STUDI DESKRIPTIF MENGENAI
ADVERSITY QUOTIENT
PADA SISWA SMA KELAS XI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
Theresia Aprilia Rahmawati
NIM : 009114082
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
Motto :
“
TITISING TIAS AMARSUDI MARDAWANING
BUDYO TULUS”
Semua manusia mempunyai kewajiban berbudi yang tepat
baik dalam perilaku maupun pembicaraan, semua itu supaya
dapat tepat pada hati semua orang.
“SURODIRO JAYANINGRAT LEBUR DENING
PANGASTUTI”
Yang namanya kekuatan kesaktian bisa hancur karena hasil
Karya sederhana ini aku persembahkan kepada :
Yesus dan Bunda Maria
♥
♥
Kedua orang tuaku
♥
♥
Keluarga besarku
♥
♥
Kekasih hatiku
ABSTRAK
STUDI DESKRIPTIF MENGENAI ADVERSITY QUOTIENT
PADA SISWA SMA KELAS XI
Theresia Aprilia Rahmawati Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2007
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan Adversity Quotient Siswa Kelas XI. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pentingnya Siswa Kelas XI sebagai remaja untuk mempunyai kemampuan menghadapi dan mengatasi masalah, terlebih dengan banyaknya masalah yang harus dihadapi remaja pada abad ke-21. Masa remaja adalah masa kritis sebab dalam masa ini remaja dihadapkan dengan persoalan apakah ia dapat menghadapi dan memecahkan masalah-masalahnya atau tidak. Kemampuan menghadapi dan mengatasi masalah hidup oleh Stoltz disebut dengan Adversity Quotient.
Subyek dalam penelitian ini adalah remaja putra dan putri yang terdaftar sebagai siswa kelas XI SMA Pangudi Luhur Sedayu sebanyak 62 orang, yang berusia antara 15 sampai 17 tahun. Metode penelitian ini adalah deskriptif, dengan menggunakan Skala Adversity Quotient sebagai alat pengumpulan data. Skala Adversity Quotient terdiri dari 45 aitem, yang dinyatakan sahih dengan koefisien korelasi yang bergerak antara 0,2022 sampai 0,5499 dan reliabilitas skala sebesar 0, 8430.
ABSTRACT
DESCRIPTIVE STUDIES OF ADVERSITY QUOTIENT OF STUDENTS CLASS XI
Theresia Aprilia Rahmawati Sanata Dharma University
Yogyakarta 2007
This research aimed to decribe Adversity Quotient of students class XI. The background of this research was about the necessary of the students class XI as teenager to have ability to face and correct problems, especially problems happen and must be faced by adolescent in the 21st century. Teenage is a critical period because in this period adolescent will be confronted with a problem wether he or she is able to face and solve the problem or not. Ability to face and overcome problems of life by Stoltz reffered as Adversity Quotient.
Subject of this research are 62 students of Pangudi Luhur Sedayu Senior High School class XI which are 15 to 17 years old. This research used descriptive method and Adversity Quotient Scale as a means of data collecting. Adversity Quotient Scale consists of 45 valid items with peripatetic correlation coefficient between 0.2022 until 0.5499 and realiability scale 0.8430.
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur atas berkat Allah Yang Maha Kasih sehingga penulis
dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Studi Deskriptif Mengenai Adversity Quotient Pada Siswa SMA Kelas XI” yang merupakan tugas akhir di Fakultas Psikologi. Keberhasilan ini tercapai atas bantuan dari berbagai pihak yang telah
menemani, membimbing bahkan mengorbankan sebagian waktu dan pikiran demi
penulis. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. P. Eddy Suhartanto, S.Psi.,M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi yang
telah berkenan memberikan surat ijin pelaksanaan penelitian
2. Drs. H. Wahyudi, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik sekaligus
Dosen Pembimbing Penyusunan Skripsi yang telah meluangkan waktu
untuk membimbing, mengarahkan, memberi masukan-masukan serta
memberikan dorongan penulis guna kelancaran penyusunan skripsi
3. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah
membagikan ilmunya kepada penulis selama penulis menuntut ilmu di
Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
4. Mas Muji, Mas Gandung, Bapak Giyono, Mbak Nanik dan seluruh Staf
Pengajaran dan Administrasi Fakultas Psikologi Universitas Sanata
Dharma serta seluruh Staf Perpustakaan atas pelayanannya selama penulis
menuntut ilmu.
5. Bapak Drs. Markoes Padmonegoro selaku Kepala Sekolah, Bapak R.B.
di SMA Pangudi Luhur Sedayu yang telah memberikan kesempatan dan
bantuan kepada peneliti selama pelaksanaan penelitian
6. Seluruh siswa-siswi kelas XI SMA Pangudi Luhur Sedayu yang telah
bersedia menjadi responden penelitian
7. Bapak Waribi selaku Pimpinan Paguyuban SM 68 RB dan seluruh anggota
Paguyuban SM 68 RB yang telah berkenan memberikan dorongan dan
banyak bantuan sehingga karya sederhana ini dapat selesai.
8. Bapak dan Ibuku yang dengan kerelaan hatinya telah merawat,
membimbing dan mengorbankan waktu dan tenaga selama ini sehingga
menjadikanku seorang Sarjana. Terima kasih Pak, terima kasih Bu. Aku
sayang kalian.
9. Kakak-kakakku, yang dengan setia selalu memberi perhatian dan
semangat dengan pertanyaan sederhana “Kapan Wisuda ?”. Sungguh aku
beruntung memiliki saudara seperti kalian.
10. Sepuluh Ponakanku yang lucu-lucu, kalian telah memberi semangat untuk
terus menatap masa depan. Memberi arti bahwa hidup harus dijalani
bagaimanapun beratnya.
11. Seluruh keluarga besar Samigaluh, yang terus memberi dorongan
semangat untuk terus melangkah maju dalam skripsi dan dalam hidup
12. Seluruh karyawan CV. Putra Abadi yang telah dengan tekun bekerja untuk
keluarga kami. Terima kasih karena memperhatikan penulis dengan selalu
bertanya “Mbak, kapan to wisuda?” Bagaimanapun juga kita adalah
13. Kukuh, sahabat dan kekasihku yang setia, yang telah menemaniku
melewati hari-hari yang sulit, yang selalu menganggapku berarti sebagai
wanita. Semoga bekal kasih dan sayang kita dapat melewati semua
tantangan hidup kelak.
14. Dita, Kampret, Trini, Fang-fang dan teman-teman seperjuangan di
Fakultas Psikologi. Terima kasih atas bantuan, semangat dan perhatian
yang diberikan khususnya saat-saat akhir kuliah dengan selalu bertanya
“Gimana skripsimu ?”
15. Min-min (yang mau mendengarkan keluh kesah dan cerita hidupku), Nila
(yang selalu menghibur dan memberikan warna-warna ceria dengan
tingkah lakumu) dan Dian (yang memberikan gambaran dan semangat
untuk menata hari esok).
16. Saudara-saudaraku di Mapasadha, di tempat itulah aku belajar dan ditempa
bagaimana menjalani hidup, bagaimana dapat survive apapun yang terjadi
dan bagaimana aku bertahan menghadapi berbagai hal. Aku beruntung
karena aku telah menjadi saudara dalam Mapasadha.Viva Mapasadha !!!
17. Mudika Stasi Pringgolayan, Ricki, Dian, Yayan dan teman-teman Mudika
lain yang telah memberikan tuntunan dalam menjalani hidup.
18. Teman-teman Musisi Jalanan Alkid yang bersedia menemani dalam
hari-hari sulitku. Thanks Guys, dari kalianlah aku belajar banyak hal tentang
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, November 2007
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……….……...i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……….…….ii
HALAMAN PENGESAHAN………iii
HALAMAN MOTTO……….iv
HALAMAN PERSEMBAHAN……….……..v
ABSTRAK………..vi
ABSTRACT………..…...vii
KATA PENGANTAR………..viii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……….xi
DAFTAR ISI………..xii
DAFTAR TABEL……….……xvi
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………...1
B. Rumusan Masalah ………..5
C. Tujuan Penelitian ………...5
D. Manfaat Penelitian ……….5
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA A. Adversity Quotient 1. Adversity Quotient ………...…6
2. Karakter Individu dalam Adversity Quotient ………...9
B. Perkembangan Psikologis Siswa Kelas XI
1. Perkembangan Kognitif ……….16
2. Ciri Khas Masa Remaja 2.1. Masa remaja sebagai masa peralihan ………..18
2.2. Masa remaja sebagai masa belajar ……….18
2.3 Masa remaja sebagai usia bermasalah ……….19
2.4 Masa Remaja sebagai Masa Ketidakstabilan ...………23
2.5 Masa Remaja sebagai Masa yang Tidak Realistik ………...23
3. Tugas Perkembangan Remaja ………24
4. Kebutuhan Khas Remaja ………...26
5. Pergaulan Remaja ………...27
C. SMA Pangudi Luhur 1. Sejarah Yayasan Pangudi Luhur Pusat ………..27
2. Visi dan misi Yayasan Pangudi Luhur ……….. 29
3. Sejarah Singkat SMA Pangudi Luhur Sedayu ………...30
D. Adversity Quotient Siswa Kelas XI … ……….30
BAB III: METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ……….35
B. Subyek Penelitian ……….36
C. Variabel Penelitian ………...36
D. Definisi Operasional ……….36
E. Metode Pengumpulan Data ………..37
1. Validitas Alat Ukur ………42
2. Seleksi Aitem dan Uji Reliabilitas Alat Ukur 2.1 Uji Kesahihan Skala Uji Coba ……….…………..…………..43
2.2 Reliabilitas Skala Uji Coba ………..………47
2.3 Uji Normalitas Skala Uji Coba ………..……..47
G. Analisis Data ………48
BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Orientasi Kancah Penelitian 1. Kondisi Gedung SMA Pangudi Luhur Sedayu ……… 50
2. Kondisi Siswa SMA Pangudi Luhur Sedayu …...………..50
B. Pelaksanaan Penelitian ……….51
C. Persiapan Analisis Data Statistik Hasil Penelitian 1. Reliabilitas Skala Penelitian ………...53
2. Uji Normalitas Skala Penelitian ………...53
D. Deskripsi Data ………..54
E. Kategorisasi Tingkat Adversity Quotient 1. Kategorisasi Adversity Quotient ……….56
2. Kategorisasi Aspek Adversity Quotient 2.1 Aspek Control ………...58
2.2 Aspek Origin dan Ownership …………..……….59
2.3 Aspek Reach ……….………60
F. Pembahasan
1. Adversity Quotient secara umum ………...63
2. Aspek-aspek Adversity Quotient 2.1 Aspek Control ………..68
2.2 Aspek Origin dan Ownership ………...………70
2.3 Aspek Reach ……….73
2.4 Aspek Endurance ……….76
BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ………...79
B. Saran 1. Bagi Sekolah ………...81
2. Bagi Peneliti Lain ………81
C. Keterbatasan Penelitian ……….82
DAFTAR PUSTAKA ………...83
LAMPIRAN I : Skala Penelitian A. Skala Uji Coba ………..85
B. Skala Penelitian ……….86
LAMPIRAN II : Data Penelitian A. Data Pelaksanaan Uji Coba ………...87
B. Data Pelaksanaan Penelitian ……….88
LAMPIRAN III : Seleksi Aitem Skala Uji Coba A. Hasil Uji Reliabilitas Skala Uji Coba ………89
LAMPIRAN IV : Persiapan Analisis Data
A. Hasil Uji Reliabilitas Skala Penelitian ………..92
B. Hasil Uji Normalitas Skala Penelitian ………...94
LAMPIRAN V : Deskripsi Data Penelitian ………..95
LAMPIRAN VI : Kategorisasi dan Deskripsi Skor Subyek
A. Skor Adversity Quotient ………96
B. Skor aspek-aspek Adversity Quotient ………99
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 : Susunan butir Skala Uji Coba Adversity Quotient ………...…...39
Tabel 3.2 : Blue Print Skala Uji Coba Adversity Quotient ……..……….40
Tabel 3.3 : Skor jawaban pernyataan favorable dan unfavorable Skala Adversity Quotient ………41
Tabel 3.4 : Aitem gugur skala Adversity Quotient ………...45
Tabel 3.5 : Aitem sahih skala Adversity Quotient ………46
Tabel 3.6 : Hasil Uji Normalitas Skala Uji Coba ……….48
Tabel 3.7 : Tabel Norma Kategorisasi .………...……..49
Tabel 4.1 : Hasil Uji Normalitas Skala Penelitian ………....53
Tabel 4.2 : Rangkuman Deskripsi Data Penelitian ………...54
Tabel 4.3 : Deskripsi Data Adversity Quotient ……….56
Tabel 4.4 : Norma kategorisasi Adversity Quotient ………...56
Tabel 4.5 : Norma kategorisasi Adversity Quotient dengan batasan angka …...57
Tabel 4.6 : Kategorisasi Adversity Quotient ……….57
Tabel 4.7 : Deskripsi Data Aspek Control ………58
Tabel 4.8 : Norma kategorisasi Aspek Control dengan batasan angka …….……58
Tabel 4.9 : Kategorisasi aspek Control ……….59
Tabel 4.10 : Deskripsi Data aspek Origin dan Ownership .………...59
Tabel 4.11 : Norma kategorisasi Origin dan Ownership dgn batasan angka …...59
Tabel 4.12 : Kategorisasi aspek Origin dan Ownership ………...60
Tabel 4.14 : Norma kategorisasi Aspek Reach dengan batasan angka ………….61
Tabel 4.15 : Kategorisasi aspek Reach ……….61
Tabel 4.16 : Deskripsi Data aspek Endurance ……….62 Tabel 4.17 : Norma kategorisasi Aspek Endurance dengan batasan angka …….. 62
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Siswa kelas XI termasuk dalam usia remaja menurut pembagian rentangan
usia yang dikemukakan oleh Hurlock (1997) yaitu antara 13-18 tahun. Masa
remaja merupakan masa yang penting dalam rentang kehidupan, suatu periode
peralihan, suatu masa perubahan, usia bermasalah, saat dimana individu mencari
identitas, usaha yang menakutkan, masa tidak realistik dan ambang dewasa.
Masa remaja juga disebut sebagai usia bermasalah. Masalah remaja sering
menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh remaja laki-laki maupun remaja
perempuan. Mappiare (1982) mengemukakan bahwa dalam masa remaja banyak masalah yang harus dihadapi oleh remaja. Terlebih pada abad ke-21 yang
menyodorkan lingkungan sosial yang sangat berbeda dengan lingkungan sosial,
ekonomi, budaya dan teknologi pada abad sebelumnya. Perubahan teknologi yang
sangat cepat dan disertai adanya semangat globalisasi akan membawa perubahan
cara hidup masyarakat. Dalam perubahan itu, persoalan yang dihadapi oleh remaja
Indonesia menjadi semakin beragam. (Suyanto dan Hisyam, 2000)
Mappiare (1982) mengungkapkan bahwa masa remaja adalah masa yang kritis.
Dikatakan kritis sebab dalam masa ini remaja akan dihadapkan dengan
persoalan apakah ia dapat menghadapi dan memecahkan masalah-masalahnya
Soesilowindradini (2006) mengungkapkan bahwa remaja merasa dirinya
menghadapi masalah yang banyak sekali dan sukar untuk diselesaikan. Beberapa
masalah yang dihadapi oleh remaja antara lain masalah-masalah yang
berhubungan dengan pendidikan, nilai-nilai yang diyakini dan pergaulan.
Remaja menghadapi banyak masalah yang berhubungan dengan pendidikan.
Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan
kegiatan yang paling pokok bagi siswa namun aktivitas belajar bagi setiap siswa
tidak selamanya dapat berlangsung secara lancar. (Ahmadi dan Supriyono,1991)
Remaja juga menghadapi masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai
yang diyakininya. Remaja menganggap bahwa yang benar ialah kesesuaian antara
ideal dengan prakteknya. Namun, dengan banyaknya ketidaksesuaian yang
dilakukan oleh masyarakat sendiri menyebabkan sering muncul konflik-konflik
dalam diri remaja ketika menilai benar dan salahnya suatu perbuatan. Remaja
mulai menyangsikan konsep benar dan salah yang dikemukakan oleh orang
dewasa.(Mappiare,1982)
Selain masalah yang berhubungan dengan pendidikan dan nilai-nilai yang
diyakini, remaja juga sering menghadapi masalah yang berhubungan dengan
pergaulan. Pergaulan dianggap penting bagi remaja, dan kesulitan-kesulitan di
bidang itu menimbulkan kekecewaan dan gangguan emosional yang besar artinya.
Remaja sering dihadapkan pada persoalan penerimaan atau penolakan teman
sebaya terhadap kehadirannya dalam pergaulan. (Brouwer,1981)
Bila remaja dapat menghadapi masalah-masalah tersebut dengan baik, maka
dewasa. Kemampuan remaja dalam menghadapi masalah-masalah hidup inilah
yang oleh Stoltz disebut dengan Adversity Quotient.
Menurut Stoltz (2000), Adversity Quotient mengukur kemampuan seseorang dalam mengatasi masalah atau kesulitan. Abdilah (2006) juga mengemukakan
bahwa Adversity Quotient adalah kecerdasan mengelola hidup dan mampu melihat kemalangan menjadi peluang. Hal ini didukung Soedarsono (2006)
yang mengungkapkan betapa pentingnya seseorang memiliki Adversity Quotient, yaitu kemampuan seseorang dalam mengubah tantangan bahkan ancaman menjadi peluang.
Sebenarnya para remaja memiliki Adversity Quotient atau kemampuan mengatasi masalah atau kesulitan. Hal ini dikemukakan oleh Gunarsa, S dan
Gunarsa (1991) dimana pemuda pemudi atau para remaja memiliki daya juang,
daya menegakkan diri dan membentuk masa depannya sendiri. Dengan ketekunan
dan daya juang untuk mengatasi rintangan-rintangan diluar dirinya, seseorang
dapat membentuk dan mengarahkan perjalanan hidupnya. Remaja mencoba
menggunakan kemampuan berpikirnya untuk memecahkan problema-problema,
menganalisa kesukaran dan mensitesanya kembali sebagai bahan untuk
merumuskan pengalaman-pengalamannya.(Soejanto,1990)
Stoltz (2000), mengemukakan bahwa kesuksesan seseorang terutama
ditentukan oleh cara dia menjelaskan atau merespon peristiwa-peristiwa dalam
kehidupan. Bermacam kesulitan yang dihadapi lebih baik dipositifkan.
Mempositifkan kesulitan berarti menjalani kehidupan dengan optimisme. Dengan
Bila remaja dapat menghadapi persoalan-persoalannya, dia akan
mengembangkan rasa percaya pada diri sendiri dan mampu menghadapi segala
sesuatu. Bila tidak, dia akan mengembangkan perasaan gagal dan tidak mampu
menghadapi apa-apa, dimana perasaan itu dapat tetap tinggal dalam dirinya untuk
selanjutnya. (Soesilowindradini, 2006)
Berpijak dari uraian di atas yang menyatakan peranan Adversity Quotient
yang dapat menentukan kesuksesan dan kegagalan remaja dalam menjalani masa
remajanya dan masa perkembangan selanjutnya, maka peneliti merasa tertarik
untuk melihat tingkat Adversity Quotient yang dimiliki oleh siswa kelas XI sebagai remaja.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas maka rumusan masalah
yang diajukan dalam penelitian ini adalah : Bagaimana tingkat Adversity Quotient siswa SMA kelas XI ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk
D. Manfaat Penelitian
Manfaat Penelitian ini dibagi menjadi dua bagian , yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai sumbangan teoritis di bidang
Psikologi Perkembangan mengenai Adversity Quotient remaja.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat bermanfaat sebagai sumbangan praktis yang
memberikan informasi yang berkaitan dengan Adversity Quotient.
a. Bagi sekolah, penelitian ini dapat memberikan informasi tentang
Adversity Quotient siswa kelas XI
b. Bagi peneliti sendiri, penelitian ini dapat memperkaya wawasan dan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Adversity Quotient
Pada bagian ini akan diterangkan mengenai definisi Adversity Quotient, karakter-karakter individu dalam Adversity Quotient dan dimensi-dimensi
Adversity Quotient.
1. Adversity Quotient
Menurut Stoltz (2000), hidup ini seperti mendaki gunung. Kepuasan
dicapai melalui usaha yang tidak kenal lelah untuk terus mendaki, meskipun
kadang-kadang langkah demi langkah yang ditapakkan terasa lambat dan
menyakitkan. Kesuksesan dapat dirumuskan sebagai tingkat dimana seseorang
bergerak ke depan dan keatas, terus maju dalam menjalani hidupnya, kendati
terdapat berbagai rintangan atau bentuk-bentuk kesengsaraan lainnya.
Setiap kesulitan merupakan tantangan, setiap tantangan merupakan suatu
peluang, dan setiap peluang harus disambut. Perubahan merupakan bagian dari
suatu perjalanan yang harus diterima dengan baik. Pada umumnya ketika
dihadapkan pada tantangan-tantangan hidup, kebanyakan orang berhenti berusaha
sebelum tenaga dan batas kemampuan mereka benar-benar teruji. Kemampuan
Menurut Stoltz (2000), Adversity Quotient mengukur kemampuan seseorang
dalam mengatasi kesulitan. Abdilah (2006) juga mengemukakan bahwa
Adversity Quotient adalah kecerdasan mengelola hidup dan mampu melihat kemalangan menjadi peluang. Hal ini didukung Soedarsono (2006) yang
mengungkapkan pentingnya seseorang memiliki Adversity Quotient, yaitu kemampuan seseorang dalam mengubah tantangan menjadi peluang.
IQ tidak cukup untuk mencapai kesuksesan. Pemikiran lama tentang IQ
atau Intelligence Quotient, kecerdasan yang terukur secara ilmiah dan dipengaruhi oleh faktor keturunan ini telah lama dianggap oleh para orang tua dan guru
sebagai si peramal kesuksesan. Namun banyak orang yang memiliki IQ tinggi tapi
tidak mewujudkan potensinya.
Dalam bukunya Emotional Intelligence, Daniel Goleman (dalam Stoltz, 2000) menjelaskan mengapa beberapa orang yang IQ-nya tinggi mengalami
kegagalan, sementara banyak yang lainnya dengan IQ yang sedang-sedang saja
bisa berkembang pesat. Selain IQ, kita semua mempunyai EQ atau Emotional
Intelligence. EQ mencerminkan kemampuan untuk berempati dengan orang lain,
menunda rasa gembira, mengendalikan dorongan-dorongan hati, sadar diri,
bertahan dan bergaul secara efektif dengan orang lain. Goleman mengemukakan
EQ lebih penting daripada IQ, namun seperti halnya IQ tidak setiap orang
memanfaatkan EQ dan potensi mereka sepenuhnya, meskipun
kecakapan-kecakapan yang berharga itu mereka miliki. Karena EQ tidak mempunyai tolok
ukur yang sah dan metode yang jelas untuk mempelajarinya, maka kecerdasan
suksesnya seseorang. Tapi, keduanya memainkan suatu peran dalam pencapaian
keberhasilan. Stoltz (2000), mengajukan konsep yang menjembatani peranan IQ
dan EQ, serta lebih menentukan kesuksesan seseorang yaitu Adversity Quotient. Berdasarkan konsep tersebut, menurut Stoltz (2000) kesuksesan dalam
hidup sebagian besar ditentukan oleh AQ. Stoltz juga mengemukakan bahwa ada
beberapa orang yang mempunyai IQ ataupun EQ yang tinggi tetapi gagal
menunjukkan kemampuannya. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa ada
orang yang mampu bertahan dan berprestasi. Ia mengemukakan bahwa yang
mempengaruhi orang yang bertahan tersebut adalah bagaimana seseorang melihat
hambatan-hambatan sebagai peluang. Hal tersebut yang menjadi inti Adversity Quotient. (Prabowo dan Setyorini, 2005)
AQ menjadi demikian penting karena: pertama, AQ menunjukkan
seberapa baik seseorang dapat bertahan menghadapi kesulitan dan mengatasinya.
Penelitian menunjukkan bahwa orang yang sukses adalah orang yang tetap gigih
berusaha meskipun banyak rintangan atau bahkan kegagalan. Tidak ada orang
mencapai sukses sejati tanpa merasakan kegagalan sebelumnya. Kedua, AQ
merupakan alat ukur yang dapat digunakan untuk memprediksi siapa yang akan
mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang jatuh. Dimensi-dimensi AQ
merupakan faktor signifikan penentu kesuksesan atau kegagalan seseorang.
Ketiga, AQ memprediksi siapa yang akan mencapai kinerja sesuai harapan dan
potensi dan siapa yang gagal. Semua orang memiliki potensi yang besar untuk
menjadi sukses. Tetapi hanya sedikit orang yang menyakini potensi dirinya.
Sementara orang yang meragukan kemampuan dirinya, bekerja dengan kinerja
rendah. Keempat, AQ memprediksi siapa yang akan menyerah dan siapa yang
akan menang. Apakah seseorang akan berhasil atau gagal dalam melaksanakan
tugas dapat diprediksi dari nilai AQ yang dimiliki. (Nggermanto, 2002)
AQ mempunyai tiga bentuk. Pertama, AQ adalah suatu kerangka kerja
konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan.
Kedua, AQ adalah suatu ukuran untuk mengetahui respons terhadap kesulitan.
Terakhir, AQ adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk
memperbaiki respons terhadap kesulitan. Gambaran ketiga unsur ini yaitu
pengetahuan baru, tolok ukur dan peralatan yang praktis, merupakan sebuah paket
yang lengkap untuk memahami dan memperbaiki komponen dasar pendakian
sehari-hari dan seumur hidup. (Stoltz, 2000)
Definisi Adversity Quotient dalam penelitian ini adalah kemampuan seseorang dalam bertahan dan mengatasi masalah atau kesulitan serta tantangan
hidup yang dihadapi.
2. Karakter Individu dalam Adversity Quotient
Menurut Stoltz (2000), dalam pemahaman mengenai AQ diambil analogi
pendaki gunung yang melakukan pendakian. Stoltz menjelaskan tiga jenis
orang yang akan dijumpai dalam perjalanan mendaki, orang-orang tersebut
memiliki respons yang berbeda-beda terhadap pendakian dan sebagai akibatnya
dalam hidup ini mereka menikmati berbagai macam tingkat kesuksesan dan
a. Mereka yang berhenti (Quitters)
Quitters atau orang-orang yang berhenti adalah orang yang memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur, dan berhenti. Mereka mengabaikan,
menutupi, atau meninggalkan dorongan inti yang manusiawi untuk mendaki,
dan dengan demikian meninggalkan banyak hal yang ditawarkan oleh
kehidupan.
b. Mereka yang berkemah (Campers)
Berbeda dengan Quitters, Campers sekurang-kurangnya telah menanggapi tantangan pendakian itu. Mereka telah mencapai tingkat tertentu. Perjalanan
mereka mungkin memang mudah, atau mungkin mereka telah mengorbankan
banyak hal dan telah bekerja dengan rajin untuk sampai ke tempat dimana
mereka kemudian berhenti. Pendakian yang tidak selesai itu oleh sementara
orang dianggap sebagai “kesuksesan”. Mereka menganggap kesuksesan
sebagai tujuan yang harus dicapai, jika dibandingkan dengan perjalanannya.
Campers melepaskan kesempatan untuk maju, yang sebenarnya dapat dicapai jika energi dan sumber dayanya diarahkan dengan semestinya. Mereka tidak
memanfaatkan potensi mereka sepenuhnya.
c. Para pendaki (Climbers)
Climbers selalu menyambut tantangan-tantangan yang disodorkan kepadanya. Climbers yakin bahwa segala hal bisa dan akan terlaksana, meskipun orang lain bersikap negatif dan sudah memutuskan bahwa jalannya
tidak mungkin ditempuh. Mereka bisa memotivasi diri sendiri, memiliki
Kemampuan Quitters, Campers dan Climbers dalam menghadapi kesulitan. Quitters mempunyai kemampuan yang kecil atau bahkan tidak mempunyai sama sekali, itulah yang menyebabkan mereka berhenti. Campers
mungkin telah menghadapi cukup banyak kesulitan sampai menemukan tempat
berkemah. Sayangnya, kesulitan ini jugalah yang pada akhirnya mendorong
Campers untuk mempertimbangkan resiko-resiko dan imbalan-imbalannya, yang akhirnya menghentikan pendakiannya. Campers seperti Quitters mempunyai ambang kemampuan yang terbatas dalam menghadapi kesulitan, dan menemukan
alasan-alasan yang kuat untuk berhenti mendaki. Climbers tidak asing terhadap situasi yang sulit. Kehidupan mereka memang menghadapi dan mengatasi arus
rintangan yang tiada hentinya. Climbers memahami bahwa kesulitan adalah bagian dari hidup. Jadi, menghindari kesulitan sama saja dengan menghindari
kehidupan.
Berdasarkan teori “Ketidakberdayaan Yang Dipelajari” (dalam
Stoltz,2000), kesuksesan seseorang terutama ditentukan oleh cara dia menjelaskan
atau merespon peristiwa-peristiwa dalam kehidupan. Seligman (dalam
Stoltz,2000) menemukan bahwa mereka yang merespon kesulitan sebagai sesuatu
yang sifatnya tetap, internal dan dapat digeneralisasi ke bidang-bidang kehidupan
lainnya cenderung menderita di semua bidang kehidupannya, sedangkan mereka
yang menanggapi situasi-situasi sulit sebagai sesuatu yang sifatnya eksternal,
sementara, dan terbatas cenderung menikmati banyak manfaat, mulai dari kinerja
sampai kesehatan. Martin Seligman (dalam Stoltz, 2000) menjelaskan hal tersebut
sesuatu yang sifatnya permanen, meluas dan pribadi memiliki gaya pesimistis.
Mereka yang merespon kesulitan sebagai sesuatu yang sifatnya sementara,
eksternal, dan terbatas memiliki gaya optimistis.
Menurut Werner, orang yang ulet adalah “perencana-perencana,
orang-orang yang mampu menyelesaikan masalah, dan bisa memanfaatkan peluang”.
Orang yang kurang ulet akan langsung menyerah. Sama dengan kaum optimis,
orang-orang yang ulet memiliki kemampuan untuk bangkit kembali dari
kegagalan. Mereka adalah Climbers. Kemampuan ini tidak berasal dari kesulitan yang dialami tetapi dari cara mereka merespons kesulitan. Carol Dweck
membuktikan bahwa orang dengan respons–respons yang pesimistis terhadap
kesulitan tidak akan banyak belajar dan berprestasi jika dibandingkan dengan
orang yang memiliki pola-pola yang lebih optimistis. (Stoltz, 2000)
3. Dimensi Adversity Quotient
Stoltz (2000) mengemukakan bahwa Adversity Quotient terdiri atas 4 dimensi CO2RE, dimana dimensi-dimensi CO2RE ini akan menentukan Adversity
Quotient keseluruhan seseorang. a. C = Control (Kendali)
C adalah singkatan dari “control” atau kendali. C mempertanyakan berapa banyak kendali yang dirasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan
kesulitan. Kata kuncinya adalah merasakan. Kendali yang sebenarnya dalam
penting. Kendali diawali dengan pemahaman bahwa sesuatu apapun itu, dapat
dilakukan.
Perbedaan antara respons AQ yang rendah dan yang tinggi dalam dimensi
ini cukup dramatis. Mereka yang AQ-nya lebih tinggi merasakan kendali yang
lebih besar atas peristiwa-peristiwa dalam hidup daripada yang AQ-nya lebih
rendah. Akibatnya, mereka akan mengambil tindakan yang akan menghasilkan
lebih banyak kendali lagi. Merasakan tingkat kendali, bahkan yang terkecil
sekalipun akan membawa pengaruh yang radikal dan sangat kuat pada
tindakan-tindakan dan pikiran-pikiran yang mengikutinya. Mereka yang
memiliki AQ lebih tinggi cenderung melakukan pendakian, sementara
orang-orang yang AQ-nya lebih rendah cenderung berkemah atau berhenti.
b. O2 = Origin dan Ownership (Asal Usul dan Pengakuan)
O2 merupakan kependekan dari “origin” (asal usul) dan “ownership”
(pengakuan). O2 mempertanyakan dua hal yaitu siapa atau apa yang menjadi
asal usul kesulitan dan sampai sejauh manakah seseorang mengakui
akibat-akibat kesulitan itu. Ada perbedaan besar diantara keduanya.
Asal-usul atau origin ada kaitannya dengan rasa bersalah. Orang yang AQ-nya rendah cenderung menempatkan rasa bersalah yang tidak semestiAQ-nya atas
peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi. Dalam banyak hal, mereka melihat
dirinya sendiri sebagai satu-satunya penyebab atau asal usul (origin) kesulitan tersebut.
Mempersalahkan diri sendiri itu penting dan efektif tapi hanya sampai
melampaui peran seseorang dalam menimbulkan kesulitan, bisa menjadi
destruktif. Yang jauh lebih penting lagi adalah sampai sejauh mana seseorang,
bersedia mengakui akibat kesulitan itu. Rasa bersalah tidak sama dengan
memikul tanggung jawab. Mengakui akibat-akibat yang ditimbulkan oleh
kesulitan mencerminkan tanggung jawab, inilah paro kedua dari dimensi O2.
Semakin tinggi skor pengakuan seseorang, semakin besar dirinya
mengakui akibat-akibat dari suatu perbuatan, apapun penyebabnya. Semakin
rendah skor pengakuan seseorang, semakin besar kemungkinannya untuk
tidak mengakui akibat-akibatnya, apapun penyebabnya.
Orang yang memiliki AQ tinggi tidak akan mempersalahkan orang lain
sambil mengelakkan tanggung jawab. Orang yang AQ-nya tinggi lebih unggul
daripada orang yang AQ-nya rendah dalam kemampuan untuk belajar dari
kesalahan-kesalahan. Cenderung mengakui akibat-akibat yang ditimbulkan
oleh kesulitan, seringkali tanpa mengingat penyebabnya. Rasa tanggung jawab
semacam itu memaksa mereka untuk bertindak, membuat mereka jauh lebih
berdaya daripada rekan-rekan mereka yang nya rendah. Orang yang
AQ-nya tinggi melakukan pekerjaanAQ-nya dengan lebih baik, dengan menempatkan
peran mereka pada tempat yang sewajarnya. Mereka tahu mana yang
betul-betul merupakan tanggung jawab mereka.
c. R = Reach (Jangkauan)
Dimensi R ini mempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan
yang rendah akan membuat kesulitan merembes ke segi-segi lain dari
kehidupan seseorang.
Jadi, semakin rendah skor R semakin besar kemungkinan menganggap
peristiwa-peristiwa buruk sebagai bencana, dengan membiarkannya meluas.
Sebaliknya, semakin tinggi skor R, semakin besar kemungkinan membatasi
jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi.
Semakin jauh seseorang membiarkan kesulitan itu mencapai
wilayah-wilayah lain dalam kehidupan, akan semakin merasa tidak berdaya dan
kewalahan. Membatasi jangkauan kesulitan memungkinkan untuk berpikir
jernih dan mengambil tindakan.
d. E = Endurance (Daya tahan)
E atau Endurance mempertanyakan dua hal yang berkaitan yaitu berapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan itu akan
berlangsung. Semakin rendah skor E, semakin besar kemungkinannya untuk
menganggap kesulitan dan atau penyebab-penyebabnya akan berlangsung
lama, kalau bukan selama-lamanya.
Berdasarkan penelitian Selligman dan riset yang dilakukan oleh Lorraine
Johnson dan Stuart Biddle (dalam Stolz, 2000) menunjukkan bahwa ada
perbedaan dramatis antara orang yang mengkaitkan kesulitan dengan sesuatu
yang sifatnya sementara versus sesuatu yang lebih permanen atau abadi.
Mereka menemukan bahwa orang yang melihat kemampuan mereka sebagai
dibandingkan dengan orang yang mengkaitkan kegagalan dengan usaha
(penyebab yang sifatnya sementara) yang mereka lakukan.
B. Perkembangan Psikologis Siswa Kelas XI
Berdasarkan penggolongan usia yang dikemukakan oleh Hurlock (1997),
siswa kelas XI termasuk dalam usia remaja, yaitu antara 13 sampai 18 tahun yaitu
usia matang secara hukum. Karena itulah pada bagian ini akan dikemukakan
berbagai hal mengenai remaja yaitu perkembangan kognitif, ciri khas masa
remaja, tugas perkembangan remaja, kebutuhan khas remaja, dan pergaulan
remaja.
1. Perkembangan kognitif
Tahap perkembangan kognitif pada masa remaja menurut Piaget (dalam
Gunarsa, S dan Gunarsa, 1981) terletak pada Tahap IV : yaitu masa
formal-operasional. Dalam usia remaja dan seterusnya seseorang sudah mampu berfikir
abstrak dan hipotetis. Berpikir abstrak merupakan cara berpikir yang bertalian
dengan hal-hal yang tidak dilihat dan kejadian-kejadian yang tidak langsung
dihayati.
Shaw dan Costanzo (dalam Ali dan Asrori, 2005) menambahkan bahwa
dengan taraf berpikir operasional formal, memungkinkan remaja mampu berpikir
secara lebih abstrak, menguji hipothesis dan mempertimbangkan apa saja peluang
yang ada padanya daripada sekedar melihat apa adanya. Hal yang sama
diungkapkan oleh Piaget (dalam Hurlock,1997) bahwa dengan berkembangnya
kesulitan mampu mempertimbangkan semua kemungkinan untuk menyelesaikan
dan mempertanggungjawabkannya. Jadi ia dapat memandang masalahnya dari
beberapa sudut pandang dan menyelesaikannya dengan mengambil banyak faktor
sebagai dasar pertimbangan.
Mappiare (1982) mengungkapkan dalam masa remaja, perkembangan
kemampuan pikir remaja dalam menerima dan mengolah informasi abstrak dari
lingkungannya memungkinkan remaja menilai benar atau salahnya
pendapat-pendapat orang tua atau pendapat-pendapat orang dewasa lainnya. Seirama dengan
perkembangan pikirnya, remaja sering mempertanyakan tentang “mengapa”-nya
sesuatu. Berbantahan dengan orang tua atau dengan orang dewasa lainnya
merupakan hal yang wajar terjadi dalam masa ini.
Selain itu, remaja juga mempunyai kemampuan untuk berpikir secara
rasional, artinya ketika menghadapi masalah remaja dapat membuat dan
menentukan pilihan atau keputusan-keputusan dengan pertimbangan akal yang
intelegent. Hal emosi dan aspirasi-aspirasi memang tidak dapat diabaikan oleh
remaja, tetapi remaja juga mempunyai kemampuan mengadakan konsesus
terhadap berbagai pertimbangan yang saling bertentangan dan tidak selaras.
(Mappiare, 1982)
Dialaminya pertumbuhan otak dan perkembangan kemampuan pikir yang
normal pada remaja menyebabkan remaja mampu memecahkan
persoalan-persoalan yang dihadapinya, hal ini kemudian menimbulkan kepuasan. (Mappiare,
2. Ciri khas masa remaja
2.1. Masa remaja sebagai masa peralihan
Masa remaja adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak ke
masa dewasa. Ditinjau dari segi fisiknya, mereka sudah bukan anak-anak lagi
tetapi jika mereka diperlakukan sebagai orang dewasa ternyata belum dapat
menunjukkan sikap dewasa. Sebagai masa transisi, tidak jarang remaja
mengalami kesulitan untuk menemukan identitas diri secepatnya. Itulah
sebabnya masa ini disebut juga sebagai masa pencarian identitas diri.
(Kristiyani, 2005)
Tugas perkembangan dan harapan sosial terhadap orang di masa remaja
banyak sekali berkaitan dengan masalah kemandirian Remaja dituntut untuk
mandiri dalam segala aspek kehidupan. Tentu saja ini bukan sesuatu yang
mudah, mengingat sebelumnya mereka banyak bergantung pada orang tua atau
orang dewasa lain di sekitarnya. Keadaan ini seringkali menimbulkan konflik
yang dapat menghambat perkembangan pribadi remaja. Remaja ingin
diperlakukan sebagai orang dewasa, tetapi di sisi lain mereka belum bisa
dikatakan sebagai orang dewasa. (Hurlock,1997)
2.2. Masa remaja sebagai masa belajar
Masa remaja menurut Soejanto (1990) adalah masa yang sebaik-baiknya
untuk belajar. Tinjauan psikologis bahwa masa remaja adalah masa belajar
karena pada masa remaja itulah tercapai kemasakan-kemasakan jasmani maupun
Masa remaja adalah masa belajar karena dalam masa ini remaja mempelajari
segala sesuatu, baik karena tuntutan kematangan psikopsikis dan karena
keharusan-keharusan sebagai akibat dari perkembangannya.
Minat remaja akan pendidikan sungguh besar. Karena kecerdasan dan
bakat yang semakin berkembang, remaja tertarik pada pelajaran dan latihan. Di
SMA mereka dibantu untuk memilih pendidikan lanjutan atau pekerjaan yang
sesuai bagi bakat dan minat mereka masing-masing(Staf Yayasan Cipta Loka
Caraka, 1982). Selain itu minat yang muncul adalah minat remaja pada prestasi. Prestasi yang baik dapat memberikan kepuasan pribadi dan ketenaran. Inilah
sebabnya mengapa prestasi, baik dalam olah raga maupun tugas-tugas sekolah
menjadi minat yang kuat sepanjang masa remaja. (Hurlock,1997)
Ahmadi dan Supriyono (1991), mengungkapkan bahwa aktivitas belajar
remaja tidak selamanya dapat berlangsung secara wajar. Kadang-kadang lancar,
kadang-kadang tidak, kadang-kadang dapat cepat menangkap apa yang
dipelajari, kadang-kadang terasa amat sulit. Dalam hal semangat terkadang
semangatnya tinggi, tetapi terkadang juga sulit untuk mengadakan konsentrasi.
Kesulitan belajar ini tidak hanya disebabkan karena faktor intelegensi yang
rendah, akan tetapi dapat juga disebabkan oleh faktor-faktor non intelegensi.
2.3 Masa remaja sebagai usia bermasalah
Salah satu ciri masa remaja yaitu masa remaja sebagai usia bermasalah.
Masalah remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh remaja.
sebagian diselesaikan oleh orang tua dan guru, sehingga kebanyakan remaja
menjadi tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua, karena para
remaja merasa diri mandiri sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya
sendiri dan menolak bantuan orang tua dan guru(Hurlock, 1997).
Hal yang sama diungkapkan pula oleh Mappiare (1982) yang
mengemukakan bahwa dalam masa remaja banyak masalah yang harus dihadapi
oleh remaja sebagai individu, hal ini dikarenakan sifat emosional remaja.
Kemampuan berpikir lebih dikuasai emosionalitasnya sehingga remaja kurang
mampu mengadakan konsensus dengan pendapat orang lain yang bertentangan
dengan dirinya.
Mappiare (1982) juga mengungkapkan bahwa masa remaja adalah masa
yang kritis. Dikatakan kritis sebab dalam masa ini remaja akan dihadapkan
dengan persoalan apakah ia dapat menghadapi dan memecahkan masalahnya
atau tidak. Keadaan remaja yang dapat menghadapi masalahnya dengan baik,
menjadi modal dasar dalam menghadapi masalah selanjutnya sampai dewasa
Soesilowindradini (2006) mengungkapkan bahwa remaja merasa dirinya
menghadapi masalah yang banyak sekali dan sukar untuk diselesaikan.
Beberapa masalah yang dihadapi oleh remaja :
a) Masalah yang berhubungan dengan Pendidikan
Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar
merupakan kegiatan yang paling pokok bagi siswa. Aktivitas belajar bagi
setiap siswa tidak selamanya dapat berlangsung secara wajar.
Keadaan dimana siswa tidak dapat belajar sebagaimana mestinya
disebut dengan kesulitan belajar. Kesulitan belajar ini tidak selalu
disebabkan karena faktor intelegensi, tetapi dapat juga karena faktor-faktor
non intelegensi. Kesulitan belajar adalah suatu kondisi proses belajar yang
ditandai hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar. (Ahmadi
dan Supriyono,1991)
Soesilawindradini (2006) mengungkapkan pada umumnya remaja suka
mengeluh tentang sekolah. Hal-hal yang menyebabkan timbulnya keluh
kesah antara lain mengenai pekerjaan rumah, mata pelajaran, peraturan
sekolah, dan lain lain. Selain itu, remaja juga bersikap kritis terhadap guru
dan cara guru mengajar. (Hurlock,1997)
b) Masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai
Akibat perkembangan kemampuan pikir, remaja memikirkan tentang
nilai-nilai yang memberikan konsep-konsep mengenai benar dan salah, baik
dan buruk serta patut dan tidak patut. Remaja tidak begitu saja menerima
konsep-konsep yang dimaksud, tetapi dipertentangkannya dengan citra diri
dan struktur kognitif yang dimilikinya.(Mappiare,1982)
Remaja menganggap bahwa yang benar ialah kesesuaian antara ideal
dengan prakteknya. Namun, dengan banyaknya ketidaksesuaian yang
dilakukan oleh masyarakat sendiri menyebabkan sering muncul
konflik-konflik dalam diri remaja ketika menilai benar dan salahnya suatu
perbuatan. Remaja mulai menyangsikan konsep benar dan salah yang
Menurut Garrison dalam Mappiare (1982), remaja sangat tertarik pada
persoalan-persoalan yang menyangkut kehidupan dan falsafah hidup. Para
remaja diharapkan memiliki standar-standar pikir, sikap-perasaan dan
perilaku yang dapat menuntun dan mewarnai berbagai aspek kehidupannya.
Remaja memerlukan perangkat nilai dan falsafah hidup. Jika remaja tidak
memiliki falsafah hidup (terutama yang diterapkan dalam perbuatan) maka
mereka tidak memiliki kendali dalam hidupnya, yang dapat membuatnya
tidak memiliki kepastian diri.
c) Masalah yang berhubungan dengan Pergaulan
Remaja biasanya tidak banyak berhubungan lagi dengan orang tua
serta saudara dan diganti dengan teman-teman sekelas atau teman sekolah.
Dalam masa peralihan ini timbul dorongan yang kuat dalam diri remaja
yaitu kebutuhan untuk diterima di lingkungannya. (Brouwer,1981) Ini sesuai
dengan tugas perkembangan masa remaja yang dikemukakan oleh Mappiare
(1982) yaitu menjalin hubungan-hubungan baru dengan teman-teman sebaya
baik sesama jenis maupun lain jenis kelamin.
Pergaulan dianggap sangat penting, dan kesulitan-kesulitan di bidang
itu menimbulkan kekecewaan yang besar dan gangguan emosional yang
besar artinya. Dalam hubungan ini, remaja sering dihadapkan pada persoalan
penerimaan atau penolakan teman sebaya terhadap kehadirannya dalam
pergaulan. Kalau remaja berhasil menjalin relasi-relasi yang baik dengan
teman-temannya, dia akan berhasil melewati masa peralihan itu tanpa
2.4 Masa Remaja sebagai Masa Ketidakstabilan
Dalam masa ini remaja sangat tidak stabil keadaannya. Kesedihan yang
tiba-tiba berganti dengan kegembiraan, rasa percaya kepada diri sendiri berganti
dengan rasa meragukan diri sendiri, semuanya ini adalah ketidakstabilan emosi
yang biasa dari remaja. Ketidak stabilan ini juga nampak dalam hubungannya
dengan masyarakat. Persahabatannya berganti-ganti, juga sifat yang disukainya
dari orang lain selalu berganti-ganti. Dalam memilih jabatanpun berganti-ganti,
sehingga belum dapat menentukan rencana untuk masa depan. Keadaan tidak
stabil ini adalah akibat dari perasaan yang tidak pasti mengenai dirinya.
(Soesilowindradini, 2006)
2.5 Masa Remaja sebagai Masa yang Tidak Realistik
Remaja cenderung memandang kehidupan melalui kaca berwarna merah
jambu. Ia melihat dirinya sendiri dan kehidupan sebagaimana yang ia inginkan
dan bukan sebagaimana adanya (Hurlock,1997). Cara pandang yang kurang
realistik ini akan menimbulkan ketidakstabilan emosi, selain itu ketika ada
persoalan yang timbul akan dirasakan remaja mencekam dirinya, karena
disangkanya orang lain sepikiran dan ikut tidak puas mengenai dirinya.
(Gunarsa, S dan Gunarsa,1981). Dengan bertambahnya pengalaman pribadi dan
pengalaman sosial, dan dengan meningkatnya kemampuan untuk berpikir
rasional, akan membuat remaja memandang diri sendiri, keluarga, teman dan
3. Tugas Perkembangan Remaja
Tugas perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya meninggalkan
sikap dan perilaku kekanak-kanakkan serta berusaha untuk mencapai kemampuan
bersikap dan berperilaku secara dewasa. Adapun tugas-tugas perkembangan masa
remaja menurut Hurlock (1997) adalah berusaha:
1. Mampu menerima keadaan fisiknya
Remaja senantiasa membandingkan keadaan fisiknya dengan
teman-teman sebayanya. Perbandingan yang tidak memuaskan dapat menjadi
sumber kekecewaan dan rendah diri.
2. Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa
Mulai masa pubertas perbedaan antara pria dan wanita makin jelas
adanya dan dengan ini timbul peranan-peranan bagi remaja pria dan wanita.
3. Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan
jenis
Hal yang penting dalam masa ini adalah diterimanya seseorang dalam
suatu kelompok, sehingga pada permulaan masa remaja terlihat
pembentukan kelompok-kelompok
4. Mencapai kemandirian emosional
Mencapai kebebasan emosional dalam masa remaja adalah penting.
Orang-orang dewasa yang gagal menjalankan tugas ini dalam masa remaja
mereka, akan menjadi orang yang tidak dapat membuat keputusan sendiri
5. Mencapai kemandirian ekonomi
Tugas ini berasal dari keinginan untuk menjadi dewasa dan menerima
tanggung jawab atas hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan ekonomi.
6. Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat
diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat
7. Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan orang tua
Bila remaja tidak mengembangkan nilai, dia tidak akan mempunyai
pembimbing yang tetap dalam membuat keputusan-keputusan. Padahal
remaja makin lama makin harus berdiri sendiri, maka harus membuat pilihan
yang banyak berhubungan dengan berbagai hal. Macam pilihan yang
dibuatnya sangat penting sehubungan dengan penyesuaiannya dan
kebahagiaannya di kemudian hari. (Hurlock, 1997)
8. Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk
memasuki dunia dewasa
Tanggung jawab hidup yang harus semakin ditingkatkan oleh remaja,
yaitu mampu memikul sendiri juga menjadi masalah tersendiri bagi mereka.
Karena tuntutan peningkatan tanggung jawab tidak hanya datang dari orang
tua atau anggota keluarganya tetapi juga dari masyarakat sekitarnya. Tidak
jarang masyarakat juga menjadi masalah bagi remaja. Melihat fenomena
yang sering terjadi dalam masyarakat yang seringkali juga menunjukkan
adanya kontradiksi dengan nilai-nilai moral yang mereka ketahui, tidak
jarang remaja mulai meragukan tentang apa yang disebut baik dan buruk.
9. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan
10. Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan
keluarga
Agar dapat memenuhi dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan,
diperlukan kemampuan kreatif remaja. Kemampuan kreatif ini banyak diwarnai
oleh perkembangan kognitifnya.
4. Kebutuhan khas remaja
Kekhasan dalam perkembangan fase remaja dibandingkan dengan fase
perkembangan lainnya adalah adanya kebutuhan khas remaja. Menurut Garrison
(dalam Ali dan Asrori, 2005) tujuh kebutuhan khas remaja adalah :
1. kebutuhan akan kasih sayang
2. kebutuhan akan keikutsertaan dan diterima dalam kelompok
3. kebutuhan untuk berdiri sendiri
4. kebutuhan untuk berprestasi
5. kebutuhan akan pengakuan dari orang lain
6. kebutuhan untuk dihargai
7. kebutuhan memperoleh falsafah hidup yang utuh
Pada dasarnya setiap remaja menghendaki semua kebutuhannya dapat
terpenuhi secara wajar. Terpenuhinya kebutuhan akan menimbulkan
keseimbangan dan keutuhan pribadi. Sebaliknya, remaja akan mengalami
mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya jika kebutuhannya tidak
terpenuhi.
5. Pergaulan Remaja
Pikunas mengungkapkan bahwa remaja dalam tahapan pencarian diri,
ditandai dengan kedekatan dan pembentukan kelompok-kelompok dengan teman
sebaya, pencarian nilai-nilai baru, pengembangan kepribadian dan identitas diri
dalam usaha mencapai status orang dewasa yang memiliki tugas dan tanggung
jawab.(Syafitri, 2004) Remaja biasanya tidak banyak berhubungan lagi dengan
orang tuanya, dengan kakak atau adik, dan diganti dengan teman-teman sekelas
atau teman sekolah. Dalam masa peralihan itu remaja mulai merasa sendirian dan
kurang harga diri. Pergaulan dianggap sangat penting, dan kesulitan-kesulitan di
bidang itu menimbulkan kekecewaan yang besar dan gangguan emosional yang
besar artinya. Kalau remaja berhasil menjalin relasi-relasi yang baik dengan
teman-temannya, dia akan berhasil melewati masa peralihan itu tanpa banyak
kesukaran. (Brouwer, 1981)
C. SMA Pangudi Luhur Sedayu
1. Sejarah Yayasan Pangudi Luhur Pusat
Berawal pada tahun 1952, sekolah-sekolah dibawah naungan Yayasan
Kanisius yang didalamnya berkarya para Bruder FIC bertambah banyak, hingga
mengalami kesulitan dalam pengelolaan terutama dari segi finansial. Akhirnya
awal menuju tanggungjawab sendiri. Dua tahun kemudian didirikan Yayasan
Pangudi Luhur tepatnya pada tanggal 6 Oktober 1954 dengan akta notaris, yang
dirumuskan dalam rapat dewan oleh Br. Petrus Claver. Sekaligus penyerahan
sekolah-sekolah yang ditanggung FIC kepada Yayasan Pangudi Luhur sesuai
dengan SK kementerian pada tanggal 1 Agustus 1955. Dalam waktu yang singkat
nama “Pangudi Luhur” sudah terkenal dan mempunyai reputasi yang cukup baik.
Pada tahun 1958, Br. Leonardus menjabat sebagai pimpinan Badan
Pengurus Yayasan Pangudi Luhur dan berkantor dibekas pastoran dan rumah
yavenat, disinilah kantor Yayasan Pangudi Luhur didirikan. Pada tahun 1973 Br.
Leonardo pindah ke Yogyakarta, Kantor Yayasan Pangudi Luhur diambil alih
oleh Br. Cajetanus Wiyarsoatmaja. Ia melanjutkan kebijakan Br. Leonardo dan
dibantu Br. Ignatius Ngadiso hingga tahun 1980 dan kepemimpinan Kantor
Yayasan Pangudi Luhur diserahterimakan pada Br. Antherus Sutrisno.
Tak dapat disangkal perkembangan Pendidikan Pangudi Luhur sangat
pesat semenjak dipegang tanduk kepemimpinan oleh kalangan akademis, terlebih
lagi dilanjutkan kepemimpinan baru oleh Br. Dr. Martinus T.H, Br. Drs. Anton
Hadiwardaya, Br. Drs. Heribertus Sumarjo MM (th. 1996 – 2001), Br. Antherus
Sutrisno, FIC ( 2004 - 2007 ),
Pada tahun 2007 - 2011 Kantor Yayasan Pangudi Luhur dipercayakan
generasi muda yang potensial dengan memadukan dua model kepemimpinan yaitu
manajemen dan sosial dengan tetap mengedapankan kualitas, akuntabilitias dan
2. Visi dan Misi Yayasan Pangudi Luhur
Visi Yayasan Pangudi Luhur yaitu Yayasan Pangudi Luhur merupakan
lembaga pendampingan kaum muda untuk berkembang menjadi seorang pribadi
yang berkualitas tinggi, beriman, berwatak dan berbudi pekerti luhur.
Misi Yayasan Pangudi Luhur adalah untuk bisa mencapai cita-cita yang
termaktub dalam rumusan Visi diatas yang dirumuskan dalam upaya-upaya
konkret sebagai berikut :
Visi Pertama yaitu :
a. Menghidupkan dan mengembangkan unit kerja sebagai komunitas iman
dan persaudaraan sejati.
b. Meningkatkan peranan mitra kerja dengan melaksanakan shared mission
yaitu menanggung karya perutusan bersama.
c. Menangani Karya Kerasulan Pendidikan Yayasan Pangudi Luhur secara
profesional, realistis, kritis, dan kontekstual.
d. Meningkatkan dan mengembangkan komunikasi secara formal dan
informal antara Yayasan Pangudi Luhur dan Bruder serta Instansi terkait.
e. Mengupayakan pelaksanaan Karya Kerasulan Pendidikan Yayasan
Pangudi Luhur dengan memberikan perhatian kepada kaum miskin,
tersingkir dan cacat, lemah, dan mereka yang kurang mengalami cinta.
Visi Kedua yaitu mengupayakan pelaksanaan Karya Kerasulan Pendidikan
Yayasan Pangudi Luhur sebagai karya pendampingan kaum muda untuk
dan berbudi pekerti luhur, dengan terlaksananya kegiatan pendidikan dan
pembelajaran yang bermutu, terencana, tertib, disiplin, konsisten.
3. Sejarah singkat SMA Pangudi Luhur Sedayu, Bantul
SMA Pangudi Luhur Sedayu berdiri pada tahun 1967. Pada awal mulanya
berbentuk SPG dan proses belajar mengajar masih dilakukan dirumah–rumah
penduduk, karena pada saat itu belum mempunyai gedung sendiri. Pada saat itu
ketika pelaksanaan ujian, para murid harus pergi ke Bantul untuk mengikuti ujian.
SMA Pangudi Luhur Sedayu, membangun gedung sendiri sejak tanggal 1
Oktober 1971 sampai 1 April 1972 dan diresmikan pada tanggal 22 April 1972.
Mulai saat itu SMA Pangudi Luhur Sedayu mulai menyelenggarakan ujian
sekolah sendiri, sehingga para murid tidak harus pergi ke Bantul untuk mengikuti
ujian.
SMA Pangudi Luhur Sedayu termasuk dalam wilayah provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, terletak di Kabupaten Bantul dengan alamat Argosari,
Sedayu, Bantul. Dengan bapak Kepala Sekolah saat ini adalah Bpk Drs. Markoes
Padmonegoro.
D. Adversity Quotient Siswa Kelas XI
Seperti yang telah diungkapkan pada bagian sebelumnya bahwa siswa kelas
XI termasuk dalam usia remaja berdasarkan penggolongan usia yang
dikemukakan oleh Hurlock (1997), maka pada bagian ini akan digambarkan
adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.
Ditinjau dari segi fisiknya, mereka sudah bukan anak-anak lagi tetapi jika mereka
diperlakukan sebagai orang dewasa ternyata belum dapat menunjukkan sikap
dewasa. (Kristiyani, 2005)
Tugas perkembangan dan harapan sosial di masa remaja banyak sekali
berkaitan dengan masalah kemandirian. Remaja dituntut untuk mandiri dalam
segala aspek kehidupan. Ini tidak mudah, mengingat sebelumnya mereka banyak
bergantung pada orang tua atau orang dewasa lain. Keadaan ini seringkali
menimbulkan konflik yang dapat menghambat perkembangan pribadi remaja.
Remaja ingin diperlakukan sebagai orang dewasa, tetapi di sisi lain mereka belum
bisa dikatakan sebagai orang dewasa. (Hurlock, 1997).
Masa remaja juga disebut sebagai usia bermasalah. Masalah remaja sering
menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun anak
perempuan. Mappiare (1982) mengemukakan bahwa dalam masa remaja banyak masalah yang harus dihadapi oleh remaja sebagai individu. Masa remaja juga
disebut masa yang kritis, sebab dalam masa ini remaja akan dihadapkan dengan
persoalan apakah ia dapat menghadapi dan memecahkan masalah-masalahnya
atau tidak. Keadaan remaja yang dapat menghadapi masalahnya dengan baik,
menjadi modal dasar dalam menghadapi masalah selanjutnya sampai dewasa
Para remaja dalam menghadapi permasalahannya ada yang mampu
memenuhi tuntutan dan kebutuhan diri sendiri, akan tetapi ada yang tidak mampu
memenuhi tuntutan yang ada di lingkungannya yang sangat cepat bertambah dan
Tuntutan dan harapan sosial terhadap perilaku remaja membuat remaja
merasa mengalami kesulitan, sehingga remaja harus mampu memilih dengan bijak
hal-hal apa yang baik untuk dilakukannya. Ketangguhan dan daya juang dalam
memenuhi tuntutan sosial harus dimiliki remaja kalau dia tidak ingin dikatakan
sebagai orang yang menyimpang dan ingin mendapatkan penerimaan di
masyarakat. Dengan demikian, ketangguhan dan daya tahan dalam menghadapi
kesulitan pada masa remaja menjadi sangat penting serta menunjang pencapaian
tugas-tugas perkembangan dan harapan sosial yang berlaku pada saat itu.
(Kristiyani,2005)
Setiap kesulitan merupakan tantangan, setiap tantangan merupakan suatu
peluang, dan setiap peluang harus disambut. Perubahan merupakan bagian dari
suatu perjalanan yang harus diterima dengan baik. Pada umumnya ketika
dihadapkan pada tantangan-tantangan hidup, kebanyakan orang berhenti berusaha
sebelum tenaga dan batas kemampuan mereka benar-benar teruji. Kemampuan
seseorang dalam mengatasi setiap kesulitan hidup itulah yang oleh Stoltz disebut
dengan Adversity Quotient.(Stoltz, 2000)
Sebenarnya para remaja memiliki Adversity Quotient atau kemampuan mengatasi kesulitan. Hal ini dikemukakan oleh Gunarsa, S dan Gunarsa (1991),
para remaja memiliki daya juang, daya menegakkan diri dan membentuk masa
depannya sendiri. Dengan ketekunan dan daya juang untuk mengatasi
rintangan-rintangan di luar dirinya, seseorang dapat membentuk dan mengarahkan
perjalanan hidupnya. Para remaja atau muda mudi harus meneliti diri sendiri,
pemahaman diri tentang kemampuannya yang dimiliki dan dapat
meningkatkannya, barulah tiba saatnya mengambil suatu keputusan. Remaja
mencoba menggunakan kemampuan berpikirnya untuk memecahkan
problema-problema, menganalisa kesukaran-kesukaran dan mensitesanya kembali sebagai
bahan untuk merumuskan pengalaman-pengalamannya.(Soejanto,1990)
Berdasarkan teori Ketidakberdayaan Yang Dipelajari (dalam Stoltz, 2000),
kesuksesan seseorang mungkin terutama ditentukan oleh cara dia menjelaskan
atau merespon peristiwa-peristiwa dalam kehidupan. Seligman (dalam Stoltz,
2000) menemukan bahwa mereka yang merespon kesulitan sebagai sesuatu yang
sifatnya tetap, internal dan dapat digeneralisasi ke bidang-bidang kehidupan
lainnya cenderung menderita di semua bidang kehidupannya, sedangkan mereka
yang menanggapi situasi-situasi sulit sebagai sesuatu yang sifatnya eksternal,
sementara, dan terbatas cenderung menikmati banyak manfaat, mulai dari kinerja
sampai kesehatan.
Bermacam kesulitan yang dihadapi lebih baik dipositifkan. Sebab hanya
dengan mempositifkan itulah efisiensi akan ditemukan. Mempositifkan kesulitan
berarti menjalani kehidupan dengan optimisme. Dengan pandangan optimis
seseorang akan lebih sukses. (Soejanto,1990)
Bila remaja dapat menghadapi persoalan-persoalannya, dia akan
mengembangkan rasa percaya pada diri sendiri dan mampu menghadapi segala
sesuatu. Bila tidak, dia akan mengembangkan perasaan gagal dan tidak mampu
menghadapi apa-apa, dimana perasaan itu dapat tetap tinggal dalam dirinya untuk
Kesuksesan dalam pelaksanaan tugas-tugas perkembangan pada masa
remaja akan membawa kesuksesan dalam pelaksanaan tugas-tugas perkembangan
selanjutnya. Semakin banyak tugas perkembangan yang tidak dilaksanakannya
dengan baik, makin tinggi pula intensitas persoalan yang menghadangnya
(Mappiare, 1982)
Remaja dalam hal ini siswa- siswa kelas XI, jika mempunyai Adversity Quotient yang tinggi dan mampu mengatasi kesulitan serta hambatan yang ada, maka akan timbul rasa puas dan percaya diri dalam menghadapi masalah.
Akhirnya siswa-siswa tersebut akan mencapai kesuksesan dalam masa
perkembangan selanjutnya. Begitu pula sebaliknya, bila siswa-siswa kelas XI
mempunyai Adversity Quotient rendah, maka siswa-siswa tersebut tidak mampu mengatasi kesulitan dan hambatan yang ada, maka akan timbul perasaan gagal
dan tidak mampu menghadapi masalah, yang akhirnya dapat menimbulkan
kegagalan dalam masa perkembangan selanjutnya.
Melihat penjelasan diatas mengenai peran Adversity Quotient bagi siswa kelas XI sebagai remaja dan melihat sepintas mengenai SMA Pangudi Luhur
Sedayu pada bagian sebelumnya, menimbulkan pertanyaan dalam diri peneliti
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian ini adalah penelitian Deskriptif. Penelitian Deskriptif adalah
penelitian yang bertujuan menggambarkan secara sistematik dan akurat fakta
dan karakteristik mengenai populasi atau mengenai bidang tertentu. Data yang
dikumpulkan semata-mata bersifat deskriptif sehingga tidak bermaksud
mencari penjelasan, menguji hipothesis, membuat prediksi maupun
mempelajari implikasi. (Azwar, 2005) Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian
ini yaitu untuk melihat tingkat Adversity Quotient siswa SMA kelas XI, tanpa disertai dengan pengajuan hipothesis mengenai Adversity Quotient.
Pada penelitian deskripsi ini dilakukan analisis hanya sampai pada taraf
deskripsi, yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga
dapat lebih mudah untuk difahami dan disimpulkan. Pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif yang menekankan
analisisnya pada data-data numerikal (angka) yang diolah dengan metoda
statistika, sehingga uraian kesimpulan dalam penelitian ini didasari oleh angka
B. Subyek Penelitian
Subyek dalam penelitian ini adalah siswa Kelas XI angkatan 2006/2007
SMA Pangudi Luhur Sedayu. Penelitian ini dilaksanakan di SMA Pangudi Luhur
Sedayu dikarenakan sekolah ini adalah sekolah yang terbuka dan memberi
kesempatan bagi semua pihak yang hendak melakukan kegiatan penelitian di
SMA Pangudi Luhur Sedayu.
C. Variabel Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah studi deskriptif, karena itu tidak ada kontrol
terhadap variabel. Variabel dalam penelitian ini adalah Adversity Quotient .
D. Definisi Operasional
Definisi operasional dimaksudkan untuk membatasi arti variabel penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini, sehingga tidak terjadi salah pengertian
dalam menginterpretasikan data dan hasil penelitian yang akan diperoleh.
Adversity Quotient adalah kemampuan seseorang dalam bertahan dan
mengatasi masalah atau kesulitan serta tantangan hidup yang dihadapi. Adversity Quotient diukur dengan menggunakan skala Adversity Quotient yang dibuat oleh peneliti berdasar karakteristik yang dikemukakan Stoltz(2000). Adversity Quotient seseorang diukur dalam 4 dimensi CO2RE, dimana dimensi-dimensi
CO2RE ini akan menentukan AQ keseluruhan seseorang. Dimensi CO2RE yang
dimaksud :
b. O2 = Origin dan Ownership (Asal Usul dan Pengakuan)
c. R = Reach (Jangkauan) d. E = Endurance (Daya tahan)
Kemampuan Adversity Quotient dalam penelitian ini dilihat dalam 3 area permasalahan sesuai dengan dikemukakan oleh Ahmadi dan Supriyono(1991),
Soesilawindradini (2006), (Hurlock,1997), (Mappiare,1982) dan (Brouwer,1981).
Tiga area permasalahan tersebut antara lain :
1. Masalah yang berhubungan dengan pendidikan
yaitu masalah-masalah yang dialami oleh remaja yang berhubungan
dengan pendidikan.
2. Masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai
yaitu masalah-masalah yang dialami oleh remaja yang berhubungan
dengan nilai-nilai yang diyakini atau dianut remaja.
3. Masalah yang berhubungan dengan pergaulan
yaitu masalah-masalah yang dialami oleh remaja yang berhubungan
dengan pergaulan baik itu pergaulan dengan sesama jenis maupun
pergaulan dengan lain jenis.