• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJUAN PUSTAKA

2.2. Agropolitan sebagai Konsep Alternatif dalam Pengembangan

Pedesaan

Konsep pengembangan Agropolitan pertama kali diperkenalkan Friedmann dan Mac Doughlas, 1974 (dalam BPTP, 2008) sebagai suatu siasat untuk percepatan

pembangunan pedesaan. Gatra terkait dengan pengembangan agropolitan antara lain adalah pembangunan dalam arti luas, seperti redistribusi lahan, kesesuaian lahan, desain tata guna lahan dan pembanguna sarana dan prasarana. Secara fenomenal konsep ini mewujudkan pelayanan perkotaan di kawasan pedesaan atau istilah lain yang digunakan oleh Friedmann adalah “menciptakan kota di pedesaan”.

Agropolitan terdiri dari kata Agro dan Politan (polis). Agro berarti pertanian dan politan berarti kota sehingga agropolitan dapat diartikan sebagai kota di lahan pertanian. Dengan demikian agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Dalam konteks pembangunan, agropolitan merupakan paradigma pembangunan daerah di mana pembangunan kota dimaksud untuk mendukung pembangunan pertanian pedesaan. Perkembangan dan pengembangan kota-kota ditentukan oleh perkembangan atau pengembangan pertanian-pedesaan. Karena itu aktivitas-aktivitas atau fungsi yang mendukung pertanian pedesaan. Pengembangan sektor industri dan jasa di perkotaan dimaksudkan untuk memfasilitasi atau mendukung pembangunan pertanian-pedesaan. Dengan kata lain yang dikembangkan di perkotaan adalah fungsi-fungsi dari system agribisnis mulai dari hulu sampai hilir.

Secara garis besar, konsep agropolitan mencakup beberapa dimensi yang meliputi:

(a). Pengembangan kota-kota berukuran kecil sampai sedang dengan jumlah penduduk maksimum 600.000 jiwa dan luas maksimum 30.000 hektar (setara

dengan kota kabupaten);

(b). Daerah belakang (pedesaan) dikembangkan berdasarkan konsep perwilayahan komoditi yang menghasilkan satu komoditi/bahan mentah utama dan beberapa komoditi penunjang sesuai dengan kebutuhan;

(c). Pada derah pusat pertumbuhan (kota) dibangun agroindustri terkait, yaitu terdiri atas beberapa perusahaan sehingga terdapat kompetisi yang sehat;

(d). Wilayah pedesaan didorong untuk membentuk satuan-satuan usaha yang optimal dan selanjutnya diorganisasikan dalam wadah koperasi, perusahaan kecil dan menengah, dan

(e). Lokasi dan sistem transportasi agroindustri dan pusat pelayanan harus

memungkinkan para petani untuk bekerja sebagaipekerja paruh waktu (partime

workers).

(Rusastra, et al., 2002) menyatakan bahwa terdapat syarat kunci untuk

pembumian Agropolitan, yakni:

(1). Produksi dengan bobot sektor pertanian;

(2). Prinsip ketergantungan dengan aktivitas pertanian sehingga neuro-systemnya; (3) Prinsip pengaturan kelembagaan; dan

(4). Prinsip seimbang dinamis. Keempat syarat kunci tersebut bersifat mutlak dan harus dikembangkan secara simultan dalam aplikasi pengembangan agropolitan.

Sebagai konsep pendekatan pengembangan wilayah perdesaan yang lebih mengedepankan pemberdayaan masyarakat, maka agropolitan lebih bersifat desentralistis. Penentuan jenis komoditi unggulan yang dikembangkan dalam skala

agribisnis dan agroindustri di lakukan oleh masyarakat yang disesuaikan dengan kondisi biofisik wilayah dan lingkungan perdesaan.

Kurang berhasilnya program SPAKU (Sentra Pengembangan Agribisnis Komoditi Unggulan), Program Inkubasi Bisnis, Program Pengembangan Wilayah Terpadu (khusus bobot pertanian) dan program sejenis lainnya, disebabkan oleh sifatnya yang parsial dan tidak mengakomodasi secara utuh dan simultan keempat syarat utama pengembangan agropolitan tersebut.

Dalam kaitannya dengan pengembangan wilayah pedesaan, maka pemahaman konsep agropolitan dalam pengembangan wilayah merupakan hal yang penting, karena hal ini akan memberikan arah dasar perencanaan pembangunan perdesaan dan aktivitasnya dalam proses pengembangan wilayah selanjutnya.

Konsep agropolitan sebetulnya merupakan konsep yang ditawarkan oleh

Friedmann dan Doughlas (1974) dalam Sulistiono (2008) atas pengalaman kegagalan

pengembangan sektor industri di beberapa negara berkembang (di Asia) yang mengakibatkan terjadinya berbagai kecenderungan,antara lain:

(a). Terjadinya hyperurbanization, sebagai akibat terpusatnya penduduk dikota-kota yang padat;

(b). Pembangunan “modern” hanya terjadi di beberapa kota saja, sementara daerah pinggiran relatif tertinggal;

(c). Tingkat pengangguran dan setengah pengangguran yang relatif tinggi; (d). Pembagian penadapatan yang tidak merata (kemiskinan);

percepatan pertumbuhan sektor industri (rapid industrialization); (f). Penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat desa (petani) dan (g). Terjadinya ketergantungan pada dunia luar.

Konsep agropolitan berdasarkan Friedmann dalam Martina (2004), terdiri dari distrik-distrik agropolitan sebagai kawasan pertanian pedesaan yang memiliki kepadatan penduduk 200 jiwa per km2 dan di dalamnya terdapat kota-kota tani dengan jumlah penduduk 10.000 – 25.000 jiwa. Sementara luas wilayah distrik

adalah cummuting berada pada radius 5 – 10 km, sehingga akan menghasilkan jumlah

penduduk total antara 50.000–150.000 penduduk yang mayoritas bekerja di sektor pertanian (tidak dibedakan antara pertanian modern dan pertanian konvensional) dan tiap-tiap distrik dianggap sebagai satuan tunggal yang terintegrasi.

Menurut Rivai (2003), tujuan pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pengembangan wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing berbasis kerakyatan, berkelanjutan (tidak merusak lingkungan) dan terdesentralisasi (wewenang berada di Pemerintah Daerah dan Masyarakat) di kawasan agropolitan. Dengan berkembangnya sistem dan usaha agribisnis maka di kawasan agropolitan tersebut tidak saja membangun usaha budidaya (on farm) saja tetapi juga "off farm"nya, yaitu usaha agribisnis hulu (pengadaan sarana pertanian), agribisnis hilir (pengolahan hasil pertanian dan pemasaran) dan jasa penunjangnya, sehingga akan

mengurangi kesenjangan pendapatan antar masyarakat, mengurangi kemiskinan dan mencegah terjadinya urbanisasi tenaga produktif, serta akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Sasaran pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk mengembangkan

kawasan pertanian yang berpotensi menjadi kawasan agropolitan, melalui:

a) Pemberdayaan masyarakat pelaku agribisnis agar mampu meningkatkan produksi, produktifitas komoditi pertanian serta produk-produk olahan pertanian, yang dilakukan dengan pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang efisien dan menguntungkan serta berwawasan lingkungan,

b) Penguatan kelembagaan petani,

c) Pengembangan kelembagaan sistem agribisnis (penyedia agroinput, pengolahan hasil, pemasaran dan penyediaan jasa),

d) Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pembangunan Terpadu, e) Pengembangan iklim yang kondusif bagi usaha dan investasi.

Dalam pendekatan agropolitan wilayah pedesaan didorong untuk membentuk satuan-satuan usaha yang optimal melalui kebijaksanaan perkreditan dan perpajakan. Satuan usaha pengembangan diorganisasikan ke dalam koperasi, perusahaan kecil dan menengah, dengan mempertimbangkan konsepsi pengembangan seperti, Perkembangan kelembagaan usaha dilakukan melalui pengembangan sistem insentif (Rivai, 2003).

Persyaratan sebuah wilayah disebut sebagai Kawasan Agropolitan apabila (Departemen Pertanian, 2002):

1. Memiliki Sumberdaya lahan dengan agroklimat yang sesuai untuk mengembangkan komoditi pertanian yang dapat dipasarkan (komoditi unggulan) serta berpotensi atau telah berkembang diversifikasi usaha komoditi unggulannya.

2. Memiliki berbagai sarana dan prasarana agribisnis yang memadai untuk

mendukung perkembangan sistem dan usaha agribisnis.

3. Memiliki berbagai sarana dan prasarana umum yang memadai (transportasi,

listrik, telekomunikasi, air bersih dll).

4. Memiliki berbagai sarana dan prasarana kesejahteraan sosial masyarakat yang

memadai (kesehatan, pendidikan kesenian, rekreasi, perpustakaan, swalayan, dan).

5. Kelestarian lingkungan hidup baik kelestarian Sumberdaya alam, kelestarian

sosial budaya maupun keharmonisan hubungan kota dan desa terjamin.

Departemen Pertanian menjelaskan bahwa kota agropolitan berada dalan kawasan sentra produksi pertanian (selanjutnya kawasan tersebut disebut sebagai kawasan Agropolitan). Kota pertanian dapat merupakan Kota Menengah, Kota Kecil, Kota Kecamatan, Kota Perdesaan atau kota nagari yang berfungsi sebagi pusat pertumbuhan ekonomi yang mendorong pertumbuhan pembangunan pedesaan dan desa-desa hinterland di wilayah sekitarnya. Sistem Kawasan Agropolitan dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Diagram Alir Sistem Kawasan Agropolitan

Kawasan agropolitan yang telah berkembang memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Rivai, 2003):

a. Mayoritas masyarakatnya memperoleh pendapat dari kegiatan agribisnis

b. Didominasi oleh kegiatan pertanian, termasuk didalamnya usaha industri (pengolahan) pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian, perdagangan agrobisnis hulu(sarana pertanian dan permodalan), agrowisata dan jasa pelayanan. c. Relasi antara kota dan daerah-daerah hinterlandnya bersifat interpendensi yang

harmonis dan saling membutuhkan. Kawasan pertanian mengembangkan usaha

budidaya (on farm) dan produk olahan skala rumah tangga (off farm) dan kota

menyediakan penyediaan sarana pertanian, modal, teknologi, informasi pengolahan hasildan pemasaran hasil produksi pertanian.

d. Pola kehidupan masyarakatnya sama dengan kehidupan kota karena prasarana dan sarana yang dimilikinya tidak berbeda dengan di kota.

Batasan kawasan agropolitan ditentukan oleh skala ekonomi dan ruang lingkup

Sumberdaya dan Komoditi Unggulan Sarana dan Prasarana Agribinis Sarana dan Prasarana Umum Sarana dan prasarana Sosial Kelestarian Lingkungan

ekonomi bukan oleh batasan administratif. Penetapan kawasan agropolitan hendaknya dirancang secara lokal dengan memperhatikan realitas perkembangan agrobisnis yang ada disetiap daerah.

Permodalan/Teknologi Pemasaran /Sarana

pertanian/Investasi Hasil Pertanian

Gambar 2.3. Kawasan Agropolitan

Keterangan Gambar:

: Agropolitan.

: Pemukiman termasuk di dalamnya terdapat kelembagaan, petani yang --

inovatif dan lahan pertanian (Desa Hinterland atau desa sekitarnya)yang --

memasok produk segar dan olahan pertanian. : Irigasi.

: Prasarana jalan.

: Batas atas wilayah pelayanaan Agropolitan (Kawasan Agropolitan)

Batasan suatu kawasan agropolitan tidak ditentukan oleh batasan administratif pemerintah (desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten) tetapi lebih ditentukan dengan

memperhatikan economic of scale dan economic of scope. Karena itu, penetapan kawasan agropolitan hendaknya di rancang secara lokal dengan memperhatikan realitas perkembangan agribisnis yang ada di setiap daerah. Dengan demikian bentuk dan luasan kawasan agropolitan, dapat meliputi satu wilayah Desa/kelurahan atau kecamatan atau beberapa kecamatan dalam kabupaten/kota atau dapat juga meliputi wilayah yang dapat menembus wilayah kabupaten/kota lain yang berbatasan. Kotanya dapat berupa kota desa atau kota nagari atau kota kecamatan atau kota kecil atau kota menengah.

Menurut Rivai, (2003), bahwa pengembangan kawasan agropolitan menjadi

sangat penting dalam konteks pengembangan wilayah mengingat beberapa hal yakni:

1) kawasan dan sektor yang dikembangkan sesuai dengan spesifik lokal,

2) Pengembangan kawasan agropolitan dapat meningkatkan pemerataan sektor yang dipilih merupakan basis aktifitas masyarakat, 3) Keberlanjutan dari pengembangan kawasan dan sektor menjadi lebih pasti mengingat sektor yang dipilih mempunyai

keunggulan kompetetif dan komparatif dibandingkan dengan sektor lainnya dan 4) Dalam penetapan pusat agropolitan terkait dengan sistem pusat-pusat nasional,

propinsi dan kabupaten (RTRW Propinsi/Kabupaten) sehingga dapat menciptakan pengembangan wilayah yang serasi dan seimbang.

Selanjutnya Rivai, (2003) menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan pengembangan kawasan agropolitan maka ada dua strategi yang bisa dilakukan yaitu 1) strategi pemberdayaan masyarakat/Sumberdaya manusia dan 2) strategi pengembangan wilayah. Kedua strategi tersebut dapat diuraikan berikut:

a. Strategi pemberdayaan masyarakat/SDM:

1. Meningkatkan peran serta aktif masyarakat di kawasan agropolitan mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi. Perencanaan disusun secara partisipatif dan hasilnya digunakan untuk bahan master plan atau program pengembangan kawasan agropolitan. Dengan melibatkan masyarakat, mereka akan merasa memiliki program-program yang akan dikembangkan pada kawasan agropolitan. Peran pemerintah disini hanya sebatas menfasilitasi apa yang sebenarnya diperlukan masyarakat.

2. Meningkatkan kemampuan masyarakat pada kawasan agropolitan dalam pengelolaan usaha pertanian yang tidak hanya terbatas pada aspek produksi (budidaya) tetapi juga pada aspek agribisnis secara keseluruhan. Peningkatan kemampuan masyarakat ini dilakukan salah satunya melalui pendidikan dan pelatihan (diklat) secara berjenjang dari pusat, propinsi, kabupaten/kota dan kawasan agropolitan.

3. Mengembangkan kelembagaan agribisnis dalam upaya meningkatkan posisi tawar pelaku agribisnis, menunjang pengembangan dan keberlanjutan usaha, dan meningkatkan daya saing produk. Kelembagaan yang perlu ditingkatkan keberadaannya diantaranya kelembagaan petani seperti kelompok tani, kelembagaan kemitraan antara petani dengan pengusaha penyedia sarana produksi, pemasaran dan pengolahan, kelembagaan pendanaan pedesaaan seperti lembaga keuangan pedesaan/mikro seperti bank dan lembaga perkreditan desa .

4. Meningkatkan kemampuan analisis pasar dan pemasaran Sumberdaya manusia di kawasan agropolitan dengan mengembangkan sarana dan prasarana pemasaran terutama 1) Penataan struktur pasar dalam negeri untuk meningkatkan efisiensi pasar, menjamin perdagangan yang transparan dan distribusi nilai tambah yang lebih proporsional, 2) Prasarana angkutan dan jalan pedesaan untuk menjamin akses produk pertanian ke pusat konsumen

dan perdagangan, c) Fasilitas pergydangan (storage) yang memadai terutama

bagi komoditi yang mudah rusak seperti produk hortikultura dan peternakan, 4) Rasionalisasi biaya angkutan udara bagi komoditi ekspor, mengingat biaya

kargo udara perusahaan penerbangan nasional masih dirasakan terlalu tinggi untuk produk-produk pertanian.

b. Strategi Pengembangan Wilayah, melalui:

1. Mengembangkan sarana dan prasarana ekonomi mendukung pengembangan usaha pertanian skala kecil dan menengah berupa jalan desa, jalan usahatani, sarana penagairan, pelabuhan, transportasi dan telekomunikasi.

2. Menciptakan iklim berusaha yang kondusif bagi petani dan pelaku agribisnis lainnya dalam hal: a) Pemberian intensif dalam keringanan pajak, kemudahan dalam pengadaan barang modal, kepastian hukum, keamanan berusaha dan dukungan kebijaksanaan pemerintah daerah dalam tata ruang dan tata guna lahan dan b) Penyederhanaan prosedur, pelayanan yang cepat dan sederhana dalam perijinan usaha.

meningkatkan produktivitas, peningkatan mutu dan diversifikasi produk olahan baik untuk usaha kecil, menengah dan besar berupa:

a) Teknologi biologis (benih, varietas) yang sesuai permintaan pasar, b) Teknologi pengolahan produk pertanian untuk berbabagai skala usaha,

c) Teknologi pengepakan/pengemasan dan distribusi untuk menjamin produk tetap dalam kondisi segar sampai ke konsumen akhir dan

d) Teknologi budidaya untuk memberikan hasil keuntungan yang tinggi seperti mekanisasi pertanian.

4. Penyusunan master plan pengembangan kawasan agropolitan yang akan menjadi acuan masing-masing wilayah. Master plan ini disusun berdasarkan hasil perencanaan partisipatif masyarakat bersama dengan pemerintah daerah sehingga program yang disusun lebih akomodatif.

5. Penetapan lokasi agropolitan di mana kegiatan ini dimulai dari usulan penetapan kabupaten oleh pemerintah propinsi. Untuk selanjutnya oleh pemerintah kabupaten mengusulkan kawasan agropolitan dengan terlebih dahulu melakukan identifikasi potensi dan masalah untuk mengetahui kondisi dan potensi lokasi (komoditi unggulan) antara lain; potensi SDA, SDM, kelembagaan, iklim usaha dan sebagainya, serta terkait dengan sistem permukiman nasional, propinsi dan kabupaten/kota.

6. Melakukan gerakan dan sosialisasi program pengembangan kawasan agropolitan kepada seluruh stakeholders yang terkait dengan pengembangan program agropolitan baik pusat maupun daerah, sehingga pengembangan

program agropolitan dapat lebih terpadu, terkordinasi dan terintegrasi dengan baik.

Kawasan agropolitan yang telah berkembang memliki ciri-ciri sebagai berikut. (Deptan, 2002):

a. Mayoritas masyarakatnya memperoleh pendapat dari kegiatan agribisnis

b. Didominasi oleh kegiatan pertanian, termasuk didalamnya usaha industri (pengolahan) pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian, perdagangan agrobisnis hulu (sarana pertanian dan permodalan), agrowisata dan jasa pelayanan.

c. Relasi antara kota dan daerah-daerah hinterlandnya bersifat interpendensi yang harmonis dan saling membutuhkan. Kawasan pertanian mengembangkan usaha budidaya (on farm) dan produk olahan skala rumah tangga (off farm) dan kota menyediakan penyediaan sarana pertanian, modal, teknologi, informasi pengolahan hasildan pemasaran hasil produksi pertanian.

d. Pola kehidupan masyarakatnya sama dengan kehidupan kota karena prasarana dan sarana yang dimilikinya tidak berbeda dengan di kota. Batasan kawasan agropolitan ditentukan oleh skala ekonomi dan ruang lingkup ekonomi bukan oleh batasan administratif.

Penetapan kawasan agropolitan hendaknya dirancang secara lokal dengan memperhatikan realitas perkembangan agrobisnis yang ada disetiap daerah.

Dokumen terkait