• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

D. Deskripsi Data

1. Adversity Quotient Secara Umum

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa mean empiris untuk skor total Adversity Quotient sebesar 136,45 sedang mean teoritis sebesar 112,5. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa subyek penelitian memiliki skor

Adversity Quotient yang tinggi karena mean empiris lebih tinggi dibanding mean

teoritik.

Pada pengkategorisasian skor Adversity Quotient secara umum diperoleh sebanyak 55 subyek (88,71%) mempunyai tingkat Adversity Quotient tinggi,

sebanyak 7 subyek (11,29%) mempunyai tingkat Adversity Quotient sedang, dan tidak ada subyek (0%) yang mempunyai tingkat Adversity Quotient rendah.

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa sebagian besar subyek penelitian memiliki Adversity Quotient yang tinggi, artinya sebagian besar subyek penelitian memiliki kemampuan yang tinggi dalam bertahan dan mengatasi kesulitan serta tantangan hidup yang dihadapi. Tingginya kemampuan Adversity Quotient yang dimiliki oleh sebagian besar subyek penelitian tersebut dapat dilihat dalam 4 aspek yang membentuk Adversity Quotient seseorang.

Pertama, aspek Control. Subyek penelitian yang mempunyai skor Control

tinggi berarti subyek tersebut merasakan kendali yang besar terhadap peristiwa- peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Semakin besar kendali yang dirasakan maka semakin besar kemungkinannya bertahan menghadapi kesulitan-kesulitan, dan tetap teguh dalam pendekatan mencari penyelesaian masalah.

Kedua aspek Origin dan Ownership. Subyek penelitian yang mempunyai skor Origin dan Ownership tinggi berarti subyek penelitian tersebut mempunyai kemampuan untuk menghindari perilaku menyalahkan diri sendiri yang tidak perlu sambil menempatkan tanggung jawab diri sendiri pada tempatnya yang tepat. Semakin tinggi skor Origin dan Ownership subyek, semakin besar dirinya mengakui akibat-akibat dari suatu perbuatan apapun penyebabnya, sehingga dapat memberikan kontribusi yang besar dalam menghadapi masalah.

Ketiga aspek Reach. Subyek penelitian mempunyai skor Reach yang tinggi menunjukkan bahwa subyek tersebut merespons kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas. Membatasi jangkauan kesulitan memungkinkan untuk

berpikir jernih dalam mengambil keputusan-keputusan dan tindakan dalam menyelesaikan masalah.

Keempat, aspek Endurance. Subyek penelitian yang mempunyai skor

Endurance tinggi berarti subyek tersebut memandang kesulitan dan penyebab- penyebabnya sebagai sesuatu yang bersifat sementara, cepat berlalu dan kecil kemungkinannya terjadi lagi. Hal ini akan meningkatkan energi, optimisme, dan kemungkinan subyek untuk bertindak mencari penyelesaian masalah.

Stoltz (2000) mengungkapkan bahwa mereka yang mempunyai Adversity Quotient yang tinggi akan merespon kesulitan sebagai sesuatu yang sifatnya eksternal, sementara, dan terbatas, serta optimis dalam menjalani hidup. Mereka adalah yang oleh Stoltz disebut sebagai Climbers. Climbers selalu menyambut tantangan-tantangan yang disodorkan kepadanya. Climbers yakin bahwa segala hal bisa dan akan terlaksana. Mereka bisa memotivasi diri sendiri, memiliki semangat tinggi, dan berjuang untuk mendapatkan yang terbaik dari hidup.

Climbers memahami bahwa kesulitan adalah bagian dari hidup.

Sebenarnya para remaja memiliki Adversity Quotient atau kemampuan mengatasi kesulitan. Hal ini dikemukakan oleh Gunarsa, S dan Gunarsa (1991), para remaja memiliki daya juang, daya menegakkan diri dan membentuk masa depannya sendiri. Remaja juga mencoba menggunakan kemampuan berpikirnya untuk memecahkan problema-problema dan menganalisa kesukaran-kesukaran.

Menurut Shaw dan Costanzo (dalam Ali dan Asrori, 2005) salah satu sebab subyek penelitian mempunyai Adversity Quotient yang tinggi adalah

perkembangan kognitif subyek sebagai remaja yang berada dalam taraf berpikir operasional formal, yang memungkinkan remaja mampu berpikir secara lebih abstrak, menguji hipothesis dan mempertimbangkan apa saja peluang yang ada padanya daripada sekedar melihat apa adanya, sehingga remaja mampu memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapinya.

Tingginya Adversity Quotient subyek menurut Hurlock (1997) juga disebabkan karena remaja dihadapkan pada berbagai tugas perkembangan dan harapan sosial dari masyarakat yang banyak sekali berkaitan dengan masalah kemandirian. Remaja dituntut mandiri dalam segala aspek kehidupan termasuk dalam menghadapi dan mengatasi setiap hambatan dan kesulitan yang ada.

Selain itu, salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya Adversity Quotient subyek adalah keadaan sekolah subyek, dalam arti reputasi yang baik pada sekolah subyek penelitian. SMA Pangudi Luhur Sedayu, meskipun terletak di daerah pinggiran kota namun termasuk salah satu sekolah favorit di daerah kabupaten Bantul Yogyakarta, sehingga yang terdaftar sebagai siswa adalah mereka yang telah lolos seleksi. Kemungkinan besar yang berhasil lolos seleksi adalah mereka yang memiliki daya juang tinggi dan cukup berpretasi sebelumnya.

Dari hasil penelitian juga dapat kita lihat bahwa sebagian kecil subyek penelitian mempunyai Adversity Quotient sedang, artinya sebagian kecil subyek penelitian tersebut memiliki kemampuan yang sedang dalam bertahan dan mengatasi kesulitan serta tantangan hidup. Kemampuan Adversity Quotient

sedangyang dimiliki oleh sebagian kecil subyek penelitian ini dapat dilihat dalam 4 aspek Adversity Quotient yang ada.

Pertama aspek Control. Subyek penelitian yang mempunyai skor Control

sedang berarti subyek tersebut dapat merasakan kendali atas peristiwa-peristiwa yang menimbulkan kesulitan tergantung pada besarnya peristiwa itu. Subyek akan sulit mempertahankan perasaan mampu memegang kendali bila dihadapkan pada masalah atau tantangan yang lebih berat. Hal ini akan mengakibatkan perasaan tak berdaya dan mudah menyerah saat menghadapi kesulitan.

Kedua aspek Origin dan Ownership. Subyek penelitian mempunyai skor

Origin dan Ownership sedang, ini menunjukkan bahwa subyek tersebut kadang akan mempersalahkan diri sendiri secara tidak perlu, selain itu mungkin subyek akan bertanggung jawab atas akibat-akibat yang timbul dari suatu kesulitan, tetapi membatasi tanggung jawab hanya pada hal-hal dimana dirinya merupakan penyebab langsung dan tidak bersedia memberikan lebih banyak kontribusi. Hal ini akan membuat subyek tidak maksimal memanfaatkan potensi dirinya dalam menyelesaikan dan menghadapi masalah.

Ketiga aspek Reach. Subyek penelitian yang mempunyai skor Reach

sedang berarti subyek tersebut mungkin akan merespons peristiwa yang mengandung kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik, namun terkadang akan membiarkan peristiwa itu secara tidak perlu masuk ke wilayah–wilayah lain dalam kehidupannya tergantung pada besarnya masalah yang dihadapi. Semakin jauh subyek membiarkan kesulitan mencapai wilayah-wilayah lain dalam kehidupan, akan membuat subyek semakin merasa tidak berdaya dan kewalahan dalam mengahadapi masalah.

Keempat, aspek Endurance. Subyek penelitian yang mempunyai skor

Endurance sedang menunjukkan bahwa subyek penelitian tersebut ketika menghadapi masalah hidup berukuran kecil sampai menengah, subyek mungkin sudah bagus dalam mempertahankan keyakinan dan melangkah maju. Namun dalam menghadapi masalah yang berat subyek cenderung meresponsnya sebagi sesuatu yang berlangsung lama dimana hal ini akan memunculkan perasaan tak berdaya atau hilangnya harapan sehingga akan cenderung kurang bertindak dalam menghadapi masalah atau kesulitan yang ada.

Subyek penelitian yang memiliki Adversity Quotient yang sedang atau mempunyai kemampuan yang sedang dalam menghadapi dan mengatasi masalah yang ada, oleh Stoltz (2000) termasuk dalam golongan Campers. Campers

melepaskan kesempatan untuk maju, yang sebenarnya dapat dicapai jika energi dan sumber dayanya diarahkan dengan semestinya. Mereka tidak memanfaatkan potensi mereka sepenuhnya. Campers mempunyai ambang kemampuan yang terbatas dalam menghadapi kesulitan.

Kemampuan Adversity Quotient yang sedang mungkin disebabkan karena subyek sebagai remaja pada masa kanak-kanak, masalah sebagian diselesaikan oleh orang tua dan guru, sehingga remaja menjadi tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah (Hurlock,1997). Di samping itu Mappiare (1982) menambahkan dalam menghadapi masalah, kemampuan berpikir remaja lebih dikuasai emosionalitasnya. Karena itulah bagi subyek penelitian yang memiliki

Adversity Quotient sedang, ketika menghadapi kesulitan akan lebih dikuasai oleh emosionalitasnya sehingga tidak memanfaatkan seluruh potensi yang ada.

Melihat kemampuan Adversity Quotient yang dimiliki oleh seluruh subyek penelitian yang ada, sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Mappiare.(1982), bahwa masa remaja adalah masa yang kritis. Dikatakan kritis sebab dalam masa ini remaja akan dihadapkan dengan persoalan apakah ia dapat menghadapi dan memecahkan masalahnya atau tidak.

Bila remaja dapat menghadapi persoalan-persoalannya, dia akan mengembangkan rasa percaya diri dan mampu menghadapi segala sesuatu. Bila tidak, dia akan mengembangkan perasaan gagal dan tidak mampu, dimana perasaan itu dapat tetap tinggal dalam dirinya untuk selanjutnya. (Soesilowindradini, 2006) Kesuksesan dalam pelaksanaan tugas-tugas perkembangan pada masa remaja akan membawa kesuksesan dalam pelaksanaan tugas-tugas perkembangan selanjutnya. Semakin banyak tugas perkembangan yang tidak dilaksanakannya dengan baik, makin tinggi pula intensitas persoalan yang menghadangnya (Mappiare, 1982)

Dari penjelasan diatas dan dari hasil penelitian dapat kita lihat, sebagian besar subyek penelitian memiliki kemampuan Adversity Quotient tinggi yang dapat dilihat dalam 4 aspek yang membentuk Adversity Quotient. Pertama, aspek

Control, dimana subyek merasakan kendali yang besar terhadap peristiwa- peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Kedua aspek Origin dan Ownership,

dimana subyek mempunyai kemampuan menghindari perilaku menyalahkan diri sendiri yang tidak perlu sambil menempatkan tanggung jawab diri sendiri pada tempatnya yang tepat. Ketiga aspek Reach, dimana subyek merespons kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas. Keempat, aspek Endurance, dimana

subyek memandang kesulitan dan penyebab-penyebabnya sebagai sesuatu yang bersifat sementara, cepat berlalu dan kecil kemungkinannya terjadi lagi.

Tingginya skor keempat aspek Adversity Quotient yang dimiliki oleh subyek menyebabkan semakin besar kemungkinan subyek bertahan menghadapi masalah atau kesulitan, dan tetap teguh dalam pendekatan mencari penyelesaian masalah. Dimana hal ini akan menimbulkan rasa puas dan percaya diri dalam menghadapi masalah sehingga subyek dapat mencapai kesuksesan dalam masa perkembangan selanjutnya.

Begitu pula sebaliknya, subyek yang mempunyai kemampuan Adversity Quotient yang sedang atau lebih rendah dapat dilihat dari keempat aspek

Adversity Quotient yang ada. Pertama aspek Control, dimana subyek sulit mempertahankan perasaan mampu memegang kendali bila dihadapkan pada masalah atau tantangan yang berat. Kedua aspek Origin dan Ownership, dimana subyek kadang mempersalahkan diri sendiri secara tidak perlu dan bertanggung jawab hanya pada hal-hal dimana dirinya merupakan penyebab langsung dan tidak bersedia memberikan lebih banyak kontribusi. Ketiga aspek Reach, dimana subyek akan membiarkan peristiwa yang menimbulkan kesulitan secara tidak perlu masuk ke wilayah–wilayah lain dalam kehidupannya. Keempat, aspek

Endurance, dimana subyek ketika menghadapi masalah hidup yang berat cenderung meresponsnya sebagai sesuatu yang berlangsung lama.

Tingkat sedang pada keempat aspek Adversity Quotient yang dimiliki oleh subyek menimbulkan perasaan tak berdaya dan mudah menyerah, yang dapat membuat subyek cenderung tidak maksimal memanfaatkan potensi dirinya dalam

menyelesaikan dan menghadapi masalah. Kurang atau tidak mampunya subyek menghadapi dan mengatasi kesulitan atau hambatan yang ada, menimbulkan perasaan gagal serta tidak mampu menghadapi masalah dalam diri subyek. Dimana hal ini dapat menimbulkan kegagalan dalam masa perkembangan selanjutnya. Dengan kata lain kemampuan Adversity Quotient menjadi modal dasar bagi subyek sebagai remaja dalam menghadapi masalah selanjutnya sampai dewasa.

Dokumen terkait