• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV DESKRIPSI WILAYAH DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.3 Relasi Parmalim Dengan Agama Yang Diakui dan Dilayani Oleh Negara

4.3.2 Relasi Parmalim Dengan Adat Batak Toba

Sejak zaman dahulu sampai pada generasi sekarang adat adalah bagian dari kehidupan masyarakat Batak. Tidak ada perilaku sosial yang tidak berhubungan dengan adat, terutama dalam hubungan pergaulan, perkawinan, memasuki rumah dan sebagainya. Adat adalah suatu sikap, tingkah laku, kebiasaan dan kelajiman yang dilakukan sesuai dengan nomor yang diturun alihkan. Adat ini berkembang menjadi suatu hukum yang mengatur segala aspek kehidupan masyarakat batak pada zaman

dahulu walaupun tidak dikumpulkan secara tertulis. Hukum itu kemudian disebut sebagai hukum adat. Hukum adat dipahami sebagai hukum bangsa yang berlaku yang mengatur pertalian-pertalian hukum dibidang kenegaraan dan kemasyarakatan yang mempunyai akibat-akibat hukum tetapi tidak dimuat dalam Undang-Undang.

Pemahaman penganut agama Malim yang meyakini bahwa adat itu bukanlah sekedar hasil budaya orang Batak terdahulu yang diturunalihkan secara turun temurun kepada generasi sekarang, akan tetapi lebih dari itu keberadaan adat itu berasal dari Debata Mulajadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa) melalui seseorang yang dipilihnya. Orang yang terpilih menerima konsep dasar adat dari Debata, lalu konsep dasar itu dikemas menjadi butiran-butiran adat dan patik yang kemudian dinamakan menjadi hukum.

Menurut pandangan agama Malim bukanlah hasil budaya masyarakat, tetapi percikan roh Debata Mulajadi Nabolon kepada hambanya bangsa Batak. Itulah sebabnya dinamakan juga “ghost sanctioned custom” artinya, kebiasaan yang disahkan oleh ruh (Gultom, 2010: 71). Dengan demikian adat merupakan sarat dengan nilai nilai bermakna keagamaan. Oleh karena itu adat bermakna keagamaan, maka wajib diamalkan.

Masyarakat Batak pada zaman Sisingamangaraja sangat memperjuangkan adat Batak. Adat merupakan Undang-Undang yang diturunkan oleh Debata melalui para leluhur orang Batak. Hal tersebut juga menjadi hukum yang ada pada ajaran agama Malim yang masih dipatuhi sampai saat ini. Adat Batak tertulis juga ada dalam

kitab Parmalim (Pustaha Tumbaga Holing) dan (Pustaha Habonoron). Pustaha Tumbaga Holing yang berisi kerajaan, hukum, peradialan, persawahan, perniagaan dan kesenian. Pustaha Tumbaga Holing diberiakan ditulis oleh Siraja Batak dalam sebuah kulit kayu (Buku Laklak). Pustaha Tumbaga Holing telah ada sebelum agama Malim lahir namun Pustaha Tumbaga Holing tetap menjadi sebuah kitab bagi Parmalim. Pustaha Habonaron merupakan Pustaha yang berisikan Tona, Patik, Poda, dan Uhum. Pustaha ini merupakan kitab suci yang sering dipakai oleh Parmalim atau disebut sebagai Pustaha Naimbaru. Pustaha Habonoron merupakan pemberian Raja Sisingamangaraja XII. Dengan demikian agama Malim merupakan agama suku bangsa Batak yang menjalankan adat istiadat orang Batak mulai awal dan akhir, kehidupan dan kematian. Hal tersebut terucap dari pengakuan Bapak sinaga

“…Pustaha Habonoron dan Pustaha Tumbaga Holing merupakan Kitab Suci dari agama Malim. Disana kita dapatkan beberapa ajaran agama Malim yang harus dilaksanakan oleh umat agama Malim. Sebenarnya tidak hanya untuk agama Malim semata, tetapi untuk seluruh orang Batak dimanapun berada. Adat batak yang secara tertulis ada dalam Surat Pustaha Habonoron dan Tumbaga Holing…”

Dalam ajaran agama Malim merangkum semua kegiatan dan pola kehidupan orang Batak. Terbukti sampai saat ini Parmalim terus melaksanakan nilai-nilai kebatakan. Mereka sangat menghargai nilai-nilai adat Batak yang diwariskan oleh para nenek moyang. Hal inilah yang tetap dilaksanakan agama Malim yaitu peduli dengan adat Batak yang dibuat oleh para leluhurnya, dan terbukti sampai saat ini

agama Malim masih mempertahankan dan melestarikan agama Malim dan adat Batak terdahulu.

Hubungan antara adat-istiadat dan sistem kepercayaan agama Malim sangatlah erat. Parmalim dalam melaksanakan ajarannya dan dalam kehidupan sehari- harinya selalu berlandaskan kepada perintah (Patik) dan aturan-aturan agama Malim. Satu identitas khusus seluruh orang Batak Toba adalah pembagian masyarakat atas tiga golongan yang dikenal sebagai (Dalihan Natolu). Dari ketiga golongan inilah masyarakat Batak Toba beranjak untuk menjalankan adat-istiadat tersebut.

Empat keterikatan yang berlaku dalam adat-istiadat mereka refleksikan kedalam perintah, nasehat, amanat, dan hukum (Patik, poda, tona, dan uhum). Inilah yang menjadi dasar adat yang ada dalam dalam masyarakat Batak. Dan inilah yang menjadi dasar agama malim dalam melaksanakan kepercayaan Malim. Mereka meyakini bahwa keempat hal tersebut berasal dari ajaran Debata Mulajadi Nabolon.

Jika dilihat dari segi mitologinya, adat Batak merupakan yang pertama ada dibandingkan agama Malim di masyarakat Batak. Sebelum ada agama Malim adat Batak itu sudah dahulu ada dalam kehidupan orang Batak. Adat merupakan nilai dan norma bagi kehidupan orang Batak. Adat sangat berperan dalam mengatur kehidupan manusia dalam berperilaku.

Melihat pentingnya adat dalam kehidupan masyarakat Batak tersebut membuat Raja Nasiakbagi, Raja Uti, dan Raja Sisingamangaraja berpikir untuk mendirikan agama Malim yang bertujuan untuk memperjuangkan adat Batak agar

selalu dilestarikan dan dialaksanakan oleh masyarakat Batak. Terbukti sampai saat ini agama Malim masih mempertahankan kebiasaan adat Batak dan tanpa ada merubahnya. Hal tersebut juga sesuai dengan pernyataan oleh Bapak Situmorang :

“…Apa yang ada dalam ajaran agama Malim merupakan hukum dan aturan kehidupan oleh orang Batak. Ajaran agama Malim itu dibuat Raja Nasiakbagidan, Raja Uti, dan Raja Sisingamangaraja yang bertujuan agar generasi orang Batak selalu mengingat dan melaksanakan adat dan nilai-nilai luhur yang telah diturunkan oleh nenek Moyang kita. Kita tidak boleh lupa dengan apa yang diciptakan oleh para nenek moyang kita, apalagi sampai melupakannya. Karena dengan mengingat mereka dan melaksanakan (Poda) perintahnya kita akan selalu diberkati oleh para leluhur kita…”

Agama Malim didirikan oleh Raja Nasiakbagi, Raja Utidan Raja Sisingamangaraja karena titah dari Debata Mulajadi Nabolon. Dalam ajaran agama Malim disampaikan bahwa Tanah Batak adalah Tanah Malim (suci) dan tanah adat yang harus dijaga. Tetapi pada saat itu mereka mengalami rintangan dalam membawakan ajaran agama Malim. Sebelumnya kepercayaan masyarakat batak dikenal sebagai Parbaringin dan Parhudamdam. Kedua agama ini disebut sebagai aliran kepercayaan yang percaya kepada benda-benda besar dan aneh. Dan pada saat itu ilmu kedukunan (hadatuon) lebih dipercayai dan dikembangkan.

Berdasarkan perintah yang disampaikan Debata Mulajadi Nabolon kepada Raja Nasiakbagi, Raja Uti, dan Raja Sisingamangaraja maka mereka membawa ajaran baru yang disebut dengan (Ugamo Malim) atau agama Malim yang bertujuan untuk mengingatkan masyarakat Batak agar selalu melestarikan (Bona Pasogit) Tanah Batak dan selalu melaksanakan adat yang telah dibuat oleh para leluhurnya. Raja-

Raja ini juga berkeinginan supaya kelak keturunan Siraja Batak selalu mengerti bagaimana sejarah kehidupan dan sejarah adat yang diciptakan oleh orang Batak terdahulu.

Setelah Raja-raja tersebut meninggal dunia agama Malim mulai luntur dan tidak banyak lagi pengikutnya. Pada saat itu kepercayaan Malim merupakan satu satunya kepercayaan yang percaya kepada Debata Mulajadi Nabolon (Tuhan Yang

Maha Esa). Melihat keadaan tersebut Raja Mulia Naipospos yang sekaligus murid

dari Raja Sisingamangaraja meresmikan agama Malim ditanah Batak. Dan mewartakan ajaran agama Malim keberbagai daerah. Dan terbukti pada zamannya agama Malim didukung penuh oleh masyarakat Batak.

A. Hubungan Parmalim dengan Adat Batak pascaBerkembangnya Agama Yang Diakui dan Dilayani Oleh Negara

Pada bab sebelumnya telah dipaparkan bahwa agama Malim sangat erat hubungannya dengan adat Batak. Agama Malim dan adat Batak diibaratkan seperti dua sisi mata uang logam yang tidak dapat dipisahkan. Agama Malim adalah agama yang didirikan di bangsa Batak yang bertujuan untuk melestarikan dan mempertahankan adat Batak. Tetapi saat ini pernyataan tersebut tidak lagi indah seperti pada zaman sebelumnya, keberadaan agama Malim telah mulai dilupakan oleh masyarakat Batak.

Masyarakat Batak saat ini sudah banyak yang tidak mengenal agama Malim. Masyarakat Batak tidak lagi mendukung penganut agama Malim untuk

mempertahankan Agama bangsa Batak tersebut. Mereka malah sering mendapat pengaruh-pengaruh dari masyarakat Batak itu sendiri supaya meninggalkan agama Malim. Karena agama tersebut tidak mengalami perubahan dan dianggap sebagai aliran kepercayaan yang menyembah berhala. Seperti penuturan oleh Bapak Sinaga:

“,,,Masyarakat Batak saat ini telah banyak yang tidak kenal lagi sama agama Parmalim, agama Parmalim ini malah dianggap agama penyembah berhala (sipele begu). Banyak masyarakat Batak saat ini sangat berpandangan negatif terhadap agama Parmalim,padahal agama Malim tetaplah percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa sama seperti kepercayaan lainnya.Agama Malim sama seperti agama yang diakui oleh Negara,Andaikan Negara memberikan ijin pada Parmalim,, mungkin kami tidak mengalami masalah ini ”

Parmalim meyakini bahwa krisisnya keberadaan yang dialami mereka terjadi semenjak kehadiran agama yang diakui oleh Negara dan tidak disahkannya agama Malim sebagai salah satu agama resmi oleh Negara. Hal inilah yang disebut sebagai awal penyebab masyarakat Batak mulai meninggalkan agama Malim. Mereka beranggapan bahwa apabila Negara memberikan ijin kepada Parmalim maka mereka kemungkinan tidak akan mendapatkan krisis keberadaan. Keberadaan agama Malim di tanah Batak ditutupi dengan berkembangnya agama yang diakui oleh Negara ditanah Batak.

Saat ini Parmalim menjalani hidup dengan penuh tantangan di lingkungan masyarakat khususnya di tanah Batak. Parmalim merupakan agama yang minoritas di tanah Batak. Menurut Parmalim ajaran agama lain telah membawa perubahan terhadap adat dan kebiasaan di Masyarakat Batak. Demikian penuturan Bpk. Situmorang :

“…Kalau kita lihat sekarang ini adat batak yang dilakukan tidak bisa kita katakan adat batak walaupun orang Batak yang melakukan adat Batak. Tetapi tidak bisa dikatan tidak adat Batak, karena orang Batak yang melakukannya. Saat ini adat Batak sudah seperti adat Barat…”

Melihat situasi adat Batak saat ini menjadi permasalahan tersendiri yang dihadapi Parmalim, Ajaran agama Malim yang sebenarnya menjaga dan mempertahankan adat Batak tidak lagi seindah sebelumnya di masyarakat Batak. Adat Batak yang sekarang mereka sebut sudah seperti adat Barat. Mereka melihat adat Batak sekarang telah mengikuti adat Barat misalnya, dalam melaksanakan adat pernikahan, dan penerapan Dalihan Natolu. Adat yang saat ini ada di masyarakat Batak menjadi permasalahan bagi Parmalim. Adat yang mereka pertahankan berbeda dengan adat yang ada dimasyarakat. Menurut Parmalim adat yang berlangsung dimasyarakat saat ini tidak lagi sesuai dengan upacara adat yang dibuat nenek moyang orang Batak terdahulu. Adat Batak saat ini telah berubah dan telah banyak menghilangkan kebudayaan dan adat yang asli. Hal tersebut disampaikan oleh Bapak Sinaga :

“…Pada zaman dahulu ompung kita (nenek moyang kita) sangat peduli dengan agama Malim dan adat Batak. Disinilah dibuat beberapa torsa torsa ni parngoluan ni halak Batak (pola kehidupan orang Batak). Dulunya, adat Batak itu sangat dilaksanakan oleh masyarakat Batak. Tetapi sekarang sudah lain, adat Batak tidak lagi adat batak. Adat yang dahulu telah hilang. Seperti kata umpasa (pepatah) terdahulu, ompungta naparjolo martungkot salagundi, pinungka ni naparjolo ihutononni naparpudi. Artimya, nenek moyang kita punya tongkat namanya salagundi, adat yang dibuat harus didikuti oleh keturunannya. Sekarang telah beda, ompungta naparjolo martungkot salagundi, pinungka ni naparjolo rombakonni naparpudi. Artimya, nenek moyang kita punya tongkat namanya salagundi, adat yang dibuat diganti oleh keturunannya…dan jaman sekarang ini sangat aneh orang yang

melaksanakan adat Batak telah menjadi bulian, malah dianggap sebagai orang kampungan…”

Hal tersebut juga disampaikan oleh Bpk. Berlina :

“…Orang Batak sudah banyak yang melupakan agama Malim. Dan sebagian orang Batak tidak lagi mengenal agama Malim. Tidak hanya agama malim saja, jika kita lihat saat ini, tidak lagi adat dihidup manusia sekarang.Padahal, dahulu Parmalim sangat didukung oleh masyarakat Batak. Misalnya, Ketika mau melakukan pesta, Parmalim sangat dihargai dan sering dijadikan sebagai perangkai acara. Tetapi sekarang Parmalim tidak lagi menjadi penting dalam pesta Batak, padahal nenek moyang kita dulu semua beragama Malim,…”

Perbedaan Adat Batak Menurut Agama Malim dan Adat Batak Yang Dijalankan Sekarang Menurut Parmalim

Adat Batak Versi Malim Adat Batak Sekarang

• Penerapan Dalihan Natolu masih kuat

• Musik dalam pelaksanaan adat Batak yaitu Gondang Bolon

dan Gondang Hasapi

• Penerapan Dalihan Natolu sudah mulai melemah

• Musik dalam Pelaksanaan adat Batak telah memakai musik

modern

Parmalim mengakui situasi yang dihadapinya saat ini sangat menyulitkan kelangsungan hidup mereka di masyarakat. Adat Batak yang dulunya sejalan dengan mereka, sepertinya saat ini tidak lagi sesuai dengan ajaran agama Malim.Perubahan adat di masyarakat Batak mereka yakini semenjak berkembangnya ajaran agama lain di tanah Batak. Hilangnya agama Malim di kehidupan masyarakat Batak

menyebabkan hilang dan memudarnya nilai-nilai adat Batak.Merekapun disertai rasa bingung dalam mengikuti adat Batak saat ini dimasyarakat. Banyak di antara mereka tidak bisa mernerima perubahan adat yang terjadi dimasyarakat. Tetapi hasilnya mereka yang tetap bertahan dalam ajaran agama Malim akan mengalami keterasingan dari masyarakat lainnya. Mengikuti perubahan adat yang terjadi dimasyarakat saat ini bagi Parmalim sudah melanggar adat yang ada dalam ajaran agama Malim.

B. Proses Negosiasi Adat Perkawinan Parmalim dengan Agama Yang Diakui dan Dilayani Oleh Negara.

Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa adat Batak yang ada di msyarakat Batak sekarang telah berbeda dengan adat Batak menurut ajaran agama Malim, adat Batak yang berlangsung dimasyarakat telah menghilangkan dan melanggar beberapa adat Batak menurut agama Malim, hal tersebut menjadikan sistem adat Batak sekarang sulit diterima Parmalim. Misalnya dalam sistem adat perkawianan, pelaksanaan adat perkawinan saat ini tidak sesuai lagi dengan sistem adat perkawinan dalam ajaran agama Malim. Telah banyak ditemukan masyarakat Batak melakukan pernikahan dengan marga yang sebenarnya dilarang dalam adat Batak. Salah satu contoh perkawinan yang terjadi saat ini dimasyarakat yang tidak sesuai dengan adat Batak dalam ajaran agama Malim adalah pernikahan antara Marga “Sirait dan

Sitorus”. Adat Batak dalam ajaran agama Malim melarang penikahan yang demikian,

mereka masih dianggap satu darah. Seperti penuturan Bpk. Situmorang :

“…Masyarakat Batak zaman sekarang telah jauh dari adat Batak yang sesungguhnya yang dibuat oleh nenek moyang kita, misalnya dalam sistem

adat perkawinan. Kalau sekarang kita lihat yang satu margapun sudah banyak yang bisa melakukan menikah. Padahal sebenarnya sangat dilarang dalam adat Batak. Itu sebenarnya sangat menyimpang dari adat Batak yang asli, misalnya Marga sirait sama sitorus itu sebenarnya tidak boleh dilakukan, kerena mereka masih satu marga. Dan masih banyak pernikahan satu marga yang sebenarnya dilarang dalam adat Batak…”

Pernikahan satu marga dalam masyarakat Batak saat ini sudah mulai banyak terjadi. Contoh lain yaitu “Marga Manurung dengan Sirait, Situmorang dengan Sinaga, Tamba Dengan Saragi” dan masih banyak lagi marga-marga yang melakukan pernikahan semarga. Pernikahan disini terlihat tidak melakukan pernikahan semarga misalnya seperti “Situmorang dengan Situmorang”, namun bagi Parmalim bahwa pernikahan semarga tidak harus sama seperti yang dinyatakan sebelumnya. Namun pernikahan semarga juga bisa beda nama tetapi mereka yakini tetap satu marga dan tidak diperbolehan untuk menikah.

Walaupun masyarakat Batak saat ini telah banyak melanggar pernikahan satu marga, tetapi masih banyak juga masyarakat Batak tetap mematuhi peraturan sistem adat pernikahan masyarakat Batak. Dalam ajaran agama Malim, melakukan pernikahan dengan satu marga sangat melanggar norma dan nilai adat perkawinan yang diwariskan oleh para leluhurnya.

Disamping pelanggaran norma adat perkawinan di masyarakat Batak saat ini, Parmalim juga dihadapkan dengan permasalahan dalam melakukan adat perkawinan. Permasalahan tersebut timbul ketika Umat Parmalim melaksanakan adat perkawinan dengan agama lain yaitu umat agama yang diakui dan dilayani oleh Negara. Permasalahan timbul dari perbedaan agama. Dalam proses negosiasi sebelum upacara

perkawinanan (Tonggo Raja), perdebatan sering terjadi di kedua belah pihak. Perdebatan tersebut timbul pada saat membagas agama yang akan memberkati dan yang akan diikuti oleh pasangan yang akan menikah. Menurut Parmalim, agama yang diakui dan dilayani oleh Negara sulit menerima agama Malim yang akan memberkati dan menjadi agama anaknya.Bagi Parmalim sistem pernikahan yang mereka laksanakan merupakan pernikahan yang dibuat oleh para leluhurnya yang pertama ada di masyarakat Batak yang disebut dengan “Pasu-pasu Raja”. Tetapi saat ini sistem adat perkawinan yang dilakukan oleh Parrmalim sering menuai kritikan dari masyarakat. Masyarakat saat ini sulit menerima sistem pernikahan yang dibuat oleh Parmalim. Pada saat negosiasi permintaan Parmalim sulit untuk terwujud. Hal tersebut disampaikan oleh Bpk. Sinaga :

“…Ketika melakukan Tonggoraja (negosiasi), kedua belah pihak sering bertentangan dalam menentukan agama mana yang dipilih untuk memberkati yang mau menikahi ini. Parmalim menginginkan supaya yang mau menikah diberkati oleh agama Malim. Khususnya ketika pihak laki-lakinya berasal dari agama Malim. Tetapi pihak lain tidak bisa menerima permintaan dari Parmalim. Sangat kecil kemungkinan Parmalim diterima. Jadi Parmalim lebih sering mengalah…”

Hal senada juga disampaikan Bpk. Jhon :

“…Ini dulu anak saya menikah, menjadi perdebatan memilih agama yang memberkatinya. Pihak umat lain tidak setuju supaya agama Malim yang memberkati dan agamanya dikemudian hari. Parmalim lebih sering yang mengalah dalam proses negosiasi. Tetapi karena waktu itu kami adalah pihak laki-laki (suhut) itulah yang menjadi alasan kami. Walaupun kita suhut tetap juga mau kita yang mengalah dalam proses negosiasi.”ketika kami pihak perempuan (boru) belum pernah permintaan kami diwujudkan oleh agama lain…”

Melaksanakan upacara adat pernikahan merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi oleh agama Malim. Dalam proses negosiasi, perdebatan sering terjadi pada kedua belah pihak. Permintaan Parmalim bisa terwujud dalam proses negosiasi ketika pihak Parmalim berposisi sebagai mempelai pria (suhut), hal itupun kemungkinan sangat kecil terwujud bagi mereka. Pada saat Parmalim berposisi sebagai pihak mempelai wanita (boru) permohonan mereka tidak pernah berhasil dalam proses negosiasi. Disinilah agama Malim sering kehilangan umatnya dan berpindah pada agama lain dengan alasan keberadaan agama Malim yang kurang jelas.

Ketika ada umat Parmalim yang berpindah pada agama lain karena pihak yang dinikahinya tidak bisa menerima agama Malim, Parmalim tetap merestui anaknya yang meninggalkan agama Malim. Parmalim mempunyai Prinsip sesuai ajaran Malim bahwa “mudar dang boi sirang sian badan” artinya, darah tidak bisa lepas dari tubuh. Mereka beranggapan bahwa anak merupakan darahnya yang tidak bisa lepas dari hidupnya. Berbeda dengan agama, Agama menurut Parmalim merupakan ciptaan manusia, jadi tidak masalah jika mereka berbeda agama. Hal ini disampaikan oleh Bpk. Situmorang :

“…Kalau anak kami meninggalkan agama Malim karena alasan yang baik, kami tetap merestuinya. seperti ajaran Malim “ Mudar dang boi sirang sian badan” artinya darah tidak bisa lepas dari tubuh. Demikianlah anak kita, anak itu kita anggap sebagai darah kita, jadi kita tetap merestuinya walaupun mereka meninggalkan agama Malim…”

Bagi Parmalim agama merupakan ciptaan manusia yang memberikan kedamaian, kebaikan dalam hati maupun jiwa Manusia.Menganut sebuah agama bagi Parmalim lebih mengutamakan hubungan manusia dengan Yang Maha Kuasa.

4.4 . Agama Yang Diakui dan Dilayani Oleh Negara Sebagai Pilihan Rasional

Dokumen terkait