• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN TEORETIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.3 Agenda Setting Siaran Radio

Pendekatan agenda setting dikembangkan oleh Maxwell E. McComb dan Donald Shaw. Agenda setting adalah komunikasi yang mencoba menjelaskan pengaruh media massa terhadap struktur kognitif individu. Adanya hubungan antara peliputan tentang isu-isu yang penting oleh media massa dengan penilaian relatif oleh publik terhadap pentingnya isu-isu tersebut (McCombs dan Shaw 1972 dalam Rakhmat 2005).

Konsep agenda setting menurut Benard C. Cohen dalam tulisannya The Press and Foreign Policy pada tahun 1963 adalah berita di media massa tidak

secara langsung mempengaruhi pemikiran khalayak terhadap masalah politik, namun berpengaruh kepada subjek apa saja yang akan dipikirkan oleh khalayak (Descartes 2004). Menurut teori agenda setting, dinyatakan bahwa media tidak mempengaruhi sikap khalayak, namun media berpengaruh terhadap apa yang dipikirkan khalayak. Media mempengaruhi persepsi khalayak tentang hal yang dianggap penting. Singkatnya, media memilih informasi dan berdasarkan informasi dari media, khalayak akan membentuk persepsi tentang peristiwa (Rakhmat 2005). Teori agenda setting mengasumsikan adanya hubungan positif antara perhatian media dan perhatian khalayak pada suatu peristiwa (Rakhmat 2005).

Fungsi dalam agenda setting, dikenal beberapa model. Kusuma 1991 (Descartes 2004) menjelaskan bahwa model pertama adalah pengenalan. Model ini dibuat berdasarkan hipotesis bahwa khalayak mengenali adanya suatu berita atau topik berdasarkan liputan media massa, jika media tidak meliput suatu peristiwa tertentu maka publik tidak mengetahui adanya peristiwa tersebut. Model kedua adalah model kemenonjolan, model ini berada ditengah-tengah model pengenalan dan model prioritas, model ini menggambarkan bahwa berita atau topik yang dianggap penting oleh media akan menggambarkan bahwa berita atau topik yang dianggap penting oleh media akan dianggap penting oleh publik sebagai berita yang penting. Sebaliknya jika media tidak menganggap penting suatu berita maka publik juga menganggap berita tersebut sebagai berita tidak penting.

Model ketiga adalah model prioritas, yang merupakan bentuk ekstrim dari model pengenalan. Menurut model prioritas, media memutuskan urutan berita atau topik menurut kepentingannya dalam penyajiannya. Selanjutnya agenda peristiwa tersebut diterima oleh publik, dimana urutan agenda yang dimiliki publik relatif sama dengan urutan agenda yang disajikan media. Pada beberapa studi, untuk mengukur prioritas suatu berita dilakukan dengan beberapa cara. Sebagian besar menentukan prioritas berita dengan melihat waktu tayang, seberapa dalam pembahasan dilakukan oleh penyiar, dan frekuensi pengangkatan tema suatu berita.

Agenda merupakan seleksi terhadap berita yang ada agar suatu berita menjadi lebih penting dibandingkan dengan berita lain (DeFleur dan Denis 1985 dalam Descartes 2004). Terdapat tiga macam agenda, yaitu (1) agenda media, yaitu prioritas media dalam meliput suatu berita kejadian, (2) agenda publik, yaitu tingkat perbedaan penonjolan suatu berita menurut opini publik dan pengetahuan mereka, (3) agenda kebijakan, menggambarkan berita dan kebijakan yang dikemukakan oleh politikus (McQuail dan Wimdahl 1995 dalam Suwanda 2009).

Littlejohn (1992) dalam Descartes (2004) menyatakan bahwa agenda setting mempunyai dua tingkatan. Pada tingkatan pertama media membuat suatu permasalahan menjadi penting, dan tingkatan kedua menentukan bagian mana dari permasalahan itu yang lebih penting, dua tingkatan tersebut berperan penting dalam konsep agenda setting. Konsep ini dibagi menjadi tiga bagian, bagian pertama dari proses tersebut adalah berita apakah yang akan diliput media. Bagian kedua, berita tersebut mempengaruhi cara pemikiran khalayak, dan membentuk agenda publik. Bagian ketiga, pada akhirnya agenda publik akan mempengaruhi agenda kebijakan. Jadi agenda media mempengaruhi agenda publik, dan agenda publik mempengaruhi agenda kebijakan. Namun, dalam pembahasan selanjutnya hanya akan berfokus pada agenda media dan agenda publik.

2.1.3.2Agenda Media

Agenda media adalah daftar berita-berita dan peristiwa-peristiwa pada suatu waktu yang disusun berdasarkan urutan kepentingannya. Agenda media terdiri dari pokok persoalan, peristiwa, anggapan, dan pandangan yang memanfaatkan waktu dan ruang dalam publikasi yang tersedia untuk disampaikan kepada publik (Manhein 1988 dalam Descartes 2004).

Manhein (1988) dalam Descartes (2004) memaparkan bahwa agenda media terdiri atas: (1) visibilitas (visibility), yaitu jumlah dan tingkat menonjolnya berita, (2) audience salience, yaitu tingkat menonjolnya berita bagi khalayak, merupakan relevansi isi berita dengan kebutuhan khalayak, dan (3) valensi (valence), yaitu menyenangkan atau tidak menyenangkannya liputan berita dari suatu peristiwa. Variasi dalam menonjolkan aspek agenda media akan ditentukan oleh penjaga gawang (gatekeeper).

Media mempunyai kemampuan untuk menyeleksi dan mengarahkan perhatian masyarakat pada gagasan atau peristiwa tertentu. Media menyampaikan apa yang penting dan apa yang tidak penting, serta bisa mengatur apa yang harus dilihat dan tidak dapat dilihat. Pada penyusunan daftar berita dan peristiwa yang harus diperhatikan menurut Pareno (2003) sebagaimana dikutip oleh Sumartono (2006) meliputi laporan, informasi baru, fakta, tidak memihak, menyangkut kepentingan umum, dan menarik perhatian umum. Agenda media bukanlah susunan berita yang disepakati seluruh wartawan melainkan berita yang dikemas para pemegang fungsi utama pers, yaitu penjaga gawang seperti reporter yang berpengaruh, editor berita, dan editor kawat.

Informasi yang akan dikemas menjadi sebuah berita harus melewati berbagai tahapan seleksi terlebih dahulu sebelum dipublikasikan. Pada akhirnya, ada informasi yang lolos dari tahap seleksi kemudian diangkat menjadi sebuah berita, dan ada informasi yang tidak lolos tahap seleksi, karena tidak tersedia cukup waktu dan tempat di dalam media massa (Doughnewsom dan Wollert 1985 dalam Descartes 2004). Fungsi pengaturan tempat dan waktu ini berkaitan dengan fungsi redaksi sebagai penjaga gawang informasi yang menepis berita-berita masuk (Muis 1999 dalam Suwanda 2009). Media melalui kegiatan yang disebut gatekeeping mengontrol akses khalayak terhadap berita, informasi, dan hiburan (Wilson 2002 dalam Descartes 2004). Proses gatekeeping pada radio dilakukan secara cepat agar kesegaran informasi yang disampaikan dapat terjamin.

Domminic dan Wimmer 2000 (Descartes 2004) menyatakan bahwa berbagai cara telah digunakan untuk membuat agenda media. Teknik yang paling sering digunakan adalah mengelompokkan topik pemberitaan kepada kategori yang luas dan mengukur waktu atau ruang yang dicurahkan pada setiap kategori. Semakin luas kategori topik yang dibuat maka akan semakin mudah mempraktekkan efek agenda setting.

2.1.3.3Faktor-faktor yang Menentukan Agenda Media

Setiap radio memiliki format yang berbeda-beda, sehingga agenda yang disusun juga akan berbeda pula. Penentuan agenda media pada program berita radio, terdapat kebijakan-kebijakan tersendiri pada masing-masing radio sesuai

dengan format yang dianut. Kebijakan radio adalah serangkaian peraturan dan asas yang menjadi pedoman dan dasar dalam penyusunan program yang akan ditayangkan. Terdapat faktor internal, yaitu: (a) kebijakan terhadap materi yang akan disampaikan terhadap khalayak, (b) kebijakan terhadap penyiar yang memandu acaranya, serta (c) durasi penyiaran program dan faktor eksternal yaitu kode etik jurnalistik dalam menentukan agenda media.

1. Faktor Internal

a. Kebijakan terhadap Materi

Menurut Hariandja (2001) dalam menentukan kebijakan penyusunan materi berita, harus mengacu pada kaidah jurnalistik, khususnya kaidah fairness dan penggunaan sumber berita yang berimbang atau balance news. Pada konteks ini fairness berarti keadilan yang tidak memihak pada penyampaian suatu berita, sehingga peran media yang mandiri dapat berjalan dengan baik. Penggunaan sumber berita yang berimbang atau balance news dalam hal ini berarti penyajian berita yang sama porsinya dengan kata lain tidak menonjolkan seseorang atau kelompok tertentu. Sebuah pernyataan yang keluar dari suatu pihak hendaknya diikuti dengan konfirmasi atau penyanggahan dari pihak yang berseberangan juga dilengkapi dengan dokumen, data dan keterangan-keterangan lain yang relevan dengan berita terkait.

Mengacu pada Mulyana (2010) stasiun radio menetapkan kebijakan untuk materi program berita yaitu: (1) aktual, (2) faktual, (3) berkesinambungan, dan (4) berprinsip. Aktual adalah berita yang disajikan merupakan perisriwa yang baru saja terjadi. Faktual adalah berita yang berdasarkan kenyataan dan mengandung kebenaran. Berkesinambungan berarti berita yang disajikan merupakan kelanjutan dari episode sebelumnya.

b. Kebijakan yang Ditetapkan untuk Penyiar

Kebijakan yang ditetapkan untuk penyiar adalah dialog dan formal. Dialog artinya presenter membawakan acara baik solo ataupun duet dengan panduan pointer. Formal disini diartikan bahwa presenter membacakan naskah berita. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari

komentar-komentar di luar jalur berita yang dapat menyebabkan perubahan isi (Mulyana 2010).

Menurut Setiawan (2003), kebijakan untuk penyiar dalam hal ini, termasuk reporter di dalamnya, dapat menggambarkan peristiwa melalui kata-kata. Tujuannya mengajak pendengarnya untuk melukiskan sendiri kira-kira seperti apa kejadian yang sesungguhnya secara jujur dan tanpa rekayasa, sehingga dapat mengajak pendengar untuk berfantasi.

c. Kebijakan Durasi

Kebijakan mengenai durasi jam tayang adalah lamanya jam tayang yang disajikan setiap harinya (Mulyana 2010). Biasanya program berita disiarkan setiap hari, namun untuk durasi siaran akan ditentukan sesuai dengan format radio. Radio yang menyampaikan berita dua sampai tiga jam setiap hari, setiap satu jam sekali, bahkan ada radio yang menyampaikan berita secara terus menerus (all news).

Pada progam radio dikenal juklak atau pola siar. Pola siar digunakan untuk memandu penyiar dalam menentukan pemutaran lagu, iklan, dan penyampaian informasi agar seluruh materi berita yang sudah diagendakan dapat disampaikan dengan baik tanpa ada yang tertinggal. Apabila penyiar tidak mengikuti pola siar dengan baik, maka akan terjadi kelebihan ataupun kekurangan durasi atau waktu siaran.

2. Faktor Eksternal

Setiap radio yang akan menyiarkan program berita harus mematuhi aturan- aturan pemberitaan yang telah ditentukan oleh Dewan Pers. Saat menysun berita, para jurnalis dituntut untuk mematuhi kode etik jurnalistik yang telah ditetapkan. Menurut UU Republik Indonesia nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, Bab 1 ketentuan umum pasal 1 poin 14 menjelaskan bahwa kode etik jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan. Pengertian kode etik jurnalistik tersebut diartikan sebagai seperangkat aturan atau norma-norma profesi kewartawanan yang menjadi alat kontrol bagi para wartawan ketika melaksanakan tugas jurnalistiknya.

Wartawan memiliki hak tolak, hak jawab, dan hak koreksi sebagai hak profesi kewartawanannya. Pada kode etik jurnalistik, wartawan dijamin haknya

untuk memberikan informasi kepada khalayak. Hal ini dijamin juga dalam UU Pers, untuk menjamin kebebasan pers, sehingga wartawan terbebas dari intimidasi atau tekanan dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap informasi yang dimiliki wartawan. Ketentuan tersebut merupakan pedoman operasional dalam melaksanakan tugas wartawan atau jurnalis secara profesional dan tidak melanggar hukum.

Keberadaan kode etik jurnalistik menjadi tanggung jawab bagi para jurnalis yang akan menyampaikan informasi secara benar dan akurat. Wartawan tidak boleh menyampaikan berita yang bersifat dusta atau fitnah dan tidak akurat kepada masyarakat. Apabila wartawan melanggar aturan tersebut, maka akan diselesaikan oleh majelis kode etik. Kode etik jurnalistik mempunyai peran penting bagi wartawan dalam memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi.

2.1.3.4Metode Analisis Isi

Analisis isi (content analysis) adalah penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media massa. Pelopor analisis isi adalah Harold D. Lasswell, yang memelopori teknik symbol coding, yaitu mencatat lambang atau pesan secara sistematis, kemudian diberi interpretasi (Descartes 2004).

Analisis isi dapat digunakan untuk menganalisis semua bentuk komunikasi. Baik surat kabar, berita radio, iklan televisi maupun semua bahan- bahan dokumentasi yang lain. Hampir semua disiplin ilmu sosial dapat menggunakan analisis isi sebagai teknik/metode penelitian (Setiawan 1995). Holsti (1969) menunjukkan tiga bidang yang banyak mempergunakan analisis isi, yang besarnya hampir 75 persen dari keseluruhan studi empirik, yaitu penelitian sosioantropologis (27,7 %), komunikasi umum (25,9 %), dan ilmu politik (21,5 %).

Menurut Krippendorff (1993), analisis isi merupakan suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicabel) dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya. Sebagai suatu teknik penelitian, analisis isi mencakup prosedur-prosedur khusus untuk pemrosesan data ilmiah.

Analisis isi menggambarkan objek penelitian dan menempatkan peneliti ke dalam posisi khusus yang berhadapan dengan realitasnya. Cartwright (1953) dalam Holsti (1969)mengemukakan tujuan dalam menggunakan istilah “analisis isi” dan “kode” yang dapat dipertukarkan menunjukkan gambaran objektif, sistematis, dan kuantitatif dari perilaku simbolis.

Analisis isi menurut Berelson (1952) dalam Stempel (1981) adalah sebuah teknik penelitian untuk menggambarkan isi komunikasi manifest yang objektif, sistematis dan kuantitatif. Meskipun bermacam-macam, definisi dari analisis isi menyingkap persetujuan luas dari syarat objektif, sistematis, dan kuantitatif. Prinsip objektif diartikan bahwa hasilnya tergantung pada prosedur penelitian bukan kepada orangnya, dengan ketajaman kategori yang ditetapkan, orang lain dapat menggunakannya. Apabila digunakan untuk isi yang sama dan prosedur yang sama maka hasilnya harus sama, walaupun penelitiannya berbeda. Prinsip sistematis diartikan sebagai adanya perlakuan prosedur yang sama pada semua isi yang dianalisis. Tidak dibenarkan untuk melakukan analisis hanya pada isi yang sesuai dengan perhatian dan minatnya, tetapi harus pada keseluruhan isi yang telah ditetapkan untuk diteliti. Prinsip kuantitatif artinya dengan mencatat nilai- nilai bilangan atau frekuensi untuk melukiskan berbagai jenis isi yang didefinisikan. Teknik khas dalam metode ini adalah menggolongkan berita-berita surat kabar ke dalam kategori-kategori format dan topik, mengukur frekuensinya dan menghubungkan pengetahuan khalayak.

Sejalan dengan kemajuan teknologi, selain secara manual kini telah tersedia komputer untuk mempermudah proses penelitian analisis isi, yang dapat terdiri atas dua macam, yaitu perhitungan kata-kata, dan “kamus” yang dapat ditandai yang sering disebut General Inquirer Program. Terdapat tiga langkah strategis penelitian analisis isi. Pertama, penetapan desain atau model penelitian. Di sini ditetapkan berapa media, analisis perbandingan atau korelasi, objeknya banyak atau sedikit dan sebagainya. Kedua, pencarian data pokok atau data primer, yaitu teks itu sendiri. Sebagai analisis isi maka teks merupakan objek yang pokok bahkan terpokok. Pencarian dapat dilakukan dengan menggunakan lembar formulir pengamatan tertentu yang sengaja dibuat untuk keperluan pencarian data tersebut. Ketiga, pencarian pengetahuan kontekstual agar penelitian yang

dilakukan tidak berada di ruang hampa, tetapi terlihat kait-mengait dengan faktor- faktor lain.

Teknik mengukur ageda media dilakukan dengan cara analisis isi yang dilakukan dengan lima tahap, yaitu: (1) memilih contoh atau keseluruhan isi; (2) menetapkan kerangka kategori acuan eksternal yang relevan dengan tujuan pengkajian; (3) memilih satuan analsis isi; (4) menyesuaikan isi dengan kerangka kategori, per satuan unit yang terpilih; (5) mengungkapkan hasil sebagai hasil distribusi menyeluruh dari semua satuan atau percontoh, dalam hubungan dengan frekuensi hal-hal yang dicari acuan (Krippendorf 1993).

2.1.4 Agenda Khalayak Siaran Radio

Dokumen terkait