• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teoritis

Untuk mengetahui konsep gender, Fakih (1996) menekankan pentingnya memahami perbedaan antara konsep gender dan seks. Seks merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu, dan hal itu tidak dapat dirubah karena merupakan ketentuan Tuhan atau kodrat. Gender diterjemahkan sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural, dengan kata lain, hal-hal yang dapat dipertukarkan antara sifat laki-laki dan perempuan, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, disebut dengan konsep gender.

Hal serupa dikemukakan Widyatama (2006), dalam membahas bias gender, terlebih dahulu memperkenalkan konsep gender yang dipandangnya sebagai sesuatu yang berbeda dengan seks (jenis kelamin). Pengertian seks sebagai jenis kelamin adalah pembedaan yang didasarkan pada fisik manusia dan diterima oleh manusia secarataken for granted. Konsep gender adalah pembedaan yang dibangun melalui konstruksi sosial maupun kultural manusia. Hal inilah yang kemudian memunculkan stereotipi gender, bahwa laki-laki harus maskulin dan perempuan harus feminin. Widyatama (2006) menekankan bahwa dalam pespektif gender, maskulinitas maupun femininitas merupakan suatu pilihan, tidak bersifat wajib.

Handayani dan Sugiarti (2006) memperlihatkan perbedaan seks dan gender melalui lirik sebuah lagu yang populer di Indonesia yang berbunyi:

Diciptakan alam pria dan wanita, dua makhuk asuhan dewata, wanita dijajah pria sejak dulu, dijadikan perhiasan sangkar madu, namun adakala pria tak berdaya, tekuk lutut di sudut kerling wanita

Kalimat pertama lagu tersebut menunjukkan pengertian seks, sedangkan kalimat selanjutnya menunjukkan pengertian gender. Untuk memperjelas konsep seks dan gender dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Perbedaan Seks dan Gender

No. Karakteristik Seks Gender

1. Sumber

Pembeda Tuhan Manusia (masyarakat) 2. Visi, Misi Kesetaraan Kebiasaan

3. Unsur

Pembeda Biologis (alat reproduksi) Kebudayaan (tingkah laku) 4. Sifat Kodrat, tertentu, tidak dapat

dipertukarkan

Harkat, martabat, dapat dipertukarkan

5. Dampak

Terciptanya nilai-nilai: kesempurnaan, keniKmatan, kedamaian, dll. Sehingga menguntungkan kedua belah pihak.

Terciptanya norma- norma/ketentuan tentang

pantas atau tidak pantas laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu, sering merugikan salah satu pihak. 6. Keberlakuan

Sepanjang masa ,dimana saja, tidak mengenal pembedaan kelas.

Dapat berubah, musiman, dan berbeda antara kelas. Sumber: Unger (1979) dalam Handayani dan Sugiarti (2006)

2.1.1.1. Manifestasi Ketidakadilan Gender

Perbedaan gender sesungguhnya bukanlah suatu masalah, yang menjadi masalah adalah bahwa perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki maupun terutama bagi kaum perempuan. Ketidakadilan

gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni (Fakih, 1996):

1. Gender dan Marginalisasi

Proses marginalisasi yang mengakibatkan kemiskinan, sesungguhnya banyak sekali terjadi dalam masyarakat dan negara yang menimpa kaum laki-laki dan perempuan, yang disebabkan oleh berbagai kejadian, misalnya penggusuran, bencana alam, dilihat dari sisi lain pun marginalisasi dapat diakibatkan oleh kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama, dan bahkan asumsi ilmu pengetahuan.

2. Gender dan Subordinasi

Anggapan bahwa perempuan itu irasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Semua keputusan haruslah diambil oleh pihak laki-laki.

3. Gender dan Strereotipi

Secara umum, stereotipi adalah pelabelan negatif atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Salah satu jenis stereotipi adalah yang bersumber dari pandangan gender. Banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, yang bersumber dari penandaan (stereotipi) yang dilekatkan pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, penandaan yang berawal dari asumsi bahwa perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotipi ini.

4. Gender dan Kekerasan

Kekerasan (violence) adalah serangan atau invansi (assault) terhadap fisik maupun intergritas mental psikologis seseorang. Salah satu jenis kekerasan adalah kekerasan terhadap salah satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan gender. Pada dasarnya, kekerasan gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat.

5. Gender dan Beban Kerja

Anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta kaum perempuan tidak cocok untuk dijadikan kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Di kalangan keluarga miskin, beban yang sangat berat harus ditanggung oleh perempuan sendiri. Terlebih-lebih jika si perempuan tersebut harus bekerja, maka ia memikul beban kerja ganda. Pada kalangan menengah ke atas, beban kerja ini kemudian dilimpahkan kepada pembantu rumah tangga.

2.1.2. Persepsi

DeVito (1997) mendefinisikan persepsi sebagai berikut:

Perception is the process you became aware of objects, events, and especially people through your sense: sight, smell, touch, and hearing. Perception is an active, not a passive process. Your perception result from what exist in the outside world and from your own experiences, desires, needs, loves, and hatreds .

Jalaludin Rakhmat (2004) mendefinisikan persepsi sebagai pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi sifatnnya memang

sangat subjektif, yaitu tergantung pada subjek yang melaksanakan persepsi itu sendiri (Sarwono, 1999).

Dua hal yang ingin diketahui dalam persepsi sosial, yaitu keadaan dan perasaan orang lain saat ini, di tempat ini melalui komunikasi non-lisan (kontak mata, busana, gerakan tubuh, dan sebagainnya) atau lisan dan kondisi yang lebih permanen yang ada di balik segalanya yang tampak saat ini (niat, sifat, motivasi, dan sebagainya) yang diperkirakan menjadi penyebab dari kondisi saat ini (Sarwono, 1999).

Ada faktor dari luar dan dari dalam yang mempengaruhi persepsi dintaranya sebagai berikut1 : ( Wilson, 2000dalam Kamarullah, 2005)

1. Faktor Eksternal atau dari luar :

- Concreteness, yaitu wujud atau gagasan yang abstrak yang sulit di persepsikan dibandingkan dengan yang objektif .

- Novelty atau hal yang baru, biasanya lebih menarik untuk dipersepsikan dibandingkan dengan hal-hal yang lama.

- Velocity atau percepatan misalnya gerak yang cepat untuk menstimulasi munculnya persepsi lebih efektif dibandingkan dengan gerakan yang lambat.

- Conditioned stimuli, stimulus yang dikondisikan. 2. Faktor Internal

- Motivation . misalnya merasa lelah menstimulasi untuk berespon terhadap istirahat

1

-Interest, hal-hal yang menarik lebih di perhatikan daripada yang tidak menarik.

-Need, kebutuhan akan hal tertentu akan menjadi pusat perhatian.

-Assumptions, juga mempengaruhi persepsi sesuai dengan pengalaman melihat, merasakan dan lain-lain.

2.1.3. Pendidikan

2.1.3.1. Pengertian Pendidikan

Pendidikan dalam artian sederhana adalah usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan (Hasbullah, 1997). Seiring dengan perkembangan jaman, pendidikan pun turut mengalami perkembangan, namun tentunya dengan beberapa pengertian dasar yang masih melekat. Pendidikan perlu dipahami sebagai berikut (Hasbullah, 1997):

1. Pendidikan merupakan suatu proses terhadap anak didik berlangsung terus sampai anak didik mencapai pribadi dewasa susila. Proses ini berlangsung dalam jangka waktu tertentu. Bila anak didik sudah mencapai pribadi dewasa susila, maka ia sepenuhnya mampu bertindak sendiri bagi kesejahteraan hidupnya dan masyarakatnya.

2. Pendidikan merupakan perbuatan manusiawi. Pendidikan lahir dari pergaulan antar orang dewasa dan orang yang belum dewasa dalam suatu kesatuan hidup. Tindakan mendidik yang dilakukan oleh orang dewasa dengan sadar dan disengaja didasari oleh nilai-nilai kemanusiaan. Tindakan tersebut menyebabkan orang yang belum dewasa menjadi

dewasa dengan memiliki nilai-nilai kemanusiaan, dan hidup menurut nilai- nilai tersebut. Kedewasaan diri merupakan tujuan pendidikan yang hendak dicapai melalui perbuatan atau tindakan pendidikan.

3. Pendidikan merupakan hubungan antar pribadi pendidik dan anak didik. Dalam pergaulan terjadi kontak atau komunikasi antara masing-masing pribadi. Hubungan ini jika meningkat ke taraf hubungan pendidikan, maka menjadi hubungan antara pribadi pendidik dan si anak didik, yang pada akhirnya melahirkan tanggung jawab pendidikan dan kewibawaan pendidikan. Pendidik bertindak demi kepentingan dan keselamatan anak didik, dan anak didik mengakui kewibawaan pendidik dan bergantung padanya.

4. Tindakan atau perbuatan mendidik dan menuntun anak didik mencapai tujuan-tujuan tertentu, dan dalam hal ini tampak pada perubahan- perubahan dalam diri anak didik. Perubahan sebagai hasil pendidikan merupakan gejala kedewasaan yang secara terus-menerus mengalami penigkatan sampai penentuan diri atas tanggung jawab sendiri oleh anak didik atau terbentuknya pribadi dewasa susila.

Sekolah merupakan salah satu lembaga penyelenggara pendidikan. Sekolah adalah salah satu organisasi yang tumbuh dan berkembang di tengah- tengah masyarakat (Syafaruddin dan Anzizhan, 2004). Sekolah merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa elemen. Pada dasarnya pendidikan di sekolah merupakan bagian dari pendidikan di dalam keluarga, yang sekaligus juga merupakan lanjutan dari pendidikan dalam keluarga. Berikut ini merupakan

beberapa karakteristik proses pendidikan yang berlangsung di sekolah (Hasbullah,1997):

1. Pendidikan diselenggarakan secara khusus dan dibagi atas jenjang yang memiliki hubungan hierarkhis.

2. Usia anak didik di suatu jenjang pendidikan relatif homogen.

3. Waktu pendidikan relatif lama sesuai dengan program pendidikan yang harus dilaksanakan.

4. Materi atau isi pendidikan lebih banyak sersifat akademis dan umum. 5. Adanya penekanan tentang kualitas pendidikan sebagai jawaban terhadap

kebutuhan di masa yang akan datang.

2.1.3.2. Peranan Keluarga dalam Pendidikan

Keluarga atau rumah tangga merupakan kesatuan unit sosial terkecil yang membentuk masyarakat. Menurut Depdikbud (2005) sebagaimana dikutip Fathoni (2008), bagi setiap orang, keluarga (suami, istri, dan anak-anak) mempunyai arti penting dalam proses sosialisasi untuk dapat memahami, menghayati budaya yang berlaku di masyarakat.

Menurut Hasbullah (2006), sumbangan keluarga bagi pendidikan anak adalah sebagai berikut:

1. Cara orang tua melatih anak untuk menguasai cara-cara mengurus diri, seperti cara makan, buang air, berbicara, berjalan, berdoa, sungguh-sungguh membekas dalam diri anak karena berkaitan erat dengan perkembangan dirinya sebagai pribadi.

2. Sikap orang tua sangat mempengaruhi perkembangan anak. Sikap menerima atau menolak, sikap kasih sayang atau acuh tak acuh sikap sabar atau tergesa- gesa, sikap melindungi atau membiarkan secara langsung mempengaruhi reaksi emosional anak.

Pendidikan anak di sekolah merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua, sekolah, dan pemerintah. Keluarga merupakan penentu pendidikan sekolah seorang anak, karena kelurgalah yang mampu menjadi pendorong maupun penghambat seorang anak untuk sekolah atau tidak. Pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan manusia yang memerlukan pengambilan keputusan. Manusia harus memutuskan, apa yang menjadi dasar dan tujuan pendidikan, serta harus bagaimana agar tujuan tersebut tercapai. Oleh karena itu, manusia harus mengenali persoalan-persoalan substansi kehidupan manusia dan kebutuhannya terhadap pendidikan serta mampu menentukan alternatif pencapaian tujuan (Syafaruddin dan Anzizhan, 2004).

2.1.3.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi terhadap Pendidikan Pendidikan mempengaruhi dua faktor, yaitu faktor intenal dan eksternal. Fathoni (2008) menyebutkan bahwa faktor internal terdiri dari umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan kepala keluarga, jumlah tanggungan, pendapatan keluarga, persepsi terhadap pendidikan, dan status sosial ekonomi dalam masyarakat. Faktor eksternal terdiri dari kebijakan pemerintah, sarana pendidikan, jarak sarana pendidikan, dan biaya pendidikan.

2.1.3.4. Dampak Pendidikan terhadap Kehidupan Sosial Budaya

Pembangunan pendidikan memiliki tiga pokok perkembangan kepribadian manusia, yaitu perkembangan kognitif, konatif, dan afektif (Dinas Pendidikan DI Yogyakarta, 1996). Perkembangan konatif, sering juga disebut sebagai intelektual meliputi perkembangan pengetahuan dan pemahaman. Perkembangan konatif meliputi penghayatan berbagai kebutuhan, sedangkan perkembangan afektif menyangkut perekembangan alam peran. Ketiga perkembangan kepribadian manusia tersebut kemudian akan berdampak pada kehidupan sosial budaya individu dan lingkungan terdekatnya.

Kehidupan sosial budaya masyarakat meliputi kehidupan kekerabatan, pencapaian lapangan pekerjaan, interaksi sosial, dan pranata sosial.

1. Dampak terhadap Kekerabatan.

Kekerabatan diduga dipengaruhi oleh usia menikah. Usia menikah akan berpengaruh pada pola menetap setelah menikah. Diasumsikan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, cenderung usia menikah terlambat dan akan membentuk keluarga batih. Satu hal yang menarik yang biasa terjadi di pedesaan adalah anggapan bahwa menikahkan anak pada usia dini adalah salah satu usaha untuk menghindari gunjingan anaknya tidak laku kawin para tetangga.

2. Dampak terhadap Pekerjaan

Pendidikan dapat berdampak pada berbagai aspek di bidang ketenagakerjaan. Pendidikan yang rendah memungkinkan keterbatasan kesempatan lapangan pekerjaan, variasi pekerjaan, dan peluang memasuki

lapangan pekerjaan berdasarkan jenis kelamin (Dinas Pendidikan DI Yogyakarta, 1996).

3. Dampak terhadap Interaksi Sosial

Manusia pada dasarnya mempunyai naluri untuk hidup dengan orang lain, atau berhubungan dengan orang lain. Ada hasrat utama manusia untuk membentuk keserasian dengan orang lain, yaitu keinginan atau interes untuk menjadi satu dengan orang lain yang berada di sekitarnya atau masyarakat, dan keinginan untuk menyatu dengan suasana sekelilingnya. 4. Dampak terhadap Pranata Sosial

Pranata sosial dalam hal ini dapat dilihat dari keterlibatan seseorang atau keluarga dalam kesibukan sosial di lingkungannya dan partisipasinya dalam kegiatan kepercayaan sosial.

2.1.4. Data Umum Pendidikan Propinsi Jawa Barat

Berdasarkan komposisi penduduk Jawa Barat pada tahun 2005, yang telah dikelompokkan menurut umur, diketahui bahwa proporsi penduduk laki-laki dan perempuan pada semua kelompok umur (4-5 tahun, 5-6, 6-7 tahun, 7-12 tahun, 13-15 tahun, dan 16-18 tahun) dapat dikatakan relatif seimbang dengan disparitas gender yang relatif kecil. Tidak ada perbedaan mencolok dalam hal jumlah penduduk laki-laki dan perempuan pada semua kelompok umur di Propinsi Jawa Barat. Dapat diasumsikan bahwa seharusnya tidak ada perbedaan jumlah siswa yang mencolok antara siswa laki-laki dan perempuan di semua tingkat sekolah, baik Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Umum, maupun Sekolah Menengah Atas. Hal ini bertentangan dengan kenyataan mengenai jumlah siswa laki-laki dan

perempuan yang terdaftar di dua Sekolah Mengengah Atas yang terdapat di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor. Berikut adalah tabel komposisi penduduk Kecamatan Cariu per kelompok umur, berdasarkan jenis kelamin.

Tabel 2. Komposisi Penduduk Menurut Umur Sekolah dan Jenis Kelamin Di Jawa Barat (2005) No. Kelompok Umur (Tahun) Laki-laki Perempuan Total Disparitas (P-L) Jumlah % Jumlah % 1. 4-5 - - - - 1.542.842 - 2. 5-6 816.457 52,21 747.464 47,79 1.563.921 -4,42 3. 6-7 - - - - 2.377.471 - 4. 7-12 2.231.379 48,60 2.360.108 51,40 4.591.487 2,80 5. 13-15 1.045.173 48,53 1.108.712 51,47 2.153.885 2,94 6. 16-18 1.170.729 50,38 1.153.079 49,62 2.323.808 -0,76 Sumber: Profil Pendidikan Tahun 2005, Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat

Berdasarkan komposisi penduduk yang sedang bersekolah di Jawa Barat, diketahui bahwa proporsi laki-laki semakin lama semakin tinggi dibandingkan dengan proporsi penduduk perempuan pada selang umur yang semakin tua. Hal ini terbukti dari disparitas gender yang bertanda negatif pada kelompok umur tinggi. Data penduduk berumur 4-5 tahun dan 6-7 tahun tidak diketahui berdasarkan proporsi jenis kelamin.

Tabel 3. Komposisi Penduduk yang Sedang Bersekolah Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Jawa Barat (2005)

No. Kelompok Umur (Tahun)

Laki-laki Perempuan Total Disparitas (P-L) Jumlah % Jumlah %

1. 7-12 2.556.795 50,81 2.475.086 49,19 5.031.881 -1,62 2. 13-15 926.911 51,85 860.194 48,15 1.787.705 -3,7 3. 16-18 558.215 56,80 424.422 43,19 982.637 -13,61 Sumber: SUSEDA Jawa Barat Tahun 2005, Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat.

Hal serupa juga tergambar pada data tingkat Kabupaten. Data Kabupaten Bogor menunjukkan bahwa jumlah penduduk perempuan usia sekolah yang masih bersekolah semakin menurun seiring dengan meningkatnya kelompok umur apabila dibandingkan dengan penduduk laki-laki usia sekolah yang masih bersekolah (Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, 2005). Kesenjangan pendidikan antara perempuan dan laki-laki usia sekolah semakin jelas terlihat dari data penduduk yang putus sekolah.

Tabel 4. Jumlah Penduduk Putus Sekolah Menurut Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin Kabupaten Bogor (2005-2006)

Tingkat Pendidikan Jenis Kelamin Laki-laki % Perempuan % SD+MI 120 33,33 240 66,67 SMP+MTs 60 33,33 120 66,67 SMA+MA 90 33,33 180 66,67 Jumlah 270 33,33 540 66,67

Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor 2005

Perbandingan antara penduduk perempuan dan laki-laki yang putus sekolah di semua jenjang pendidikan menunjukkan presentase yang sama yaitu

33,33 persen laki-laki dan 66,67 persen perempuan. Hal ini berarti penduduk perempuan yang putus sekolah di semua jenjang pendidikan jumlahnya mencapai dua kali lipat dibandingkan laki-laki.

Dokumen terkait