• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Migrasi Buruh Migran Indonesia

Dalam dokumen Evaluasi Rekomendasi AFML untuk Perlindu (Halaman 81-84)

Pergerakan orang berpindah dari satu negara ke negara lain di berbagai belahan dunia terutama pergerakan warga Indonesia ke negara lain adalah fakta tak terelakan. Jumlah warga yang bermigasi ke negara lain semakin lama semakin banyak. Tujuan orang bermigrasi mulai dari memperbaiki kehidupan dengan menemukan kesempatan kerja di negara lain sehingga perlu bermigrasi tapi juga karena ada latar belakang berbagai masalah poliik, ekonomi dan sosial budaya di dalam negeri yang membuat mereka terpaksa meninggalkan tempat asalnya karena negara idak mampu memberikan pelayanan kesempatan lapangan pekerjaan di dalam negeri.

Di Indonesia, sejarah migrasi bermula semenjak zaman pemerintahan Hindia Belanda (1596-1942) melalui pembuatan jalan semanjang 1.000 kilometer untuk keperluan militer melalui sistem kerja rodi pada masa Gubernur Willem Daendels. Banyak orang bermigrasi untuk pekerjaan ini. Semenjak itulah, proses migrasi baik migrasi di dalam negeri —yang dinamakan transmigrasi, yakni program yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia untuk memindahkan penduduk dari suatu daerah yang padat penduduknya ke daerah lain (desa) di dalam wilayah Indonesia— dan migrasi ke luar negeri (seperi ke Suriname tapi kemudian juga ke negara-negara lain) menjadi prakik idak asing baik bagi warga masyarakat maupun pemerintah Indonesia. Bahkan pada awal tahun 1980-an pemerintah Indonesia telah memperluas program transmigrasi menjadi program migrasi massal untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja migran di negara-negara yang lebih makmur. Pemerintah mulai mempekerjakan warga Indonesia menjadi buruh migran di berbagai negara tujuan seperi Timur Tengah, termasuk negara- negara teluk dan negara-negara Asia Timur seperi Jepang, Taiwan, Hongkong, serta negara-negara Asia Tenggara seperi Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Awal 1990-an Indonesia telah memberikan sumbangan dalam skala besar pangsa tenaga kerja internasional. Tahun 1993 jumlah buruh migran Indonesia yang bekerja di Hongkong menempai peringkat keiga. Tahun 1994 jumlah tersebut naik menjadi peringkat kedua setelah Filipina. Selain peningkatan jumlah tenaga kerja juga terjadi pergeseran penempatan berdasarkan jenis kelamin. Pada 1970 jumlah buruh migran laki-laki lebih besar daripada perempuan dengan rasio 3:1. Awal 1990 ada perubahan trend di mana buruh migran Indonesia perempuan naik dibandingkan dengan buruh migran laki- laki, rasionya pun berubah menjadi 1:1 (Irianto, 2011). Bahkan pada 2015, menurut data BNP2TKI, jumlah buruh migran Indonesia perempuan masih lebih banyak dibandingkan dengan buruh migran laki-laki (BNP2TKI, 2015).

Tabel 4.1 : Penempatan BMI Berdasarkan Jenis Kelamin

Tahun Jumlah BMI

perempuan Prosentase Jumlah BMI laki-laki Prosentase 2011 376.686 64% 210.116 36% 2012 279.784 57% 214.845 43% 2013 276.998 54% 235.170 46% 2014 243.629 57% 186.243 43% 2015 (sd 31 Des 2015) 166.771 60% 108.965 40% Sumber: BNP2TKI, 2015

Faktor utama munculnya trend migrasi berwajah perempuan dan bekerja pada situasi 3D (Dirty, Dangerous and Diicult) adalah kemiskinan. Pada zaman orde baru wajah kemiskinan idak terlihat secara vulgar di masyarakat

luas karena akses informasi kepada masyarat dikontrol. Namun pada kenyataannya, di desa-desa, masyarakat merasakan kemiskinan sementara peluang untuk memperbaiki nasib dengan bekerja di luar negeri sudah mulai menyebar perlahan-lahan di antara warga masyarakat desa. Bekerja keluar negeri pada awalnya dan hingga sekarang tetap terjadi bukan karena pilihan namun karena keterpaksaan (forced migraion).

Selain itu secara global terdapat perubahan keadaan ekonomi di negara-negara yang lebih maju untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Di Singapura misalnya, setelah pemisahan Singapura dan Malaysia, Singapura memacu pertumbuhan perekonomian negara de ngan kebijakan industrialisasi, sebuah proses yang berorientasi pada pertumbuhan kena ikan ekspor.

Proses industrialisasi ini mempengaruhi kebijakan migrasi di Singapura dengan cara membuka keran migrasi untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja idak teram pil seperi konstruksi, manufaktur dan sektor domesik mengisi lapangan pekerjaan yang idak mungkin diisi tenaga kerja lokal. Dalam perkembangannya, setelah pembangun an konstruksi dan pabrik di Singapura mulai mandek, dan jumlah pekerja kasar asing berku rang, justru permintaan untuk mendatangkan tenaga kerja yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) justru meningkat (Palupi dkk, 2010).

Peningkatan ini didasari pada meningkatnya jumlah perempuan Singapura yang memilih bekerja di luar rumah selain itu ada dorongan dari pemerintah Singapura untuk kaum perempuan memberikan sumbangan ekonomi yang signiikan bagi negara dan bagi rumah tangga penduduk di Singapura. Perkembangan keadaan migrasi kerja dewasa ini memperlihatkan bahwa dampak dari adanya migrasi kerja ke luar negeri bagi pemerintah Indonesia adalah meningkatnya devisa di Indonesia melalui remitansi atau pengiriman uang hasil kerja buruh migran ke dalam negeri.

Menurut catatan BNP2TKI, pada 2014 jumlahnya meningkat menjadi USD 8.34 milyar atau setara Rp 105.9 trilyun dengan asumsi nilai tukar Rp 12.700 per 1 USD (BNP2TKI, 13/1/2015) dari tahun 2013 yakni sebesar 7.40 milyar dolar AS setara Rp 88.67 trilyun selama 2013 (Antara, 7/1/2014). Remitansi BMI yang dikirimkan langsung ke keluarga secara langsung atau pun idak telah meningkatkan perekonomian di desa.

Dampak peningkatan daya beli masyarakat ini dibarengi oleh meningkatnya jumlah kasus pelanggaran hak yang menimpa dan dialami oleh para buruh migran. Meskipun menurut pemerintah jumlah kasus yang dialami buruh migran mengalami penurunan karena penerapan kebijakan moratorium pengiriman buruh migran, namun hal ini perlu diinjau ulang karena data menurut Kementerian Luar Negeri menyatakan perkembangan yang berbeda.

Data Kementerian Luar Negeri menunjukkan dari 2011 hingga Oktober 2015 terjadi kenaikan kasus perdagangan manusia, deportasi dan kasus anak buah kapal (prosedural maupun non-prosedural). Dalam iga tahun terakhir rata- rata kenaikan kasus sebanyak 52,5%.

Data dari organisasi dan serikat buruh migran yang melakukan kegiatan advokasi penanganan kasus melihat bahwa kasus-kasus yang dialami buruh migran idak mengalami perubahan. Kasus yang masuk ke dalam database mereka menunjukkan buruh migran yang berkasus mengalami lebih dari satu kasus. Data dari Serikat Buruh Migran (SBMI) juga mencatat dari 321 kasus yang ditangani, rata-rata BMI mengalami lebih dari satu pelanggaran kasus. Sementara itu, pengalaman Solidaritas Perempuan dalam melakukan kegiatan pengorganisasian dan menangani kasus kekerasan terhadap buruh migran juga menunjukkan kerentanan perempuan buruh migran terhadap trafciking. Indikasi traicking terlihat jelas dari proses perekrutan dan penempatan yang idak melalui perusahaan jasa penempatan tenaga kerja, dari pemalsuan dokumen, penggunaan visa turis (bukan visa kerja), dan modus tempat kerja dipindah-pindah majikan.

Peran Pemerintah Indonesia dan pemerintah di ingkat ASEAN dalam melindungi buruh migran Indonesia dari perspekif masyarakat sipil: Berjalan di tempat ataukah ada perubahan?

Dalam dokumen Evaluasi Rekomendasi AFML untuk Perlindu (Halaman 81-84)