• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV DESKRIPSI WILAYAH DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.4 Agama Yang Diakui dan Dilayani Oleh Negara Sebagai Pilihan Rasional

bahwa tindakan perseorangan mengarah kepada sesuatu tujuan dan tujuan itu (juga tindakan) ditentukan oleh nilai atau pilihan. Tetapi coleman menyatakan bahwa untuk maksud yang sangat teoritis, ia memerlukan konsep yang lebih tepat mengenai aktor rasional.

Berdasarkan teori ini bisa dikaitkan dengan kajian penelitian dimana agama yang diakui dan dilayani oleh Negara disebut sebagai pilihan rasional bagi Parmalim. Membuat agama yang diakui dan dilayani oleh Negara sebagai pilihan rasional merupakan tindakan dari Parmalim untuk suatu tujuan. Dalam teori pilihan rasional coleman menyatakan bahwa pilihan rasional itu merupakan tujuan dan tujuan itu juga dikatakan sebagai tindakan. Sama halnya dengan Parmalim, agama yang diakui dan dilayani oleh Negara sebagai pilhan rasional juga merupakan tujuan kepentingan, dan agama yang diakui oleh Negara dikatakan sebagai suatu tindakan.

Menurut teori pilihan rasional, mereka yang mengambil tindakan yang demikian biasanya untuk memaksimalkan kepentingan. Upaya memaksimalkan kepentingan menyebabkan keseimbangan kontrol dalam masyarakat dan juga menyeimbangkan sistem. Begitu juga dengan Parmalim, Parmalim sebagai aktor

mempunyai keinginan untuk memaksimalkan kepentingan dan juga menyeimbangkan sistem dalam masyarakat. Dan biasanya aktor yang melakukuan tidakan rasiaonal disababkan oleh norma. Norma diprakarsai dan dipertahankan oleh beberapa orang yang melihat keuntungan yang dihasilkan dari pengalaman dan kerugian yang berasal dari pelanggaran norma. Begitu juga dengan keadaan Parmalim mereka melakukan suatu tindakan tidak terlepas dari kepentingan norma, yaitu mematuhi norma yang ada pada Negara. Dan mereka juga mempunyai prinsip bahwa dengan taat pada norma akan menghasilkan suatu keuntungan.

4.5 . Pandangan Masyarakat Agama Yang Diakui Dan Dilayani Oleh Negara Tentang Keberadaan Agama Malim

Dalam suatu masyarakat selalu terjadi hubungan sosial. Baik itu interaksi maupun kontak sosial yang dilakukan. Setiap masyarakat selalu mengetahui keadaan sesamadilingkungan sekitarnya. Unsur-unsur perbedaan selalu ada menyelimuti masyarakat, baik itu perbedaan agama, budaya, suku, bahasa, ekonomi, politik dan sebagainya. Sama halnya dengan Desa Saornauli Hatoguan, penduduk di desa ini telah hidup bersama dengan sekian lama. Banyak sudah perubahan yang terjadi di masyarakat, ada mengarah ke yang lebih baik maupun sebaliknya.

Sebagai masyarakat yang hidup bersama dengan penganut yang berbeda agama sering melahirkan banyak tanggapan-tanggapan, pandangan, dan perbedaan diantara umat beragama. Begitu juga dengan masyarakat yang berada di sekitar agama Malim, masyarakat disini memberikan beberapa pandangan tentang kepercayaan agama Malim yang berada disekitarnya.

Di Desa Saornauli Hatoguan terlihat bahwa masyarakat mengkritik keberadaan Parmalim.Sebagian dari masyarakat telah menganggap aneh keberadaan agama Malim. Masyarakat berpandangan bahwa agama Malim terlalu tertutup dan ketinggalan zaman. Seperti penuturan Bpk. Lasro :

“…Bapak saya dulunya agama Malim, Agama Malim memang agama yang pertama ditanah Batak ini. Merekalah yang melanjutkan apa yang menjadi kebiasaan ompung (nenek moyang) kita dulu. Tapi Parmalim tidak mau mengikuti perkembangan zaman dan mereka juga tertutup kepada umum. Padahal tidak ada dikatakan bahwa kita tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. Itu yang membuat mereka mulai dilupakan masyarakat dan berpandangan buruk terhadap agama Malim. Padahal zaman ini sudah berkembang seharusnya Parmalim juga harus mengikuti perkembangan tersebut. Sebenarnya adat Batak tidak dirubah tetapi mengikuti perkembangan, walaupun memang kita akui adat sekarang tidak lagi sepanatik adat yang dulu. Tetapi adat yang dulu masih tetap dijalankan masyarakat Batak…”

Hal yang sama juga disampaikan oleh Ibu Simbolon :

“…Kalau agama Malim ini tidak bisa kitakatakan tidak baik, tetapi

mereka telah ketinggalan Zaman. Namanya zaman itu pasti mengalami perubahan, tetapi agama Malim berbeda. Mereka tetap pada adat Zaman dulu, mereka tidak berkembang mengikuti zaman. Adat yang dulu masih dipertahankan, padahal saat ini kemajuan Zaman sudah sangat maju…”

Keberadaan Parmalim dimasyarakat saat ini telah banyak mengundang kritikan dari berbagai pihak. Khususnya tentang identitas mereka sebagai penduduk. Muncul pertanyaan bahwa agama Malim itu punya agama apa ? jelas diketahui bahwa agama Malim tidak bisa dicantumkan sebagai pelengkap identitas. Identitas mereka di catatan kependudukan sering menjadi pertanyaan bagi sebagian orang. Dalam data kependudukan desa, Parmalim menggunakan salah satu agama yang

diakui dan dilayani oleh Negara dalam kolom agamanya. Seperti penuturan Sekdes Saornauli Hatoguan :

“…Dalam catatan desa kita tidak tau berapa warga Parmalim, yang kami ketahui Parmalim memang ada, kamipun bingung liat mereka, kalau mereka ingin mengurus sesuatu mereka buat juga agamanya, makanya kamipun bingung dengan Parmalim ini…”

Pemerintah desa setempat tidak mengetahui dengan jelas tentang keberadaan agama Malim dan permasalahan identitas yang dihadapinya. Dalam catatan kependudukan desa mereka tidak terdaftar sebagai Parmalim, tetapi mereka menggunakan salah satu agama yang diakui oleh Negara sebagai agamanya.

BAB V PENUTUP

5. 1. KESIMPULAN

Agama merupakan sistem sosial yang didalam kandungannya merangkum suatu kompleks pola kelakuan lahir dan batin yang ditaati oleh penganut- penganutnya. Secara umum agama diartikan sesuai dengan pengalaman dan penghayatan individu terhadap agama yang dianutnya. Agama adalah kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta hukum-hukum yang diwahyukan kepada utusannya agar penganutnya hidup bahagia sampai dunia akhirat. Sedangkan Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang merupakan alat untuk mengatur hubungan-hubungan individu serta menetapkan tujuan hidup bersama dalam wilayah tersebut.

Di Indonesia sendiri agama sudah merupakan salah satu lembaga penting yang mempunyai hubungan erat dengan Negara. Saat ini Indonesia mengakui adanya 6 (enam) agama resmi yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Chu. Keenam agama itulah yang mendapat legitimasi dari pemerintah untuk dapat hidup dan berkembang di Indonesia. Hingga saat ini keenam agama tersebut dilayani dan dibina oleh pemerintah dibawah naungan Dapartemen Agama. Disamping itu, sebenarnya Indonesia memiliki beberapa agama asli nusantara tetapi belum mendapat pengakuan resmi dari Negara. Mereka masih dianggap sebagai sebuah aliran

kepercayaan. Salah satu agama asli Indonesia yang belum mendapatkan pengakuan tersebut adalah agama Malim.

Agama Malim merupakan salah satu agama suku asli Indonesia yang berpusat di Provinsi Sumatera Utara. Agama Malim lahir di tanah Batak sekitar 400 tahun yang lalu. Ada empat orang yang tercatat sebagai malim ditanah Batak yang dipercaya sebagai pendiri agama Malim yaitu Raja Uti, Raja Simarimbulubosi, Raja Sisingamangaraja, dan Raja Nasiakbagi. Keempat Raja ini diyakini sebagai orang yang membawa berita keagamaan pertama kali di tanah Batak. Mereka berkeinginan supaya tanah Batak percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa (Debata Mulajadi

Nabolon) dan berlandaskan “SUNANO” (Suhi Ampang Na Opat atau ampang yang

bersegi empat) yang terdiri dari tona, poda, patik, dan uhum. Pendeknya raja-raja tersebut berkeinginan agar masyarakat Batak selalu memelihara dan melestarikan nilai-nilai budaya dan adat orang Batak dan percaya berdasarkan Ketuhanan.

Agama Malim sama halnya dengan agama- agama resmi Negara lainnya yang percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa, tetapi dalam agama Malim disebut sebagai “Debata Mulajadi Nabolon”.Menurut sejarah Batak, agama Malim ikut serta memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan melawan para penjajah pada jaman penjajahan. Pahlawan yang mereka sebut adalah Raja Sisingamangaraja yang sekaligus pimpinan dan pendiri agama Malim. Raja Sisingamangaraja melawan penjajah beserta para murid-muridnya atau pengikutnya di agama Malim. Dengan perjuangan yang dilakukan masyarakat Indonesia menentang penjajah akhirnya berhasil mendapatkan sebuah kemerdekaan dan tercipta sebuah Negara Republik

Indonesia. Parmalim yang ikut memperjuangkan kemerdekaan tersebut berharap mendapatkan pelayanan dan pengakuan resmi dari Negara. Tetapi sampai dewasa ini agama Malim belum bisa disebut sebagai salah satu agama resmi Negara. Parmalim masih dianggap sebagai aliran kepercayaan. Permohonan kepada pemerintah telah berulangkali dilakukan tetapi pemerintah tidak bisa mewujudkan permohonan Parmalim.

Tidak diakuinya sebagai sebuah agama resmi, membuat Parmalim menghadapi beberapa tantangan dan krisis keberadaan di lingkungan masyarakat maupun sebagai warga Negara. Permasalahan yang dihadapi Parmalim yaitu memperoleh identitas sebagai Warga Negara Indonesia maupun proses pelaksanaan adat Batak dalam masyarakat. Dalam penelitian ini menggambarkan bahwa agama yang diakui dan dilayani oleh Negara merupakan salah satu yang mempengaruhi keberadaan mereka.

Untuk menelusuri lebih jauh, bagaimana Parmalim saat ini menghadapi krisis keberadaan yang dihadapinya. Parmalim disini menggambarkanadanyarelasi Parmalim dengan agama yang diakui dan dilayani oleh Negara. Relasi Parmalim dengan agama yang diakui dan dilayani oleh Negara terbagi atas dua bentuk yaitu relasi atas dasar kepentingan identitas sebagai warga Negara dan relasi dalam proses pelaksanaan adat Batak.

Dari segi relasi atas dasar kepentingan identitas kenegaraan, disebut bahwaidentitas sudah merupakan hal yang penting dalam setiap Warga Negara,

identitas sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup seseorang dalam bernegara. Sistem pembuatan identitas bagi setiap warga telah diatur dalam Undang- Undang. Parmalim yang belum mendapatkan pengakuan dari Negara sulit untuk mendapatkan identitas. Keberadaan Parmalim sebagai Warga Negara Indonesia sering menjadi pertanyaan bagi banyak pihak. Mereka masih dihadapkan dengan permasalahan identitas sebagai warga Negara. identitas mereka sering menuai kritikan dari masyarakat.Dalam mendapatkan sebuah identitas Parmalim sering dikaitkan dengan salah satu agama yang diakui oleh Negara. Parmalim masih mengalami ketergantungan terhadap salah satu agama resmi Negara.Ketergantungan tersebut adalah dalam memperoleh identitas kependudukan sebagai warga Negara dan keberlangsungan hidup mereka sebagai Warga Negara Indonesia. Identitas yang mereka sebut adalah KTP, KK, Akta dan identitas lainnya.

Dari segi proses pelaksanaan adat Batak, agama Malim saat ini disebut telah mengalami keterasingan dari masyarakat Batak sendiri. Mereka juga mengalami krisis keberadaan dimasyarakat Batak. Beberapa adat Batak yang dipertahankan Parmalim tidak lagi sesuai dengan adat yang ada dimasyarakat saat ini. Dalam penelitian ini adat yang mereka sebut adalah sistem adat Perkawianan.Parmalim meyakini bahwa perubahan adat Batak dimasyarakat disebabkan oleh lahirnya ajaran dari agama yang diakui oleh Negara yang memilik perbedaan dengan ajaran agama Malim.

Dalam menghadapi tantangan dan krisis keberadaan yang dialami Parmalim, membuat umat Parmalim mengambil beberapa sikap dalam menghadapinya. Pertama,

Dalam memperoleh identitas, Parmalim menggunakan salah satu agama yang diakui dan dilayani oleh Negara sebagai simbol identitasnya. Mencantumkan agama yang diakui dan dilayani oleh Negara dalam identitas telah dilakukan Parmalim begitu lama.Mereka menyebutkan bahwa mencantumkan salah satu agama yang diakui oleh Negarasangat membantu mereka dalam kelangsungan hidup sebagai warga Negara. Dalam memilih agama yang akan dicantumkan, Parmalim memilih agama yang mayoritas ditempat mereka berada. Tetapi sebagian dari umat Parmalim yang tinggal di tanah Batak (Bona Pasogit) memilih untuk mengosongkan agamanya dan menyebut agama Malim tetaplah sebagai sebuah agama. Mereka tidak mau memiliki agama lain. Parmalim yang tetap bertahan dalam agamanya tersebut terlihat mengalami keterasingan dari masyarakat.

Memilih atau mencantumkan agama yang diakui dan dilayani oleh Negara sebagai identitas disimpulkan bahwa sikap tersebut dilakukan Parmalim guna menghadapi krisis keberadaan yang di alaminya. Hubungan mereka dengan agama yang diakui dan dilayani oleh Negara disebut sebagai jalan untuk mempermudah kelangsungan hidup yang harus mereka jalani.

Adat Batak dalam ajaran agama Malim telah berbeda dengan adat yang berlangsung dimasyarakat Batak saat ini, khususnya dalam adat perkawinan. Adat perkawinan saat ini telah banyak melanggar adat Batak dalam ajaran agama Malim. Dan Parmalim juga mengalami kesulitan dalam melaksanakan adat Perkawinan. Kesulitan tersebut muncul ketika parmalim melaksanakan adat perkawinan dengan

salah satu agama yang diakui dan dilayani oleh Negara. Masyarakat Batak saat ini sulit menerima agama Malim.

5. 2. SARAN

Pada bagian akhir penelitian ini, akan dikemukakan saran-saran yang berhubungan dengan masalah dan tujuan yang telah dirumuskan. Adapun saran- saran yang diajukan sebagai berikut.

1. Sebaiknya pemerintah mengambil langkah atau keputusan yang lebih bijaksana dalam menyelesaikan masalah-masalah keberagamaan yang ada di Negara Indonesia.

2. Pemerintah harus ikut serta dalam memperhatikan Agama Malim.

3. Bagi umat Parmalim sebaiknya lebih berbesar hati dalam menghadapi krisis keberadaan tersebut, dan lebih bijaksana dalam menyesuaikan diri didalam masyarakat.

4. Sebaiknya Parmalim bisa menerima perkembangan zaman.

5. Umat agama yang diakui dan dilayani oleh Negara harus lebih menghargai dan menghormati keberadaan agama Malim.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Defenisi Agama Menurut Sosiologi

Telah ditemukan bahwa agama adalah sesuatu yang kompleks, berbagai macam ragam, mengandung berbagai aspek: yang gaib dan yang nyata, material dan spiritual, sosial dan individual, dihayati dengan berbagai penekanan oleh individu dan kelompok masyarakat, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh aspek-aspek sosio- kultural. Karena itu pendefenisiannya oleh seorang ahli atau suatu bidang ilmu dan sudut pandang tertentu, seperti secara sosiologis, tidaklah mengungkapkan apa itu agama menurut keadaan sebenarnya, tetapi lebih merupakan persepsi yang mendefinisikannya terhadap ciri utama (Agus,2003 :38 ).

Auguste Comte (1798-1858) adalah yang mengunkapkan pengertian agama ketika membicarakan evolusi pemikiran manusia. Dari teori trios etatsnya (tiga tahap pemikiran manusia) dapat dipahami bahwa comtememahami agama sebagai jawaban dari cara berpikir manusia dan masyarakat yang cenderung mencari jawaban absolut dari berbagai masalah alam dan kehidupan.

Defenisi agama yang dipakai sosiologi adalah defenisi yang empiris bukan defenisi yang evaluatif. Dengan kata lain sosiologi hanya dapat memberikan deskripsi yaitu menggambarkan apa adanya yang mengungkapkan apa yang dimengerti dan dilami oleh para penganutnya. Manusia percaya bahwa agama memiliki kesanggupan yang defenitif dalam mendorong manusia.

Agama secara umum dan mendasar dapat didefenisikan sebagai perangkat aturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib khususnya manusia dengan Tuhannya, mengatur manusia dengan manusia lain dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Tambah lagi agama dapat didefenisikan sebagai sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasikan dan memberikan respon terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang baik dan suci ( Robertson,1993 :V-VI).

Agama sebagai sistem keyakinan dapat menjadi inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan suatu masyarakat bahkan bisa menjadi pendorong bahkan penggerak serta pengontrol masyarakat yang meyakini ajaran agama tertentu, masyarakat tersebut idealnya akan berjalan sesuai dengan agama itu. Landasan keyakinan agama ada pada konsep suci (sacred), realita dunia (profane) dan yang gaib (supernatural). Menurut Durkheim (Turner, 1991: 31) dunia dibagi menjadi dua golongan atau dominan; yang pertama, semua yang dianggap sacred dimana berisikan unsur distintiktif pemikiran agama, kepercayaan mite, dogma dan legenda yang menjadi representasi hakikat hal-hal yang sacred. Kedua adalah semua yang profane yaitu kebaikan dan kekuatan yang dilekatkan kepadanya atau hubungannya satu sama lain dan termasuk hubungan dengan profane. Setiap orang yang beragama akan meyakini itu sebagai sebuah prinsip keyakinan.

Aspek sosiologis agama menampilkan dalam sorotan metodologis lain yaitu agama adalah bagian dari kebudayaan manusia dan agama sebagai institusi sosial. Secara garis besar sosiologi memandang agama sebagai suatu jenis sistem sosial tertentu, yang dibuat oleh penganut-penganutnya. Sedangkan kebudayaan sosiologi

melihat sebagai keseluruhan pola kelakuan lahir dan batin yang memungkinkan hubungan sosial antar anggota-anggota masyarakat.

Agama sebagai suatu sistem sosial didalam kandungannya merangkum suatu kompleks pola kelakuan lahiriah dan batin yang ditaati penganut-penganutnya. Dengan cara itu pemeluk agama baik secara pribadi maupun bersama sama berkontak dengan yang suci. Mereka menggunakan pikirannya, isi hati dan perasaannya kepada Tuhan menurut pola tertentu dan lambang tertentu. Agama terkena proses sosial dan institusionalisasi dan menggunakan mekanisme kerja yang berlaku.

Agama Parmalim dalam penelitian ini dianalisis dari aspek keberadannya dalam masyarakat melalui aspek sosiologis. Dimana aliran kepercayaan parmalim adanya proses sosial menggunakan mekanisme kerja yang berlaku sebagai suatu agama. Dalam melaksanakan ritual keagamaan mereka menggunakan ungkapan religius perorangan seperti menggunakan doa dengan sikap tubuh. Ungkapan religius kolektif beserta lambang-lambang pada agama ini juga ada.

Pemeluk parmalim percaya penuh dan menghormati pimpinan parmalim sebagai pengontrol dalam kehidupan beragama. Kekuasaan pimpinan parmalim dilegitimasi dengan mengacu pada adat istiadat dan tradisi yang diturunkan kepada keturunan pimpinan Parmalim selanjutnya yaitu keturunan dari Raja Marnangkok Naipospos. Hal ini dapat dilihat dari dari konsep dominasi legitimate weber. Konsep bahwa kekuasaan dilegitimasi dengan mengacu pada adat istiadat dan tradisi, atau pada klaim-klaim kharismatik pimpinan personal, atau pada prosedur-prosedur legal rasional administrasi politik.

Freud (1968) melihat tidak ada otoritas yang puas begitu saja atas ketaatan atau kepatuhan yang hanya muncul berdasarkan common sense, rasa pantas atau penghargaan belaka: kekuasan akan selalu menimbulkan kepercayaan dikalangan pengikutnya untuk meyakini legitimasi yang dia miliki, dan ini ditempuh dengan cara mentransformasikan disiplin-disiplin menjadi sikap tunduk dan patuh terhadap kebenaran yang diwakili. Weber menemukan tiga tipe otoritas yang legitimate. Juga membedakan kekuasaan secara umum dengan konsep dominasi yang lebih spesifik. Dapat dilihat sketsa teori kepatuhan berikut ini paralel dengan analisis dominasi

legitimate yang lebih luas lagi dan menghasilkan model dasar-dasar kepatuhan yang

lebih abstrak:

Dominasi Kepatuhan

Tradisi Empatik

Kharisma Inspirasional

Birokratis Rasional

Kepatuhan terhadap dominasi yang berjalan merupakan fenomena sosial yang sangat kompleks; motivasi untuk mematuhi bukanlah sekedar persoalan persepsi terhadap pemerintah yang legitimate dari pihak yang lebih superior semata. Tapi bisa saja karena kepatuhan yang apatis, pragmatis, rasa takut terhadap hukuman atau menganggapnya wajar. Weber menganggap dominasi legal-rasional dan kepatuhan

rasional perlahan lahan telah menggantikan tradisi dan karisma sebagai prinsip dasar kontrol politik dalam kapitalisme (Turner, 1991: 320).

2.2. Relasi Agama dan Negara

Diskursus tentang agama, politik dan Negara telah berlangsung cukup lama di negeri ini. Secara khusus dalam beberapa tahun terakhir ini, menjadi hangat dibicarakan, terutama berkaitan dengan fenomena agama dan politik yang membawa bendera agama, muncul kerusuhan kerusuhan sosial yang membongkar hubungan agama, politik dan Negara (Mulkhan 2002: vi)

Menguatnya diskursus agama, politik dan Negara yang telah berlangsung cukup lama tersebut, setidaknya karena alasan bahwa ketiga entitas ini sama sama memiliki “pengikut” dan kepentingannya masing masing. Agama dianggap sebagai entitas yang memiliki nilai sacral, karena itu memang acapkali diagungkan, diunggulkan untuk menjadi semacam pembawa “petuah” sakti bagi para pengikutnya. Sakralisasi agama amat berperan dalam membangun sebuah masyarakat yang percaya pada dimensi transcendental, keilahian.

Sementara itu, politik semacam kekuatan pemaksa yang sangat berpengaruh dalam aktivitas kenegaraan. Dengan politik orang dapat mengatur orang lain, karena dia memiliki kekuasaan (kuasa). Sedangkan Negara dengan model dan caranya sendiri memiliki kekauatan yang cukup dasyat dalam mengatur masyarakatnya sebagai dasar legitimasi kekuasaan politik yang dimiliki. Pemaksaan peraturan dan kebijakan kepada rakyatnya secara politik dibenarkan, karena disanalah salah satu sumber utama legitimasi politik yang senantiasa harus dijaga.

Tiga entitas yang sama berkepentingan terhadap umat/masyarakatnya itu sering menjadi rebutan, sehingga tak jarang terjadi bentrokan-bentrokan kepentingan yang sama sama menyesatkan masyarakat. Masyarakat yang mestinya mendapat manfaat atas agama, malah acapkali “dikorbankan” atas nama agama demi interest atas politisi, sehingga memang seringkali sarat dengan muatan muatan politik. Agama tidak memberikan ruang pada publik untuk mendapatkan diri sebagai pihak yang memang seharusnya dilindungi dan diberdayakan. Pendek kata, agama oleh para politisi biasanya dibuat tak berdaya dan diperalat. Inilah yang kerapkali menjadi lahan paling subur terjadinya politisasi agama, bahkan agama kemudian diredusir hanya sebagai justifikasi politik sehingga agama tak lebih sebagai ideologi politik.

Seperti telah disinggung diatas, Negara dengan segala kepentingannya terhadap warga Negara, melakukan pemaksaan pemaksaan dan itu disahkan oleh kebijakan politik yang berlangsung. Pemaksaan-pemaksaan yang dilakukan oleh Negara bisa dibilang sebagai turning point bagaimana Negara menguasai warganya. Namun hal ini jarang disadari oleh sebagian besar warga Negara kita. Ini dikarenakan proses pendidikan politik bangsa ini memang telah lama berhenti. Dengan mengatasnamakan kepentingan publik, Negara tak jarang berlaku menindas dan mengeberi rakyatnya. Negara tidak lagi berperan sebagai pelayanan publik (rakyat), namun menempatkan diri sebagai penguasa tunggal setelah agama. Dan politik sebagai alat atau sarana yang paling ampuh untuk itu.

Sekarang kita secara khusus membicarakan pilihan-pilihan yang perlu dipikirkan secara serius dalam bernegara. Pilihan-pilihan ini didasarkan pada adanya

kecenderungan yang sama-sama kuatnya dalam menentukan model kontruksi sebuah Negara.

Politisasi agama jelas tidak dikehendaki oleh mereka yang meyakini bahwa agama bukanlah sekedar alat legitimasi politik kekuasaan tertentu, karena itu mesti dihentikan. Namun tidak demikian buat merekayang memang memahami bahwa agama memang merupakan alat paling ampuh untuk menggalang kekuatan

Dokumen terkait