• Tidak ada hasil yang ditemukan

AGENS PENGENDALIAN HAYAT

Dalam dokumen buku diktat DIHT (Halaman 41-44)

PENGENDALIAN HAYAT

AGENS PENGENDALIAN HAYAT

Sebagai bagian kompleks komunitas dalam ekosistem setiap spesies serangga termasuk serangga hama dapat diserang oleh atau menyerang organisme lain. Bagi serangga yang diserang organisme penyerang disebut "musuh alami". Secara ekologi istilah tersebut kurang tepat karena adanya musuh alami tidak tentu merugikan kehidupan serangga terserang. Hampir semua kelompok organisme dapat berfungsi sebagai musuh alami serangga hama termasuk kelompok vertebrata, nematoda, jasad renik, invertebrata di luar serangga. Kelompok musuh alami yang paling penting adalah dari golongan serangga sendiri. Dilihat dari fungsinya musuh alami atau agens pengendalian hayati dapat kita kelompokkan menjadi parasitoid, predator,

dan patogen. 1. Parasitoid

Perlu sedikit penjelasan antara istilah parasitoid dan parasit. Parasitisme adalah hubungan antara dua spesies yang satu yaitu parasit, memperoleh keperluan zat-zat makanannya dari fisik tubuh yang lain, yaitu inang. Parasit hidup pada atau di dalam tubuh inang. Inang tidak menerima faedah apapun dari hubungan ini, meskipun biasanya tidak dibinasakan. Misalnya kasus cacing pita pada manusia dan caplak pada binatang. Istilah parasit lebih sering digunakan dalam entomologi kesehatan. Serangga yang bersifat parasit yang pada akhirnya menyebabkan kematian inangnya tidak tepat bila dimasukkan ke dalam definisi parasit. Karena itu kemudian diberikan istilah baru yaitu parasitoid yang lebih banyak digunakan dalam entomologi pertanian.

Parasitoid adalah binatang yang hidup di atas atau di dalam tubuh binatang lain yang lebih besar yang merupakan inangnya. Serangan parasit dapat melemahkan inang dan akhirnya dapat membunuh inangnya karena parasitoid makan atau mengisap cairan tubuh inangnya.

Untuk dapat mencapai fase dewasa suatu parasitoid hanya memerlukan satu inang. Dengan demikian parasitoid adalah serangga yang hidup dan makan pada atau dalam serangga hidup lainnya sebagai inang. Inang akan mati jika perkembangan hidup parasitoid telah lengkap.

Parasitoid merupakan serangga yang memarasit serangga atau binatang artropoda yang lain. Parasitoid bersifat parasitik pada fase pradewasanya sedangkan pada fase dewasa mereka hidup bebas tidak terikat pada inangnya. Umumnya parasitoid akhirnya dapat membunuh inangnya meskipun ada inang yang mampu melengkapi siklus hidupnya sebelum mati. Parasitoid dapat menyerang setiap instar serangga. Instar dewasa merupakan instar serangga yang paling jarang terparasit.

Oleh induk parasitoid telur dapat diletakkan pada permukaan kulit inang atau dengan tusukan ovipositornya telur langsung dimasukkan dalam tubuh inang. Larva yang keluar dari telur menghisap cairan inangnya dan menyelesaikan perkembangannya dapat berada di luar tubuh inang (sebagai ektoparasitoid) atau sebagian besar dalam tubuh inang (sebagai

endoparasitoid). Contoh ektoparasit adalah Campsomeris sp yang menyerang uret sedangkan

Trichogramma sp yang memarasit telur penggerek batang tebu dan padi merupakan jenis endoparasit. Fase inang yang diserang pada umumnya adalah telur dan larva, beberapa parasitoid menyerang pupa dan sangat jarang yang menyerang imago. Larva parasitoid yang sudah siap menjadi pupa keluar dari tubuh larva inang yang sudah mati kemudian memintal kokon untuk memasuki fase pupa parasitoid. Imago parasitoid muncul dari kokon pada waktu yang tepat untuk kemudian meletakkan telur pada tubuh inang bagi perkembangan generasi berikutnya.

Ada spesies parasitoid yang dapat melengkapi siklus hidupnya sampai fase dewasa pada satu inang. Parasitoid semacam ini disebut parasitoid soliter merupakan suatu spesies parasitoid yang perkembangan hidupnya terjadi pada satu tubuh inang. Satu inang diparasit oleh satu individu parasitoid. Contoh parasitoid soliter antara lain Charops sp (famili Ichneumonidae). Parasitoid gregarius adalah jenis parasitoid yang beberapa individu dapat hidup bersama-sama dalam tubuh satu inang. Contoh parasitoid gregarious adalah Tetrastichus schoenobii. Jumlah imago yang keluar dari satu tubuh inang dapat banyak sekali. Banyak jenis lebah Ichneumonid merupakan parasitoid soliter, dan banyak lebah Braconid dan Chalcidoid yang merupakan parasitoid gregarius.

Enam ordo serangga yang meliputi 86 famili anggota-anggotanya tercatat sebagai parasitoid yaitu Coleoptera, Diptera, Hymenoptera, Lepidoptera, Neuroptera, dan Strepsiptera. Namun dua ordo parasitoid yang terpenting yaitu Hymenoptera dan Diptera. Famili-famili dalam ordo Hymenoptera yang terbanyak mengandung parasitoid adalah

Ichneumonidae, Braconidae, dan beberapa famili yang termasuk Chalcidoidea. Sedangkan dalam ordo Diptera famili Tachinidae merupakan famili yang terpenting. Tetrastichus schoenobii

memiliki kemampuan memarasit kepompong penggerek batang padi bergaris, penggerek batang padi kuning dan penggerek batang padi putih. Apanteles artonae memarasit larva Chilo

sp dan Artona catoxantha. Pertanaman pisang yang terserang Erionata thrax dapat dikendalikan oleh parasitoid Xanthopimpla sp. Parasitoid Trichogrammatoidea batrae-batrae cukup efektif memparasit telur penggerek polong kedelai (Etiella spp).

Selama ini dari sekian banyak kelompok agens pengendalian hayati, parasitoid yang paling sering berhasil mengendalikan hama apabila dibandingkan dengan kelompok-kelompok agens pengendalian hayati lainnya. Dari 4769 kasus pelepasan agens pengendalian hayati yang tercatat di dunia, hanya 1023 menggunakan predator, sebagian besar kasus adalah pelepasan serangga parasitoid.

Keuntungan atau kekuatan pengendalian hama dengan parasitoid adalah: a. Daya kelangsungan hidup ("survival") parasitoid tinggi.

b. Parasitoid hanya memerlukan satu atau sedikit individu inang untuk melengkapi daur hidupnya.

c. Populasi parasitoid dapat tetap bertahan meskipun pada aras populasi yang rendah.

d. Sebagian besar parasitoid bersifat monofag atau oligofag sehingga memiliki kisaran inang sempit. Sifat ini mengakibatkan populasi parasitoid memiliki respons numerik yang baik terhadap perubahan populasi inangnya.

Di samping kekuatan pengendalian dengan parasitoid beberapa kelemahan atau masalah yang biasanya dihadapi di lapangan dalam menggunakan parasitoid sebagai agens pengendalian hayati adalah:

a. Daya cari parasitoid terhadap inang seringkali dipengaruhi oleh keadaan cuaca atau faktor lingkungan lainnya yang sering berubah.

b. Serangga betina yang berperan utama karena mereka yang melakukan pencarian inang untuk peletakan telur.

c. Parasitoid yang memiliki daya cari tinggi biasanya menghasilkan telur sedikit.

Namun keberhasilan semua teknik pengendalian hayati dengan parasitoid sangat ditentukan oleh sinkronisasi antara fenologi inang dan fenologi parasitoid di lapangan. Fase larva parasitoid hanya dapat hidup pada fase hidup inang tertentu terutama telur dan larva. Kelanjutan hidup parasitoid sangat ditentukan oleh ketersediaan fase inangnya yang tepat. Bila sewaktu induk parasitoid akan meletakkan telurnya tetapi tidak tersedia fase inang yang tepat, parasitoid tersebut tidak akan dapat melanjutkan fungsinya sebagai pengendali populasi hama. Agar pengendalian hayati dengan parasitoid berhasil siklus hidup dan fenologi hama dan inang perlu dipelajari dan diketahui lebih dahulu. Misalkan untuk introduksi dan pelepasan parasitoid di lapangan perlu diketahui banyak hal kecuali fenologi inang dan parasitoid juga tentang pengaruh berbagai faktor lain seperti cuaca dan tindakan manusia terhadap fenologi dan perkembangan populasi parasitoid dan inangnya.

Serangga predator dan serangga parasitoid juga memiliki musuh alami yang berupa parasitoid. Fenomena serangga parasitoid menyerang parasitoid lain sebagai inangnya disebut

hiperparasitasi sedangkan parasitoid tersebut disebut hiperparasitoid. Apabila kelompok parasitoid yang memarasit hama disebut parasitoid primer maka kelompok hiperparasitoid disebut parasitoid sekunder. Parasitoid sekunder masih mungkin diserang oleh parasitoid tersier. Brachymeria sp yang menyerang kepompong Charops sp merupakan salah satu contoh hiperparasitasi. Adanya parasitoid sekunder perlu diperhitungkan dalam setiap usaha pengendalian hayati dengan menggunakan predator atau parasitoid. Perlu dicatat di sini bahwa tidak semua parasitoid primer berguna untuk pengendalian hayati antara lain parasitoid primer yang menyerang serangga herbivora digunakan pengendalian hayati gulma.

2. Predator

Predator merupakan organisme yang hidup bebas dengan memakan, membunuh atau memangsa binatang lainnya. Apabila parasitoid memarasit inang, predator atau pemangsa memakan mangsa. Predator umumnya dibedakan dari parasitoid dengan ciri-ciri sebagai berikut:

a. Parasitoid umumnya monofag atau oligofag, predator pada umumnya mempunyai banyak inang atau bersifat polifag meskipun ada juga jenis predator yang monofag dan oligofag. b. Predator umumnya memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan mangsanya.

Namun ada beberapa predator yang memiliki ukuran tubuh yang tidak lebih besar daripada mangsanya, contohnya semut yang mampu membawa mangsa secar berkelompok.

c. Predator memangsa dan membunuh mangsa secara langsung sehingga harus memiliki daya cari yang tinggi, memiliki kelebihan sifat fisik yang memungkinkan predator mampu membunuh mangsanya Beberapa predator dilengkapi dengan kemampuan bergerak cepat, taktik penangkapan mangsa yang lebih baik daripada taktik pertahanan mangsa, kekuatan yang lebih besar, memiliki daya jelajah yang jauh serta dilengkapi dengan organ tubuh yang

berkembang dengan baik untuk menangkap mangsanya seperti kaki depan belalang sembah (Mantidae), mata besar (capung).

d. Untuk memenuhi perkembangannya parasitoid memerlukan hanya satu inang umumnya fase pradewasa, tetapi predator memerlukan banyak mangsa baik fase pradewasa maupun fase dewasa.

e. Parasitoid yang mencari inang adalah hanya serangga dewasa betina, tetapi predator betina dan jantan dan juga fase pradewasa semuanya dapat mencari dan memperoleh mangsa. f. Sebagian besar predator mempunyai banyak pilihan inang sedangkan parasitoid mempunyai

sifat tergantung kepadatan yang tinggi. Predator memiliki daya tanggap rendah terhadap perubahan populasi mangsa sehingga fungsinya sebagai pengatur populasi hama umumnya kurang terutama untuk predator yang polifag.

Sifat polifag memberikan keuntungan bagi predator yaitu bila populasi jenis mangsa utama tertentu rendah, dengan mudah predator tersebut mencari mangsa alternatif untuk tetap mampu mempertahankan hidupnya. Sifat pengaturan populasi mangsa secara tergantung kepadatan lebih nampak pada predator yang bersifat oligofag. Respons numerik predator terhadap perubahan populasi mangsa dinampakkan dalam bentuk perubahan reproduksi, imigrasi, emigrasi, dan proses mortalitas. Respons fungsional predator dalam bentuk perubahan proses fisiologi dan perilaku seperti daya cari, waktu penanganan mangsa, rasa lapar, kecepatan pencernaan, kompetisi antar predator, dll. Sinkronisasi fenologi predator dan mangsa tidak merupakan permasalahan utama bagi keberhasilan pemanfaatan predator sebagai agens pengendali hayati. Hal ini berbeda dengan sinkronisasi parasitoid dan inang.

Hampir semua ordo serangga mempunyai spesies yang menjadi predator serangga lain. Selama ini ada beberapa ordo yang anggota-anggotanya banyak merupakan predator yang digunakan dalam pengendalian hayati. Ordo-ordo tersebut adalah Coleoptera, Neuroptera, Hymenoptera, Diptera, dan Hemiptera. Beberapa famili predator yang terkenal adalah kumbang kubah (Coleoptera: Coccinellidae), kumbang tanah (Coleoptera: Carabidae), undur- undur (Neuroptera: Chrysopidae), kepik buas (Hemiptera: Reduviidae), belalang tanduk panjang (Orthoptera: Tettigonidae), jangkerik (Orthoptera: Gryllidae), Kepinding air (Hemiptera: Vellidae), Anggang-anggang (Hemiptera: Gerridae), capung jarum (Odonata: Coenagrionidae), semut (Hymenoptera: Formicidae) dan dari golongan laba-laba harimau (Araneae: Lycosidae).

Banyak ahli yang mempersoalkan tentang efektivitas predator sebagai agens pengendalian hayati apabila dibandingkan dengan parasitoid. Dari sekian banyak usaha pengendalian hayati yang selama ini berhasil dilakukan di dunia lebih banyak menggunakan parasitoid daripada predator. Namun hal itu tidak berarti bahwa predator kurang dapat difungsikan sebagai agens pengendalian hayati. Keberhasilan pengendalian hayati memang sulit untuk diduga dan dianalisis secara tepat karena kerumitan dan dinamika agroekosistem. Predator dan parasitoid mempunyai banyak kelebihan dan kelemahan. Oleh karena itu untuk meningkatkan keberhasilan pengendalian hayati kedua agens tersebut harus dimanfaatkan secara optimal berdasarkan pada informasi dasar yang mencukupi tentang berbagai aspek biologi dan ekologi kedua kelompok agens pengendalian hayati tersebut.

Dalam dokumen buku diktat DIHT (Halaman 41-44)