• Tidak ada hasil yang ditemukan

ADOPSI IOVASI IHERET DI UIVERSITAS BADAR LAMPUG

Karakteristik Inovasi Inherent

Karakteristik inovasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi adopsi seseorang terhadap sebuah inovasi. Karakteristik inovasi inherent yang dilihat dalam penelitian ini mengacu pada lima karakteristik inovasi yang dikemukakan oleh Roger (2003), yaitu keuntungan relatif, kerumitan, kesesuaian, kemudahan untuk dicoba dan kemudahan untuk dilihat.

Pengukuran kondisi lima karakteristik inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL dilakukan dengan melihat persepsi dosen UBL terhadap pernyataan-pernyataan terkait dengan masing-masing karakteristik inovasi inherent tersebut. Jumlah pernyataan untuk keuntungan relatif dan kerumitan masing-masing sebanyak lima pernyataan, kesesuaian dan kemudahan untuk dicoba masing-masing sebanyak dua pernyataan dan kemudahan untuk dilihat dengan tiga pernyataan. Hasil pengukuran yang dinyatakan dengan rataan skor untuk masing-masing karakteristik inovasi inherent disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Rataan skor karakteristik inovasi inherent

Karakteristik Inovasi Inherent Rataan Skor*

Keuntungan relatif 3,27

Kerumitan 3,38

Kesesuaian 2,58

Kemudahan untuk dicoba 1,83

Kemudahan untuk dilihat 1,22

Keterangan:

* Rentang skor 1,00 – 1,75 = sangat rendah; 1,76 – 2,50 = rendah; 2,51 – 3,25 = tinggi; 3,26 – 4,00 = sangat tinggi

Keuntungan Relatif

Berdasarkan persepsi dosen UBL terhadap lima pernyataan terkait dengan keuntungan relatif inovasi inherent dalam proses pembelajaran, diketahui bahwa sebanyak 63,46 persen dosen menyatakan bahwa keuntungan relatif inovasi inherent adalah tergolong tinggi, sedangkan sebanyak 36,54 persen dosen menyatakan sangat tinggi. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa mayoritas dosen mempersepsikan bahwa inovasi inherent berpotensi untuk meningkatkan mutu proses pembelajaran mengingat tidak ada dosen yang mempersepsikan

keuntungan relatif inovasi inherent dengan kategori sangat rendah dan rendah. Hasil pengukuran rataan skor keuntungan relatif inovasi inherent di UBL menunjukkan nilai sebesar 3,27 sehingga dapat dikatakan bahwa keuntungan inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL tergolong dalam kategori sangat tinggi.

Tingkat keuntungan relatif inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL yang tergolong sangat tinggi tersebut dapat dijelaskan dengan empat indikator, yaitu peningkatan kualitas proses pekerjaan (Premkumar dan Roberts 1999 dalam Teo et al. 2007), memudahkan pekerjaan, peningkatan efektivitas pekerjaan dan pengurangan biaya operasional (Teo et al. 2007).

Pemanfaatan inovasi inheret dalam proses pembelajaran dipersepsikan dosen UBL akan meningkatkan kualitas, kemudahan dan efektivitas proses pembelajaran yang dilakukan karena pemanfaatan inherent membuka akses informasi dengan pihak lain dibandingkan dengan proses pembelajaran yang selama ini dilakukan. Pihak lain yang dimaksud adalah perguruan tinggi lain di Indonesia yang sudah terkoneksi dengan inherent. Keuntungan yang dirasakan dosen UBL terhadap pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran secara khusus terlihat apabila memanfaatkan bahan ajar online dan fasilitas video-conference inovasi inherent.

Fasilitas bahan ajar online inovasi inherent pada dasarnya berfungsi sebagai tempat dosen untuk mencari ide ataupun berbagai informasi mengenai bahan ajar yang sesuai dengan mata kuliah yang diajarkan. Ketersediaan fasilitas bahan ajar online inovasi inherent dipersepsikan dosen UBL akan mempermudah dan mempercepat pencarian ide dan pembuatan bahan ajar untuk keperluan perkuliahan sehingga berharap dapat membuat bahan ajar dengan kualitas yang baik dalam waktu yang relatif cepat. Ketersediaan fasilitas bahan ajar online inovasi inherent ini pada prinsipnya sangat menguntungkan dosen UBL dalam pembuatan bahan ajar yang selalu diperlukan dalam setiap melakukan pengajaran. Interaksi antar perguruan tinggi di Indonesia yang telah terhubung dengan inherent yang diselenggarakan melalui fasilitas video-conference inovasi inherent berpotensi membuka informasi terbaru yang selama ini mungkin tidak diketahui oleh dosen UBL sehingga mutu proses pembelajaran berpotensi untuk

ditingkatkan melalui pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent tersebut. Peningkatan kualitas proses pembelajaran sebagai dampak dari pemanfaatan video-conference inovasi inherent di antaranya adalah perbaikan dan pengayaan materi yang digunakan dalam proses pembelajaran. Selain itu, pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent tersebut akan menambah dan meningkatkan kualitas jejaring kerjasama antar dosen khususnya bagi perguruan tinggi yang telah terhubung dengan inherent.

Fasilitas video-conference inovasi inherent terlihat mampu mendorong mobilitas dari para pengguna khususnya dosen dalam mengikuti seminar, kuliah umum dan berbagai acara diskusi yang diselenggarakan perguruan tinggi yang telah terhubung dengan inherent karena dosen tidak perlu datang secara langsung ke lokasi atau kampus tempat penyelanggaraan kegiatan tersebut dilaksanakan. Fasilitas video-conference inovasi inherent membantu dosen untuk mengikuti kegiatan kuliah umum dan berbagai acara diskusi yang diselenggarakan pihak lain tersebut dengan mudah, yaitu dengan datang ke ruang video-conference inovasi inherent yang ada di UBL.

Keikutsertaan dosen UBL dalam mengikuti kegiatan seminar, kuliah umum dan diskusi yang diselenggarakan perguruan tinggi lain di Indonesia melalui fasilitas video-conference telah meningkatkan kemudahan dosen mengikuti kegiatan tersebut. Apabila tidak ada fasilitas video-conference, dosen UBL harus mengeluarkan biaya untuk perjalanan dan akomodasi serta meluangkan waktu khusus guna mengikuti kegiatan di perguruan tinggi lain tersebut. Berdasarkan hal ini, maka dapat dikatakan bahwa pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent memberikan keuntungan bagi dosen dalam penghematan biaya dan waktu apabila mengikuti seminar, kuliah umum dan diskusi yang diselenggarakan perguruan tinggi lain di Indonesia.

Kerumitan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 53,85 persen dosen UBL menyatakan bahwa tingkat kerumitan inovasi inherent dalam proses pembelajaran tergolong sangat tinggi, sebesar 40,38 persen menyatakan tinggi dan 5,77 persen menyatakan rendah. Rataan skor tingkat kerumitan inovasi inherent seperti disajikan pada Tabel 9 menunjukkan bahwa rata-rata skor nilai jawaban responden untuk tingkat kerumitan inovasi inherent di UBL adalah sebesar 3,38 sehingga tingkat kerumitan inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL adalah tergolong sangat tinggi.

Kondisi tingkat kerumitan inovasi inherent yang tergolong tinggi berdasarkan persepsi dosen UBL dalam hal ini dapat dijelaskan melalui tiga indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kerumitan inovasi inherent tersebut, yaitu kerumitan penggunaan (Grover 1993 dalam Teo et al. 2007), kerumitan pengembangan dan kerumitan untuk dipelajari (Parthasarathy & Bhattacherjee 1998 dalam Teo et al. 2007).

Inovasi inherent yang dikembangkan Ditjen Dikti sejak tahun 2006 diketahui menggunakan teknologi berbasis ICT yang memiliki perbedaan dengan teknologi pembelajaran berbasis ICT yang selama ini telah digunakan di UBL. Pemanfaatan internet dalam proses pembelajaran yang telah lama digunakan di UBL dirasakan lebih mudah digunakan dibandingkan dengan inherent mengingat penggunaan internet di UBL dapat diakses oleh dosen dengan mudah tanpa berbagai persyaratan, sedangkan akses penggunaan inherent memerlukan penggunaan IP address yang dirasakan dosen UBL sebagai suatu hal yang rumit. Selain itu, keterbatasan jumlah IP address yang dimiliki UBL cenderung mempersulit dosen UBL untuk mempelajari inovasi inherent secara lebih mendalam karena harus berbagi dan bergantian dengan dosen lain. Kerumitan lain yang dirasakan dosen UBL dalam pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran terlihat dari penggunaan software khususnya dalam pemanfaatan fasilitas video-conference inovasi inherent, contohnya software yang digunakan dalam hal ini adalah Access Grid. Kerumitan pemanfaatan software Access Grid tersebut pada dasarnya terjadi karena mayoritas dosen UBL baru mengenal software tersebut sehingga perlu belajar untuk dapat menggunakannya.

Pengembangan inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL secara sarana dan prasarana dapat dilakukan, namun dalam implementasinya terlihat rumit. Kerumitan pengembangan inovasi inherent ini dapat terjadi mengingat inherent menggunakan teknologi jaringan yang berada di luar jaringan internet dimana akses jaringan tersebut tidak hanya ditentukan oleh UBL, namun juga ditentukan oleh pihak lain di luar UBL. Universitas Lampung (Unila) sebagai simpul lokal untuk Provinsi Lampung dalam hal ini sangat menentukan dapat tidaknya UBL mengakses inovasi inherent. Jika jaringan inherent di Unila mengalami kerusakan, maka secara otomatis UBL tidak dapat terhubung ke inherent karena sistem jaringan komputer inherent yang digunakan adalah jenis seri. Berdasarkan kondisi ini, maka akses inherent di UBL akan dapat berfungsi dengan baik apabila simpul lokal (Unila) juga berfungsi sehingga pengembangan inherent di masa depan sangat tergantung dan dipengaruhi oleh pihak eksternal UBL.

Penyambungan dan pemutusan akses jaringan inherent sebagai saluran utama pemanfaatan inherent dalam hal ini sangat ditentukan oleh kebijakan Kementerian Pendidikan Nasional. Hal ini terlihat dari Surat Direktur PT. Aplikanusa Lintasarta (2010) kepada Kepala Pusat Teknologi Informasi dan

Komunikasi Pendidikan Kementerian Pendidikan Nasional mengenai

“Pemberitahuan Pemutusan Koneksi Jardiknas Zona Perguruan Tinggi.” Surat PT. Aplikanusa Lintasarta (2010) yang secara resmi telah memutus dan mengisolir koneksi inherent sejak 26 Januari 2010 tersebut membuktikan bahwa pengembangan inherent dalam proses pembelajaran di UBL merupakan proses yang sangat rumit mengingat akses inherent sangat ditentukan oleh kebijakan Kepala Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan Kementerian Pendidikan Nasional.

Pemanfaatan teknologi jaringan komputer dalam inovasi inherent merupakan faktor utama yang menjadi alasan mayoritas dosen UBL yang mengatakan bahwa tingkat kerumitan inovasi inherent tergolong sangat tinggi. Hal ini dapat dipahami mengingat mayoritas dosen UBL memiliki latar belakang di luar bidang ilmu komputer sehingga merasa sulit untuk mempelajari teknologi jaringan komputer dalam inovasi inherent.

Kesesuaian

Berdasarkan pendapat dosen UBL terhadap kesesuaian inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL diketahui bahwa sebanyak 3,84 persen dosen menyatakan bahwa tingkat kesesuaian inovasi inherent di UBL adalah tergolong sangat tinggi, sebanyak 42,31 persen dosen menyatakan tinggi dan 53,85 persen menyatakan bahwa tingkat kesesuaian inovasi inherent di UBL tergolong rendah. Nilai rata-rata jawaban dosen UBL terhadap tingkat kesesuaian inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL yang disajikan pada Tabel 9 menunjukkan nilai sebesar 2,58 sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat kesesuaian inovasi inherent dalam proses pembelajaran di UBL tergolong dalam kategori tinggi. Tingginya tingkat kesesuaian inovasi inherent yang terjadi di UBL dapat dijelaskan melalui dua indikator, yaitu nilai dan kepercayaan organisasi (Premkumar & Ramamurthy 1995 dalam Teo et al. 2007) dan infrastruktur teknologi informasi yang telah tersedia (Teo & Wong 1997 dalam Teo et al. 2007).

Pemanfaatan ICT yang berkembang pada berbagai bidang ternyata juga menyentuh pada bidang kegiatan pendidikan tinggi termasuk di UBL. Pengembangan Sistem Informasi Manajemen Perguruan Tinggi (SimPerTi) yang dilaksanakan UBL pada tahun 2000 merupakan terobosan awal yang dilakukan UBL guna memanfaatkan ICT dalam pelaksanaan proses pendidikan tinggi khususnya di UBL. Pengembangan SimPerTi di UBL meliputi berbagai proses pendidikan tinggi baik untuk kepentingan administrasi maupun untuk kepentingan proses pembelajaran. Kondisi ini membuktikan bahwa inherent sebagai inovasi pembelajaran berbasis ICT memiliki kesesuaian dengan nilai dan kepercayaan yang dikembangkan UBL terkait dengan pemanfaatan ICT dalam kegiatan pendidikan tinggi.

Tingginya tingkat kesesuaian inovasi inherent dengan nilai dan kepercayaan yang dikembangkan oleh UBL didukung dengan diperolehnya hibah pengembangan management information system (MIS) oleh UBL dari Technological and Proffessional Development Sector Project (TPSDP) pada tahun 2005 guna mempercepat pengembangan infrastruktur (hardware dan software) ICT di UBL. Salah satu pengembangan teknologi berbasis ICT yang

dihasilkan dari diperolehnya hibah TPSDP tersebut adalah terbentuknya pengembangan perangkat lunak untuk perpustakaan, yaitu digital library (digilib) yang memiliki kesesuaian dengan salah satu aplikasi inovasi inherent dalam hal ini adalah fasilitas e-library.

Teo dan Wong (1997) dalam Teo et al. (2007) mengatakan bahwa indikator penting untuk melihat tingkat kesesuaian inovasi berbasis ICT dalam suatu organisasi adalah ketersediaan infrastruktur ICT. Inovasi inherent yang dikembangkan Ditjen Dikti diketahui memerlukan infrastruktur ICT yang khusus baik hardware maupun software-nya sehingga pengembangan inovasi inherent tersebut dilakukan Ditjen Dikti melalui penyelenggaraan program hibah kompetisi teknologi informasi dan komunikasi guna mengembangkan infrastruktur ICT di perguruan tinggi di Indonesia sejak tahun 2006.

Pelaksanaan program hibah kompetisi teknologi informasi dan komunikasi komponen K3 yang diselenggarakan Ditjen Dikti pada tahun 2007 secara langsung telah membuat UBL memiliki infrastruktur ICT yang diperlukan dalam pengembangan inovasi inherent. Ketersediaan infrastruktur ICT yang diperlukan dalam pengembangan inovasi inherent di UBL dalam hal ini menjadi salah satu pendorong tingginya tingkat kesesuaian inovasi inherent di UBL.

Kemudahan untuk Dicoba

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 50 persen dosen UBL mempersepsikan bahwa tingkat kemudahan untuk dicoba inovasi inherent adalah rendah, sedangkan 50 persen lainnya mempersepsikan tingkat kemudahan untuk dicoba dari inovasi inherent dalam proses pembelajaran adalah sangat rendah. Rataan skor jawaban dosen terhadap pernyataan terkait tingkat kemudahan inovasi inherent untuk dicoba dalam proses pembelajaran seperti tersaji pada Tabel 9 menunjukkan nilai sebesar 1,83. Berdasarkan rata-rata skor jawaban ini maka dapat dikatakan bahwa tingkat kemudahan inovasi inherent untuk dicoba dalam proses pembelajaran di UBL tergolong rendah.

Rendahnya tingkat kemudahan inovasi inherent untuk dicoba dalam proses pembelajaran di UBL menurut pendapat dosen terjadi karena inovasi inherent tersebut hanya dapat dicoba dengan peralatan ICT yang khusus untuk inherent. Hal ini dapat terjadi karena IP address yang dimiliki UBL untuk koneksi ke

inherent jumlahnya masih sangat terbatas. Berbagai peralatan ICT yang telah tersedia di UBL, baik di ruang perpustakaan, laboratorium komputer dan ruang kelas hingga saat ini belum mampu digunakan untuk mencoba inovasi inherent. Dosen UBL yang ingin mencoba inovasi inherent tidak dapat secara mudah mencobanya pada peralatan ICT yang mudah dijangkau oleh dosen sehingga harus mencobanya pada ruang khusus yang disediakan oleh UBL untuk pemanfaatan inovasi inherent. Hal lain yang mendorong rendahnya tingkat kemudahan inovasi inherent untuk dicoba adalah dosen tidak dapat mengakses inherent melalui note book yang dimilikinya. Berdasarkan hasil ini dapat dikatakan bahwa tingkat kemudahan inovasi inherent untuk dicoba dalam proses pembelajaran di UBL harus ditingkatkan khususnya melalui perbaikan teknologi inovasi inherent sehingga inovasi ini mudah diakses pada berbagai peralatan ICT yang tersedia dan mudah dijangkau yang ada di kampus dan secara khususnya pada note book yang umum dimiliki dosen secara pribadi.

Inovasi inherent di UBL hingga saat ini masih belum bisa dicoba pemanfaatannya pada setiap waktu sehingga dosen harus menyediakan waktu khusus untuk dapat mencobanya sebab waktu untuk mencoba inovasi inherent sangat tergantung pada perguruan tinggi lain yang terhubung ke inherent. Kondisi ini dapat dipahami mengingat pemanfaatan inovasi inherent merupakan teknologi berbasis ICT yang salah satu fungsinya adalah untuk menjalin komunikasi antar perguruan tinggi melalui jaringan komputer sehingga waktu mencobanya sangat dipengaruhi oleh pihak di luar UBL. Hal ini merupakan salah satu penyebab yang mendorong rendahnya tingkat kemudahan inovasi inherent untuk dicoba dalam proses pembelajaran di UBL. Berdasarkan hasil ini dapat dikatakan bahwa fleksibilitas waktu untuk dicoba dari inovasi inherent merupakan hal yang harus diperhatikan guna meningkatkan tingkat kemudahan inovasi inherent untuk dicoba dalam proses pembelajaran.

Kemudahan untuk Dilihat

Berdasarkan pendapat dosen UBL terhadap kemudahan inovasi inherent untuk dilihat dalam proses pembelajaran, diketahui terdapat sebanyak 13,46 persen dosen menyatakan bahwa tingkat kemudahan inovasi untuk dilihat di UBL tergolong rendah dan sebanyak 86,54 persen menyatakan tergolong sangat rendah.

Rataan skor nilai jawaban responden untuk tingkat kemudahan inovasi inherent untuk dilihat dalam proses pembelajaran di UBL adalah sebesar 1,22 (Tabel 9) sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat kemudahan inovasi inherent untuk dilihat dalam proses pembelajaran di UBL tergolong sangat rendah.

Infrastruktur inovasi inherent di UBL ditempatkan di salah satu ruang tertentu sehingga pemanfaatannya hanya dapat dilakukan di ruang tersebut. Dosen UBL yang ingin melihat pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran dengan demikian harus datang ke ruang tersebut sebab akses inovasi inherent belum dapat dilakukan dari tempat lain. Hal ini terjadi karena jumlah IP address yang dimiliki UBL untuk koneksi ke inherent masih sangat terbatas. Mengingat dosen memiliki berbagai kesibukan, maka dosen UBL menjadi sangat sulit untuk melihat hasil pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran karena tempat untuk dapat mengakses inovasi inherent masih sangat terbatas dan tidak dapat dilakukan di lokasi lain tempat dosen melakukan aktivitas.

Fleksibilitas tempat untuk melihat hasil inovasi inherent ternyata menjadi penyebab utama mengapa mayoritas dosen UBL menyatakan bahwa tingkat kemudahan inovasi inherent untuk dilihat berada dalam kategori sangat rendah. Berbeda dengan pemanfaatan internet dalam proses pembelajaran yang dapat diakses dari berbagai tempat, baik di kampus maupun di luar kampus. Akses internet di kampus UBL diketahui dapat diakses dari seluruh ruang baik menggunakan komputer milik UBL maupun dengan menggunakan note book yang dimiliki dosen melalui fasilitas hot spot. Kondisi ini menyebabkan mayoritas dosen UBL masih menganggap internet lebih mudah diakses dibandingkan dengan inovasi inherent sehingga sangat wajar apabila tingkat kemudahan inovasi inherent untuk dilihat hasilnya di UBL tergolong rendah.

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa karakteristik inovasi inherent yaitu kemudahan untuk dilihat berpotensi untuk menghambat pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran khususnya di UBL sehingga teknologi inovasi inherent perlu disempurnakan khususnya dalam hal kemudahan untuk diakses dari berbagai tempat. Pengembangan inovasi inherent dalam proses pembelajaran memerlukan peningkatan fleksibilitas tempat akses inovasi inherent sehingga dosen dapat mengakses dan mudah melihat hasil

pemanfaatan inovasi inherent dari berbagai tempat dimana dosen melakukan aktivitas.

Lima karakteristik inovasi inherent seperti disajikan pada Tabel 9 mengindikasikan bahwa persepsi dosen UBL terhadap inovasi inherent dalam proses pembelajaran menunjukkan hasil yang kontradiksi berdasarkan kecenderungan arah kondisi masing-masing karakteristik inovasi inherent tersebut. Karakteristik inovasi inherent yang cenderung berada dalam tingkat tinggi hingga sangat tinggi adalah keuntungan relatif, kerumitan dan kesesuaian. Karakteristik kemudahan untuk dicoba dan kemudahan untuk dilihat cenderung berada pada tingkat rendah hingga sangat rendah.

Rogers (2003) mengatakan bahwa sebuah inovasi yang dipersepsikan seseorang memiliki kelebihan dalam hal keuntungan relatif, kesesuaian, kemudahan untuk dicoba, kemudahan untuk dilihat, serta lebih sederhana (less complexity) akan diadopsi lebih cepat dibandingkan dengan inovasi lainnya. Hasil penelitian terkait persepsi dosen UBL terhadap inovasi inherent dalam proses pembelajaran seperti disajikan pada Tabel 9 apabila dikonsultasikan dengan apa yang dikatakan Rogers tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tidak semua karakteristik inovasi inherent sejalan dengan teori tersebut. Karakteristik inovasi inherent yang memiliki kecenderungan searah dengan apa yang dikatakan Rogers adalah keuntungan relatif dan kesesuaian inovasi, sedangkan tiga karakteristik inovasi inherent lainnya (kerumitan, kemudahan untuk dicoba dan kemudahan untuk dilihat) menunjukkan kondisi yang bertentangan dengan apa yang dikatakan Rogers tersebut.

Kontradiksi kondisi tiga karakteristik inovasi inherent dengan apa yang dikatakan Rogers (2003) terkait hubungan antara persepsi seseorang terhadap inovasi dan kecepatan inovasi untuk diadopsi, secara umum dapat dikatakan berpotensi untuk menghambat pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran khususnya di UBL. Berkaitan dengan hal ini, maka langkah perbaikan tiga karakteristik inovasi inherent tersebut perlu dilakukan supaya inovasi inherent lebih mudah dan cepat diadopasi oleh dosen UBL dalam proses pembelajaran. Kerumitan inovasi inherent yang tergolong sangat rumit perlu diperbaiki sehingga karakteristik inovasi inherent tersebut menjadi lebih mudah

digunakan dosen dalam proses pembelajaran. Inovasi inherent harus dikembangkan menjadi sebuah inovasi yang user friendly sehingga mudah digunakan oleh dosen. Kemudahan inovasi inherent untuk dicoba dan dilihat hasilnya yang tergolong rendah dan sangat rendah dalam hal ini perlu diperbaiki sehingga inovasi inherent menjadi lebih mudah untuk dicoba dan dilihat hasilnya oleh dosen, yaitu melalui perbaikan inovasi inherent sehingga menjadi lebih fleksibel untuk peralatan ICT yang digunakan maupun tempat yang dapat digunakan untuk mengakses inovasi inherent tersebut.

Adopsi Inovasi Inherent

Proses pembelajaran adalah sebuah upaya bersama antara dosen dan mahasiswa untuk berbagi dan mengolah informasi dengan tujuan agar pengetahuan yang terbentuk ter-“internalisasi” dalam diri peserta pembelajaran dan menjadi landasan belajar secara mandiri dan berkelanjutan (Prayudi 2007). Berdasarkan pengertian ini dapat dikatakan bahwa berbagai fasilitas dan aplikasi inovasi inherent merupakan suatu media yang sangat baik yang dapat digunakan oleh dosen dan mahasiswa untuk berbagi dan mengolah informasi guna mencapai proses pembelajaran yang bermutu.

Inovasi inherent dapat berfungsi sebagai media bagi dosen dan mahasiswa dalam berbagi dan mengolah informasi dengan baik apabila berbagai aplikasi yang tersedia telah dimanfaatkan oleh dosen maupun mahasiswa. Hasil penelitian Marwan (2008) dan Sooknanan et al. (2002) mengatakan bahwa dosen perguruan tinggi merupakan aktor utama yang sangat berpengaruh terhadap pemanfaatan ICT dalam proses pendidikan. Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa adopsi inovasi inherent oleh dosen merupakan hal penting bagi berfungsinya inherent guna mendukung peningkatan mutu proses pembelajaran di perguruan tinggi termasuk UBL. Pemanfaatan inovasi inherent dalam proses pembelajaran dilakukan melalui berbagai bentuk, diantaranya adalah pemanfaatan fasilitas video-conference untuk pelaksanaan distance learning, bahan ajar dan hasil penelitian online serta e-library. Namun demikian tidak semua pemanfaatan inovasi inherent tersebut dilihat dalam penelitian ini. Bentuk pemanfaatan inovasi inherent yang dilihat tingkat adopsinya dalam penelitian ini adalah pemanfaatan

Dokumen terkait