DAMPAK PEMBANGUNAN KAWASAN AGROPOLITAN
TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH
DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
PADA LOKALITA SARIBU DOLOK
DAMPAK PEMBANGUNAN KAWASAN AGROPOLITAN
TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH
DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
PADA LOKALITA SARIBU DOLOK
KECAMATAN SILIMAKUTA
KABUPATEN SIMALUNGUN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
T A R S U D I
097003050/PWD
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : DAMPAK PEMBANGUNAN KAWASAN AGRO POLITAN TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PADA LOKALITA SARIBU DOLOK KECAMATAN SILIMAKUTA KABUPATEN SIMALUNGUN
Nama Mahasiswa : Tarsudi
Nomor Pokok : 097003050
Program Studi : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan
Menyetujui, Komisi Pembimbing
(Prof. Bachtiar Hassan Miraza Ketua
)
(Dr. Ir. Tavi Supriana, MS) (Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec
Anggota Anggota
)
Ketua Program Studi Direktur
(Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE) (Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)
Telah diuji pada
Tanggal : 26 Agustus 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Bachtiar Hassan Miraza
Anggota : 1. Dr. Ir. Tavi Supriana, MS
2. Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec
3. Drs. Rujiman, MA
DAMPAK PEMBANGUNAN KAWASAN AGROPOLITAN TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
PADA LOKALITA SARIBU DOLOK KECAMATAN SILIMAKUTA KABUPATEN SIMALUNGUN
ABSTRAK
Agropolitan sebagai konsep pembangunan yang relatif masih baru dikembangkan di Indonesia diharapkan dapat menjadi alternatif dalam pembangunan wilayah pedesaan. Untuk mencapai tujuan pengembangan kawasan agropolitan maka ada dua strategi yang bisa dilakukan yaitu 1) strategi pemberdayaan masyarakat/sumberdaya manusia dan 2) strategi pengembangan wilayah.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak pembangunan kawasan agropolitan terhadap peningkatan penggunaan lahan, menganalisis dampak pembangunan kawasan agropolitan terhadap produktifitas komoditi unggulan, menganalisis dampak pembangunan kawasan agropolitan terhadap peningkatan pendapatan rata-rata petani dan dampak pembangunan kawasan agropolitan terhadap pemberdayaan masyarakat dilihat dari faktor kelembagaan (koperasi, lembaga keuangan mikro, lembaga usaha tani (Poktan/Gapoktan), lembaga penyuluhan, partisipasi petani, peran pemerintah dan dukungan dunia usaha pada Lokalita Percontohan Saribu Dolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun. Populasi penelitian ini meliputi petani penerima manfaat program pembangunan agropolitan dengan komoditi utama kentang sebanyak 125 KK. Besar sampel yang diambil sebanyak 49 responden. Untuk menguji hipotesis 1,2 dan 3 digunakan analisis deskriptif dan uji beda rata-rata sampel berpasangan (paired sampel t-test).
DEVELOPMENT IMPACT AGROPOLITAN ZONE AGAINST REGIONAL DEVELOPMENT AND EMPOWERMENT IN SARIBU DOLOK LOCALITY
SILIMAKUTA DISTRICT, SIMALUNGUN REGENCY
ABSTRACT
Agropolitan as the concept is still relatively new development that was developed in Indonesia is expected to be an alternative in the development of rural areas. To achieve the goal of developing the area agropolitan then there are two strategies that can be done: 1) the strategy of community development / human resources and 2) the strategy of regional development.
The purpose of this study was to analyze the impact of regional development agropolitan to increase land use, analyze the impact of development on the productivity of the region agropolitan commodity, analyzing the impact of regional development agropolitan to increase average income of farmers and development impacts on the community empowerment agropolitan area seen from institutional factors (cooperatives, microfinance institutions, farmers institution (farmers group/united farmers group), counseling agencies, farmer participation, the role of government and support the business private in Saribu Dolok Agropolitan Locality, Silimakuta District of Simalungun Regency.
The population of this study was include farmer beneficiaries of development agropolitan programs with the main commodity (potatoes) 125 households. Large samples taken in 49 respondents. To test the hypothesis of 1.2 and 3 used different test and descriptive analysis of the sample pairs (paired sample t-test).
The results of this study showed that the development of the Agropolitan region an impact on regional development in Saribu Dolok Locality indicated by the indicator (1) There is extensive use of land accretion planting potatoes from an average of 0.45 ha in 2008 (prior to setting Saribu Dolok as Locality Agropolitan programme) to an average of 0.56 ha in 2010 (after setting Saribu Dolok as lokalita Agropolitan programme) or an increase of 8.2%. (2) There is an increase in average income of potato farmer Rp. 2.937.624/month/Ha in 2008 (prior to setting Saribu Dolok as Locality Agropolitan programme) to Rp. 4.586.146/bulan/Ha in 2010 (after the establishment of Saribu Dolok as lokalita Agropolitan programme) or the addition of 5.6%. (3) Impact on productivity improvement potato plants showed no significant difference before and after the establishment of Saribu Dolok as Locality Agropolitan a programme. (4) Impact on institutional factors (cooperatives, rural credit institutions) and the support of the business has not shown a significant improvement over the construction of Agropolitan region, while the institutional
factors of farming (farmers group/united farmers groups), counseling agencies,
community participation has begun to show an improvement.
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Penulis panjatkan kehadhirat Allah SWT, atas rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “DAMPAK
PEMBANGUNAN KAWASAN AGROPOLITAN TERHADAP
PENGEMBANGAN WILAYAH DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
PADA LOKALITA SARIBU DOLOK KECAMATAN SILIMAKUTA
KABUPATEN SIMALUNGUN”, yang membahas tentang dampak pembangunan
Kawasan Agropolitan terhadap peningkatan penggunaan lahan, produktifitas
komoditi unggulan, pendapatan petani dan dampaknya terhadap pemberdayaan
masyarakat pada Lokalita Percontohan Kelurahan Saribu Dolok, Kecamatan
Silimakuta, Kabupaten Simalungun.
Penulis mengucapkan terima kasih khususnya kepada Bapak Prof. Bachtiar
Hassan Miraza, SE selaku Ketua Komisi Pembimbing, Ibu Dr. Ir. Tavi Supriana, MS
dan Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE., M.Ec selaku Anggota Komisi Pembimbing
yang telah sangat banyak membimbing dan memberikan arahan kepada penulis dalam
menyelesaikan tesis ini.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE, selaku Direktur Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.
2. Bapak Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE selaku Ketua dan Bapak Ir. Supriadi,
MS selaku Sekretaris Program Studi Perencanaan Pengembangan Wilayah dan
Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.
3. Bapak Ir. Supriadi MS dan Drs. Rujiman, MA sebagai Dosen Penguji.
4. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang
Ayahanda M. Rodi (Alm) yang telah memberikan dukungan moril dan materil
yang tak putus-putusnya kepada penulis.
5. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Istri
tercinta Puji Utami AMd yang telah memberikan dukungan yang sangat besar
kepada penulis, dan Ibu Nurmala atas bantuan moril dan materil hingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Tak lupa kepada ucapan terima kasih
kepada adinda Rosida, Rosdiana dan Elfi Fauziah, SH yang saya sayangi.
6. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Ir. Riadil Akhir
Lubis, MSi, Kepala Bappeda Provinsi Sumatera Utara yang telah memberikan
dukungan dan kesempatan kepada penulis sehingga dapat mengikuti program S2
di PWD USU Medan.
7. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh Civitas Akademi SPs
USU yang telah membantu dalam kelancaran kegiatan akademik, dan rekan-rekan
PWD Kelas Bappeda 2009 yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini.
Akhirnya ucapan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dan
tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, karena itu
penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang sangat bermanfaat bagi
penulis untuk dapat berbuat yang lebih baik dikemudian hari. Semoga tesis ini dapat
bermanfaat bagi pihak yang memerlukannya.
Medan, Agustus 2011
Tarsudi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Medan, pada tanggal 14 Januari 1967. Anak dari M.
Rodi (Alm) dan Tumiah sebagai anak pertama dari empat bersaudara.
Tahun 1980 lulus dari pendidikan dasar SD Nurul Islam Indonesia, Medan,
Tahun 1983 lulus dari SMP Negeri 4 Medan, Tahun 1986 lulus dari SMA Negeri 6
Medan dan pada tahun tersebut juga melanjutkan pendidikan ke Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara, Medan pada Jurusan Budi Daya Pertanian dan
menamatkan studi pada tahun 1991.
Dari tahun 1991 penulis bekerja pada beberapa lembaga pendidikan dan
perguruan tinggi swasta sebagai tenaga pengajar/dosen tidak tetap dan mulai bekerja
sebagai staf honorer di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sumatera
Utara sejak tahun 2000 dan diangkat sebagai PNS pada tahun 2007.
Pada tahun 2009 penulis diberi kesempatan mengikuti program Beasiswa S2
perencana bagi staf di lingkungan Bappeda Provinsi Sumatera Utara dan lulus ujian
masuk Sekolah Pascasarjana Universita Sumatera Utara (USU) pada Program Studi
Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan dengan konsentrasi Perencanaan
DAFTAR ISI
2.1.Tinjauan Konsep Pengembangan Wilayah Melalui Konsep Pusat-pusat Pertumbuhan ... 10
2.2.Agropolitan sebagai Konsep Alternatif dalam Pengembangan Wilayah Pedesaan ... 22
2.3.Konsep Struktur Tata Ruang Agropolitan ... 35
2.3.1. Dasar Pemilihan Lokalita Percontohan ... 39
2.3.2. Pemilihan Komoditi Unggulan ... 40
2.4.Peranan Kelembagaan dan Pemberdayaan Masyarakat ... 42
2.5.Kerangka Pemikiran ... 50
2.6. Hipotesis Penelitian ... 51
BAB III METODE PENELITIAN ... 53
3.2.Jenis dan Sumber Data ... 53
3.3.Populasi dan Sampel... 54
3.4.Metode Pengumpulan Data ... 56
3.5.Analisis Data ... 56
3.6.Definisi Operasional Variabel ... 57
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 59
4.1.Deskripsi Wilayah Penelitian ... 59
4.1.1. Kondisi Biofisik Lokalita Saribu Dolok ... 59
4.1.2. Kondisi Sosial dan Ekonomi ... 60
4.1.2.1. Demografi ... 60
4.1.2.2. Kondisi pertanian ... 60
4.1.2.3. Kondisi unggulan di Lokalita Saribu Dolok ... 61
4.2.Deskripsi Responden ... 64
4.2.1 Umur ... 64
4.2.2 Pendidikan ... 65
4.2.3 Lama Pengalaman Bertani ... 66
4.2.4 Status Kepemilikan Lahan ... 67
4.2.5 Luas Lahan ... 68
4.3. Analisis Dampak Pembangunan Kawasan Agropolitan pada Lokalita Saribu Dolok ... 68
4.3.1. Luas Penggunaan Lahan ... 69
4.3.2. Produktifitas ... 73
4.3.3. Pendapatan Rata-rata Petani ... 76
4.4. Analisis Dampak Pembangunan Agropolitan terhadap Pemberdayaan Masyarakat ... 79
4.4.1. Kelembagaan ... 79
4.4.1.1. Lembaga koperasi ... 79
4.4.1.2. Lembaga Perkreditan Rakyat (BPR) ... 81
4.4.1.4. Lembaga Penyuluhan ... 85
4.4.2. Partisipasi Petani ... 87
4.4.3. Peran Pemerintah ... 89
4.4.4. Dukungan Dunia Usaha ... 91
4.5. Dampak Pembangunan Kawasan Agropolitan terhadap Pengembangan Wilayah Ditinjau dari Pembangunan Infrastruktur ... 93
4.5.1. Jaringan Jalan dan Transportasi ... 93
4.5.2. Pemasaran ... 96
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 104
5.1. Kesimpulan ... 104
5.2. Saran ... 105
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
2.1. Persentase PDB Sektor Pedesaan dan Perkotaan di Indonesia ... 21
2.2. Nilai LQ Komoditi Hortikultura Sayuran 8 Kabupaten di KADTBB ... 41
4.1. Komoditi Pertanian di Lokalita Saribu Dolok ... 61
4.2. Masalah Teknis Produksi Kentang di Lokalita Percontohan ... 63
4.3. Masalah Panen dan Pasca Panen Kentang di Lokalita Percontohan 63 4.4. Masalah Permodalan dan Pemasaran Kentang di Lokalita Percontohan ... 64
4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Umur ... 65
4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 66
4.7. Distribusi Responden Berdasarkan Lama Pengalaman Petani ... 67
4.8. Distribusi Responden Berdasarkan Kepemilikan Lahan ... 67
4.9. Distribusi Responden Berdasarkan Luas Lahan ... 68
4.10. Hasil Analisis Uji Beda Rata-rata Luas Lahan Pertanaman Kentang ... 69
4.11. Perkembangan Luas Tanaman Kentang dan Hortikultura Lainnya . 71 4.12. Hasil Analisis Uji Beda Rata-rata Produktifitas Tanaman Kentang 73 4.13. Penggunaan Lahan Berdasarkan Ekosistem ... 76
4.14. Hasil Analisis Uji Beda Rata-rata Pendapatan Petani Kentang ... 77
4.15. Pendapat Petani tentang Lembaga Koperasi ... 80
4.16. Pendapat Petani tentang Lembaga Perkreditan Rakyat (BPR) ... 82
4.17. Pendapat Petani tentang Lembaga Poktan/Gapoktan ... 84
4.18. Pendapat Petani tentang Lembaga Penyuluhan ... 86
4.19. Partisipasi Petani ... 88
4.20. Peran Pemerintah ... 90
4.22. Panjang Jalan Menurut Kondisi Jalan di Kecamatan Silimakuta
Tahun 2007-2009 (Km) ... 94
4.23. Kondisi Jalan Berdasarkan Permukaan Jalan di Kecamatan
Silimakuta Tahun 2007 – 2009 ... 95
4.24. Volume Perdagangan Komoditi Pertanian di STA Saribu Dolok ... 99
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1. Konstribusi PDB Perkotaan dan Pedesaan di Indonesia Tahun
1976 s/d 1998... 22
2.2. Diagram Alir Sistem Kawasan Agropolitan ... 28
2.3. Kawasan Agropolitan ... 30
2.4. Peta KADTBB Sumatera Utara ... 39
2.5. Diagram Kerangka Pemikiran Penelitian ... 51
4.1. Persentase Panjang Jalan di Kecamatan Silimakuta Berdasarkan Kondisi ... 95
4.2. Rantai Pemasaran Kentang di Lokalita Saribu Dolok ... 97
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Kuisioner Penelitian ... 109
2. Karakteristik Responden ... 112
3. Data Luas Lahan, Total Penerimaan, Biaya-Biaya dan Pendapatan Petani/Ha/Tahun ... 113
4. Analisis Luas Lahan Tanaman Kentang ... 114
5. Analisis Produktifitas Tanaman Kentang ... 115
6. Analisis Pendapatan Petani/Tahun ... 116
DAMPAK PEMBANGUNAN KAWASAN AGROPOLITAN TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
PADA LOKALITA SARIBU DOLOK KECAMATAN SILIMAKUTA KABUPATEN SIMALUNGUN
ABSTRAK
Agropolitan sebagai konsep pembangunan yang relatif masih baru dikembangkan di Indonesia diharapkan dapat menjadi alternatif dalam pembangunan wilayah pedesaan. Untuk mencapai tujuan pengembangan kawasan agropolitan maka ada dua strategi yang bisa dilakukan yaitu 1) strategi pemberdayaan masyarakat/sumberdaya manusia dan 2) strategi pengembangan wilayah.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak pembangunan kawasan agropolitan terhadap peningkatan penggunaan lahan, menganalisis dampak pembangunan kawasan agropolitan terhadap produktifitas komoditi unggulan, menganalisis dampak pembangunan kawasan agropolitan terhadap peningkatan pendapatan rata-rata petani dan dampak pembangunan kawasan agropolitan terhadap pemberdayaan masyarakat dilihat dari faktor kelembagaan (koperasi, lembaga keuangan mikro, lembaga usaha tani (Poktan/Gapoktan), lembaga penyuluhan, partisipasi petani, peran pemerintah dan dukungan dunia usaha pada Lokalita Percontohan Saribu Dolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun. Populasi penelitian ini meliputi petani penerima manfaat program pembangunan agropolitan dengan komoditi utama kentang sebanyak 125 KK. Besar sampel yang diambil sebanyak 49 responden. Untuk menguji hipotesis 1,2 dan 3 digunakan analisis deskriptif dan uji beda rata-rata sampel berpasangan (paired sampel t-test).
DEVELOPMENT IMPACT AGROPOLITAN ZONE AGAINST REGIONAL DEVELOPMENT AND EMPOWERMENT IN SARIBU DOLOK LOCALITY
SILIMAKUTA DISTRICT, SIMALUNGUN REGENCY
ABSTRACT
Agropolitan as the concept is still relatively new development that was developed in Indonesia is expected to be an alternative in the development of rural areas. To achieve the goal of developing the area agropolitan then there are two strategies that can be done: 1) the strategy of community development / human resources and 2) the strategy of regional development.
The purpose of this study was to analyze the impact of regional development agropolitan to increase land use, analyze the impact of development on the productivity of the region agropolitan commodity, analyzing the impact of regional development agropolitan to increase average income of farmers and development impacts on the community empowerment agropolitan area seen from institutional factors (cooperatives, microfinance institutions, farmers institution (farmers group/united farmers group), counseling agencies, farmer participation, the role of government and support the business private in Saribu Dolok Agropolitan Locality, Silimakuta District of Simalungun Regency.
The population of this study was include farmer beneficiaries of development agropolitan programs with the main commodity (potatoes) 125 households. Large samples taken in 49 respondents. To test the hypothesis of 1.2 and 3 used different test and descriptive analysis of the sample pairs (paired sample t-test).
The results of this study showed that the development of the Agropolitan region an impact on regional development in Saribu Dolok Locality indicated by the indicator (1) There is extensive use of land accretion planting potatoes from an average of 0.45 ha in 2008 (prior to setting Saribu Dolok as Locality Agropolitan programme) to an average of 0.56 ha in 2010 (after setting Saribu Dolok as lokalita Agropolitan programme) or an increase of 8.2%. (2) There is an increase in average income of potato farmer Rp. 2.937.624/month/Ha in 2008 (prior to setting Saribu Dolok as Locality Agropolitan programme) to Rp. 4.586.146/bulan/Ha in 2010 (after the establishment of Saribu Dolok as lokalita Agropolitan programme) or the addition of 5.6%. (3) Impact on productivity improvement potato plants showed no significant difference before and after the establishment of Saribu Dolok as Locality Agropolitan a programme. (4) Impact on institutional factors (cooperatives, rural credit institutions) and the support of the business has not shown a significant improvement over the construction of Agropolitan region, while the institutional
factors of farming (farmers group/united farmers groups), counseling agencies,
community participation has begun to show an improvement.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu proses peningkatan kualitas
kehidupan masyarakat sehingga dinilai lebih baik dari sebelumnya. Sedangkan
pembangunan wilayah dapat diartikan sebagai peningkatan taraf hidup masyarakat
dan perbaikan lingkungannya agar lebih baik dari sebelumnya. Indikator taraf hidup
masyarakat biasanya digunakan ekonomi melalui besarnya pendapatan per kapita di
wilayah tersebut. Sedang indikator lingkungan dinilai melalui keberlanjutannya
(sustainability).
Agar dicapai keberhasilan pembangunan, setiap wilayah yang melakukan
pembangunan akan mengikuti strategi pembangunan wilayah yang ditentukan
sebelumnya dalam bentuk tujuan pembangunan wilayah dan merupakan paradigma
pembangunan. Pada umumnya tujuan pembangunan wilayah adalah peningkatan
kesejahteraan masyarakat pada wilayah bersangkutan.
Dilain pihak akibat kurang tepatnya orientasi pembangunan ternyata
menimbulkan adanya ketimpangan dalam hasil pembangunan yang dinikmati
masyarakat. Ketimpangan pembangunan antara desa sebagai produsen pertanian
dengan kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi telah mendorong
aliran Sumberdaya dari wilayah perdesaan ke kawasan perkotaan secara tidak
Kesenjangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan serta kemiskinan di
perdesaan kemudian telah mendorong upaya-upaya pembangungan di kawasan
perdesaan. Meskipun demikian, pendekatan pengembangan kawasan perdesaan
seringkali dipisahkan dari kawasan perkotaan. Hal ini telah mengakibatkan terjadinya
proses urban bias yaitu pengembangan kawasan perdesaan yang pada awalnya
ditujukan untuk meningkatkan kawasan kesejahteraan masyarakat perdesaan malah
berakibat sebaliknya yaitu tersedotnya potensi perdesaan ke perkotaan baik dari sisi
Sumber daya manusia, alam, bahkan modal (Douglas, 1986 dalam Djakapermana,
2003).
Kondisi tersebut diatas, ditunjukkan dengan tingginya laju urbanisasi. Data
Survey Penduduk Antarsensus (SUPAS) tahun 2002 menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan tingkat urbanisasi di Indonesia dari 37,5% (tahun 1995) menjadi 40,5%
(tahun 1998). Proses urbanisasi yang terjadi seringkali mendesak sektor pertanian
ditandai dengan konversi lahan kawasan pertanian menjadi kawasan perkotaan, di
mana di pantai utara Jawa mencapai kurang lebih 20%. Konsekuensi logis dari
kondisi ini adalah menurunnya produktifitas pertanian.
Pembangunan pertanian di Indonesia cukup kompleks. Antara lain disebabkan
jumlah penduduk yang besar dan terus bertambah sekitar 1,6% pertahun, sementara
itu pertanian masih dicirikan oleh usaha sekala kecil yang dilaksanakan berjuta-juta
petani, peternak dan nelayan, jauh dari pendapatan di sektor lainnya. Menyadari
kondisi seperti ini maka untuk meningkatkan kesejahteraan petani Pemerintah
ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman Sumberdaya bahan pangan dan
pengembangan agribisnis, dengan membangun keunggulan kompetitif sesuai
kompetensi dan produk unggulan di setiap daerah.
Pengembangan agribisnis merupakan hal penting karena nilai tambah dari
semua rangkaian produksi pertanian tercipta pada subsistem budidaya, pemasaran dan
pengolahan atau agroindustri pedesaan dapat menjadi fase transisi menuju
tranformasi struktural pertanian keproduksi pertanian sesungguhnya. Dalam
pengembangan komoditi wilayah harus didasarkan atas keunggulan komparatif
lokasi, dengan demikian produk-produk pertanian yang mempunyai karaktristik
khusus harus mempunyai orentasi pengembangan yang lebih baik dan manajemen
yang tepat untuk mencapai efisiensi yang maksimal (Panggabean, 2000).
Salah satu upaya untuk mewujudkan kemandirian pembangunan perdesaan
adalah melalui konsep agropolitan. Agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh
dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu
melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian
(agribisnis) di wilayah sekitarnya. Agropolitan menjadi relevan diterapkan di
Indonesia karena pada umumnya sektor pertanian masih menjadi mata pencaharian
utama dari sebagian besar masyarakat perdesaan.
Pembangunan nasional berwawasan agribisnis perlu difasilitasi sedikitnya
oleh dua strategi dasar yaitu: Pendekatan agropolitan dalam pengembangan agribisnis
dan restrukturisasi dan konsolidasi agribisnis. Disamping itu, dalam
difasilitasi dengan sejumlah kebijaksanaan strategis pengembangan agribisnis.
Melalui pendekatan ini diharapkan dapat diselaraskan dimensi pertumbuhan,
pemerataan, dan keberlanjutan pembangunan dalam arti luas.
Dalam upaya mempercepat pembangunan pedesaan yang berbasis agribisnis serta
meningkatkan daya saing produk-produk pertanian yang dihasilkan, Pemerintah Daerah
Sumatera Utara dengan dukungan Pemerintah Pusat, khususnya Departemen Pertanian,
Kimpraswil beserta Departemen terkait lainnya sepakat untuk mempromosikan
pengembangan kawasan agropolitan di Sumatera Utara. Untuk tahap pertama,
pengembangan kawasan dimulai di daerah Dataran Tinggi Sumatera Utara yang
mencakup Kabupaten Karo, Dairi, Pakpak Bharat, Simalungun, Tapanuli Utara,
Humbang Hasundutan. Samosir, Toba Samosir dan Kota Pematang Siantar. Penetapan
kawasan tersebut didasari dengan nota kesepakatan antara lima bupati tersebut yang
dikenal dengan Kesepakatan Berastagi yang ditandatangani tanggal 28 September 2002.
Setelah adanya pemekaran beberapa kabupaten yang mengakibatkan bertambahnya tiga
kabupaten di kawasan ini maka pada tanggal 11 April 2005 ditandatangani pernyataan
kesepakatan bersama delapan Sekda Kabupaten/Kota yang terdapat di kawasan ini dan
dibentuknya Pernyataan Kesepakatan Bersama (Kabupaten Samosir, Humbang
Hasundutan, Pakpak Bharat dan Kota Pematang Siantar) untuk bergabung pada Program
Agropolitan yang ditandatangani oleh Bupati/Walikota masing-masing kabupaten/Kota
Untuk mempercepat implementasi, Gubernur Sumatera Utara membentuk
Kelompok Kerja (POKJA) dan Tim Teknis Program Pengembangan Kawasan
Agropolitan Dataran Tinggi Bukit Barisan (KADTBB) Sumatera Utara melalui Surat
Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 050 / 1467.K, Tanggal 3 Desember 2002 dan
diperbahurui dengan Peraturan Gubernur Sumatera Utara No. 050/286.K tentang
pembentukan Badan Koordinasi dan Tim Teknis Program Pengembangan Kawasan
Agropolitan Dataran Tinggi Bukit Barisan Sumatera Utara, Tanggal 26 April 2005.
Kawasan Agropolitan Dataran Tinggi Bukit Barisan (KADTBB) Sumatera
Utara adalah pengelompokan wilayah di 9 (sembilan) Kabupaten/Kota (Karo, Dairi,
Simalungun, Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Samosir, Pakpak Bharat,
Tapanuli Utara, dan Pematang Siantar) yang disesuaikan pada kesamaan agrobiofisik
dan sosial ekonomi, tanpa dibatasi oleh batas-batas administrasi.
Dari total luas Kawasan Agropolitan Dataran Tinggi Bukit Barisan
(KADTBB) yang mencapai 27.268,35 km2 yang terdiri dari 126 kecamatan dan 1572
Desa/Kelurahan maka KADTBB yang paling luas terdapat di Kabupaten Simalungun
(4.368,60 km2), diikuti secara berturut-turut oleh Tapanuli Utara (3.764,65 km2),
Samosir (2.433,50 km2), Toba Samosir (2.352,35 km2), Humbang Hasundutan
(2.297,20 km2), Karo (2.127,25 km2), Dairi (1.927,80 km2), Pakpak Bharat (1.218,30
km2) dan Kota Pematang Siantar (7.997 km2
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2005 kemudian menyusun
Namun dalam perkembangannya kemudian dirasakan perlu adanya penekanan pada
pengembangan komoditi tertentu pada Lokalita yang telah ditentukan sehingga pada
tahun 2008 disusun Rancang Bangun Lokalita KADTBB.
Rancang bangun adalah perencanaan pembangunan yang meliputi ruang,
kelembagaan, infrastuktur serta sarana dan prasarana lainnya yang dilakukan secara
bertahap dan berkelanjutan (multi tahun) pada Lokalita percontohan di Kawasan
Agropolitan Dataran Tinggi Bukit Barisan (KADTBB) Sumatera Utara. Kegiatannya
meliputi pengembangan komoditi unggulan dan pembangunan sarana dan prasarana
pendukung yang dibutuhkan sehingga pembangunan wilayah agroekosistem dengan
komoditi unggulannya akan dapat mencapai sasaran, yaitu peningkatan kesejahteraan
petani dan pertumbuhan ekonomi wilayah (BPTP dan Bappeda Provinsi Sumatera
Utara, 2008).
Lokalita agropolitan merupakan unit/satuan terkecil dari suatu kawasan
agropolitan, yaitu suatu hamparan lahan dengan luasan 1.000-1.500 ha, yang
memiliki kesamaan agroekosistem dengan sejumlah komoditi unggulan yang
berkembang dan dikembangkan. Memiliki sejumlah usahatani individu yang
terorganisir dalam kelompok-kelompok tani. Dengan syarat tersebut suatu Lokalita
dapat terdiri dari 1 sampai 3 desa/kelurahan yang berdampingan.
Pemilihan wilayah atau Lokalita percontohan adalah berdasarkan usulan dari
masing-masing Pemerintah Kabupaten dan Kota se KADTBB. Disamping itu, lokasi
yang direkomendasikan harus memiliki Sumber daya lahan, dan air serta iklim yang
bersifat individu yang terorganisir dalam kelompok-kelompok tani serta pemerintah
Kabupaten/Kota/Propinsi/Pusat memiliki komitmen untuk pengembangan Lokalita
tersebut.
Salah satu desa/kelurahan yang telah ditetapkan sebagai Lokalita percontohan
pengembangan program Agropolitan di Sumatera Utara adalah Kelurahan Saribu
Dolok, yang menjadi Ibukota Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun. Pada
Master Plan KADTBB Kelurahan Saribu Dolok telah ditetapkan sebagai Pusat
Distrik yang meliputi wilayah distrik Silimakuta, Purba, Dolok Silau dan Haranggaol
Horison.
Dipilihnya kelurahan ini sebagai objek penelitian karena dari hasil
pengamatan yang dilakukan oleh Dewan Pakar Agropolitan Sumatera Utara dengan
melihat perkembangan yang terjadi selama kurun waktu lima tahun, sejak
diimplementasikannya program pembangunan kawasan agropolitan di Sumatera
Utara pada tahun 2005, dari 9 Lokalita percontohan yang berada di 9 Kabupaten
se-Sumatera Utara, Kelurahan Saribu Dolok telah ditetapkan sebagai Lokalita
Percontohan Agropolitan terbaik di Sumatera Utara pada tahun 2010.
Dalam penerapan konsep agropolitan di Sumatera Utara masih menemukan
banyak kendala dan permasalahan. Dari segi aspek budidaya pertanian (on-farm)
dianggap sudah berjalan cukup baik, namun dari segi pengembangan off-farm dan
agribisnis masih banyak ditemui kendala yang memerlukan penanganan yang lebih
baik. Target indikator kemajuan ekonomi yang telah ditetapkan pada Master Plan
minimal US$ 3.000 pada tahun 2015 nampaknya masih jauh dari kenyataan.
Berawal dari hal tersebut peneliti bermaksud untuk melihat dampak
pembangunan Kawasan Agropolitan terhadap pengembangan wilayah dan dan sejauh
mana pengaruhnya terhadap peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan
masyarakat dengan melalui pendekatan spesifik pada lokalita percontohan.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan kajian tentang latar belakang penelitian ini, maka penulis
merumuskan beberapa permasalahan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana dampak pembangunan kawasan agropolitan terhadap perkembangan
wilayah dilihat dari pemanfaatan lahan pada Lokalita Saribu Dolok.
2. Bagaimana dampak pembangunan kawasan agropolitan terhadap perkembangan
wilayah dilihat dari produktifitas komoditi unggulan pertanian pada Lokalita
Saribu Dolok.
3. Bagaimana dampak pembangunan kawasan agropolitan terhadap perkembangan
wilayah dilihat dari pendapatan petani rata-rata pada Lokalita Saribu Dolok.
4. Bagaimana dampak pembangunan kawasan agropolitan terhadap pemberdayaan
masyarakat di Lokalita Saribu Dolok dilihat dari faktor kelembagaan, partisipasi
masyarakat, peran pemerintah, dan dukungan dunia usaha.
1.3. Tujuan Penelitian
Dari perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka penulis
1. Menganalisis dampak pembangunan kawasan agropolitan terhadap perkembangan
wilayah dilihat dari pemanfaatan lahan pada Lokalita Saribu Dolok;
2. Menganalisis dampak pembangunan kawasan agropolitan terhadap perkembangan
wilayah dilihat dari produktifitas komoditi unggulan pada Lokalita Saribu Dolok
3. Menganalisis dampak pembangunan kawasan agropolitan terhadap perkembangan
wilayah dilihat dari peningkatan pendapatan rata-rata petani pada Lokalita Saribu
Dolok
4. Menganalisis dampak pembangunan kawasan agropolitan terhadap pemberdayaan
masyarakat di Lokalita Saribu Dolok dilihat dari faktor kelembagaan, partisipasi
masyarakat, peran pemerintah, dan dukungan dunia usaha.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan di bidang perencanaan dan pengembangan wilayah.
2. Memberikan bahan masukan/rekomendasi bagi pemerintah Kabupaten
Simalungun dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk peningkatan
pembangunan Kawasan Agropolitan di Sumatera Utara.
3. Sebagai bahan masukan bagi penelitian selanjutnya, khususnya tentang
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Konsep Pengembangan Wilayah Melalui Konsep Pusat-pusat
Pertumbuhan
Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang
terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi, et al. (2006) dalam
Sulistiono (2008), wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan
batas-batas spesifik tertentu di mana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain
saling berinteraksi secara fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu
bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis. Komponen-komponen
wilayah mencakup komponen biofisik alam, Sumberdaya buatan (infrastruktur),
manusia serta bentuk-bentuk kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah
menekankan interaksi antar manusia dengan Sumberdaya-Sumberdaya lainnya yang
ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Konsep wilayah yang paling klasik
(Hagget, Cliff dan Frey, 1977 dalam Rustiadi et al., 2006) mengenai tipologi wilayah,
mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah
homogen (uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3)
wilayah perencanaan (planning region atau programming region).
satu kesatuan unit geografis yang antar bagiannya mempunyai keterkaitan secara
fungsional. Perkataan “wilayah” berasal dari bahasa Arab “wālā-yuwālī-wilāyah”
yang mengandung arti dasar “saling tolong menolong, saling berdekatan baik secara
geometris maupun similarity”. Contohnya: antara supply dan demand, hulu-hilir.
Oleh karena itu, yang dimaksud dengan pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah
pendelineasian unit geografis berdasarkan kedekatan, kemiripan, atau intensitas
hubungan fungsional (tolong menolong, bantu membantu, lindung melindungi) antara
bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Wilayah Pengembangan adalah
pewilayahan untuk tujuan pengembangan/pembangunan/development. Sedangkan
konsep wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan
sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun non
alamiah yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah
perencanaan.
Dalam konteks keruangan, beberapa konsep pembangunan wilayah telah
diciptakan, misalnya konsep “lokasi industri” yang menerangkan tentang analisis
penentuan lokasi optimum dan aglomerasi industri (Weber, 1909 dalam Adisasmita,
2008), konsep “central place” yang menjelaskan model hirarki perkotaan
(Christaller, 1966, dalam Adisasmita, 2008) dan konsep “growth pole” yang
mengidentifikasikan tata ruang sebagai arena atau medan kekuatan yang didalamnya
terdapat kutub-kutub atau pusat-pusat (Perroux, 1955 dalam Adisasmita, 2008).
Konsep tersebut kemudian digunakan sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan,
dilaksanakan dan diterapkan di berbagai wilayah di dunia biasanya diikuti oleh
negara maupun wilayah lainnya. Salah satu konsep keruangan yang banyak diikuti
adalah konsep growth pole (kutub pertumbuhan).
Keberhasilan penerapan strategi growth pole di negara asalnya, membuat
pemerintahan yang berkuasa di negara lain pada masa itu berusaha mencoba
menerapkan juga di negara masing-masing termasuk di Indonesia, seperti dinyatakan
oleh Nagamine Haruo dalam Martina (2004): “Perencanaan wilayah sebagai
peramalan masa depan dalam pendekatan analitis dari Isard membawa pada publikasi
tentang pembangunan ‘kutub’, growth pole, growth centers dan kelompoknya selama
paruh terakhir dari tahun 1960an. Pendekatan ini didasarkan pada realitas
negara-negara industri di Barat dalam penerapannya efektif, begitu juga besar harapan dapat
efektif diterapkan pada Negara-negara Dunia Ketiga”.
Pendapat Stern dalam Martina (2004) menyatakan bahwa pada era tahun
1960an pemerintah pada berbagai negara mempunyai kekuasaan penuh terhadap
perencanaan pembangunan di negaranya, hal ini mengingat pada tahun 1960an, baik
masyarakat umum maupun pejabat pemerintah percaya bahwa pemerintah dapat
mengerti ekonomi secara baik dan dengan kuat membawa negaranya ke arah tertentu.
Sehingga dapat dipahami mengapa konsep growth pole yang dianggap berhasil di
negara Barat banyak diikuti oleh berbagai negara pada tahun 1960an.
Di Indonesia selain konsep growth pole, kebijakan pembangunan yang
diterapkan lainnya yang mendukung konsep growth pole juga menimbulkan
industri, dan lain-lain. Selain terciptanya megaurban pada berbagai wilayah yang sulit
dibatasi, seperti Jabodetabek, Gerbangkertasusila dan lain-lain sebagai akibat
penerapan konsep growth pole, dampak lain yang dirasakan adalah pengangguran di
perkotaan, sulitnya mencari alternatif pekerjaan di pedesaan dan lain-lain.
Masalah berikutnya terjadi ketimpangan wilayah, terutama dalam hal
kesejahteraan antara kota-kota utama dan wilayah di sekitarnya. Oleh karena itu ada
kecenderungan masyarakat untuk mendekati kawasan potensial/Sumber penghidupan,
yaitu menuju kota-kota utama tersebut (Martina, 2004).
Perroux berpendapat bahwa fakta dasar dari perkembangan spasial,
sebagaimana halnya dengan perkembangan industri adalah bahwa “pertumbuhan
tidak terjadi di sembarang tempat dan juga tidak terjadi secara serentak; pertumbuhan
itu terjadi pada titik-titik atau kutub-kutub perkembangan, dengan intensitas yang
berubah-ubah; perkembangan ini menyebar sepanjang saluran-saluran yang beraneka
ragam dan dengan efek yang beraneka-ragam terhadap keseluruhan perekonomian”.
(Sitohang, 1977 dalam Martina, 2004).
Selanjutnya Perroux juga mengindikasikan bahwa pembangunan harus
disebabkan/ditimbulkan oleh suatu konsentrasi (aglomerasi) tertentu bagi kegiatan
ekonomi dalam suatu ruang yang abstrak. (Miyoshi, 1997 dalam Martina, 2004)
Boudeville mendefinisikan kutub pertumbuhan (growth pole) sebagai
“sekelompok industri yang mengalami ekspansi yang berlokasi di suatu daerah
perkotaan dan mendorong perkembangan kegiatan ekonomi lebih lanjut ke seluruh
konsep growth pole sebagai suatu model perencanaan yang bersifat operasional, yang
menerangkan suatu kondisi di mana pertumbuhan akan tercipta pada wilayah yang
menimbulkan adanya kutub (polarized region). Menurut Glasson (Sitohang, 1977
dalam Martina, 2004) konsep-konsep ekonomi dasar dan perkembangan geografik
berkaitan dengan teori growth pole, didefinisikan sebagai berikut:
a. Konsep “leading industries” dan perusahaan-perusahaan propulsip, menyatakan
pada pusat kutub pertumbuhan terdapat perusahaan-perusahan propulsip yang
besar, yang termasuk dalam “leading industries” yang mendominasi unit-unit
ekonomi lainnya.
b. Konsep polarisasi, menyatakan bahwa pertumbuhan yang cepat dari leading
industries mendorong polarisasi dari unit-unit ekonomi lainnya ke dalam kutub
pertumbuhan.
c. Konsep “spread effect” atau “trickling down effect” menyatakan bahwa pada
waktunya, kualitas propulsip dinamik dari kutub pertumbuhan akan memencar
keluar dan memasuki ruang di sekitarnya.
Dalam konteks pembangunan spasial, terjadi urban bias yang cenderung
mendahulukan pertumbuhan ekonomi melalui kutub-kutub pertumbuhan yang
diharapkan dapat menimbulkan efek penetesan (trickle down effect) ke wilayah
hinterland-nya, ternyata tidak terwujud, yang terjadi malah justru back wash effect
yang pada akhirnya mengakibatkan disparitas wilayah dan sektoral yaitu kesenjangan
antara perkotaan dan perdesaan dan antara sektor industri dengan sektor pertanian.
sementara sektor pertanian di perdesaan bersifat enclave. Kawasan perkotaan
dicirikan oleh aktifitas ekonomi berupa industri, perdagangan, jasa dan dihuni oleh
Sumberdaya manusia yang berkualitas serta didukung oleh pelayanan infrastruktur
yang lengkap, sementara kawasan perdesaan dicirikan oleh aktivitas pertanian secara
luas, dihuni oleh Sumberdaya manusia dengan tingkat pendidikan yang rendah,
kemiskinan dan infrastruktur yang terbatas. Pembangunan sektor industri di
perkotaan maupun didalam rural enclave tidak memberikan dampak multiplier tenaga
kerja dan pendapatan kepada sektor urban informal dan mayoritas penduduk di
wilayah perdesaan. Sebagian besar penduduk miskin di Indonesia bekerja pada sektor
pertanian. Dari total penduduk miskin yang berjumlah 37-38 juta jiwa, sebanyak 68%
merupakan kelompok yang bermatapencaharian sebagai petani. Oleh karena sektor
pertanian berada di wilayah pedesaan maka sebagian besar penduduk miskin juga
bertempat tinggal di perdesaan, sebagaimana situasi shared poverty dan involusi
pertanian di perdesaan yang digambarkan oleh Cilford Geertz (Andry, 2006 dalam
Baskoro, 2010)
Banyaknya permasalahan yang diakibatkan oleh konsep growth pole baik di
Indonesia maupun negara-negara berkembang lainnya, mengakibatkan konsep
growth pole menuai kritik (Miyoshi,1977 dalam Martina, 2004). Sehingga untuk
mengantisipasi permasalahan yang muncul, dan agar pemecahan persoalan efektif,
perlu dipikirkan konsep keruangan yang dapat memecahkan permasalahan yang
timbul sekaligus mempunyai tujuan keadaan lebih baik di masa depan. Konsentrasi
Indonesia, serta strategi pembangunan growth pole yang juga diikuti oleh pemerintah
Indonesia pada masanya, menunjukkan bahwa konsep growth pole pada akhirnya
menimbulkan masalah, khususnya di pulau Jawa.
Jumlah penduduk pulau Jawa sebesar 59,97% dari seluruh penduduk
Indonesia pada tahun 1990, meningkat menjadi 61,54% pada tahun 2000. Jumlah
penduduk perkotaan di pulau Jawa pada tahun 1971 baru sebesar 18,04% menjadi
48,75% pada tahun 2000. Kebijakan pemerintah Indonesia yang pro Jawa dan pro
urban menurut Garcia-Garcia, 2000 dalam Martina (2004) dan sentralisasi industri di
pulau Jawa yang menimbulkan mega urban di pulau Jawa (Henderson dan Kuncoro,
dalam Martina, 2004), menunjukkan konsep growth pole telah menimbulkan
permasalahan baik di pulau Jawa maupun Indonesia secara keseluruhan.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat diketahui bahwa suatu strategi
pembangunan akan dirasakan dampaknya setelah beberapa tahun diterapkan. Suatu
strategi pembangunan yang berhasil diterapkan pada suatu wilayah dan pada suatu
masa, belum tentu berhasil atau memuaskan bila diterapkan di wilayah lain, hal ini
mengingat setiap wilayah mempunyai karakteristik yang khas dan berbeda antar
wilayah. Adanya permasalahan yang muncul setelah diterapkannya suatu strategi
pembangunan akan mendorong penciptaan suatu strategi pembangunan yang baru
sebagai antisipasi permasalahan yang muncul sebelumnya dan dalam rangka
mencapai tujuan yang lebih baik.
Soenarno (2003) dalam Seminar Seminar Nasional Agroindustri dan
menonjolkan pertumbuhan ekonomi secara cepat tidak bisa dipungkiri telah
mengakibatkan pertumbuhan diperkotaan melampaui kawasan lainnya atau dengan
kata lain telah mendorong percepatan urbanisasi (punctuated urbanization).
Percepatan urbanisasi ini selain menimbulkan akibat-akibat positif juga
menimbulkan dampak negatif yakni terserapnya Sumberdaya yang dimiliki perdesaan
oleh kawasan perkotaan, baik Sumber daya alam maupun Sumber daya manusia
(migrasi dari desa ke kota).
Secara lebih mikro, tingginya urbanisasi ditunjukkan dengan terjadinya
konversi lahan kawasan pertanian menjadi kawasan perkotaan, di mana di pantai
utara Jawa mencapai kurang lebih 20%. Konsekuensi logis dari kondisi ini adalah
terjadinya migrasi penduduk perdesaan ke perkotaan akibat semakin menyempitnya
lapangan pekerjaan di bidang pertanian.
Akibat kondisi ini Indonesia belum mampu mandiri sepenuhnya dalam
menjaga kedaulatan pangan, sehingga masih harus mengimpor produk-produk
pertanian untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Tercatat, Indonesia harus
mengimpor kedelai sebanyak 1.277.685 ton pada tahun 2000 dengan nilai nominal
sebesar US$ 275 juta. Pada tahun yang sama, Indonesia mengimpor sayur-sayuran
senilai US$ 62 juta dan buah-buahan senilai US$ 65 juta dan angka ini masih terus
meningkat karena terjadinya alih fungsi lahan pertanian tanaman pangan menjadi
tanaman keras dan lahan untuk pemukiman membuat kondisi pertanian Indonesia
Kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia menurut Sumodiningrat
(2000), yang seharusnya adalah bagaimana meletakkan masyarakat sebagai pelaku
utama dalam pembangunan (people centered develepment), modal pembangunan
demikian merupakan arus utama sebagai penajaman arah baru bagi pembangunan
pertanian, yaitu pembangunan yang demokratis. Penajaman arah baru pembangunan
pertanian tersebut ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani melalui
pengembangan struktur masyarakat tani yang muncul dari kemampuan petani itu
sendiri. Syarat mutlak pembangunan pertanian, adalah:
1. Adanya pasar untuk hasil usaha tani.
2. Teknologi yang senantiasa berkembang.
3. Tersedianya bahan-bahan dan alat produksi bagi petani.
4. Adanya faktor perangsang bagi petani.
5. Adanya pengangkutan yang lancar dan kontinyu.
Apabila kita lihat pada kenyataan yang ada di Indonesia, bahwa di pedesaan
sekarang ini banyak petani yang luas lahannya kurang dari 0,5 hektar. Hal ini
menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat masih rendah. Dengan rendahnya
pendapatan serta pertumbuhan penduduk yang pesat, mengakibatkan timbulnya
pergeseran pola kesempatan kerja dari sektor pertanian kesektor non pertanian. Salah
satu indikator yang ditunjuk-kan adanya tenaga kerja pertanian yang mulai
mencurahkan jam kerjanya dari sektor pertanian ke sektor non pertanian.
Pergeseran kesempatan kerja dari sektor pertanian ke sektor non pertanian
semakin berkurang, dan tenaga kerja di bidang pertanian mencurahkan jam kerjanya
di sektor pertanian berkurang dan mengalihkan kepada pekerjaan-pekerjaan lain di
sektor non pertanian. Namun demikian, kesempatan kerja disektor pertanian masih
menjadi pilihan yang utama bagi sebagian besar penduduk Indonesia, dalam
memenuhi pendapatan hidup, karena sektor pertanian relatif mudah dikuasai petani,
Prijono (2000).
Perkembangan Kinerja Ekonomi (khususnya Sektor Pertanian) dan
Perkembangan Penduduk di Indonesia berkaitan dengan Penerapan Konsep Growth
Pole (Martina, 2004), dapat dilihat dari perkembangan pertanian di Indonesia. Selama
dua dasawarsa (1970-an sampai tahun 1980-an) strategi pembangunan nasional
menitikberatkan pada sektor pertanian, utamanya tanaman pangan, yaitu padi. Pada
periode tersebut (1969 – 1989), sektor pertanian menyumbang 3,8% terhadap PDB,
dan sektor tanaman pangan menyumbang sebesar 60% dari PDB sektor pertanian.
Pada saat bersamaan, pertumbuhan PDB sektor pertanian sebesar 4,6% jauh melebihi
pertumbuhan penduduk sebesar 2,1%. Pada masa itu sektor tanaman pangan
menyerap tenaga kerja lebih banyak. (Anwar, 2001 dalam Martina, 2004).
Setelah pertengahan dasawarsa 1980-an, pada waktu Indonesia mengalami
transformasi struktur ekonomi, sektor industri dan jasa perbankan memperoleh
proteksi pemerintah yang lebih besar, yang sering merugikan sektor pertanian berupa
dikenakannya pajak-pajak ekspor dan pungutan dalam negeri ataupun pajak implisit
seperti mata uang rupiah yang kelebihan nilai. Hal ini merugikan para petani serta
pertanian. Disertai tingginya sukubunga serta inflasi turut menjadi penghambat
investasi di sektor pertanian budidaya. (Anwar, 2001 dalam Martina, 2004).
Meskipun sektor pertanian menurun, tetapi secara keseluruhan ekonomi nasional
bertumbuh dengan kecepatan relatif tinggi mencapai rata-rata 7,2% antara tahun 1970
– 1996. Keadaan ini mampu mendorong peningkatan pendapatan per kapita sebesar
5,1%. Tetapi diperkirakan pertumbuhan ekonomi tinggi tersebut terutama telah
didorong oleh pasokan-pasokan input melalui eksploitasi Sumber daya alam secara
besar-besaran seperti penebangan hutan, pemanfaatan Sumberdaya bahari serta
penambangan minyak, gas alam dan mineral lainnya (Anwar, 2001 dalam Martina,
2004). Transformasi struktur ekonomi yang bergeser dari sektor pertanian menjadi
sektor industri, tentunya telah merubah peta keruangan di Indonesia. Ketika titik berat
perekonomian pada sektor pertanian (tahun 1970-an), yang menyerap lebih banyak
tenaga kerja dibanding sektor industri, menjadikan pedesaan masih menjadi tempat
penyebaran maupun lokasi penduduk. Tetapi begitu titik berat perekonomian pada
sektor industri pada pertengahan tahun 1980-an, pergeseran konsentrasi penduduk ke
wilayah perkotaan menjadi semakin besar. Hal ini mengingat sektor industri pada
umumnya terkonsentrasi dan berada di wilayah perkotaan. Dapat dilihat dari
persentase jumlah penduduk perkotaan di Indonesia pada tahun 1971 yang baru
mencapai 17,42% dan pada tahun 1990 meningkat menjadi 35,91%. Bahkan pada
tahun 2000 mencapai 42,15%.
Berdasarkan perkembangan titik berat perekonomian nasional dan penyebaran
di Indonesia. Bila dikaitkan dengan dasar pemikiran konsep growth pole, dapat
disimpulkan bahwa Indonesia juga menerapkan konsep ini dalam kebijakan
pembangunan nasional.
Seperti halnya di negara asalnya dan di negara-negara lain, penerapan konsep
growth pole di Indonesia juga menimbulkan dampak yang tidak dapat dihindari,
seperti sentralisasi, urbanisasi dan mega urban, pengangguran di perkotaan dan
pedesaan, bias perkotaan dan pro Jawa.
Untuk mengetahui sentralisasi sektor industri di Indonesia sebagai dampak
dari penerapan konsep growth pole akan dilihat berdasarkan data PDB di Indonesia
yang dibagi dalam wilayah pedesaan dan perkotaan. Bila diasumsikan sektor primer
lebih terkonsentrasi di pedesaan, sektor sekunder dan tersier lebih terkonsentrasi di
perkotaan, maka berdasarkan data PDB menunjukkan sumbangan sektor sekunder
dan tersier bagi PDB semakin meningkat dari tahun 1976 s/d tahun 1998 (lihat Tabel
2.1 dan Gambar 2.1). Hal ini memperkuat dugaan bahwa strategi growth pole diikuti
di Indonesia.
Tabel 2.1. Persentase PDB Sektor Pedesaan dan Perkotaan di Indonesia
Tahun Pedesaan Perkotaan Jumlah
Catatan: Diasumsikan sektor primer lebih terkonsentrasi di pedesaan, sektor sekunder
dan tersier terkonsentrasi di perkotaan.
Gambar 2.1. Konstribusi PDB Perkotaan dan Pedesaan di Indonesia Tahun 1976 s/d 1998
Seperti dijelaskan sebelumnya, permasalahan sebagai akibat penerapan
konsep growth pole lebih banyak dirasakan oleh penduduk pedesaan, meskipun akar
permasalahan berawal di kota. Oleh karena itu untuk memecahkan permasalahan
yang timbul perlu dipikirkan suatu konsep ruang yang dapat memberdayakan potensi
pedesaan. Sehingga pemecahan sekaligus dilaksanakan baik bagi penduduk pedesaan
maupun penduduk perkotaan.
2.2. Agropolitan Sebagai Konsep Alternatif dalam Pengembangan Wilayah
Pedesaan
Konsep pengembangan Agropolitan pertama kali diperkenalkan Friedmann
pembangunan pedesaan. Gatra terkait dengan pengembangan agropolitan antara lain
adalah pembangunan dalam arti luas, seperti redistribusi lahan, kesesuaian lahan,
desain tata guna lahan dan pembanguna sarana dan prasarana. Secara fenomenal
konsep ini mewujudkan pelayanan perkotaan di kawasan pedesaan atau istilah lain
yang digunakan oleh Friedmann adalah “menciptakan kota di pedesaan”.
Agropolitan terdiri dari kata Agro dan Politan (polis). Agro berarti pertanian
dan politan berarti kota sehingga agropolitan dapat diartikan sebagai kota di lahan
pertanian. Dengan demikian agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan
berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani,
mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di
wilayah sekitarnya. Dalam konteks pembangunan, agropolitan merupakan paradigma
pembangunan daerah di mana pembangunan kota dimaksud untuk mendukung
pembangunan pertanian pedesaan. Perkembangan dan pengembangan kota-kota
ditentukan oleh perkembangan atau pengembangan pertanian-pedesaan. Karena itu
aktivitas-aktivitas atau fungsi yang mendukung pertanian pedesaan. Pengembangan
sektor industri dan jasa di perkotaan dimaksudkan untuk memfasilitasi atau
mendukung pembangunan pertanian-pedesaan. Dengan kata lain yang dikembangkan
di perkotaan adalah fungsi-fungsi dari system agribisnis mulai dari hulu sampai hilir.
Secara garis besar, konsep agropolitan mencakup beberapa dimensi yang
meliputi:
(a). Pengembangan kota-kota berukuran kecil sampai sedang dengan jumlah
dengan kota kabupaten);
(b). Daerah belakang (pedesaan) dikembangkan berdasarkan konsep perwilayahan
komoditi yang menghasilkan satu komoditi/bahan mentah utama dan beberapa
komoditi penunjang sesuai dengan kebutuhan;
(c). Pada derah pusat pertumbuhan (kota) dibangun agroindustri terkait, yaitu terdiri
atas beberapa perusahaan sehingga terdapat kompetisi yang sehat;
(d). Wilayah pedesaan didorong untuk membentuk satuan-satuan usaha yang optimal
dan selanjutnya diorganisasikan dalam wadah koperasi, perusahaan kecil dan
menengah, dan
(e). Lokasi dan sistem transportasi agroindustri dan pusat pelayanan harus
memungkinkan para petani untuk bekerja sebagaipekerja paruh waktu (partime
workers).
(Rusastra, et al., 2002) menyatakan bahwa terdapat syarat kunci untuk
pembumian Agropolitan, yakni:
(1). Produksi dengan bobot sektor pertanian;
(2). Prinsip ketergantungan dengan aktivitas pertanian sehingga neuro-systemnya;
(3) Prinsip pengaturan kelembagaan; dan
(4). Prinsip seimbang dinamis. Keempat syarat kunci tersebut bersifat mutlak dan
harus dikembangkan secara simultan dalam aplikasi pengembangan agropolitan.
Sebagai konsep pendekatan pengembangan wilayah perdesaan yang lebih
mengedepankan pemberdayaan masyarakat, maka agropolitan lebih bersifat
agribisnis dan agroindustri di lakukan oleh masyarakat yang disesuaikan dengan
kondisi biofisik wilayah dan lingkungan perdesaan.
Kurang berhasilnya program SPAKU (Sentra Pengembangan Agribisnis
Komoditi Unggulan), Program Inkubasi Bisnis, Program Pengembangan Wilayah
Terpadu (khusus bobot pertanian) dan program sejenis lainnya, disebabkan oleh
sifatnya yang parsial dan tidak mengakomodasi secara utuh dan simultan keempat
syarat utama pengembangan agropolitan tersebut.
Dalam kaitannya dengan pengembangan wilayah pedesaan, maka pemahaman
konsep agropolitan dalam pengembangan wilayah merupakan hal yang penting,
karena hal ini akan memberikan arah dasar perencanaan pembangunan perdesaan dan
aktivitasnya dalam proses pengembangan wilayah selanjutnya.
Konsep agropolitan sebetulnya merupakan konsep yang ditawarkan oleh
Friedmann dan Doughlas (1974) dalam Sulistiono (2008) atas pengalaman kegagalan
pengembangan sektor industri di beberapa negara berkembang (di Asia) yang
mengakibatkan terjadinya berbagai kecenderungan,antara lain:
(a). Terjadinya hyperurbanization, sebagai akibat terpusatnya penduduk dikota-kota
yang padat;
(b). Pembangunan “modern” hanya terjadi di beberapa kota saja, sementara daerah
pinggiran relatif tertinggal;
(c). Tingkat pengangguran dan setengah pengangguran yang relatif tinggi;
(d). Pembagian penadapatan yang tidak merata (kemiskinan);
percepatan pertumbuhan sektor industri (rapid industrialization);
(f). Penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat desa (petani) dan
(g). Terjadinya ketergantungan pada dunia luar.
Konsep agropolitan berdasarkan Friedmann dalam Martina (2004), terdiri dari
distrik-distrik agropolitan sebagai kawasan pertanian pedesaan yang memiliki
kepadatan penduduk 200 jiwa per km2 dan di dalamnya terdapat kota-kota tani
dengan jumlah penduduk 10.000 – 25.000 jiwa. Sementara luas wilayah distrik
adalah cummuting berada pada radius 5 – 10 km, sehingga akan menghasilkan jumlah
penduduk total antara 50.000–150.000 penduduk yang mayoritas bekerja di sektor
pertanian (tidak dibedakan antara pertanian modern dan pertanian konvensional) dan
tiap-tiap distrik dianggap sebagai satuan tunggal yang terintegrasi.
Menurut Rivai (2003), tujuan pengembangan kawasan agropolitan adalah
untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan
pengembangan wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan
mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing berbasis
kerakyatan, berkelanjutan (tidak merusak lingkungan) dan terdesentralisasi
(wewenang berada di Pemerintah Daerah dan Masyarakat) di kawasan agropolitan.
Dengan berkembangnya sistem dan usaha agribisnis maka di kawasan agropolitan
tersebut tidak saja membangun usaha budidaya (on farm) saja tetapi juga "off
farm"nya, yaitu usaha agribisnis hulu (pengadaan sarana pertanian), agribisnis hilir
mengurangi kesenjangan pendapatan antar masyarakat, mengurangi kemiskinan dan
mencegah terjadinya urbanisasi tenaga produktif, serta akan meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Sasaran pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk mengembangkan
kawasan pertanian yang berpotensi menjadi kawasan agropolitan, melalui:
a) Pemberdayaan masyarakat pelaku agribisnis agar mampu meningkatkan produksi,
produktifitas komoditi pertanian serta produk-produk olahan pertanian, yang
dilakukan dengan pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang efisien dan
menguntungkan serta berwawasan lingkungan,
b) Penguatan kelembagaan petani,
c) Pengembangan kelembagaan sistem agribisnis (penyedia agroinput, pengolahan
hasil, pemasaran dan penyediaan jasa),
d) Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pembangunan Terpadu,
e) Pengembangan iklim yang kondusif bagi usaha dan investasi.
Dalam pendekatan agropolitan wilayah pedesaan didorong untuk membentuk
satuan-satuan usaha yang optimal melalui kebijaksanaan perkreditan dan perpajakan.
Satuan usaha pengembangan diorganisasikan ke dalam koperasi, perusahaan kecil
dan menengah, dengan mempertimbangkan konsepsi pengembangan seperti,
Perkembangan kelembagaan usaha dilakukan melalui pengembangan sistem insentif
(Rivai, 2003).
Persyaratan sebuah wilayah disebut sebagai Kawasan Agropolitan apabila
1. Memiliki Sumberdaya lahan dengan agroklimat yang sesuai untuk
mengembangkan komoditi pertanian yang dapat dipasarkan (komoditi unggulan)
serta berpotensi atau telah berkembang diversifikasi usaha komoditi unggulannya.
2. Memiliki berbagai sarana dan prasarana agribisnis yang memadai untuk
mendukung perkembangan sistem dan usaha agribisnis.
3. Memiliki berbagai sarana dan prasarana umum yang memadai (transportasi,
listrik, telekomunikasi, air bersih dll).
4. Memiliki berbagai sarana dan prasarana kesejahteraan sosial masyarakat yang
memadai (kesehatan, pendidikan kesenian, rekreasi, perpustakaan, swalayan,
dan).
5. Kelestarian lingkungan hidup baik kelestarian Sumberdaya alam, kelestarian
sosial budaya maupun keharmonisan hubungan kota dan desa terjamin.
Departemen Pertanian menjelaskan bahwa kota agropolitan berada dalan
kawasan sentra produksi pertanian (selanjutnya kawasan tersebut disebut sebagai
kawasan Agropolitan). Kota pertanian dapat merupakan Kota Menengah, Kota Kecil,
Kota Kecamatan, Kota Perdesaan atau kota nagari yang berfungsi sebagi pusat
pertumbuhan ekonomi yang mendorong pertumbuhan pembangunan pedesaan dan
desa-desa hinterland di wilayah sekitarnya. Sistem Kawasan Agropolitan dapat dilihat
Gambar 2.2. Diagram Alir Sistem Kawasan Agropolitan
Kawasan agropolitan yang telah berkembang memiliki ciri-ciri sebagai berikut
(Rivai, 2003):
a. Mayoritas masyarakatnya memperoleh pendapat dari kegiatan agribisnis
b. Didominasi oleh kegiatan pertanian, termasuk didalamnya usaha industri
(pengolahan) pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian, perdagangan
agrobisnis hulu(sarana pertanian dan permodalan), agrowisata dan jasa pelayanan.
c. Relasi antara kota dan daerah-daerah hinterlandnya bersifat interpendensi yang
harmonis dan saling membutuhkan. Kawasan pertanian mengembangkan usaha
budidaya (on farm) dan produk olahan skala rumah tangga (off farm) dan kota
menyediakan penyediaan sarana pertanian, modal, teknologi, informasi
pengolahan hasildan pemasaran hasil produksi pertanian.
d. Pola kehidupan masyarakatnya sama dengan kehidupan kota karena prasarana dan
sarana yang dimilikinya tidak berbeda dengan di kota.
Batasan kawasan agropolitan ditentukan oleh skala ekonomi dan ruang lingkup
ekonomi bukan oleh batasan administratif. Penetapan kawasan agropolitan hendaknya
dirancang secara lokal dengan memperhatikan realitas perkembangan agrobisnis yang
ada disetiap daerah.
Permodalan/Teknologi Pemasaran /Sarana
pertanian/Investasi Hasil Pertanian
Gambar 2.3. Kawasan Agropolitan
Keterangan Gambar:
: Agropolitan.
: Pemukiman termasuk di dalamnya terdapat kelembagaan, petani yang
--inovatif dan lahan pertanian (Desa Hinterland atau desa sekitarnya)yang
--memasok produk segar dan olahan pertanian. : Irigasi.
: Prasarana jalan.
: Batas atas wilayah pelayanaan Agropolitan (Kawasan Agropolitan)
Batasan suatu kawasan agropolitan tidak ditentukan oleh batasan administratif
memperhatikan economic of scale dan economic of scope. Karena itu, penetapan
kawasan agropolitan hendaknya di rancang secara lokal dengan memperhatikan
realitas perkembangan agribisnis yang ada di setiap daerah. Dengan demikian bentuk
dan luasan kawasan agropolitan, dapat meliputi satu wilayah Desa/kelurahan atau
kecamatan atau beberapa kecamatan dalam kabupaten/kota atau dapat juga meliputi
wilayah yang dapat menembus wilayah kabupaten/kota lain yang berbatasan.
Kotanya dapat berupa kota desa atau kota nagari atau kota kecamatan atau kota kecil
atau kota menengah.
Menurut Rivai, (2003), bahwa pengembangan kawasan agropolitan menjadi
sangat penting dalam konteks pengembangan wilayah mengingat beberapa hal yakni:
1) kawasan dan sektor yang dikembangkan sesuai dengan spesifik lokal,
2) Pengembangan kawasan agropolitan dapat meningkatkan pemerataan sektor yang
dipilih merupakan basis aktifitas masyarakat, 3) Keberlanjutan dari pengembangan
kawasan dan sektor menjadi lebih pasti mengingat sektor yang dipilih mempunyai
keunggulan kompetetif dan komparatif dibandingkan dengan sektor lainnya dan
4) Dalam penetapan pusat agropolitan terkait dengan sistem pusat-pusat nasional,
propinsi dan kabupaten (RTRW Propinsi/Kabupaten) sehingga dapat menciptakan
pengembangan wilayah yang serasi dan seimbang.
Selanjutnya Rivai, (2003) menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan
pengembangan kawasan agropolitan maka ada dua strategi yang bisa dilakukan yaitu
1) strategi pemberdayaan masyarakat/Sumberdaya manusia dan 2) strategi
a. Strategi pemberdayaan masyarakat/SDM:
1. Meningkatkan peran serta aktif masyarakat di kawasan agropolitan mulai dari
perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi. Perencanaan disusun
secara partisipatif dan hasilnya digunakan untuk bahan master plan atau
program pengembangan kawasan agropolitan. Dengan melibatkan
masyarakat, mereka akan merasa memiliki program-program yang akan
dikembangkan pada kawasan agropolitan. Peran pemerintah disini hanya
sebatas menfasilitasi apa yang sebenarnya diperlukan masyarakat.
2. Meningkatkan kemampuan masyarakat pada kawasan agropolitan dalam
pengelolaan usaha pertanian yang tidak hanya terbatas pada aspek produksi
(budidaya) tetapi juga pada aspek agribisnis secara keseluruhan. Peningkatan
kemampuan masyarakat ini dilakukan salah satunya melalui pendidikan dan
pelatihan (diklat) secara berjenjang dari pusat, propinsi, kabupaten/kota dan
kawasan agropolitan.
3. Mengembangkan kelembagaan agribisnis dalam upaya meningkatkan posisi
tawar pelaku agribisnis, menunjang pengembangan dan keberlanjutan usaha,
dan meningkatkan daya saing produk. Kelembagaan yang perlu ditingkatkan
keberadaannya diantaranya kelembagaan petani seperti kelompok tani,
kelembagaan kemitraan antara petani dengan pengusaha penyedia sarana
produksi, pemasaran dan pengolahan, kelembagaan pendanaan pedesaaan
seperti lembaga keuangan pedesaan/mikro seperti bank dan lembaga
4. Meningkatkan kemampuan analisis pasar dan pemasaran Sumberdaya
manusia di kawasan agropolitan dengan mengembangkan sarana dan
prasarana pemasaran terutama 1) Penataan struktur pasar dalam negeri untuk
meningkatkan efisiensi pasar, menjamin perdagangan yang transparan dan
distribusi nilai tambah yang lebih proporsional, 2) Prasarana angkutan dan
jalan pedesaan untuk menjamin akses produk pertanian ke pusat konsumen
dan perdagangan, c) Fasilitas pergydangan (storage) yang memadai terutama
bagi komoditi yang mudah rusak seperti produk hortikultura dan peternakan,
4) Rasionalisasi biaya angkutan udara bagi komoditi ekspor, mengingat biaya
kargo udara perusahaan penerbangan nasional masih dirasakan terlalu tinggi
untuk produk-produk pertanian.
b. Strategi Pengembangan Wilayah, melalui:
1. Mengembangkan sarana dan prasarana ekonomi mendukung pengembangan
usaha pertanian skala kecil dan menengah berupa jalan desa, jalan usahatani,
sarana penagairan, pelabuhan, transportasi dan telekomunikasi.
2. Menciptakan iklim berusaha yang kondusif bagi petani dan pelaku agribisnis
lainnya dalam hal: a) Pemberian intensif dalam keringanan pajak, kemudahan
dalam pengadaan barang modal, kepastian hukum, keamanan berusaha dan
dukungan kebijaksanaan pemerintah daerah dalam tata ruang dan tata guna
lahan dan b) Penyederhanaan prosedur, pelayanan yang cepat dan sederhana
dalam perijinan usaha.