• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakter Individu dalam Adversity Quotient

TINJAUAN PUSTAKA

A. Adversity Quotient

2. Karakter Individu dalam Adversity Quotient

Menurut Stoltz (2000), dalam pemahaman mengenai AQ diambil analogi pendaki gunung yang melakukan pendakian. Stoltz menjelaskan tiga jenis orang yang akan dijumpai dalam perjalanan mendaki, orang-orang tersebut memiliki respons yang berbeda-beda terhadap pendakian dan sebagai akibatnya dalam hidup ini mereka menikmati berbagai macam tingkat kesuksesan dan kebahagiaan.

a. Mereka yang berhenti (Quitters)

Quitters atau orang-orang yang berhenti adalah orang yang memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur, dan berhenti. Mereka mengabaikan, menutupi, atau meninggalkan dorongan inti yang manusiawi untuk mendaki, dan dengan demikian meninggalkan banyak hal yang ditawarkan oleh kehidupan.

b. Mereka yang berkemah (Campers)

Berbeda dengan Quitters, Campers sekurang-kurangnya telah menanggapi tantangan pendakian itu. Mereka telah mencapai tingkat tertentu. Perjalanan mereka mungkin memang mudah, atau mungkin mereka telah mengorbankan banyak hal dan telah bekerja dengan rajin untuk sampai ke tempat dimana mereka kemudian berhenti. Pendakian yang tidak selesai itu oleh sementara orang dianggap sebagai “kesuksesan”. Mereka menganggap kesuksesan sebagai tujuan yang harus dicapai, jika dibandingkan dengan perjalanannya.

Campers melepaskan kesempatan untuk maju, yang sebenarnya dapat dicapai jika energi dan sumber dayanya diarahkan dengan semestinya. Mereka tidak memanfaatkan potensi mereka sepenuhnya.

c. Para pendaki (Climbers)

Climbers selalu menyambut tantangan-tantangan yang disodorkan kepadanya. Climbers yakin bahwa segala hal bisa dan akan terlaksana, meskipun orang lain bersikap negatif dan sudah memutuskan bahwa jalannya tidak mungkin ditempuh. Mereka bisa memotivasi diri sendiri, memiliki semangat tinggi, dan berjuang untuk mendapatkan yang terbaik dari hidup.

Kemampuan Quitters, Campers dan Climbers dalam menghadapi kesulitan. Quitters mempunyai kemampuan yang kecil atau bahkan tidak mempunyai sama sekali, itulah yang menyebabkan mereka berhenti. Campers

mungkin telah menghadapi cukup banyak kesulitan sampai menemukan tempat berkemah. Sayangnya, kesulitan ini jugalah yang pada akhirnya mendorong

Campers untuk mempertimbangkan resiko-resiko dan imbalan-imbalannya, yang akhirnya menghentikan pendakiannya. Campers seperti Quitters mempunyai ambang kemampuan yang terbatas dalam menghadapi kesulitan, dan menemukan alasan-alasan yang kuat untuk berhenti mendaki. Climbers tidak asing terhadap situasi yang sulit. Kehidupan mereka memang menghadapi dan mengatasi arus rintangan yang tiada hentinya. Climbers memahami bahwa kesulitan adalah bagian dari hidup. Jadi, menghindari kesulitan sama saja dengan menghindari kehidupan.

Berdasarkan teori “Ketidakberdayaan Yang Dipelajari” (dalam

Stoltz,2000), kesuksesan seseorang terutama ditentukan oleh cara dia menjelaskan atau merespon peristiwa-peristiwa dalam kehidupan. Seligman (dalam

Stoltz,2000) menemukan bahwa mereka yang merespon kesulitan sebagai sesuatu yang sifatnya tetap, internal dan dapat digeneralisasi ke bidang-bidang kehidupan lainnya cenderung menderita di semua bidang kehidupannya, sedangkan mereka yang menanggapi situasi-situasi sulit sebagai sesuatu yang sifatnya eksternal, sementara, dan terbatas cenderung menikmati banyak manfaat, mulai dari kinerja sampai kesehatan. Martin Seligman (dalam Stoltz, 2000) menjelaskan hal tersebut sebagai pesimisme versus optimisme. Mereka yang menjelaskan kesulitan sebagai

sesuatu yang sifatnya permanen, meluas dan pribadi memiliki gaya pesimistis. Mereka yang merespon kesulitan sebagai sesuatu yang sifatnya sementara, eksternal, dan terbatas memiliki gaya optimistis.

Menurut Werner, orang yang ulet adalah “perencana-perencana, orang- orang yang mampu menyelesaikan masalah, dan bisa memanfaatkan peluang”. Orang yang kurang ulet akan langsung menyerah. Sama dengan kaum optimis, orang-orang yang ulet memiliki kemampuan untuk bangkit kembali dari

kegagalan. Mereka adalah Climbers. Kemampuan ini tidak berasal dari kesulitan yang dialami tetapi dari cara mereka merespons kesulitan. Carol Dweck

membuktikan bahwa orang dengan respons–respons yang pesimistis terhadap kesulitan tidak akan banyak belajar dan berprestasi jika dibandingkan dengan orang yang memiliki pola-pola yang lebih optimistis. (Stoltz, 2000)

3. Dimensi Adversity Quotient

Stoltz (2000) mengemukakan bahwa Adversity Quotient terdiri atas 4 dimensi CO2RE, dimana dimensi-dimensi CO2RE ini akan menentukan Adversity

Quotient keseluruhan seseorang. a. C = Control (Kendali)

C adalah singkatan dari “control” atau kendali. C mempertanyakan berapa banyak kendali yang dirasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Kata kuncinya adalah merasakan. Kendali yang sebenarnya dalam suatu situasi hampir tidak mungkin diukur. Kendali yang dirasakan jauh lebih

penting. Kendali diawali dengan pemahaman bahwa sesuatu apapun itu, dapat dilakukan.

Perbedaan antara respons AQ yang rendah dan yang tinggi dalam dimensi ini cukup dramatis. Mereka yang AQ-nya lebih tinggi merasakan kendali yang lebih besar atas peristiwa-peristiwa dalam hidup daripada yang AQ-nya lebih rendah. Akibatnya, mereka akan mengambil tindakan yang akan menghasilkan lebih banyak kendali lagi. Merasakan tingkat kendali, bahkan yang terkecil sekalipun akan membawa pengaruh yang radikal dan sangat kuat pada tindakan-tindakan dan pikiran-pikiran yang mengikutinya. Mereka yang memiliki AQ lebih tinggi cenderung melakukan pendakian, sementara orang- orang yang AQ-nya lebih rendah cenderung berkemah atau berhenti.

b. O2 = Origin dan Ownership (Asal Usul dan Pengakuan)

O2 merupakan kependekan dari “origin” (asal usul) dan “ownership”

(pengakuan). O2 mempertanyakan dua hal yaitu siapa atau apa yang menjadi

asal usul kesulitan dan sampai sejauh manakah seseorang mengakui akibat- akibat kesulitan itu. Ada perbedaan besar diantara keduanya.

Asal-usul atau origin ada kaitannya dengan rasa bersalah. Orang yang AQ- nya rendah cenderung menempatkan rasa bersalah yang tidak semestinya atas peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi. Dalam banyak hal, mereka melihat dirinya sendiri sebagai satu-satunya penyebab atau asal usul (origin) kesulitan tersebut.

Mempersalahkan diri sendiri itu penting dan efektif tapi hanya sampai tahap tertentu. Terlalu berlebihan mempersalahkan diri sendiri, sampai

melampaui peran seseorang dalam menimbulkan kesulitan, bisa menjadi destruktif. Yang jauh lebih penting lagi adalah sampai sejauh mana seseorang, bersedia mengakui akibat kesulitan itu. Rasa bersalah tidak sama dengan memikul tanggung jawab. Mengakui akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kesulitan mencerminkan tanggung jawab, inilah paro kedua dari dimensi O2.

Semakin tinggi skor pengakuan seseorang, semakin besar dirinya mengakui akibat-akibat dari suatu perbuatan, apapun penyebabnya. Semakin rendah skor pengakuan seseorang, semakin besar kemungkinannya untuk tidak mengakui akibat-akibatnya, apapun penyebabnya.

Orang yang memiliki AQ tinggi tidak akan mempersalahkan orang lain sambil mengelakkan tanggung jawab. Orang yang AQ-nya tinggi lebih unggul daripada orang yang AQ-nya rendah dalam kemampuan untuk belajar dari kesalahan-kesalahan. Cenderung mengakui akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kesulitan, seringkali tanpa mengingat penyebabnya. Rasa tanggung jawab semacam itu memaksa mereka untuk bertindak, membuat mereka jauh lebih berdaya daripada rekan-rekan mereka yang AQ-nya rendah. Orang yang AQ- nya tinggi melakukan pekerjaannya dengan lebih baik, dengan menempatkan peran mereka pada tempat yang sewajarnya. Mereka tahu mana yang betul- betul merupakan tanggung jawab mereka.

c. R = Reach (Jangkauan)

Dimensi R ini mempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan. Respons-respons dengan AQ

yang rendah akan membuat kesulitan merembes ke segi-segi lain dari kehidupan seseorang.

Jadi, semakin rendah skor R semakin besar kemungkinan menganggap peristiwa-peristiwa buruk sebagai bencana, dengan membiarkannya meluas. Sebaliknya, semakin tinggi skor R, semakin besar kemungkinan membatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi.

Semakin jauh seseorang membiarkan kesulitan itu mencapai wilayah- wilayah lain dalam kehidupan, akan semakin merasa tidak berdaya dan kewalahan. Membatasi jangkauan kesulitan memungkinkan untuk berpikir jernih dan mengambil tindakan.

d. E = Endurance (Daya tahan)

E atau Endurance mempertanyakan dua hal yang berkaitan yaitu berapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan itu akan berlangsung. Semakin rendah skor E, semakin besar kemungkinannya untuk menganggap kesulitan dan atau penyebab-penyebabnya akan berlangsung lama, kalau bukan selama-lamanya.

Berdasarkan penelitian Selligman dan riset yang dilakukan oleh Lorraine Johnson dan Stuart Biddle (dalam Stolz, 2000) menunjukkan bahwa ada perbedaan dramatis antara orang yang mengkaitkan kesulitan dengan sesuatu yang sifatnya sementara versus sesuatu yang lebih permanen atau abadi. Mereka menemukan bahwa orang yang melihat kemampuan mereka sebagai penyebab kegagalan (penyebab yang stabil) cenderung kurang bertahan

dibandingkan dengan orang yang mengkaitkan kegagalan dengan usaha (penyebab yang sifatnya sementara) yang mereka lakukan.

Dokumen terkait