• Tidak ada hasil yang ditemukan

Advokasi hukum

Dalam dokumen Diplomasi Indonesia dalam perlindungan t (Halaman 79-89)

ANALISIS HASIL PENELITIAN

A. Strategi Dan Penempatan TKW di Malaysia

1) Advokasi hukum

Perlindungan bagi para TKW yang bermasalah di Malaysia, dimana masalah tersebut tidak dapat diselesaikan dengan jalan kekeluargaan dan mengharuskan untuk dibawa ke pengadilan, maka KBRI di Malaysia membentuk tim Advokasi yang terdiri dari dua kategori pengacara sesuai dengan ketentuan Keputusan Menteri No.51 tahun 2003 sebagai berikut :

a. Non-Paying Lawyer, adalah jasa pengacara yang diberikan secara gratis oleh pihak KBRI khususnya bagi para TKW yang tidak mampu membayar jasa pengacara tersebut. Pengacara ini merupakan pengacara public yang disediakan oleh negara

penerima TKW yang menangani kasus-kasus tindak pidana berat.

b. Feat-Paying Lawyer, adalah jasa pengacara berbayar yang hanya bisa digunakan oleh TKW yang memiliki cukup dana untuk penggunaan jasa tersebut.

2) Kemanusian

Perlindungan kemanusian yang dapat dilakukan oleh pihak KBRI di Malaysia adalah melalui kunjungan kemanusiaan kepada para TKW bermasalah dan menjadi tahanan di negara tersebut. Hal ini dapat dilakukan secara periodik guna mengontrol keadaan para TKW sekaligus memberikan konsultasi dan dukungan moril agar para TKW bermasalh ini dapat lebih kuat menjalani sgala penderitaan yang dirasakan. Hal ini juga dapat menjadi bukti kepedulian KBRI terhadap WNI di Malaysia.

3) Politisi

Perlindungan TKW dalam bidang politisi dapat dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri dengan peningkatan kerja sama seperti kerjasama G-to-G dengan negara penerima, kerjasama G-to-G dengan sesama negara pengirim, kerjasama dengan lembaga non pemerintah, lembaga-lembaga internasional, dan organisasi keagamaan.

Kerjasama G-to-G antara Indonesia dengan Malaysia sebagai dasar perlindungan tehadap TKW di negara tersebut dapat diupayakan oleh Kemenlu dengan membentuk aturan khusus yang dapat melindungi para TKW Malaysia, seperti pembentukan Memorandum of Understanding (MOU) dengan pemerintah Malaysia yang selama ini tidak mau menandatangani nota kesepakatan tesebut. Perjanjian bilateral ini penting untuk memberi perlindungan kepada TKW dari tindak kekerasan ketika bekerja. Apalagi Malaysia tidak memiliki aturan hukum yang khusus mengurusi para TKW yang bekerja sebagai Panata laksana Rumah Tangga karena sifatnya yang informal dan tidak diatur secara resmi dalam aturan ketenagakerjaan di Malaysia.

Apabila diperlukan, pemerintah Indonesia dapat menerapkan moratorium (penangguhan) pengiriman TKW khususnya yang berprofesi sebagai PRT di Malaysia. Hal ini sebagai bagian dari diplomasi politik yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai jawaban sekaligus tekanan terhadap penolakan pemerintah Malaysia untuk menyetujui MOU tersebut.

b. Kerjasama G-to-G dengan sesama negara pengirim

Kerjasama G-to-G antara Indonesia dengan sesama negara pengirim tenaga kerja dapat diwujudkan dalam bentuk forum negara-negara pengirim (sending countries forum) untuk

membahas berbagai hal penting seperti standar gaji para pekerja, perumahan, jaminan kesehatan, asuransi, dan sebagainya. Forum ini penting untuk dilaksanakan karena dapat menjadi wadah untuk saling berbagi pengalaman antara negara pengirim tenaga kerja berdasarkan kebijakan yang diterapkan di masing-masing negara. Selain itu, juga dapat saling berkonsultasi terhadap isu-isu yang di hadapi terkait dengan masalah para pekerja di luar negeri untuk bersama-sama mencari solusi atas masalah tersebut. Hasilnya, akan meningkatkan bargaining position bagi sending countries,

terutama bagi Indonesia.

c. Kerjasama dengan lembaga Non Pemerintah, Lembaga Internasional dan Organisasi Keagamaan

Lembaga-lembaga non pemerintah atau sering disebut Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) berperan penting sebagai pengawas dan pengontrol segala kegiatan pengiriman dan penempatan TKW ke Malaysia. LSM ini berfungsi sebagai mata dan telinga serta menjadi suara masyarakat yang mengoreksi tindaka-tindakan pemerintah Indonesia dalam menjalankan kewajibannya sekaligus membantu pemerintah dalam menangani kasus-kasus TKW. Sehingga, koordinasi antara pemerintah dan LSM sangat perlu dilakukan demi kesuksesan upaya perlindungan TKW Indonesia di Malaysia. Sebagai contoh LSM Migran Care yang

membantu permasalahan TKI terutama yang berada di luar penampungan dan belum ditangani oleh KBRI. Upaya yang dilakukan antara lain dengan membantu TKI dalam pelayanan konseling, advokasi dengan kerjasama KBRI. Sedangkan di dalam negeri Migran Care menjadi pengawas terhadap kecurangan-kecurangan yang terjadi dalam pelaksanaan pengiriman TKW.

Koordinasi dengan organisasi internasional juga penting dilakukan oleh pemeintah karena memiliki peran yang hampir sama dengan LSM. Hanya saja peranan organisasi internasional ini lebih bersifat menyeluruh dan mendunia. IOM sebagai salah satu organisasi internasional banyak memberikan bantuan kerjasama dalam menangani TKW bermasalah di luar negeri dengan memberikan pelayanan konseling dan membantu memulangkan TKW ke tanah air. Sedangkan organisasi keagamaan dalam hal ini lebih berperan secara spesifik. Latar belakang bangsa Malaysia yang merupakan mayoritas muslim dapat digunakan pemerintah sebagai alas an untuk menerjunkan para petinggi organisasi keagamaan dalam melakukan second track diplomacy.

Kerjasama pemerintah dengan pihak-pihak di luar pemerintah dalam membantu penanganan tenaga kerja di luar negeri terlihat dalam kengiatan peningkatan sosialisasi BNP2TKI yang melibatkan tokoh masyarakat, organisasi buruh, LSM dan tokoh-tokoh agama dalam

suatu forum yang di namai dialog round table. forum ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik dalam hal penanganan tenaga kerja bermasalah di luar negeri.

b. Upaya Kemenlu dalam perlindungan TKW di MALAYSIA

Upaya perlindungan bagi WNI khusunya para TKW dilaksanakan oleh Kementerian Luar Negeri melalui berbagai cara seperti :

1. Melakukan Koordinasi dengan pihak terkait

Dalam hal pelaksanaan perlindungan terhadap para TKW Indonesia di Malaysia, Kementerian Luar negeri Indonesia sebagai pelaksana urusan-urusan diluar negeri berkoordinasi dengan kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta BNP2TKI sebagai badan khusus yang dibentuk di dalam negeri untuk saling membantu dalam menangani masalah TKW di Malaysia sebagai upaya perlindungan bagi para TKW. Bentuk koordinasi ini ditunjukkan dengan seringnya Kemenlu mengadakan rapat dengan BNP2TKI yang secara teknis menangani pengiriman dan penempatan TKW ke luar negeri. Dalam pertemuan ini, kemenlu dan BNP2TKI saling bertukar informasi dan data tentang TKW yang dikirim secara prosedural oleh BNP2TKI. Data ini sangat dibutuhkan oleh perwakilan RI di Malaysia sebagai penunjang dalam perlindungan dan penyelesaian masalah-masalah TKW. Dengan data ini, perwakilan RI dapat mengetahui keberadaan TKW di Malaysia yang diharapkan dapat memudahkan KBRI untuk mengontrol para

TKW ini. Namun, hal ini tidak mencakup TKW yang datang secara illegal, sehingga pelayanan dan pelaksanaan perlindungan bagi TKW illegal ini kemungkinannya sangat kecil untuk dilakukan. Hal ini juga mengakibatkan pelaksanaan perlindungan bagi TKW di Malaysia tidak dapat di lakukan secara merata dan menyeluruh.

Bentuk koordinasi antara perwakilan RI dan BNP2TKI juga ditunjukkan dalam kasus kekerasan yang menimpa Nirmala Bonat. Dalam hal ini, perwakilan RI di Malaysia telah melakukan koordinasi dengan BNP2TKI terkait perkembangan kasus maupun perawatan terhadap Nirmala Bonat tersebut. Perwakilan RI terus mengabarkan upaya-upaya hukum yang dilakukan untuk membela hak-hak Nirmala Bonat terhadap pihak BNP2TKI. Begitu pula BNP2TKI, juga akan terus memonitor agar korban mendapatkan perawatan maksimal agar dapat segera pulih kesehatanya.

2. Mengupayakan Perjanjian Bilateral

Hubungan kerja sama antara Indonesia dan Malaysia dalam hal pengiriman tenaga kerja pada dasarnya tidak pernah dilandasi suatu perjanjian bilateral diantara keduanya sejak proses pengiriman tersebut dilaksanakan. Olehnya itu, Kementerian Luar Negeri bersama dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi terus berupaya mendorong terbentuknya perjanjian bilateral di bidang penempatan dan perlindungan TKW antara Indonesia dengan negara Malaysia. Hal ini pada dasarnya merupakan tugas dan kewenangan dari Kemenlu dan perwakilannnya di Malaysia. Namun

Kemenakertrans terus berupaya mendorong Kementerian luar Negeri untuk segera menuntaskan pembicaraan nota kesepahaman (MoU) dengan pemerintah Malaysia seiring makin maraknya kasus kekerasan yang dialami oleh para TKW di Malaysia. Sebagaimana di ketahui bahwa selama ini pengiriman Tenaga Kerja Wanita yang dilakukan oleh Indonesia ke Malaysia tidak pernah didasari oleh suatu perjanjian bilateral diantara kedua negara yang mengatur tentang hal tersebut. Ditambah lagi kedua negara belum meratifikasi konvensi ILO untuk perlindungan pembantu rumah tangga.

Deputi perlindungan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tebaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Lisna Y Poeloengana menengaskan bahwa “MoU memang bukan jaminan perlindungan TKI akan membaik namun ia bisa menjadi instrument perbaikan”. Dari pernyataan tersebut, Lisna ingin menunjukkan bahwa MoU ini penting untuk segera diupayakan oleh pemerintah Indonesia jikka ingin mengadakan perbaikan dalam pengiriman TKW ke Malaysia. Upaya ini juga merupakan salah satu bentuk dari diplomasi perlindungan TKW yang terus diupayakan oleh pemerintah.

Berbagai upaya dilakukan untuk membentuk pejanjian bilateral dengan pemerintah Malaysia. Salah satunya adalah upaya Kemenlu untuk mengadakan pertemuan awal tingkat teknis diantara Pemerintah Indonesia dan Malaysia. Seperti yang disampaikan oleh juru bicara Kemlu Michel Tene, bahwa “rencana pertemuan tersebut untuk membahas masalah ketenagakerjaan, Khususnya domestic worker”. Upaya ini merupakan salah

satu upaya diplomasi yang dilakukan oleh para diplomat Indonesia untuk melindungi para TKW di Malaysia. Namun, diplomasi Indonesia pada kenyataannya belum cukup berhasil mempengaruhi kebijakan pemerintah Malaysia, sehingga sampai saat ini Malaysia masih menjadi salah satu negara penerima jasa TKW Indonesia yang belum memiliki MoU dengan Indonesia dalam hal pengiriman TKW. Dalam hal ini, kecakapan diplomat Indonesia masih dipertanyakan untuk menemukan momentum yang tepat dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah Malaysia. Langkah perlindungan bagi TKW tersebut jika dikaitkan dengan rekomendasi dari Komite CEDAW masih sangat lemah. Kelemahan Ini terlihat dari belum adanya perjanjian bilateral (MoU) yang mampu diwujudkan oleh pemerintah Indonesia dengan Malaysia. Padahal, perjanjian bilateral ini sangat penting untuk mengatur masalah perlindungan TKW di Malaysia. Disamping itu juga dapat menunjukkan kuatnya hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia.

Model perlindungan yang dilakukan pemerintah Indonesia selama ini dengan mengupayakan MoU dengan negara penerima sebenarnya juga tidaklah cukup, dikarenakan standar MoU tidak mengatur tentang prinsip perlindungan di dalam kebijakan nasional, sehingga MoU yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia hanya dominan mengatur tentang kerjasama antara PJTKI dan Negara Tujuan, dan tidak signifikan mengatur tentang perlindungan pekerja migran. Karena itu, dalam rangka pelaksanaan

pemberian perlindungan bagi TKW di luar negeri, pemerintah Indonesia sudah selayaknya mengupayakan ratifikasi Konvensi Buruh Migran.

Langkah untuk meratifikasi Konvensi Buruh Migran PBB 1990 belum juga ditunjukkan oleh Pemerintah Indonesia. Berbagai alasan pun dikemukakan oleh pemerintah terkait hal ini, diantaranya :

1. Pemerintah Indonesia melihat bahwa negara tujuan penempatan pekerja migran seperti Malaysia juga meratifikasi konvensi migran tersebut. Sehingga upaya ratifikasi dianggap sia-sia karena tidak akan berpengaruh terhadap perlindungan TKW di negara penempatan. Dalam hal ini, strategi yang dilakukan Indonesia hanya bersifat menunggu sikap Malaysia agar terlebih dahulu meratifikasi konvensi Buruh Migran. Strategi pasif seperti ini tidak cocok dilakukan Indonesia sebagai negara pengirim. Indonesia tidak dapat menunggu begitu saja sikap pemerintah Malaysia tanpa melakukan upaya lain. Indonesia juga tidak dapat mendesak pemerintahan Malaysia untuk meratifikasi konvensi ini jika Indonesia sendiri belum member contoh kepada negara-negara lain melakukan ratifikasi. Penandatanganan Konvensi Buruh Migran yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia belum mampu membuahkan hasil apapun jika belum meratifikasi konvensi tersebut.

2. Pemerintah Indonesia juga mempertimbangkan hak-hak pekerja asing yang bekerja di Indonesia ketika meratifikasi konvensi migran.

Konvensi ini juga akan mengharuskan pemerintah Indonesia untuk memperhatikan dan memberikan hak-hak pekerja asing yang bekerja di Indonesia. Hal ini dirasa sulit dilakukan mengingat kondisi ekonomi Indonesia yang belum mengizinkan untuk mengurusi warga asing ditengah kesulitan masyarakat Indonesia pada umumnya.

3. Pemerintah Indonesia Khawatir apabila telah meratifikasi konvensi migran justru akan memperbanyak pekerja asing yang masuk ke wilayah Indonesia untuk menjadi pekerja, karena para pekerja akan diberikan fasilitas seperti yang tertuang dalam konvensi tersebut. Dikarenakan karena konvensi ini tidak hanya melindungi pekerja migran Indonesia di luar negeri tetapi juga sebaliknya, pekerja migran yang ada di Indonesia harus turut dilindungi.

Beberapa alasan inilah yang menjadi dasar pertimbangan pemeintah untuk meratifikasi Konvensi Buruh Migran. Namun, Indonesia sebagai negara pengirim TKW seharusnya lebih pro aktif memperlihatkan kondisi buruh migrannya di luar negeri. Hal ini merupakan sebuah keniscayaan bagi Indonesia, karena persoalan buruh migran tidak hanya persoalan dalam negeri, tapi menyangkut hubungan bilateral antara dua negara, bahkan dapat bersifat multilateral.

Dalam dokumen Diplomasi Indonesia dalam perlindungan t (Halaman 79-89)

Dokumen terkait