• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

E. Kategorisasi Tingkat Adversity Quotient

1. Adversity Quotient secara umum

Menurut Stoltz (2000), hidup ini seperti mendaki gunung. Kepuasan

dicapai melalui usaha yang tidak kenal lelah untuk terus mendaki, meskipun

kadang-kadang langkah demi langkah yang ditapakkan terasa lambat dan

menyakitkan. Kesuksesan dapat dirumuskan sebagai tingkat dimana seseorang

bergerak ke depan dan keatas, terus maju dalam menjalani hidupnya, kendati

terdapat berbagai rintangan atau bentuk-bentuk kesengsaraan lainnya.

Setiap kesulitan merupakan tantangan, setiap tantangan merupakan suatu

peluang, dan setiap peluang harus disambut. Perubahan merupakan bagian dari

suatu perjalanan yang harus diterima dengan baik. Pada umumnya ketika

dihadapkan pada tantangan-tantangan hidup, kebanyakan orang berhenti berusaha

sebelum tenaga dan batas kemampuan mereka benar-benar teruji. Kemampuan

seseorang dalam mengatasi setiap kesulitan hidup disebut dengan Adversity Quotient. (Stoltz, 2000)

Menurut Stoltz (2000), Adversity Quotient mengukur kemampuan seseorang

dalam mengatasi kesulitan. Abdilah (2006) juga mengemukakan bahwa

Adversity Quotient adalah kecerdasan mengelola hidup dan mampu melihat kemalangan menjadi peluang. Hal ini didukung Soedarsono (2006) yang

mengungkapkan pentingnya seseorang memiliki Adversity Quotient, yaitu kemampuan seseorang dalam mengubah tantangan menjadi peluang.

IQ tidak cukup untuk mencapai kesuksesan. Pemikiran lama tentang IQ

atau Intelligence Quotient, kecerdasan yang terukur secara ilmiah dan dipengaruhi oleh faktor keturunan ini telah lama dianggap oleh para orang tua dan guru

sebagai si peramal kesuksesan. Namun banyak orang yang memiliki IQ tinggi tapi

tidak mewujudkan potensinya.

Dalam bukunya Emotional Intelligence, Daniel Goleman (dalam Stoltz, 2000) menjelaskan mengapa beberapa orang yang IQ-nya tinggi mengalami

kegagalan, sementara banyak yang lainnya dengan IQ yang sedang-sedang saja

bisa berkembang pesat. Selain IQ, kita semua mempunyai EQ atau Emotional

Intelligence. EQ mencerminkan kemampuan untuk berempati dengan orang lain,

menunda rasa gembira, mengendalikan dorongan-dorongan hati, sadar diri,

bertahan dan bergaul secara efektif dengan orang lain. Goleman mengemukakan

EQ lebih penting daripada IQ, namun seperti halnya IQ tidak setiap orang

memanfaatkan EQ dan potensi mereka sepenuhnya, meskipun

kecakapan-kecakapan yang berharga itu mereka miliki. Karena EQ tidak mempunyai tolok

ukur yang sah dan metode yang jelas untuk mempelajarinya, maka kecerdasan

suksesnya seseorang. Tapi, keduanya memainkan suatu peran dalam pencapaian

keberhasilan. Stoltz (2000), mengajukan konsep yang menjembatani peranan IQ

dan EQ, serta lebih menentukan kesuksesan seseorang yaitu Adversity Quotient. Berdasarkan konsep tersebut, menurut Stoltz (2000) kesuksesan dalam

hidup sebagian besar ditentukan oleh AQ. Stoltz juga mengemukakan bahwa ada

beberapa orang yang mempunyai IQ ataupun EQ yang tinggi tetapi gagal

menunjukkan kemampuannya. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa ada

orang yang mampu bertahan dan berprestasi. Ia mengemukakan bahwa yang

mempengaruhi orang yang bertahan tersebut adalah bagaimana seseorang melihat

hambatan-hambatan sebagai peluang. Hal tersebut yang menjadi inti Adversity Quotient. (Prabowo dan Setyorini, 2005)

AQ menjadi demikian penting karena: pertama, AQ menunjukkan

seberapa baik seseorang dapat bertahan menghadapi kesulitan dan mengatasinya.

Penelitian menunjukkan bahwa orang yang sukses adalah orang yang tetap gigih

berusaha meskipun banyak rintangan atau bahkan kegagalan. Tidak ada orang

mencapai sukses sejati tanpa merasakan kegagalan sebelumnya. Kedua, AQ

merupakan alat ukur yang dapat digunakan untuk memprediksi siapa yang akan

mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang jatuh. Dimensi-dimensi AQ

merupakan faktor signifikan penentu kesuksesan atau kegagalan seseorang.

Ketiga, AQ memprediksi siapa yang akan mencapai kinerja sesuai harapan dan

potensi dan siapa yang gagal. Semua orang memiliki potensi yang besar untuk

menjadi sukses. Tetapi hanya sedikit orang yang menyakini potensi dirinya.

Sementara orang yang meragukan kemampuan dirinya, bekerja dengan kinerja

rendah. Keempat, AQ memprediksi siapa yang akan menyerah dan siapa yang

akan menang. Apakah seseorang akan berhasil atau gagal dalam melaksanakan

tugas dapat diprediksi dari nilai AQ yang dimiliki. (Nggermanto, 2002)

AQ mempunyai tiga bentuk. Pertama, AQ adalah suatu kerangka kerja

konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan.

Kedua, AQ adalah suatu ukuran untuk mengetahui respons terhadap kesulitan.

Terakhir, AQ adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk

memperbaiki respons terhadap kesulitan. Gambaran ketiga unsur ini yaitu

pengetahuan baru, tolok ukur dan peralatan yang praktis, merupakan sebuah paket

yang lengkap untuk memahami dan memperbaiki komponen dasar pendakian

sehari-hari dan seumur hidup. (Stoltz, 2000)

Definisi Adversity Quotient dalam penelitian ini adalah kemampuan seseorang dalam bertahan dan mengatasi masalah atau kesulitan serta tantangan

hidup yang dihadapi.

2. Karakter Individu dalam Adversity Quotient

Menurut Stoltz (2000), dalam pemahaman mengenai AQ diambil analogi

pendaki gunung yang melakukan pendakian. Stoltz menjelaskan tiga jenis

orang yang akan dijumpai dalam perjalanan mendaki, orang-orang tersebut

memiliki respons yang berbeda-beda terhadap pendakian dan sebagai akibatnya

dalam hidup ini mereka menikmati berbagai macam tingkat kesuksesan dan

a. Mereka yang berhenti (Quitters)

Quitters atau orang-orang yang berhenti adalah orang yang memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur, dan berhenti. Mereka mengabaikan,

menutupi, atau meninggalkan dorongan inti yang manusiawi untuk mendaki,

dan dengan demikian meninggalkan banyak hal yang ditawarkan oleh

kehidupan.

b. Mereka yang berkemah (Campers)

Berbeda dengan Quitters, Campers sekurang-kurangnya telah menanggapi tantangan pendakian itu. Mereka telah mencapai tingkat tertentu. Perjalanan

mereka mungkin memang mudah, atau mungkin mereka telah mengorbankan

banyak hal dan telah bekerja dengan rajin untuk sampai ke tempat dimana

mereka kemudian berhenti. Pendakian yang tidak selesai itu oleh sementara

orang dianggap sebagai “kesuksesan”. Mereka menganggap kesuksesan

sebagai tujuan yang harus dicapai, jika dibandingkan dengan perjalanannya.

Campers melepaskan kesempatan untuk maju, yang sebenarnya dapat dicapai jika energi dan sumber dayanya diarahkan dengan semestinya. Mereka tidak

memanfaatkan potensi mereka sepenuhnya.

c. Para pendaki (Climbers)

Climbers selalu menyambut tantangan-tantangan yang disodorkan kepadanya. Climbers yakin bahwa segala hal bisa dan akan terlaksana, meskipun orang lain bersikap negatif dan sudah memutuskan bahwa jalannya

tidak mungkin ditempuh. Mereka bisa memotivasi diri sendiri, memiliki

Kemampuan Quitters, Campers dan Climbers dalam menghadapi kesulitan. Quitters mempunyai kemampuan yang kecil atau bahkan tidak mempunyai sama sekali, itulah yang menyebabkan mereka berhenti. Campers

mungkin telah menghadapi cukup banyak kesulitan sampai menemukan tempat

berkemah. Sayangnya, kesulitan ini jugalah yang pada akhirnya mendorong

Campers untuk mempertimbangkan resiko-resiko dan imbalan-imbalannya, yang akhirnya menghentikan pendakiannya. Campers seperti Quitters mempunyai ambang kemampuan yang terbatas dalam menghadapi kesulitan, dan menemukan

alasan-alasan yang kuat untuk berhenti mendaki. Climbers tidak asing terhadap situasi yang sulit. Kehidupan mereka memang menghadapi dan mengatasi arus

rintangan yang tiada hentinya. Climbers memahami bahwa kesulitan adalah bagian dari hidup. Jadi, menghindari kesulitan sama saja dengan menghindari

kehidupan.

Berdasarkan teori “Ketidakberdayaan Yang Dipelajari” (dalam

Stoltz,2000), kesuksesan seseorang terutama ditentukan oleh cara dia menjelaskan

atau merespon peristiwa-peristiwa dalam kehidupan. Seligman (dalam

Stoltz,2000) menemukan bahwa mereka yang merespon kesulitan sebagai sesuatu

yang sifatnya tetap, internal dan dapat digeneralisasi ke bidang-bidang kehidupan

lainnya cenderung menderita di semua bidang kehidupannya, sedangkan mereka

yang menanggapi situasi-situasi sulit sebagai sesuatu yang sifatnya eksternal,

sementara, dan terbatas cenderung menikmati banyak manfaat, mulai dari kinerja

sampai kesehatan. Martin Seligman (dalam Stoltz, 2000) menjelaskan hal tersebut

sesuatu yang sifatnya permanen, meluas dan pribadi memiliki gaya pesimistis.

Mereka yang merespon kesulitan sebagai sesuatu yang sifatnya sementara,

eksternal, dan terbatas memiliki gaya optimistis.

Menurut Werner, orang yang ulet adalah “perencana-perencana,

orang-orang yang mampu menyelesaikan masalah, dan bisa memanfaatkan peluang”.

Orang yang kurang ulet akan langsung menyerah. Sama dengan kaum optimis,

orang-orang yang ulet memiliki kemampuan untuk bangkit kembali dari

kegagalan. Mereka adalah Climbers. Kemampuan ini tidak berasal dari kesulitan yang dialami tetapi dari cara mereka merespons kesulitan. Carol Dweck

membuktikan bahwa orang dengan respons–respons yang pesimistis terhadap

kesulitan tidak akan banyak belajar dan berprestasi jika dibandingkan dengan

orang yang memiliki pola-pola yang lebih optimistis. (Stoltz, 2000)

3. Dimensi Adversity Quotient

Stoltz (2000) mengemukakan bahwa Adversity Quotient terdiri atas 4 dimensi CO2RE, dimana dimensi-dimensi CO2RE ini akan menentukan Adversity Quotient keseluruhan seseorang.

a. C = Control (Kendali)

C adalah singkatan dari “control” atau kendali. C mempertanyakan berapa banyak kendali yang dirasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan

kesulitan. Kata kuncinya adalah merasakan. Kendali yang sebenarnya dalam

penting. Kendali diawali dengan pemahaman bahwa sesuatu apapun itu, dapat

dilakukan.

Perbedaan antara respons AQ yang rendah dan yang tinggi dalam dimensi

ini cukup dramatis. Mereka yang AQ-nya lebih tinggi merasakan kendali yang

lebih besar atas peristiwa-peristiwa dalam hidup daripada yang AQ-nya lebih

rendah. Akibatnya, mereka akan mengambil tindakan yang akan menghasilkan

lebih banyak kendali lagi. Merasakan tingkat kendali, bahkan yang terkecil

sekalipun akan membawa pengaruh yang radikal dan sangat kuat pada

tindakan-tindakan dan pikiran-pikiran yang mengikutinya. Mereka yang

memiliki AQ lebih tinggi cenderung melakukan pendakian, sementara

orang-orang yang AQ-nya lebih rendah cenderung berkemah atau berhenti.

b. O2 = Origin dan Ownership (Asal Usul dan Pengakuan)

O2 merupakan kependekan dari “origin” (asal usul) dan “ownership”

(pengakuan). O2 mempertanyakan dua hal yaitu siapa atau apa yang menjadi asal usul kesulitan dan sampai sejauh manakah seseorang mengakui

akibat-akibat kesulitan itu. Ada perbedaan besar diantara keduanya.

Asal-usul atau origin ada kaitannya dengan rasa bersalah. Orang yang AQ-nya rendah cenderung menempatkan rasa bersalah yang tidak semestiAQ-nya atas

peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi. Dalam banyak hal, mereka melihat

dirinya sendiri sebagai satu-satunya penyebab atau asal usul (origin) kesulitan tersebut.

Mempersalahkan diri sendiri itu penting dan efektif tapi hanya sampai

melampaui peran seseorang dalam menimbulkan kesulitan, bisa menjadi

destruktif. Yang jauh lebih penting lagi adalah sampai sejauh mana seseorang,

bersedia mengakui akibat kesulitan itu. Rasa bersalah tidak sama dengan

memikul tanggung jawab. Mengakui akibat-akibat yang ditimbulkan oleh

kesulitan mencerminkan tanggung jawab, inilah paro kedua dari dimensi O2. Semakin tinggi skor pengakuan seseorang, semakin besar dirinya

mengakui akibat-akibat dari suatu perbuatan, apapun penyebabnya. Semakin

rendah skor pengakuan seseorang, semakin besar kemungkinannya untuk

tidak mengakui akibat-akibatnya, apapun penyebabnya.

Orang yang memiliki AQ tinggi tidak akan mempersalahkan orang lain

sambil mengelakkan tanggung jawab. Orang yang AQ-nya tinggi lebih unggul

daripada orang yang AQ-nya rendah dalam kemampuan untuk belajar dari

kesalahan-kesalahan. Cenderung mengakui akibat-akibat yang ditimbulkan

oleh kesulitan, seringkali tanpa mengingat penyebabnya. Rasa tanggung jawab

semacam itu memaksa mereka untuk bertindak, membuat mereka jauh lebih

berdaya daripada rekan-rekan mereka yang nya rendah. Orang yang

AQ-nya tinggi melakukan pekerjaanAQ-nya dengan lebih baik, dengan menempatkan

peran mereka pada tempat yang sewajarnya. Mereka tahu mana yang

betul-betul merupakan tanggung jawab mereka.

c. R = Reach (Jangkauan)

Dimensi R ini mempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan

yang rendah akan membuat kesulitan merembes ke segi-segi lain dari

kehidupan seseorang.

Jadi, semakin rendah skor R semakin besar kemungkinan menganggap

peristiwa-peristiwa buruk sebagai bencana, dengan membiarkannya meluas.

Sebaliknya, semakin tinggi skor R, semakin besar kemungkinan membatasi

jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi.

Semakin jauh seseorang membiarkan kesulitan itu mencapai

wilayah-wilayah lain dalam kehidupan, akan semakin merasa tidak berdaya dan

kewalahan. Membatasi jangkauan kesulitan memungkinkan untuk berpikir

jernih dan mengambil tindakan.

d. E = Endurance (Daya tahan)

E atau Endurance mempertanyakan dua hal yang berkaitan yaitu berapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan itu akan

berlangsung. Semakin rendah skor E, semakin besar kemungkinannya untuk

menganggap kesulitan dan atau penyebab-penyebabnya akan berlangsung

lama, kalau bukan selama-lamanya.

Berdasarkan penelitian Selligman dan riset yang dilakukan oleh Lorraine

Johnson dan Stuart Biddle (dalam Stolz, 2000) menunjukkan bahwa ada

perbedaan dramatis antara orang yang mengkaitkan kesulitan dengan sesuatu

yang sifatnya sementara versus sesuatu yang lebih permanen atau abadi.

Mereka menemukan bahwa orang yang melihat kemampuan mereka sebagai

dibandingkan dengan orang yang mengkaitkan kegagalan dengan usaha

(penyebab yang sifatnya sementara) yang mereka lakukan.

B. Perkembangan Psikologis Siswa Kelas XI

Berdasarkan penggolongan usia yang dikemukakan oleh Hurlock (1997),

siswa kelas XI termasuk dalam usia remaja, yaitu antara 13 sampai 18 tahun yaitu

usia matang secara hukum. Karena itulah pada bagian ini akan dikemukakan

berbagai hal mengenai remaja yaitu perkembangan kognitif, ciri khas masa

remaja, tugas perkembangan remaja, kebutuhan khas remaja, dan pergaulan

remaja.

1. Perkembangan kognitif

Tahap perkembangan kognitif pada masa remaja menurut Piaget (dalam

Gunarsa, S dan Gunarsa, 1981) terletak pada Tahap IV : yaitu masa

formal-operasional. Dalam usia remaja dan seterusnya seseorang sudah mampu berfikir

abstrak dan hipotetis. Berpikir abstrak merupakan cara berpikir yang bertalian

dengan hal-hal yang tidak dilihat dan kejadian-kejadian yang tidak langsung

dihayati.

Shaw dan Costanzo (dalam Ali dan Asrori, 2005) menambahkan bahwa

dengan taraf berpikir operasional formal, memungkinkan remaja mampu berpikir

secara lebih abstrak, menguji hipothesis dan mempertimbangkan apa saja peluang

yang ada padanya daripada sekedar melihat apa adanya. Hal yang sama

diungkapkan oleh Piaget (dalam Hurlock,1997) bahwa dengan berkembangnya

kesulitan mampu mempertimbangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan

dan mempertanggungjawabkannya. Jadi ia dapat memandang masalahnya dari

beberapa sudut pandang dan menyelesaikannya dengan mengambil banyak faktor

sebagai dasar pertimbangan.

Mappiare (1982) mengungkapkan dalam masa remaja, perkembangan

kemampuan pikir remaja dalam menerima dan mengolah informasi abstrak dari

lingkungannya memungkinkan remaja menilai benar atau salahnya

pendapat-pendapat orang tua atau pendapat-pendapat orang dewasa lainnya. Seirama dengan

perkembangan pikirnya, remaja sering mempertanyakan tentang “mengapa”-nya

sesuatu. Berbantahan dengan orang tua atau dengan orang dewasa lainnya

merupakan hal yang wajar terjadi dalam masa ini.

Selain itu, remaja juga mempunyai kemampuan untuk berpikir secara

rasional, artinya ketika menghadapi masalah remaja dapat membuat dan

menentukan pilihan atau keputusan-keputusan dengan pertimbangan akal yang

intelegent. Hal emosi dan aspirasi-aspirasi memang tidak dapat diabaikan oleh

remaja, tetapi remaja juga mempunyai kemampuan mengadakan konsesus

terhadap berbagai pertimbangan yang saling bertentangan dan tidak selaras.

(Mappiare, 1982)

Dialaminya pertumbuhan otak dan perkembangan kemampuan pikir yang

normal pada remaja menyebabkan remaja mampu memecahkan

persoalan-persoalan yang dihadapinya, hal ini kemudian menimbulkan kepuasan. (Mappiare,

2. Ciri khas masa remaja

2.1. Masa remaja sebagai masa peralihan

Masa remaja adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak ke

masa dewasa. Ditinjau dari segi fisiknya, mereka sudah bukan anak-anak lagi

tetapi jika mereka diperlakukan sebagai orang dewasa ternyata belum dapat

menunjukkan sikap dewasa. Sebagai masa transisi, tidak jarang remaja

mengalami kesulitan untuk menemukan identitas diri secepatnya. Itulah

sebabnya masa ini disebut juga sebagai masa pencarian identitas diri.

(Kristiyani, 2005)

Tugas perkembangan dan harapan sosial terhadap orang di masa remaja

banyak sekali berkaitan dengan masalah kemandirian Remaja dituntut untuk

mandiri dalam segala aspek kehidupan. Tentu saja ini bukan sesuatu yang

mudah, mengingat sebelumnya mereka banyak bergantung pada orang tua atau

orang dewasa lain di sekitarnya. Keadaan ini seringkali menimbulkan konflik

yang dapat menghambat perkembangan pribadi remaja. Remaja ingin

diperlakukan sebagai orang dewasa, tetapi di sisi lain mereka belum bisa

dikatakan sebagai orang dewasa. (Hurlock,1997)

2.2. Masa remaja sebagai masa belajar

Masa remaja menurut Soejanto (1990) adalah masa yang sebaik-baiknya

untuk belajar. Tinjauan psikologis bahwa masa remaja adalah masa belajar

karena pada masa remaja itulah tercapai kemasakan-kemasakan jasmani maupun

Masa remaja adalah masa belajar karena dalam masa ini remaja mempelajari

segala sesuatu, baik karena tuntutan kematangan psikopsikis dan karena

keharusan-keharusan sebagai akibat dari perkembangannya.

Minat remaja akan pendidikan sungguh besar. Karena kecerdasan dan

bakat yang semakin berkembang, remaja tertarik pada pelajaran dan latihan. Di

SMA mereka dibantu untuk memilih pendidikan lanjutan atau pekerjaan yang

sesuai bagi bakat dan minat mereka masing-masing(Staf Yayasan Cipta Loka

Caraka, 1982). Selain itu minat yang muncul adalah minat remaja pada prestasi. Prestasi yang baik dapat memberikan kepuasan pribadi dan ketenaran. Inilah

sebabnya mengapa prestasi, baik dalam olah raga maupun tugas-tugas sekolah

menjadi minat yang kuat sepanjang masa remaja. (Hurlock,1997)

Ahmadi dan Supriyono (1991), mengungkapkan bahwa aktivitas belajar

remaja tidak selamanya dapat berlangsung secara wajar. Kadang-kadang lancar,

kadang-kadang tidak, kadang-kadang dapat cepat menangkap apa yang

dipelajari, kadang-kadang terasa amat sulit. Dalam hal semangat terkadang

semangatnya tinggi, tetapi terkadang juga sulit untuk mengadakan konsentrasi.

Kesulitan belajar ini tidak hanya disebabkan karena faktor intelegensi yang

rendah, akan tetapi dapat juga disebabkan oleh faktor-faktor non intelegensi.

2.3 Masa remaja sebagai usia bermasalah

Salah satu ciri masa remaja yaitu masa remaja sebagai usia bermasalah.

Masalah remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh remaja.

sebagian diselesaikan oleh orang tua dan guru, sehingga kebanyakan remaja

menjadi tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua, karena para

remaja merasa diri mandiri sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya

sendiri dan menolak bantuan orang tua dan guru(Hurlock, 1997).

Hal yang sama diungkapkan pula oleh Mappiare (1982) yang

mengemukakan bahwa dalam masa remaja banyak masalah yang harus dihadapi

oleh remaja sebagai individu, hal ini dikarenakan sifat emosional remaja.

Kemampuan berpikir lebih dikuasai emosionalitasnya sehingga remaja kurang

mampu mengadakan konsensus dengan pendapat orang lain yang bertentangan

dengan dirinya.

Mappiare (1982) juga mengungkapkan bahwa masa remaja adalah masa

yang kritis. Dikatakan kritis sebab dalam masa ini remaja akan dihadapkan

dengan persoalan apakah ia dapat menghadapi dan memecahkan masalahnya

atau tidak. Keadaan remaja yang dapat menghadapi masalahnya dengan baik,

menjadi modal dasar dalam menghadapi masalah selanjutnya sampai dewasa

Soesilowindradini (2006) mengungkapkan bahwa remaja merasa dirinya

menghadapi masalah yang banyak sekali dan sukar untuk diselesaikan.

Beberapa masalah yang dihadapi oleh remaja :

a) Masalah yang berhubungan dengan Pendidikan

Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar

merupakan kegiatan yang paling pokok bagi siswa. Aktivitas belajar bagi

setiap siswa tidak selamanya dapat berlangsung secara wajar.

Keadaan dimana siswa tidak dapat belajar sebagaimana mestinya

disebut dengan kesulitan belajar. Kesulitan belajar ini tidak selalu

disebabkan karena faktor intelegensi, tetapi dapat juga karena faktor-faktor

non intelegensi. Kesulitan belajar adalah suatu kondisi proses belajar yang

ditandai hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar. (Ahmadi

dan Supriyono,1991)

Soesilawindradini (2006) mengungkapkan pada umumnya remaja suka

mengeluh tentang sekolah. Hal-hal yang menyebabkan timbulnya keluh

kesah antara lain mengenai pekerjaan rumah, mata pelajaran, peraturan

sekolah, dan lain lain. Selain itu, remaja juga bersikap kritis terhadap guru

dan cara guru mengajar. (Hurlock,1997)

b) Masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai

Akibat perkembangan kemampuan pikir, remaja memikirkan tentang

nilai-nilai yang memberikan konsep-konsep mengenai benar dan salah, baik

dan buruk serta patut dan tidak patut. Remaja tidak begitu saja menerima

konsep-konsep yang dimaksud, tetapi dipertentangkannya dengan citra diri

dan struktur kognitif yang dimilikinya.(Mappiare,1982)

Remaja menganggap bahwa yang benar ialah kesesuaian antara ideal

dengan prakteknya. Namun, dengan banyaknya ketidaksesuaian yang

dilakukan oleh masyarakat sendiri menyebabkan sering muncul

konflik-konflik dalam diri remaja ketika menilai benar dan salahnya suatu

perbuatan. Remaja mulai menyangsikan konsep benar dan salah yang

Menurut Garrison dalam Mappiare (1982), remaja sangat tertarik pada

persoalan-persoalan yang menyangkut kehidupan dan falsafah hidup. Para

remaja diharapkan memiliki standar-standar pikir, sikap-perasaan dan

perilaku yang dapat menuntun dan mewarnai berbagai aspek kehidupannya.

Remaja memerlukan perangkat nilai dan falsafah hidup. Jika remaja tidak

memiliki falsafah hidup (terutama yang diterapkan dalam perbuatan) maka

mereka tidak memiliki kendali dalam hidupnya, yang dapat membuatnya

tidak memiliki kepastian diri.

c) Masalah yang berhubungan dengan Pergaulan

Dokumen terkait