• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGENDALIAN HAYATI DENGAN PARASITOID DAN PREDATOR

Dalam dokumen buku diktat DIHT (Halaman 44-48)

PENGENDALIAN HAYAT

PENGENDALIAN HAYATI DENGAN PARASITOID DAN PREDATOR

Praktek pengendalian yang dilakukan sampai saat ini dapat dikelompokkan dalam 3 kategori yaitu introduksi, augmentasi, dan konservasi. Meskipun ketiga teknik pengendalian hayati tersebut berbeda dalam sasaran dan tekniknya tetapi dalam pelaksanaan pengendalian hayati sering digunakan secara bersama.

Teknik introduksi atau importasi musuh alami seringkali disebut sebagai praktek pengendalian hayati klasik. Hal ini disebabkan karena pada tahap permulaaan sebagian besar usaha pengendalian hayati menggunakan teknik tersebut. Usaha introduksi bertujuan untuk mencari musuh alami hama tersebut di daerah asalnya dan memasukkannya ke daerah baru. Di daerah asal hama tersebut mungkin tidak menjadi masalah bagi petani karena populasinya telah dapat diatur dan dikendalikan oleh agens musuh alami setempat.

Keberhasilan penggunaan teknik introduksi dimulai dengan introduksi kumbang vedalia,

Rodolia cardinalis dari benua Australia ke California untuk mengendalikan hama kutu perisai

Icerya purchasi yang menyerang perkebunan jeruk di California. Pada waktu itu diketahui bahwa hama kutu jeruk tersebut berasal dari benua Australia. Keberhasilan teknik introduksi ini kemudian dicobakan pada hama-hama lain dan banyak juga yang berhasil baik secara lengkap, substansial maupun parsial.

Di Indonesia pengendalian dengan introduksi parasitoid yang berhasil antara lain introduksi parasitoid Pediobius parvulus dari Fiji pada sekitar tahun 1920-an ke Indonesia yang ditujukan untuk pengendalian hama kumbang kelapa Promecotheca reichei. Pada beberapa daerah dilaporkan bahwa parasitasi dapat mendekati 100%. Juga pemasukan parasitoid

Tetrastichus brontispae dari pulau Jawa ke Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara dapat berhasil menekan populasi hama kelapa Brontispa longissima. Parasitoid telur Leefmansia bicolor

pernah dimasukkan dari pulau Ambon ke pulau Talaud, juga parasitoid Chelonus sp dimasukkan dari Bogor ke pulau Flores untuk mengendalikan hama bunga kelapa Batrachedra (Kalshoven, 1981). Di Indonesia kasus yang paling baru terjadi pada tahun 1986-1990 yaitu introduksi predator Curinus coreolius dari Hawaii untuk pengendalian hama kutu loncat lamtoro

Heteropsylla sp. Meskipun telah banyak usaha introduksi musuh alami yang berhasil dilakukan tetapi untuk menjelaskan teori dasar teknik introduksi tersebut sangat sulit karena kerumitan mekanisme dan susunan ekosistem pertanian.

Mengingat introduksi musuh alami termasuk dalam rekayasa biologi, agar teknik ini berhasil diperlukan banyak usaha persiapan dan studi yang mendalam terutama tentang sifat penyebaran, sifat biologi dan ekologi spesies hama dan musuh alami yang akan diintroduksikan, dan keadaan ekosistem setempat. Sampai saat ini upaya introduksi musuh alami ada juga yang berhasil mengendalikan hama secara berlanjut meskipun hanya dilandasi dengan metode coba- coba atau metode "trial and error". Namun untuk peningkatan efisiensi dan efektivitas pengendalian pendekatan semacam itu tidak dianjurkan.

Ada beberapa langkah klasik yang perlu ditempuh apabila untuk melakukan introduksi musuh alami pada suatu tempat. Langkah-langkah tersebut dilakukan dengan urutan sbb:

a. Penjelajahan atau eksplorasi di negeri asal terutama mengenai habitat asal spesies eksotik yang akan diimpor

b. Pengiriman parasitoid dan predator dari negeri asal mengikuti peraturan-peraturan yang berlaku di negara asal maupun di Indonesia

c. Karantina pasca masuk parasitoid dan predator yang diimpor di dalam negeri sesuai peraturan dan prosedur karantina yang berlaku di Indonesia

d. Perbanyakan parasitoid dan predator di laboratorium yang memenuhi syarat baik fasilitas maupun SDMnya

e. Pelepasan dan pemapanan parasitoid dan predator yang diimpor sesuai dengan kondisi ekologi yang menguntungkan kehidupan dan perkembangan agens pengendalian hayati f. Evaluasi efektivitas pengendali hayati dengan menggunakan metode standar yang dibuat

oleh para ahli pengendalian hayati (metode eksklusi dan metode neraca kehidupan)

Apabila berhasil nilai manfaat yang diperoleh dari pemasukan musuh alami sangat besar karena hasilnya mantap, mapan dan akan berumur panjang sehingga mendatangkan keuntungan ekonomi dan lingkungan yang maksimal. Keuntungan penggunaan pengendalian hayati klasik dengan intorduksi adalah:

a. Agens pengendalian hayati yang dipilih biasanya sudah mengkhususkan diri terhadap hama sasaran dan tidak/sedikit berdampak negatif bagi organisme lain,

b. Sekali telah menetap di suatu tempat, agens pengendali tersebut akan berkembang sendiri dan tidak diperlukan pemasukan yang berulang-ulang,

c. Tidak perlu lagi tindakan-tindakan pengendalian hama lainnya baik oleh petugas lapangan maupun petani,

d. Semua pihak diuntungkan baik petani kaya maupun petani miskin,

e. Dari perhitungan manfaat dan biaya (Benefit Cost) sangat menguntungkan dibandingkan penggunaan pestisida

2. Augmentasi

Teknik augmentasi atau teknik peningkatan merupakan aktivitas pengendalian hayati yang bertujuan meningkatkan jumlah musuh alami atau pengaruhnya. Sasaran ini dapat dicapai dengan dua cara augmentasi yaitu pertama, dengan melepaskan sejumlah tambahan musuh alami ke ekosistem agar dengan tambahan jumlah tersebut dalam waktu singkat musuh alami mampu menurunkan populasi hama. Cara kedua adalah dengan memodifikasikan ekosistem sedemikian rupa sehingga jumlah dan efektivitas musuh alami dapat ditingkatkan.

Pelepasan sejumlah populasi musuh alami di ekosistem secara teknik augmentasi sebetulnya sama juga dengan pelepasan musuh alami dengan teknik introduksi. Dengan teknik augmentasi diharapkan populasi hama sementara waktu (satu musim atau kurang) dengan cepat dapat ditekan sehingga tidak merugikan. Pelepasan musuh alami introduksi bertujuan dalam jangka panjang mampu menurunkan aras keseimbangan populasi hama sehingga tetap berada di bawah aras ekonomi. Karena itu pelepasan musuh alami secara augmentatik harus dilakukan secara periodik. Perbedaan lain pelepasan augmentatik menggunakan musuh alami yang sudah berfungsi di ekosistem, sedangkan pelepasan introduksi menggunakan musuh alami yang dimasukkan dari luar ekosistem.

Pelepasan periodik menurut Stehr (1982) dapat dibedakan dalam 3 bentuk tergantung pada maksud dan frekuensi pelepasan serta sumber musuh alami yang dilepaskan. Tiga cara pelepasan periodik adalah:

b. Pelepasan Inokulatif

Pelepasan musuh alami dilakukan satu kali dalam satu musim atau dalam satu tahun dengan tujuan agar musuh alami tersebut dapat mengadakan kolonisasi dan menyebar luas secara alami dan menjaga populasi hama tetap berada pada aras keseimbangannya. Pelepasan musuh alami di sini dimaksudkan agar secara teratur peranan dan kondisi musuh alami tetap dipertahankan dan ditingkatkan. Secara periodik populasi musuh alami berkurang karena keadaan lingkungan yang tidak sesuai. Pengendalian hama tidak diharapkan dari hasil kerja musuh alami yang dilepas tetapi oleh keturunannya.

c. Pelepasan Suplemen

Pelepasan musuh alami dapat dilakukan setelah dari kegiatan sampling diketahui populasi hama mulai meninggalkan populasi musuh alaminya. Tujuan pelepasan untuk membantu musuh alami yang sudah ada agar kembali berfungsi dan dapat mengendalikan populasi hama.

d. Pelepasan Inundatif atau Pelepasan Massal

Apabila pada kedua cara pelepasan sebelumnya diharapkan keturunan dari individu musuh alami yang dilepaskan yang terus berfungsi memperkuat berfungsinya kembali musuh alami sebagai pengendali alami, maka pelepasan inundatif mengharapkan agar individu-individu musuh alami yang dilepas secara sekaligus dapat menurunkan populasi hama secara cepat

terutama setelah ratusan ribu atau jutaan individu parasitoid atau predator dilepaskan. Pelepasan inundatif parasitoid sering disebut penggunaan "insektisida biologi" karena dalam hal ini musuh alami seakan-akan diharapkan dapat bekerja secepat insektisida kimiawi dalam penurunan populasi hama.

Karena jumlah musuh alami yang dilepaskan sangat banyak diperlukan teknik pembiakan massal musuh alami yang cepat, dan ekonomik. Umumnya inang bagi perbanyakan massal musuh alami bukan serangga inang hama tetapi serangga inang alternatif yang lebih mudah diperbanyak di ruang perbanyakan. Contoh untuk memperbanyak parasitoid telur Trichogramma

sp di laboratorium digunakan inang pengganti yaitu Sitotroga cerealia, hama yang menyerang gabah.

Sukses yang dicapai oleh teknik inokulatif adalah dilepaskannya secara massal parasitoid telur Trichogramma sp untuk mengendalikan berbagai hama penting seperti penggerek pucuk tebu dan penggerek batang tebu, hama penggerek buah kapas, dll. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelepasan 150.000 telur Trichogramma sp. per hektar dapat menurunkan populasi dan kerusakan penggerek pucuk tebu, sedangkan untuk pengendalian penggerek batang tebu diperlukan 250.000 telur per hektar.

Teknik pengendalian hayati lainnya agar teknik augmentasi dengan pelepasan periodik ini berhasil diperlukan informasi yang lengkap tentang biologi dan ekologi hama dan musuh alaminya terutama dalam menentukan tempat, waktu, frekuensi dan cara pelepasan musuh alami.

3. Konservasi Musuh Alami

Dalam penerapan PHT konservasi musuh alami terutama pemanfaatan predator dan parasitoid merupakan teknik pengendalian hayati yang sering dilakukan dan dianjurkan. Teknik konservasi bertujuan menghindarkan tindakan-tindakan yang dapat menurunkan populasi musuh alami. Banyak tindakan agronomi yang secara langsung dan tidak langsung dapat merugikan populasi musuh alami terutama penggunaan pestisida kimia. Pengendalian hama tanpa menggunakan pestisida atau kalau digunakan secara selektif berarti usaha konservasi musuh alami sudah dilaksanakan. Dari hasil penelitian Settle et al. (1996) dapat diketahui bahwa aplikasi insektisida pada permulaan musim tanam padi tidak hanya membunuh musuh alami hama-hama padi, tetapi dapat membunuh serangga-serangga akuatik detrivora dan pemakan plankton yang hidup di air sawah. Keberadaan serangga-serangga air tersebut sangat bermanfaat karena menjaga populasi wereng coklat padi pada posisi yang tidak merugikan petani. Menghindarkan aplikasi insektisida pada permulaan musim tanam padi merupakan salah satu bentuk konservasi musuh alami yang efektif untuk pengendalian hama-hama padi di Indonesia.

Beberapa cara konservasi musuh alami yang dapat dilakukan antara lain berupa: 1. Menekan pemakaian pestisida.

Musuh alami memiliki kepekaan terhadap pestisida lebih tinggi daripada hama sehingga pemakaian pestisida secara terus-menerus akan memusnahkan populasi musuh alami. Parasitoid lebih peka terhadap pestisida daripada predator.

2. Memakai sistem tanam yang lebih beraneka ragam.

Sistem tanam yang beraneka ragam akan mempengaruhi lingkungan mikro di suatu lahan. Lingkungan akan lebih terlindung dari pengaruh buruk cuaca seperti angin dan hujan, kelembaban lebih tinggi, dan tempat akan menjadi lebih teduh. Dengan demikian jumlah serangga bermanfaat seperti musuh alami akan lebih beraneka ragam dibandingkan pada sistem monokultur.

3. Menanam dan melestarikan tanaman berbunga.

Tanaman berbunga yang menghasilkan sari madu dan serbuk sari dapat menaikkan kemampuan musuh alami untuk berkembang biak sehingga lebih disukai oleh parasitoid dan predator.

4. Melestarikan tanaman liar yang mendukung inang alternatif parasitoid atau mangsa alternatif predator.

Parasitoid atau predator akan sulit mempertahankan hidup setelah panen karena inang utama tidak dijumpai lagi. Pelestarian tanaman liar dapat mendukung kehidupan musuh alami sebagai inang alternatif sampai inang utama kembali tersedia sehingga musuh alami tetap mampu menurunkan populasi hama. Adanya tanaman liar juga harus diwaspadai apabila berpotensi menjadi tempat hidup hama di luar musim tanaman budidaya.

Sebelumnya Stehr (1982) mengemukakan beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memodifikasi ekosistem untuk konservasi musuh alami dengan rincian sebagai berikut:

1. Perlindungan dari penggunaan pestisida kimiawi.

2. Pengembangan musuh alami yang tahan atau toleran terhadap pestisida.

3. Perlindungan atau penjagaan stadia tidak aktif musuh alami (pupa atau fase diapause). 4. Menghindari praktek budidaya tanaman yang merugikan kehidupan musuh alami. 5. Penjagaan keanekaragaman komunitas setempat dan inang yang diperlukan. 6. Penyediaan inang alternatif.

7. Penyediaan makanan alami (nektar, pollen, embun madu) 8. Penyediaan suplemen makanan tambahan.

9. Pembuatan tempat berlindung musuh alami

10.Pengurangan populasi predator yang tidak diinginkan. 11.Pengendalian semut pemakan madu.

12.Pengaturan suhu yang mendukung perkembangan musuh alami. 13.Menghindarkan debu-debu yang mengganggu efektivitas musuh alami.

Dalam dokumen buku diktat DIHT (Halaman 44-48)