• Tidak ada hasil yang ditemukan

AFML dan Norma Internasional

Dalam dokumen Evaluasi Rekomendasi AFML untuk Perlindu (Halaman 116-119)

Sebagai sebuah plaform tahunan di ingkat regional ASEAN, AFML mengakui peningnya perlindungan buruh migran di kawasan. Proses ini dihadiri oleh iga komponen ketenagakerjaan (triparite) dengan tambahan masyarakat sipil. Buruh migran juga diikui oleh sejumlah stakeholder lain di ASEAN, seperi Organisasi Buruh Internasional (ILO), pekerja dan buruh migran, organisasi masyarakat sipil, serta organisasi internasional lainnya. Forum ini sebagai upaya untuk mendiskusikan, berbagi pengalaman, mencari konsensus, serta komitmen dalam perlindungan buruh migran di kawasan ASEAN, dengan mengacu kepada Piagam ASEAN dan Deklarasi Cebu dalam Perlindungan dan Pemajuan Hak-hak Buruh Migran.

Namun demikian, perjalanan AFML dan terutama pelaksanaan norma-norma HAM di dalam rekomendasi-rekomendasi AFML idak selamanya baik dan progresif, karena adanya perbedaan latar belakang negara-negara di ASEAN, antara negara asal buruh migran dan negara tujuan buruh migran. Untuk itu, adalah pening untuk menimbang secara sekilas sejauh mana kemudian rekomendasi AFML ini seiring dengan standar HAM internasional, terutama pada Konvensi Internasional Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya.

1. Hak Atas Informasi dan Perjanjian Kerja

Ada sejumlah rangkaian hak yang diatur oleh hukum HAM internasional terkait dengan perlindungan buruh migran pada masa pra-keberangkatan, di antara yang signiikan adalah:

a. Kewajiban negara untuk menyediakan informasi sebelum

keberangkatan, sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 33, Pasal 37, Pasal 65 ayat (1) huruf c dan d, Konvensi Perlindungan Buruh Migran. b. Kewajiban untuk menyediakan informasi khusus terkait dengan buruh

migran perempuan (Pasal 2 dan 3 CEDAW). c. Kewajiban terkait dengan kontrak buruh migran.

Spesiik tentang kontrak kerja tersebut, Pasal 25 Konvensi Perlindungan Buruh Migran menegaskan peningnya perjanjian di buat sebelum buruh migran bekerja karena di dalamnya memuat hak-hak yang dimiliki oleh buruh migran dan kewajiban bagi pengguna jasa. Dengan adanya kontrak tersebut, buruh migran dapat mengetahui apa yang seharusnya ia dapatkan dan kewajiban apa yang ia harus jalankan dan majikan idak boleh melepaskan diri dari kewajiban yang telah tercantum di dalamnya.93

Merujuk pada rekomendasi-rekomendasi AFML, ada beberapa rekomendasi yang pening untuk dikemukakan di sini terkait dengan hak- hak yang disebutkan di atas. Pada AFML ke-4, informasi lebih ditekankan pada perbaikan citra buruh migran, bukan pada penyediaan informasi proses migrasi dan kerja.94 Pada AFML ke-5, ditegaskan tentang peningnya ketersediaan informasi bagi publik dalam proses rekrutmen dan prosedur atau biaya migrasi, termasuk pula penekanan bagi perempuan.95 Terkait dengan perjanjian kerja, hanya satu paragraf dalam rekomendasi AFML ke-5 yang menegaskan perjanjian kerja, yaitu meningkatkan perhaian konsulat atau negara-negara ASEAN, namun rekomendasi belum mengarah pada kewajiban.

Dalam AFML ke-6, penekanan pada peningnya informasi diarahkan pada penyediaan service center dan mekanisme komplain yang terdiseminasi ke buruh migran dan keluarganya dari pelbagai saluran, seperi media cetak dan elektronik, dan pusat-pusat buruh migran.96

Dalam AFML ke-7, ditegaskan peningnya membangun sistem informasi kontak dan sistem hukum, informasi tentang kebijakan, peraturan dan perundang-undangan yang harus dapat diakses oleh buruh migran. Terkait perjanjian kerja, AFML ke-7 menegaskan perjanjian kerja buruh migran yang menjadi standar hukum nasional, sebagaimana dalam ILC No. 86/149, adanya rekomendasi agar perjanjian di buat secara tegas dan jelas terkait dengan situasi kerja, hak dan kewajiban, di tulis dengan bahasa yang di mengeri, dan sebagainya, dan keharusan keterbukaan input dalam perjanjian kerja oleh pekerja sosial, CSOs, dan serikat buruh migran, serta adanya keharusan pelaksanaan kontrak sebagaimana tertulis.97

2. Kewajiban untuk Memantau Proses Rekrutmen Buruh Mirgan

Dalam Komentar Umum Komite Perlindungan Buruh Migran disebutkan, bahwa pengawasan dan pengaturan tentang agen-agen swasta tersebut harus memasukkan sanksi, termasuk pula larangan, bagi agen-agen yang melakukan pelanggaran dan prakik yang membahayakan buruh migran. Kemudian, terhadap Pasal 66 Konvensi, Komite mendorong negara membuat mekanisme dan pengawasan yang efekif terhadap agen-agen swasta tersebut untuk memasikan pemenuhan dan perlindungan hak buruh migran.

94 Paragraf 4 Rekomendasi AFML ke-4.

95 Paragraf 7 – 9, dan 16 Rekomendasi AFML ke-5. 96 Paragraf 12 Rekomendasi AFML ke-6

Merujuk pada rekomendasi-rekomendasi AFML, seidaknya ada beberapa rekomendasi yang menegaskan tentang rekrutmen dan agen- agen swasta, bahkan hampir seiap tahunnnya sejak AFML ke-4 hingga ke-8.

AFML ke-4 menegaskan tentang pendidikan selama pra-keberangkatan di negara pengirim buruh migran, idak hanya terkait dengan norma dan budaya, namun juga situasi kerja dan hidup di negara tujuan, hukum dan prosedur, dan hak-hak pekerja migran.98 Selain itu, ditegaskan pula tentang peningnya pembangunan kesadaran dan kapasitas badan-badan atau agen-agen yang berindak dalam rekrutmen tersebut, termasuk pula pemerintah daerah.

AFML ke-5 merekomendasikan agar negara membuat pengaturan agen- agen, baik secara prakik atau hukum, yang menjelaskan secara detail tentang biaya migrasi di negara-negara ASEAN (para. 13), membangun mekanisme yang efekif terkait dengan pengawasan agen-agen yang merekrut, dan juga pemberian sanksi bagi yang melanggar, dengan melibatkan pelbagai stakeholder (para. 14). Di antara yang didesakkan pula adalah terkait dengan pembangunan sistem lisensi agen-agen rekrutmen dengan sistem akreditasi untuk pengawasan lebih baik (para. 15)

Pada AFML ke-6, penegakan rekomendasi lebih pada mekanisme pengaduan buruh migran, di antaranya adalah dengan membangun mekanisme pengaduan secara transparan, dapat diakses, dan mencakup pada proses rekrutmen, tahap bekerja, hingga dalam kasus deportasi (point (b) para. 9). Hal ini memang menjadi salah satu masalah utama yang dihadapi oleh buruh migran karena selama ini, mekanisme pengaduan idak tersedia atau bila ada seringkali justru idak efekif dijalankan. Selanjutnya, AFML ke-7 mendorong agar di buat kebijakan dan prosedur yang memfasilitasi aspek-aspek migrasi buruh migran, termasuk pada masa rekrutmen, serta perlindungan mereka hingga masa reintegrasi, serta memasikan prosedur ini dapat diketahui dan di akses oleh buruh migran (para 17).

3. Kewajiban Perlindungan Kepemilikan Dokumen Buruh Migran

Pasal 21 Konvensi Perlindungan Buruh Migran menegaskan tentang perlindungan dokumen buruh migran yang harus di pegang langsung oleh mereka dan larangan-larangan, kecuali oleh pejabat publik yang diberikan kewenangan oleh hukum, untuk:

a. Menghancurkan atau mencoba menghancurkan dokumen idenitas,

dokumen yang memberi ijin masuk atau keluar, tempat kediaman,

atau tempat inggal dalam wilayah nasional atau ijin kerja merupakan indakan melawan hukum.

b. Penyitaan tanpa hak atas dokumen-dokumen tersebut, idak boleh dilakukan tanpa adanya buki resmi yang terperinci.

Konvensi menegaskan, bahwa “Dalam hal apapun idak diperkenankan

untuk menghancurkan paspor atau dokumen yang setara milik buruh migran dan anggota keluarganya”.99

Peningnya permasalahan dokumen ini telah menjadi perhaian banyak pihak dan hukum internasional. Prosedur Khusus PBB, Working Group tentang Bentuk-bentuk Perbudakan Modern telah mendesak negara untuk mengambil indakan dan upaya untuk melarang atau menghukum pelaku pengrusakan dan penyitaan secara paksa (idak sesuai dengan hukum) dokumen paspor buruh migran, terutama bagi buruh migran pekerja rumah tangga.100

Dalam rentang waktu 8 tahun AFML dilaksanakan, belum ada satu AFML-pun yang mengkhususkan pembahasan tentang kepemilikan dokumen buruh migran. Di dalam rekomendasi-rekomendasi yang munculpun, perbahasan tentang kepemilikan dokumen ini idak secara tegas mencantumkan tentang hal ini. Di antara yang cukup signiikan memengaruhi hal tersebut adalah karena kepemilikan dokumen, termasuk di antaranya tentang buruh migran yang berdokumen dan idak berdokumen, merupakan isu sensiif yang seringkali diperdebatkan serius oleh komunitas ASEAN. Bagi negara-negara tujuan buruh migran, terutama Malaysia, keiadaan dokumen adalah suatu kondisi yang menguntungkan karena upah buruh migran yang idak berdokumen ini akan lebih rendah dibandingkan buruh migran yang berdokumen. Untuk itu pula, dalam seiap sesi pembahasan tentang buruh migran, Malaysia dan Singapura selaku negara pengirim buruh migran selalu berkilah di balik isilah “buruh migran” yang diasumsikan mencakup buruh migran berdokumen dan idak berdokumen. Padahal, isilah buruh migran sendiri idak secara konkret dapat melindungi buruh migran yang idak berdokumen.

Dalam dokumen Evaluasi Rekomendasi AFML untuk Perlindu (Halaman 116-119)