36,7 persen responden orang tua yang memiliki kepekaan tinggi terhadap isu gender stereotipi. Sebaran tingkat kepekaan responden anak terhadap isu gender stereotipi dapat dilihat pada Tabel 20.

Tabel 20. Tingkat Kepekaan Responden Anak terhadap Isu Gender Stereotipi, Kecamatan Cariu (2008)

Tingkat Kepekaan Anak terhadap Isu

Gender Stereotipi Frekuensi (orang) Persentase (%)

Rendah 18 60

Tinggi 12 40

Total 30 100

Secara umum, responden anak masih memiliki kepekaan yang rendah terhadap isu gender stereotipi. Sebanyak 60 persen responden memiliki kepekaan terhadap isu gender stereotipi yang rendah, dan 40 persen lainnya memiliki kepekaan yang tinggi terhadap isu gender stereotipi. Hal ini tidak jauh berbeda dengan hasil yang didapat dari survai kepada responden orang tua.

Responden orang tua dan anak dalam penelitian ini kebanyakan masih memandang bahwa pelabelan negatif yang dilekatkan pada diri perempuan

memang merupakan kodrat yang tidak akan pernah bisa dirubah. Salah satu responden dari penelitian ini, DK, berpendapat bahwa memang perempuan memang selalu identik dengan pesolek, mudah tersinggung, tidak logis, dll. Berikut adalah kutipan wawancara dengan beliau:

perempuan mah emang cuma bisa dandan, cukup dandan aj suami udah seneng ko, ga usah macem-macem segala lah.. kan cuma buat diliat aja!! Nah tugasnya suami buat cari uang supaya si istri bisa dandan cantik, kalo duitnya kurang buat beli keperluannya kan bisa diamuk gede-gedean kita!! (DK, orang tua, 42 tahun).

5.5.4. Kekerasan

Pengertian kekerasan dalam hal ini tidak hanya diartikan sebagai serangan fisik saja, tetapi juga berupa serangan terhadap integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan yang terjadi karena permasalahan jenis kelamin dapat dikatakan kekerasan gender. Penyebab utama kekerasan gender adalah karena adanya anggapan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.

Sebanyak 30 orang responden orang tua dalam penelitian ini telah mengungkapkan sejauh mana kepekaan mereka terhadap isu gender kekerasan. Sebaran tingkat kepekaan responden orang tua terhadap isu gender kekerasan dapat dilihat pada Tabel 21.

Tabel 21. Tingkat Kepekaan Responden Orang Tua terhadap isu Gender Kekerasan, Kecamatan Cariu (2008)

Tingkat Kepekaan Orang Tua Terhadap

Isu Gender Kekerasan Frekuensi (orang) Persentase (%)

Rendah 4 13,3

Tinggi 26 86,7

Tingkat kepekaan responden orang tua terhadap isu gender kekerasan sudah terbilang tinggi. Sebanyak 86,7 persen responden orang tua menyatakan tidak setuju dengan adanya kekerasan terhadap perempuan, dalam bentuk apapun. Responden orang tua yang menyatakan setuju dengan adanya bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan sebanyak 13,3 persen. Kebanyakan responden orang tua yang menyatakan setuju dengan adanya bentuk-bentuk kekerasan gender sebagai bentuk dari hukuman untuk perempuan yang patuh pada laki-laki. Mereka pun menyatakan bahwa hal ini merupakan ajaran yang sudah ditamankan sejak mereka kecil, sehingga melekat sampai mereka dewasa.

Seperti halnya responden orang tua, responden anak pun secara umum memiliki tingkat kepekaan yang tinggi terhadap isu gender kekerasan. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 22.

Tabel 22. Tingkat Kepekaan Responden Anak terhadap Isu Gender Kekerasan, Kecamatan Cariu (2008)

Tingkat Kepekaan Anak terhadap Isu Gender

Kekerasan

Frekuensi (orang) Persentase (%)

Rendah 5 16.7

Tinggi 25 83.3

Total 30 100.0

Sebanyak 83,3 persen responden anak memiliki kepekaan yang tinggi terhadap isu gender kekerasan, sedangkan 16,7 persen responden anak lainnya memiliki kepekaan rendah terhadap isu kepekaan gender kekerasan.

5.5.5. Beban Kerja

Isu gender beban kerja diartikan sebagai pembebanan pekerjaan rumah tangga kepada perempuan. Perempuan biasanya dianggap rajin dan rapih dalam mengerjakan sesuatu, sehingga perempuan selalu dianggap orang yang tepat dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Seiring dengan berjalannya waktu, perempuan memiliki kesempatan lebih banyak untuk berkontribusi dalam perekonomian keluarga. Hal ini seakan menjadi dilema bagi para perempuan, karena walaupun berkesempatan untuk mengembangkan diri di sektor publik, perempuan juga seolah tidak diperkenankan untuk meninggalkan tugasnya di rumah tangga. Perempuan harus mengerjakan dua tanggung jawab sekaligus. Sebaran tingkat kepekaan responden orang tua terhadap isu gender beban kerja dapat dilihat pada Tabel 23.

Tabel 23. Tingkat Kepekaan Responden Orang Tua, Kecamatan Cariu (2008) Tingkat Kepekaan Orang Tua terhadap

Isu Gender Beban Kerja Frekuensi (orang) Persentase (%)

Rendah 26 86,7

Tinggi 4 13,3

Total 30 100

Secara umum tingkat kepekaan responden orang tua terhadap isu gender

Dokumen terkait