• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Adversity Quotient (AQ)

Dalam kamus bahasa Inggris adversity quotient terbagi atas dua kata, yaitu adversity dan quotient. Jika diartikan tiap kata, adversity berasal dari kata adverse yang artinya kondisi tidak menyenangkan atau kemalangan. Dapat diartikan bahwa adversity adalah kesulitan atau ketidakberuntungan atau kemalangan. Quotient dalam kamus bahasa inggris adalah kualitas/karakteristik dalam suatu pengukuran kemampuan (Hasanah, 2010).

Adversity quotient pertama kali dikemukan oleh bapak Paul G Stoltz, PhD. Menurut Stoltz (2002) adversity quotient (AQ) dapat memberi tahu seberapa jauh kita mampu bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan untuk mengatasi masalah yang sedang kita hadapi tersebut, selain itu menurut Scoltz AQ juga dapat meramalkan siapa yang mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang akan hancur, siapa yang dapat melampaui harapan-harapan atas kinerja dan potensi mereka serta siapa yang akan gagal dan AQ juga dapat meramalkan siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan bertahan.

Adversity Quotient mempunyai tiga bentuk. Pertama, AQ adalah suatu kerangka konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua, AQ adalah suatu ukuran untuk mengetahui

respon anda terhadap kesulitan. Terakhir, AQ adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon kita terhadap kesulitan yang akan berakibat memperbaiki efektivitas pribadi dan profesional kita secara keseluruhan.

2. Dimensi Adversity Quotient

Stoltz (2000) mengungkapkan bahwa AQ memiliki empat dimensi yang disebut CO2RE yaitu:

1. C (Control/kontrol), berkaitan dengan bagaimana orang tersebut dapat mengendalikan dirinya dengan masalah yang ia hadapi.

Semakin tinggi kendali dari orang tersebut maka dia akan bertahan dan mampu mengendalikan masalahnya, sebaliknya semakin rendah kendali yang dimiliki maka orang tersebut tidak berdaya mengendalikan masalah yang ada dan akan mudah menyerah

2. O2 (Origin dan Ownership), Orang dengan O2 yang rendah cenderung selalu menyalahkan dirinya sendiri, memberi label negatif atas ketidakmampuan dirinya menghadapi kesulitan.

Akibatnya orang tersebut menjadi lumpuh oleh rasa bersalah berlebihan tapi dia tidak dapat melakukan apapun. Sedangkan orang dengan O2 tinggi melakukan perbaikan terus menerus, tetap gembira dan penyesalan sewajarnya (origin) dan akan lebih fokus pada tindakan untuk meningkatkan tanggung jawab (ownership).

3. R (Reach)berarti suatu jangkauan, sejauh mana kesulitan itu akan menjangkau sisi lain dari kehidupan orang tersebut. Semakin tinggi

jangkauan seseorang, semakin besar kemungkinannya dalam merespon kesulitan dan lebih berfokus pada masalah yang ia hadapi. Orang dengan AQ rendah akan memposisikan dirinya sebagai orang yang mengalami ketidakmampuan membatasi jangkauan masalah atas peristiwa yang sedang dihadapi.

4. E (Endurance/kemampuan) Orang yang memiliki endurance tinggi memiliki sikap optimis terhadap masalah yang dihadapi, selalu merespon kesulitan dan penyebabnya sebagai sesuatu yang bersifat sementara, cepat berlalu dan kecil kemungkinan terjadi lagi, sebaliknya orang yang memiliki tingkat endurance rendah cenderung bersikap pesimis dan menganggap masalah yang ada bersifat abadi dan sulit untuk diperbaiki

3. Adversity Respon Profile (ARP)

Salah satu instrumen yang digunakan untuk mengukur AQ adalah Adversity Response Profile (ARP) yang dikembangkan oleh Paul Stoltz.

Berbeda dengan ukuran, tes, atau instrumen lain yang barangkali pernah kita kerjakan dimasa lalu, ARP dapat memberikan suatu gambaran singkat yang baru dan sangat penting mengenai apa yang mendorong dan apa yang mungkin menghambat kita untuk mengembangakan seluruh potensi yang ada didalam diri kita.

Dari tes ARP ini kita dapat menafsirkan dan mempelajari tentang AQ dan pola-pola kebiasaan yang mendasari cara kita melihat dan merespon peristiwa-peristiwa yang terjadi didalam hidup kita. Adversity Response

Profile (ARP) telah dicoba oleh orang dari seluruh dunia dengan berbagai macam usia, ras, dan kebudayaan sesuai dengan yang disebutkan sebelumnya bahwa ARP bebas budaya. Selain itu, analisis formalnya juga mengungkapkan bahwa instrumennya merupakan tolak ukur yang valid untuk mengukur bagaimana orang memrespon kesulitan dan merupakan peramal kesuksesan yang ampuh.

Penelitian-penelitian diberbagai perusahaan, sekolah, maupun dibidang olah raga memperlihatkan bahwa ARP merupakan peramal kinerja yang efektif dan berperan dalam serangkaian kesuksesan lainnya. Stoltz (2000) mengatakan bahwa ARP menurut klien-kliennya memiliki hasil yang sangat hebat. Dengan kata lain, hasilnya masuk akal, tanpa memperdulikan latar belakang seseorang. Mereka mengganggap bahwa tes ARP sebagai sumber pemahaman yang penting mengenai kehiduapan mereka dan kehidupan orang-orang disekitar mereka.

Melalui tes ulang dan tes lanjutan, Adversity Response Profile juga terbukti sangat andal. Kaum profesional, mahasiswa, eksekutif, dan atlet-atlet yang mengikuti tesnya lebih dari satu kali selama beberapa bulan hasilnya tetap menunjukkan kekonsistenan. ARP memiliki 30 pernyataan yang setiap pernyataan terdiri dari 2 aitem.

B. Differential Item Funcioning (DIF)

Analisis aitem merupakan langkah awal yang krusial dalam pengembangan alat tes, yang meliputi berbagai jenis prosedur evaluasi. Ketika dilakukan pengembangan, perlu dilakukan pengamatan berkaitan dengan

karakteristik yang diukur. Untuk mengetahui kualitas alat tes, dapat dilihat karakteristik psikometrinya, yaitu validitas dan reabilitas. Dua hal ini saling beriringan, dimana tes tidak akan valid jika tidak teruji bahwa tes tersebut reliabel, dan hal ini berlaku sebaliknya. Meski demikian, para ilmuan psikologi menyadari bahwa validitas lebih penting dibandingkan reliabilitas. Hal ini karena, reliabilitas berfokus pada akurasi hasil tes, sedangkan validitas berfokus pada nature dari konstruk yang diukur (Putri & Nazriani,2013;

Coaley,2010).

Istilah bias pada suatu tes dikenal sebagai Differential Item Functioning (DIF). Berbagai teknik atau metode pendeteksian DIF telah banyak ditemukan dan digunakan. Hal ini bertujuan, untuk mengindikasikan suatu tes adil bagi semua golongan atau tidak.

Ahli pengukuran sering menyelidiki Differential Item Functioning (DIF) untuk demografi kelompok untuk memastikan bahwa tes yang adil. Studi DIF juga dapat dilakukan sebagai cara untuk memeriksa stabilitas sifat item di seluruh subkelompok penting (De Mars & Lau, 2011). Pada teori skor, baik klasik maupun modern, pendeteksian item bias dilakukan dengan membandingkan antara hasil jawaban pada item yang mudah dengan hasil jawaban pada item yang sukar.

Pada sudut pandang psikometri, perbedaan konsistensi intrapersonal maupun interpersonal merupakan hal yang krusial terhadap karakteristik psikometrisnya, yaitu validitas dan reliabilitas (Anastasi & Urbina, 1997).

Validitas adalah sejauh mana akurasi suatu tes atau skala dalam menjalankan

fungsi pengukurannya. Untuk mendapatkan validitas dan reliabilitas yang baik, maka eror harus diminimalisir.

Reliabilitas dipengaruhi secara langsung pada random error (kesalahan yang berasal dari individu peserta tes), sedangkan kesalahan sistematik (systematic error) merupakan kesalahan yg berasal atas keanggotaan suatu kelompok (Osterlind, 2010), sehingga berkaitan dengan bias yang terjadi pada tes, yang juga dapat merusak validitasnya (Coaley, 2010; Osterlind, 2010).

DIF merupakan salah satu konsep dalam pengukuran bias (Sheppard, dkk., 2006) yang termasuk kesalahan sistematik (systematic error) dan dapat berpengaruh pada validitas. Meskipun DIF merupakan kesalahan sistematik yang berpengaruh terhadap validitas, namun didalam kelompok juga terdiri dari individu yang dapat memberikan kontribusi kesalahan, sehingga akan dapat berpengaruh pada reliabilitas dimana individu dalam kelompok merespons pada aitem yang terjangkit DIF tersebut.

1. Defenisi Differential Item Functioning (DIF)

Messick (1995) mengemukan bahwa konstrak yang tidak relevan merupakan sumber utama biasnya interpretasi skor tes. Varians konstrak yang tidak relevan dapat memicu aitem berfungsi tidak sama antar kelompok sehingga aitem mengalami differential item functioning (DIF).

Ada berbagai defenisi atau pengertian DIF dalam teori pengukuran dan penilaian. Setiap ahli memiliki pengertian yang berbeda-beda, menurut Zumbo (1999) ketika peserta tes dari dua kelompok yang mempunyai kemampuan yang sama, tetapi kelompok yang menjawab benar lebih sedikit dibandingkan

dengan kelompok lainnya maka hal inilah yang disebut DIF. Sedangkan menurut Hambleton (2001) suatu tes dikatakan DIF apabila adanya perbedaan skor perolehan yang disebabkan oleh adanya unsur yang menguntungkan atau merugikan peserta. Sedangkan Kamata dan Vaughn (2004) mengemukan bahwa DIF terjadi apabila suatu kelompok yang berbeda dengan kemampuan/laten trait yang sama mendapat skor harapan yang berbeda pada aitem yang sama.

2. Jenis Differential Item Functioning (DIF)

Analisis pengadministrasian tes ARP baik secara manual maupun online dapat dilakukan menggunakan DIF untuk mendeteksi adanya bias respon yang disebabkan perbedaan karakteristik antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Suatu tes dikatakan terdeteksi DIF apabila peserta tes dengan karakteristik yang sama, namun dari kelompok yang berbeda, memiliki peluang yang berbeda dalam menjawab atau merespon item dalam suatu tes yang diberikan.

DIF dibedakan menjadi dua jenis yaitu uniform DIF dan non uniform DIF. Uniform DIF terjadi ketika kedua kelompok peserta tes memiliki peluang yang sama (uniform) untuk menjawab atau merespon item pada setiap tingkat kemampuan atau trait. Contoh uniform DIF pada item tertentu, laki-laki dan perempuan memiliki kemampuan sebesar X cenderung memberi persetujuan yang berbeda, dimana laki-laki cenderung memberikan persetujuan yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Begitu juga laki-laki dan perempuan yang memiliki kemampuuan sebesar Y cenderung memberikan persetujun yang

berbeda, dimana laki-laki tetap cenderung memberikan persetujuan yang lebih tinggi dibandingkan perempuan.

Sementara non uniform didalam DIF terjadi ketika kedua kelompok peserta tes tidak memiliki peluang yang sama (non uniform) untuk menjawab atau merespon item pada setiap tingkat kemampuan atau trait. Contoh non uniform didalam DIF seperti, pada item tertentu dimana pada kelompok laki-laki dan perempuan yang memiliki kemampuan sebesar X, cenderung memberikan persetujuan yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Namun pada kelompok laki-laki dan perempuan yang memiliki kemampuan sebesar Y, kelompok laki-laki cenderung memberikan persetujuan lebih rendah dibandingkan perempuan (Embereston dan Riese, 2000).

3. Metode Analisis DIF

Sumintono dan Widhiarso (2013) mengemukakan ada berbagai metode yang digunakan untuk mengidentifikasi DIF. Salah satu metode berkaitan dengan Item Response Theory (IRT). IRT merupakan kerangka umum dari fungsi matematika yang khusus menjelaskan interaksi antara orang (person) dan butir soal/aitem (item test). Tidak seperti halnya CTT yang berfokus pada hasil skor yang didapat, IRT tidak bergantung pada sampel butir soal tertentu atau orang yang dipilih dalam suatu ujian (biasa disebu item free dan person free). Pola ini menyebabkan pengukuran yang dilakukan lebih tepat dan butir soal pun dilakukan kalibrasi. Pemodelan Rasch (Rasch Model) yang diperkenakan oleh Georg Rasch pada 1960-an yang merupakan salah satu model IRT yang paling populer.

Pemodelan rasch merupakan hasil pengujian yang yang dilakukan sendiri oleh Dr. Georg Rasch dimana, Dr. Rasch memberikan dua buah tes pada siswa SD kelas 4, 5, dan 6. Dia mendapati bahwa bahwa siswa kelas 6 lebih sedikit membuat kesalahan jawaban dibandingkan kelas 4 dan 5 pada soal yang sama. Kemudian, dia menggambarkan grafik untuk menggambarkan hasil dari kedua tes tersebut, dan mendapati bahwa galat (error) dari suatu tes perhubungan dengan galat pada tes yang lain, perbandingannya sama pada ketika kelas yang diuji tersebut. Hal ini berarti derajat kesulitan antara kedua tes sudah didapatkan. Jika hal ini dibandingkan, didapati bahwa peluang untuk menjawab soal dengan benar sama ketika kemampuan siswa dibandingkan dengan tingkat kesulitan soal. Dengan kata lain, siswa mempunyai peluang kesempatan 50% menjawab soal dengan benar, ketika didapati abilitas siswa sama dengan tingkat kesulitan soal.

Ide sederhana dan jitu dari pengamatan hasil ujian serta grafik yang dibuatnya tersebut mendorong Dr. Rasch membuat satu pernyataan populer, bahwa “kesempatan untuk menyelesaikan satu soal bergantung pada rasio antara abilitas seseorang dan tingkat kesulitan soal”. Setelah itu, Pemodelan Rasch terus dikembangkan menjadi berbagai cabang hingga saat ini. Namun, prinsip dasarnya adalah sama, yaitu model probabilistik yang didefenisikan sebagai “a person having a greater ability than another person should have the greater probability of solving any item of the type in questio, and similarly, one item being more difficult than another means that for any person the probability of solving the second item is the greater one” (Rasch,1960 dalam Bond and Fox, 2007). Jika diartikan secara sederhana adalah sebagai berikut

individu yang memiliki tingkat abilitas yang lebih besar dibandingkan individu lainnya seharusnya memiliki peluang yang lebih besar untuk menjawab soal dengan benar. Dengan prinsip yang sama, butir yang lebih sulit menyebabkan peluang individu untuk mampu menjawabnya menjadi kecil.”

Pemodelan Rasch juga dapat dilakukan dengan melalui kalibrasi instrumen. Dengan kata lain, data hasil pengukuran yang didapat melalui penerapan sistem pengukuran standart yang digunakan dalam ilmu eksakta (mengukur panjang dengan mistar dan sentimeter, suhu dengan termometer, atau berat dengan timbangan kilogram), juga bisa dilakuakan seperti halnya dalam penelitian ilmu sosial (pendidikan,psikologi,pemasaran, komunikasi, sosiologi, ilmu politik,dll.)

4. Sumber Differential Item Functioning (DIF)

DIF dapat dideteksi dengan berbagai teknik dan pendekatan guna menentukan apakah suatu tes sesuai atau tidak dengan ketentuan Psikometrik yang ada, yang berlaku untuk semua orang dan semua populasi. Menurut Hortensius (2012) mengemukakan bahwa sumbes terjadinya DIF berhubungan dengan suatu keanggotaan tertentu seperti, perbedaan antara kelompok, kelas sosial dan ekonomi, daerah tempat tinggal, ras, jenis kelamin, wilayah, budaya dan etnis. Selain itu menurut Sumianto & Widhiarso (2013) mengemukakan bahwa bias individu disebabkan oleh performa individu yang berbeda pada keberfungsian butir yang berbeda, misalnya peneliti memiliki dua tes yang sama, tetapi diadminstrasikan dengan cara yang berbeda (paper-pencil versus komputer. Hal ini sejalan dengan penelitian Aslam (2011) tes yang

menggunakan instruksi terstandarisasi maupun yang tidak terstandarisasi mempengaruhi hasil tes yang dilakukan dengan kata lain penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa pengdministrasian yang sama (secara manual), tetapi dilakukan dengan instruksi yang berbeda (tidak terstandart) dapat mempenaruhi hasil tes, apalagi pengadministrasiannya secara keseluruhan jelas berbeda seperti halnya pada administrasi manual maupun online.

Untuk melihat perbandingan dua kelompok baik secara manual maupun online digunakanlah analisis DIF. Sesuai dengan konsep DIF yaitu membandingkan dua kelompok yang berbeda dan melihat keberfungsian aitem apakah sama atau tidak jika diberikan kepada dua kelompok yang berbeda.

Selain itu suatu aitem dikatakan DIF apabila dua kelompok yang memiliki kemampuan yang sama memperoleh hasil yang berbeda pada suatu tes. Hal ini sejalan dengan pernyataan Hulin (1983) Secara konseptual, DIF dikatakan muncul pada sebuah tes, jika peserta yang mempunyai kemampuan yang sama pada konstruk yang diukur oleh tes, tetapi dari kelompok yang berbeda, mempunyai peluang yang berbeda dalam menjawab tes terebut.

Secara statistik DIF dapat dinyatakan dalam bentuk probabilitas.

Artinya, orang yang mempunyai kemampuan yang sama tetapi tidak memiliki peluang yang sama untuk memperoleh jawaban yang benar. Kemudian Angoff, lebih lanjut menjelaskan ”An is Biassed if equal able (or Proficient) individuals, from difference group, do not have equal probabilities of answering the item cooectly”.

Menurut Sumintono & Widhiarso (2013) DIF dapat terjadi ketika sebuah butir (aitem) lebih memihak pada salah satu individu dengan

karakteristik tertentu. Di pihak lain, individu dengan karakteristik oposisinya justru dirugikan. Contohnya aitem sebuah tes anak melibatkan gambar berupa salju untuk dikenali kejanggalannya. Bagi anak-anak yang pernah berinteraksi dengan salju, soal ini cukup mudah dipahami, sebaliknya bagi anak-anak yang tidak pernah berinteraksi dengan salju, soal ini sulit untuk dipahami.

Beberapa pernyataan diatas menunjukkan bahwa Pemodelan Rasch didalam DIF diperlukan untuk mengetahui apakah aitem-aitem yang diberikan mempunyai bias dalam kategori responden tertentu atau tidak.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan diatas peneliti menggunakan pemodelan Rasch untuk mendeteksi adanya aitem/butir yang terjangkit DIF.

C. Administrasi Tes

1. Pengertian Administrasi Tes

Pengertian administrasi tes dapat dibedakan menjadi dua pengertian yaitu:

a. Administrasi tes dalam arti sempit

Menurut Soewarno Handayaningrat “Administrasi secara sempit berasal dari kata Administratie (bahasa Belanda) yaitu meliputi kegiatan catat-mencatat, surat-menyurat, pembukuan ringan, keti-mengetik, agenda dan sebagainya yang bersifat teknis ketatausahaan.

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan administrasi dalam arti sempit merupakan kegiatan ketatausahaan yang meliputi kegiatan catat-mencatat, surat-menyurat, pembukuan dan pengarsipan surat serta

hal-hal lainnya yang dimaksudkan untuk menyediakan informasi serta mempermudah memperoleh informasikembali jika dibutuhkan.

b. Administrasi dalam arti luas.

Menurut The Liang Gie mengatakan“Administrasi secara luas adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam suatu kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Administrasi secara luas dapat disimpulkan pada dasarnya semua mengandung unsur pokok yang sama yaitu adanya kegiatan tertentu, adanya manusia yang melakukan kerjasama serta mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.

Pendapat lain mengenai administrasi dikemukan oleh Sondang (2000) ia mengemukakan“Administrasi adalah keseluruhan proses kerjaasama antara 2 orang atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.

Berdasarkan uraian dan definisi tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa administrasi adalah seluruh kegiatan yang dilakukan melalui kerjasama dalam suatu organisasi berdasarkan rencana yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan.

Berdasarkan uraian definisi administrasi, maka dapat disimpulkan bahwa Pengadministrasian tes adalah proses kegiatan pelaksanaan tes yang dimulai dari proses perencanaan, penyusunan naskah tes sampai dengan pelaksanaan tes (mengerjakan tes ).

2. Hal-Hal yang Berkaitan dengan Administrasi Tes

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika akan menyelenggarakan suatu tes (Anastasi & Urbina, 2007), yaitu:

a. Persiapan tester sebelum dilakukan tes

Prosedur tes yang baik adalah persiapan sebelumnya yang berarti didalam pelaksanaan tes tidak boleh terjadi hal yang darurat, yang tidak dipersiapkan sebelumnya. Harus dilakukan berbagai cara untuk mencegah hal-hal yang darurat, hanya karena dengan cara ini keseragaman tes dapat dijamin.

Menghafal instruksi tes secara verbal juga merupakan hal penting untuk pelaksanaan tes perorangan maupun teskelompok, dimana instruksi dibacakan kepada peserta tes, , selain itu digunakan pemahaman (keakraban) terhadap pernyataan-pernyataan yang harus dibaca guna mencegah salah baca dan keragu-raguan dan memungkinkan cara yang lebih alamiah dan informal selama penyelenggaraan tes.

Persiapan materi tes adalah langkah awal penting lainnya, dimana pada saat akan melaksanakan tes bahan-bahan yang berhubungan dengan tes harus dipersiapkan. Hal ini berguna untuk memperlancar kegiatan tes yang akan dilakukan, dimana, bahan tes seharusnya ditempatkan di meja dekat dengan tester sehingga mudah dijangkau oleh tester tetapi tidak menggangu perhatian peserta tes. Dalam tes kelompok, semua blanko tes, lembar jawaban, pensil yang digunakan,

atau bahan-bahan lain yang dibutuhkan seharusnya diuji, dihitung, diperiksa dan diatur terlebih dahulu sebelum hari tes.

Untuk tes individual, pelatihan administrasi tes adalah hal yang sangat penting. Pelatihan yang dilakukan haruslah meliputi demonstrasi dan pelatihan pemberian instruksi dan dilakukan lebih dari satu tahun.

Untuk tes yang sifatnya kelompok, perlu diadakan briefing terlebih dahulu antara tester dan penyelenggara tes, sehingga masing-masing pihak mengetahui dengan baik tugas dan fungsi yang akan dilakukan.

b. Kondisi Tes

Prosedur tes yang terstandarisasi berlaku tak hanya pada instruksi-instruksi verbal, penentuan waktu, bahan-bahan, dan aspek-aspek tes lainnya, tetapi juga pada lingkungan tes. Perhatian harus diberikan pada pemilihan ruang tes yang sesuai. Ruangan harus bebas dari suara dan gangguan yang tidak perlu, serta seharusnya memiliki pencahayaan, ventilasi, tempat duduk dan ruangan yang memadai bagi orang yang mengikuti tes. Langkah-langkah khusus juga harus diambil untuk mencegah interupsi selama tes dilaksanakan. Menempelkan tanda dipintu bahwa tes sedang berlangsung adalah cara yang efektif.

Sedangkan, untuk tes yang kelompoknya lebih besar mengunci pintu atau menempatkan asisten diluar setiap pintu mungkin diperlukan untuk mencegah masuknya orang-orang yang datang terlambat.

Penting untuk menyadari sejauh mana kondisi tes bisa mempengaruhi skor tes. Bahkan aspek-aspek situasi tes yang tampaknya tidak penting bisa amat mempengaruhi kinerja orang yang dites.

Misalnya, sekelompok siswa yang mengikuti tes diberikan sebagian kelompok kursi dan meja dan sebagian lagi diberikan kursi tanpa meja, hasilnya siswa yang mengikuti tes dengan kursi dan meja memperoleh nilai yang tinggi dibandingkan dengan siswa yang mengikuti tes tanpa meja (T.L. Kelly, 1943; Trakler dan Hilkert, 1942; dalam Anastasi &

Urbina,1997).

F.O.Bell, Hoff and Hoyt (1964) mengemukakan bahwa penggunaan lembar jawaban yang tidak terstandarisasi juga mempengaruhi hasil dari skor tes (dalam Anastasi dan Urbina,1997).

Administrasi yang menggunakan lembar jawaban yang terpisah pada anak dibawah kelas lima sekolah dasar dapat memyebabkan skor tes lebih rendah dibandingkan dengan lembar jawaban yang tidak dipisah dari soal dan disatukan dalam bentuk booklet.

Banyak kondisi tes yang dapat mempenagruhi hasil tes, hal ini telah terbukti pada tes bakat dan tes kepribadian. Faktor lain, seperti apakah penguji orang asing atau orang yang sudah dikenal oleh peserta tes, bisa cukup menimbulkan perbedaan pada skor tes (Sacks,1952;Tsudxuki, Hatta & Kuze, 1957; dalam Anastasi & Urbina, 1997). Selain itu Wickes (1956) mengungkapkan cara dan prilaku tester seperti tersenyum, menganggukkan kepala, memberi komentar pujian seperti “baik” juga terbukti memeberi penagruh terhadap hasil tes

Banyak kondisi tes yang dapat mempenagruhi hasil tes, hal ini telah terbukti pada tes bakat dan tes kepribadian. Faktor lain, seperti apakah penguji orang asing atau orang yang sudah dikenal oleh peserta tes, bisa cukup menimbulkan perbedaan pada skor tes (Sacks,1952;Tsudxuki, Hatta & Kuze, 1957; dalam Anastasi & Urbina, 1997). Selain itu Wickes (1956) mengungkapkan cara dan prilaku tester seperti tersenyum, menganggukkan kepala, memberi komentar pujian seperti “baik” juga terbukti memeberi penagruh terhadap hasil tes

Dokumen terkait