DAMPAK GERAKAN PEMBANGUNAN SWADAYA RAKYAT
(GERBANG SWARA) TERHADAP PENGEMBANGAN
WILAYAH KECAMATAN TANJUNG BERINGIN
KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
TESIS
Oleh
ROMIAN PARULIAN SIAGIAN
087003033/PWD
S
E K O L AH
P A
S C
A S A R JA NA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAMPAK GERAKAN PEMBANGUNAN SWADAYA RAKYAT
(GERBANG SWARA) TERHADAP PENGEMBANGAN
WILAYAH KECAMATAN TANJUNG BERINGIN
KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
ROMIAN PARULIAN SIAGIAN
087003033/PWD
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : DAMPAK GERAKAN PEMBANGUNAN SWADAYA RAKYAT (GERBANG SWARA) TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH KECAMATAN TANJUNG BERINGIN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
Nama Mahasiswa : Romian Parulian Siagian Nomor Pokok : 087003033
Program Studi : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD)
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Bachtiar Hassan Miraza) Ketua
(Dr. Ir. Tavi Supriana, M.S) Anggota
(Kasyful Mahalli, SE, M.Si) Anggota
Ketua Program Studi
(Prof. Bachtiar Hassan Miraza)
Direktur
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)
Telah diuji pada Tanggal : 6 Juli 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Bachtiar Hassan Miraza Anggota : 1. Dr. Ir. Tavi Supriana, M.S
2. Kasyful Mahalli, SE, M.Si
3. Prof. Aldwin Surya, SE, M.Pd, Ph.D 4. Agus Suriadi, S.Sos, MA
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul “Dampak Gerakan Pembangunan Swadaya Rakyat terhadap Pengembangan Wilayah Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai” di bawah bimbingan Prof. Bachtiar Hassan Miraza sebagai Ketua, Dr. Ir. Tavi Supriana, MS dan Kasyful Mahalli, SE, M.Si sebagai anggota. Keterbatasan APBN maupun APBD serta kebutuhan yang mendesak untuk melaksanakan pembangunan ternyata semakin mendorong masyarakat untuk berusaha mandiri. Masyarakat mungkin sudah jenuh menunggu untuk terealisasinya pembangunan sebagaimana yang telah dituangkan dalam musrenbang selama ini. Untuk itu, diperlukan partisipasi masyarakat secara nyata dalam pembangunan demi kebutuhan masyarakat yang mendesak. Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai menggagas Gerakan Pembangunan Swadaya Masyarakat atau yang sering disebut dengan “Gerbang Swara”. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan implementasi Gerakan pembangunan swadaya rakyat di Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai, untuk menganalisis dampak pelaksanaan Gerbang Swara terhadap pendapatan masyarakat di Kecamatan Tanjung Beringin dan untuk menganalisis dampak pelaksanaan Gerbang Swara terhadap kepadatan dan pertumbuhan penduduk di Kecamatan Tanjung Beringin. Ada sebanyak 4 (empat) desa yang telah mengimplementasikan gerakan pembangunan swadaya rakyat yaitu Desa Tebing Tinggi, Pematang Cermai, Mangga Dua dan Pematang Terang. Jumlah responden ditetapkan sebanyak 178 orang yang dipilih dengan cara simple random sampling di empat desa tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan adanya gerakan pembangunan swadaya masyarakat terjadi peningkatan pendapatan masyarakat yakni sebesar 10,23 persen. Sedangkan tingkat kepadatan penduduk Kecamatan Tanjung Beringin setelah adanya gerakan pembangunan swadaya rakyat bertambah sebesar 26 jiwa/km2. Namun tidak terdapat peningkatan laju pertumbuhan penduduk di Kecamatan Tanjung Beringin.
ABSTRACT
The title of this research is "Dampak Gerakan Pembangunan Swadaya Rakyat terhadap Pengembangan Wilayah Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai " under the guidance of Prof. Bachtiar Hassan Miraza as the Chairman, Dr. Ir. Tavi Supriana, MS and Kasyful Mahalli, SE, M.Si as members. APBN and APBD limitations and the urgent need to carry out the development was increasingly trying to encourage people to be independence. People may be tired to wait for carring out the development which was poured in musrenbang. This requires significant public participation in development for the urgent needs of the community. Serdang Bedagai regency government initiated the Gerakan Pembangunan Swadaya Rakyat that are often called "Gerbang Swara". The purpose of this research is to describe the implementation of the Gerakan Pembangunan Swadaya Rakyat in the District of Tanjung Beringin, to analyze the impact of the implementation of the Gerbang Swara on people income in the District of Tanjung Beringin and to analyze the impact of the implementation of the Gerbang Swara on density and population growth in the District of Tanjung Beringin. There were 4 (four) villages that have implemented gerakan pembangunan swadaya rakyat: Tebing Tinggi, Pematang Cermai, Mangga Dua and Pematang Terang villages. Number of respondents stated that as many as 178 people selected by simple random sampling in the four villages.
The results of the research show that with the gerakan pembangunan swadaya rakyat has increased the people’s income which amounted to 10.23 percent. While the level of Tanjung Beringin’s district density after the the gerakan pembangunan swadaya rakyat was increased by 26 people/km2. But there is no increase in the rate of population growth in Tanjung Beringin’s District.
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur yang tidak terhingga kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
penulisan tesis ini sehingga dapat diselesaikan. Tesis ini berjudul “Dampak Gerakan
Pembangunan Swadaya Rakyat terhadap Pengembangan Wilayah Kecamatan
Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai” yang dikaji dengan beberapa
pendekatan/analisis sebagai aplikasi pengetahuan yang didapat oleh penulis selama
mengikuti perkuliahan pada Program Studi Magister Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pada kesempatan ini saya tidak lupa untuk menyampaikan rasa terima kasih
dan penghargaan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuannya sehingga
penulisan tesis ini dapat diselesaikan, terutama kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, selaku Direktur Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Bachtiar Hassan Miraza, selaku Ketua Program Studi Magister
Perencanaan Pembangunaan Wilayah Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara dan juga selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak
membantu/membimbing saya dalam penyelesaian tesis ini.
4. Ibu Dr. Ir. Tavi Supriana, M.S selaku Anggota Komisi Pembimbing yang
telah banyak membantu/membimbing saya dalam penyelesaian tesis ini.
5. Bapak Kasyful Mahalli, SE, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing yang
telah banyak membantu/membimbing saya dalam penyelesaian tesis ini.
6. Bapak-bapak Dosen Penguji, Bapak Prof. Aldwin Surya, SE, M.Pd, Ph.D,
Bapak Agus Suriadi, S.Sos, MA dan Bapak Drs. Rudjiman, M.Si yang telah
7. Bapak Bupati Serdang Bedagai yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk mengikuti ijin belajar pada Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara.
8. Bapak Kepala Bagian Umum dan Perlengkapan Setdakab Serdang Bedagai,
M. Faisal Hasrimy, AP, M.AP dan Bapak Camat Tanjung Beringin, Fitriadi,
S.Sos, M.Si yang telah memberikan dukungan kepada penulis.
9. Ibunda tercinta R. br. Sibarani yang telah memberikan doa dan dukungan
yang luar biasa.
10.Calon Istri tercinta dr. Amy Dewi Putri Simarmata yang telah memberikan
dukungan dan doa serta cinta kasihnya.
11.Adik-adik dan kakak penulis yang telah memberikan dukungan dan doanya.
12.Seluruh Dosen Program Studi Magister Perencanaan Pembangunan Wilayah
dan Pedesaan.
Dengan kerendahan hati, penulis memohon maaf kepada Bapak/Ibu Dosen
serta segenap Civitas Akademika Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
dan rekan-rekan apabila ada kesalahan penulis.
Medan, Juli 2010
RIWAYAT HIDUP
Romian Parulian Siagian merupakan anak pertama dari 5 (lima) bersaudara
dari pasangan B. Siagian dengan R. Sibarani, dilahirkan di Firdaus pada tanggal 16
Desember 1984.
Jenjang pendidikan dasar dan menengah yang dilalui adalah SD Negeri No.
102020 Firdaus lulus tahun 1997, SMP Negeri 1 Sei Rampah lulus tahun 2000 dan
SMA Negeri 1 Tebing Tinggi lulus tahun 2003. Kemudian tahun 2003 melanjutkan
jenjang pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN).
Saat ini bekerja sebagai Kepala Sub Bagian Pelayanan Umum pada
DAFTAR ISI
1.4. Manfaat Penelitian……….……….. 8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.……… 9
2.1. Pembangunan Partisipatif……… 9
2.2. Pengembangan Wilayah……….. 18
2.3. Pemberdayaan Masyarakat………. 24
2.4. Gerakan Pembangunan Swadaya Rakyat (Gerbang Swara)… 26 2.5. Penelitian Terdahulu……… 30
2.6. Kerangka Pemikiran……… 32
2.7. Hipotesis Penelitian………. 35
BAB III. METODE PENELITIAN..……… 36
3.1. Lokasi Penelitian………..……….. 36
3.2. Populasi dan Sampel…...……….……… 36
3.2.1. Populasi Penelitian……….. 36
3.2.2. Sampel Penelitian………...………. 37
3.3. Teknik Pengumpulan Data….……….……… 39
3.4. Teknik Analisis Data…….………. 40
3.5. Definisi Operasional…….……….. 43
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………. 44
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian……… 44
4.1.1. Geografis……… 44
4.1.3. Topografi……… 45
4.1.4. Sarana dan Prasarana Umum……….………. 46
4.1.5. Penduduk……… 47
4.1.6. Sejarah Singkat Kecamatan Tanjung Beringin…….. 49
4.2. Karakteristik Responden……… 50
4.3. Hasil Analisis………. 53
4.3.1. Implementasi Gerakan Pembangunan Swadaya Rakyat (Gerbang Swara) di Kecamatan Tanjung Beringin………….………. 53
4.3.2. Dampak Gerakan Pembangunan Swadaya Rakyat (Gerbang Swara) terhadap Pendapatan Masyarakat Kecamatan Tanjung Beringin..……….. 61
4.3.3. Dampak Gerakan Pembangunan Swadaya Rakyat terhadap Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk di Kecamatan Tanjung Beringin……… 64
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………. 68
5.1. Kesimpulan………. 68
5.2. Saran……… 69
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
3.1. Populasi Penelitian……….. 37
3.2. Jumlah Sampel Menurut Desa di Kecamatan Tanjung Beringin… 39
3.3. Data Penelitian……… 40
4.1. Jumlah Dusun, RT dan RW Kecamatan Tanjung Beringin……… 44
4.2. Sarana Ibadah di Kecamatan Tanjung Beringin……….… 46
4.3. Sarana Pendidikan di Kecamatan Tanjung Beringin …………... 46
4.4. Sarana Kesehatan di Kecamatan Tanjung Beringin…………... 47
4.5. Jumlah Penduduk Kecamatan Tanjung Beringin Berdasarkan
Jenis Kelamin………... 47
4.6. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian……….. 48
4.7. Distribusi Responden Menurut Kelompok Umur di Kecamatan
Tanjung Beringin………. 50
4.8. Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin di Kecamatan
Tanjung Beringin………... 51
4.9. Distribusi Responden Menurut Jumlah Tanggungan Keluarga
di Kecamatan Tanjung Beringin………... 51
4.10. Distribusi Responden Menurut Jenis Pekerjaan di Kecamatan
Tanjung Beringin………. 52
4.11. Distribusi Responden Menurut Tingkat Penghasilan
di Kecamatan Tanjung Beringin... 52
4.12. Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan
4.13. Bentuk Gerakan Pembangunan Swadaya Rakyat
di Kecamatan Tanjung Beringin... 54
4.14. Hasil Uji Beda Rata-rata Pendapatan Riil ……….. 62
4.15. Hasil Uji Beda Rata-rata Pendapatan Riil Setelah Ditambah
Nilai Inflasi……….. 63
4.16. Kepadatan Penduduk Sebelum dan Sesudah Gerakan
Pembangunan Swadaya Rakyat……….. 66
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1. Model Pembangunan Desa Berbasis Kekuatan Sumber Daya
Masyarakat……… 16
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Kuesioner Penelitian……… 74
2. Hasil Uji Beda (T-Test) Pendapatan Masyarakat Sebelum dan
Sesudah Gerbang Swara……….. 77
3. Rekapitulasi Data Kuesioner……… 79
4. Penghargaan Gerbang Swara……… 85
5. Instruksi Bupati Nomor 04 Tahun 2005 tentang Gerakan
Pembangunan Swadaya Rakyat……… 86
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul “Dampak Gerakan Pembangunan Swadaya Rakyat terhadap Pengembangan Wilayah Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai” di bawah bimbingan Prof. Bachtiar Hassan Miraza sebagai Ketua, Dr. Ir. Tavi Supriana, MS dan Kasyful Mahalli, SE, M.Si sebagai anggota. Keterbatasan APBN maupun APBD serta kebutuhan yang mendesak untuk melaksanakan pembangunan ternyata semakin mendorong masyarakat untuk berusaha mandiri. Masyarakat mungkin sudah jenuh menunggu untuk terealisasinya pembangunan sebagaimana yang telah dituangkan dalam musrenbang selama ini. Untuk itu, diperlukan partisipasi masyarakat secara nyata dalam pembangunan demi kebutuhan masyarakat yang mendesak. Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai menggagas Gerakan Pembangunan Swadaya Masyarakat atau yang sering disebut dengan “Gerbang Swara”. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan implementasi Gerakan pembangunan swadaya rakyat di Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai, untuk menganalisis dampak pelaksanaan Gerbang Swara terhadap pendapatan masyarakat di Kecamatan Tanjung Beringin dan untuk menganalisis dampak pelaksanaan Gerbang Swara terhadap kepadatan dan pertumbuhan penduduk di Kecamatan Tanjung Beringin. Ada sebanyak 4 (empat) desa yang telah mengimplementasikan gerakan pembangunan swadaya rakyat yaitu Desa Tebing Tinggi, Pematang Cermai, Mangga Dua dan Pematang Terang. Jumlah responden ditetapkan sebanyak 178 orang yang dipilih dengan cara simple random sampling di empat desa tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan adanya gerakan pembangunan swadaya masyarakat terjadi peningkatan pendapatan masyarakat yakni sebesar 10,23 persen. Sedangkan tingkat kepadatan penduduk Kecamatan Tanjung Beringin setelah adanya gerakan pembangunan swadaya rakyat bertambah sebesar 26 jiwa/km2. Namun tidak terdapat peningkatan laju pertumbuhan penduduk di Kecamatan Tanjung Beringin.
ABSTRACT
The title of this research is "Dampak Gerakan Pembangunan Swadaya Rakyat terhadap Pengembangan Wilayah Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai " under the guidance of Prof. Bachtiar Hassan Miraza as the Chairman, Dr. Ir. Tavi Supriana, MS and Kasyful Mahalli, SE, M.Si as members. APBN and APBD limitations and the urgent need to carry out the development was increasingly trying to encourage people to be independence. People may be tired to wait for carring out the development which was poured in musrenbang. This requires significant public participation in development for the urgent needs of the community. Serdang Bedagai regency government initiated the Gerakan Pembangunan Swadaya Rakyat that are often called "Gerbang Swara". The purpose of this research is to describe the implementation of the Gerakan Pembangunan Swadaya Rakyat in the District of Tanjung Beringin, to analyze the impact of the implementation of the Gerbang Swara on people income in the District of Tanjung Beringin and to analyze the impact of the implementation of the Gerbang Swara on density and population growth in the District of Tanjung Beringin. There were 4 (four) villages that have implemented gerakan pembangunan swadaya rakyat: Tebing Tinggi, Pematang Cermai, Mangga Dua and Pematang Terang villages. Number of respondents stated that as many as 178 people selected by simple random sampling in the four villages.
The results of the research show that with the gerakan pembangunan swadaya rakyat has increased the people’s income which amounted to 10.23 percent. While the level of Tanjung Beringin’s district density after the the gerakan pembangunan swadaya rakyat was increased by 26 people/km2. But there is no increase in the rate of population growth in Tanjung Beringin’s District.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada hakikatnya pembangunan nasional merupakan pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya, yaitu masyarakat adil dan makmur yang merupakan cita-cita
luhur bangsa Indonesia. Pembangunan dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat.
Prioritas kegiatan pembangunan untuk mengatasi permasalahan di kecamatan pada
umumnya berasal dari kelurahan/desa. Pembangunan ditujukan dalam upaya
perbaikan dan peningkatan taraf hidup serta kesejahteraan masyarakat secara
menyeluruh. Keberhasilan pembangunan nasional seperti itu sangat ditentukan oleh
keberhasilan pembangunan daerah dalam hal ini keberhasilan pembangunan desa.
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan, baik mulai dari perencanaan
sampai pelaksanaannya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan
nasional. Partisipasi masyarakat merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan
pembangunan nasional. Davis, K. & John W. Newstrom (1995) mengemukakan
bahwa partisipasi adalah keterlibatan mental atau pikiran dan emosi/perasaan
seseorang di dalam suatu kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut
bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan. Partisipasi masyarakat
menurut Soetrisno, L. (1995), adalah kerjasama antara rakyat dan pemerintah dalam
merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil
Dari pengertian partisipasi masyarakat tersebut, peran serta masyarakat
sebagai salah satu pelaksana pembangunan di tingkat pemerintah terendah baik yang
berhubungan dengan pembinaan, pemerintahan dan pembangunan perlu ditingkatkan.
Dengan demikian, upaya untuk memperoleh hasil-hasil pembangunan secara merata
yang merupakan keinginan masyarakat dapat terwujud.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN) mendukung penuh akan adanya partisipasi
masyarakat yang tertuang dalam Pasal 2 ayat (4) yang berbunyi: Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional bertujuan untuk:
a. Mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan;
b. Menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah, antar-
ruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah;
c. Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, dan pengawasan;
d. Mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan
e. Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya alam secara efisien, efektif,
berkeadilan, dan berkelanjutan.
Pada butir (d) menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat yang optimal
merupakan salah satu tujuan dari Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Dalam
hal ini, pemerintah di segala lini dituntut agar mengoptimalkan partisipasi masyarakat
Perencanaan pembangunan berupaya membuat suatu rumusan yang bertujuan
untuk memenuhi tingkat kebutuhan masyarakat dalam pelaksanaannya. Oleh karena
itu perlu meningkatkan kesadaran masyarakat dalam merencanakan, memanfaatkan
serta memelihara hasil-hasil pembangunan.
Perencanaan pembangunan berbasis masyarakat memungkinkan terjadinya
sinergi antara kinerja lembaga pemerintahan daerah dengan berbagai komponen
pelaku pembangunan dari pihak masyarakat dan swasta, lembaga swadaya
masyarakat, perguruan tinggi, organisasi profesi dan ormas lainnya. Perlibatan
seluruh pelaku pembangunan dalam proses pembangunan tersebut mencerminkan
proses demokratisasi dapat dijalankan serta adanya komitmen bersama untuk
membangun daerah dalam suasana otonomi dan desentralisasi secara konsekuen.
Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan memberikan
kemudahan bagi pengambilan keputusan, termasuk pengambilan kebijakan yang
mengenalkan masyarakat pada berbagai faktor dan permasalahan yang dihadapi
dalam pelaksanaan pembangunan sehingga akan tumbuh pemahaman masyarakat
yang berdampak pada:
1. Timbulnya rasa memiliki terhadap hasil-hasil pembangunan di daerahnya dan
masyarakat akan ikut merawatnya.
2. Meningkatnya kepedulian terhadap permasalahan pembangunan
di daerahnya.
3. Masyarakat memahami proses dan prosedur pengelolaan pembangunan sehingga
memahami faktor keterbatasan yang dimiliki pemerintah daerah dalam memenuhi
dan melayani kebutuhan masyarakat.
4. Tumbuhnya kesadaran bahwa pelaksanaan pembangunan pada suatu daerah
bukan hanya merupakan kewajiban Pemerintah Daerah, melainkan kewajiban dan
tanggung jawab seluruh penduduknya.
Pelaksanaan Perencanaan Pembangunan dalam upaya memadukan berbagai
pembangunan yang berasal dari pemerintah dan swadaya masyarakat berpedoman
kepada Surat Edaran Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional No.0259/M.PPN/I/
2005-No.050/166/SJ, 20 Januari 2005 tentang Petunjuk Penyelenggaraan
Musrenbang Tahun 2005.
Adanya pengaruh dari suatu mekanisme perencanaan dalam Temu Karya
Pembangunan akan bergantung pada keberhasilan pelaksanaan tugas pemerintah
kecamatan, mulai dari tingkat bawah ada keterpaduan antara instansi pusat, instansi
daerah maupun perangkat desa.
Hal ini ditandai dengan dikaitkannya usaha pembangunan tingkat kecamatan
yang berorientasi pada keseimbangan pembangunan fisik dan pembangunan sosial
ekonomi untuk terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan, maka perencanaan
pembangunan melalui penyiapan pembangunan tingkat kecamatan secara terpadu
efektif dan efisien menjadi sangat penting perannya dalam penataan kecamatan.
Ketersediaan prasarana di kecamatan merupakan masalah yang mendesak
sasaran mendukung kegiatan ekonomi daerah, pemenuhan kebutuhan masyarakat,
pembangunan fisik dan tata ruang agar tercipta kehidupan perkotaan yang serasi,
seimbang dan dinamis serta berwawasan lingkungan. Namun, pembangunan
prasarana sebagai bentuk pelayanan di tingkat kecamatan belum mencapai hasil yang
memuaskan untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Untuk menghadapi tantangan dan
permasalahan pembangunan prasarana tersebut, diperlukan adanya perencanaan
pembangunan yang terpadu, terarah, efektif dan efisien.
Menurut Kuncoro, M. (2004), sistem perencanaan pembangunan nasional
yang meliputi pendekatan top-down dan bottom up. Pendekatan ini akan menjamin
adanya keseimbangan antara prioritas nasional dengan aspirasi lokal dalam
perencanaan pembangunan daerah. Namun, kenyataannya banyak daerah belum
sepenuhnya mengakomodasi aspirasi lokal. Sebagian besar proposal proyek yang
diajukan berdasarkan aspirasi lokal telah tersingkir dalam rapat koordinasi yang
menempatkan proposal yang diajukan tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi tanpa
memperhatikan proposal yang diajukan oleh tingkat pemerintahan yang lebih rendah.
Akibatnya, proposal akhir yang masuk ke pusat biasanya didominasi oleh proyek
yang diajukan level pemerintahan yang lebih tinggi, khususnya pemerintah provinsi
dan pusat. Apabila hal ini terus-menerus terjadi maka dikhawatirkan kepedulian
masyarakat akan pentingnya partisipasi masyarakat akan perencanaan pembangunan
nasional segera menurun tingkatnya. Sehingga aspirasi bukan lagi berasal dari
masyarakat secara murni melainkan berdasarkan kepentingan pihak tertentu. Dengan
Partisipasi masyarakat tidak hanya sekedar dalam cakupan proses
perencanaan saja, melainkan diharapkan lebih dari itu. Pembangunan tentunya harus
dipandang secara logika. Pembangunan dilaksanakan berdasarkan kebutuhan
masyarakat pada umumnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena
itu, peranan dan partisipasi masyarakat juga sangat dipandang perlu dalam
pelaksanaan pembangunan yang berasal dari swadaya masyarakat sendiri.
Salah satu kegiatan pembagunan untuk melibatkan masyarakat adalah
Gerakan Pembangunan Swadaya Rakyat (Gerbang Swara). Berdasarkan pengamatan
sementara penulis di lapangan, pelaksanaan perencanaan pembangunan dan realisasi
yang dilaksanakan di Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai
belum melibatkan partisipasi masyarakat secara maksimal. Partisipasi masyarakat
yang belum maksimal ditandai dengan fenomena-fenomena sebagai berikut:
1. Sedikitnya masyarakat yang datang dalam rapat perencanaan pembangunan. Hal
ini menunjukkan bahwa masyarakat sudah tidak peduli lagi dengan musrenbang
karena aspirasi masyarakat dalam pembangunan sebagian besar tidak terlaksana.
Sehingga masyarakat merasa tidak puas dan susah merencanakan pembangunan
lainnya karena perencanaan sebelumnya belum terlaksana.
2. Masih terdapat sarana dan prasarana umum yang kurang terawat.
3. Adanya keterbatasan APBD maupun APBN untuk melaksanakan pengembangan
wilayah yang menyentuh kebutuhan masyarakat yang mendesak.
Masyarakat mungkin sudah jenuh menunggu untuk terealisasinya
Untuk itu, diperlukan partisipasi masyarakat secara nyata dalam pembangunan demi
terpenuhinya kebutuhan masyarakat yang mendesak. Pemerintah Kabupaten Serdang
Bedagai juga tidak mau diam dan memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam
pembangunan. Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai menggagas Gerakan
Pembangunan Swadaya Masyarakat atau yang sering disebut dengan “Gerbang
Swara”. Dengan adanya gerakan ini diharapkan masyarakat Kabupaten Serdang
Bedagai menjadi pelaku pembangunan yang sesungguhnya dan bukan lagi hanya
sebagai objek pembangunan.
1.2. Perumusan Masalah
1. Bagaimana implementasi Gerakan pembangunan swadaya rakyat (Gerbang
Swara) di Kecamatan Tanjung Beringin?
2. Bagaimana dampak pelaksanaan Gerbang Swara terhadap pendapatan
masyarakat di Kecamatan Tanjung Beringin?
3. Bagaimana dampak pelaksanaan Gerbang Swara terhadap kepadatan dan
pertumbuhan penduduk di Kecamatan Tanjung Beringin?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak realisasi
pembangunan swadaya rakyat (Gerbang Swara) terhadap pengembangan wilayah
Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai. Secara rinci tujuan
1. Untuk menjelaskan implementasi Gerakan Pembangunan Swadaya Rakyat
(Gerbang Swara) di Kecamatan Tanjung Beringin.
2. Untuk menganalisis dampak pelaksanaan Gerbang Swara terhadap pendapatan
masyarakat di Kecamatan Tanjung Beringin.
3. Untuk menganalisis dampak pelaksanaan Gerbang Swara terhadap kepadatan
dan pertumbuhan penduduk di Kecamatan Tanjung Beringin.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Kajian ini diharapkan memberi informasi bagi para pengambil kebijakan baik
dari pihak pemerintah dan masyarakat dalam memaksimalkan pembangunan.
2. Bagi ilmu pengetahuan, kajian ini diharapkan sebagai masukan bagi penelitian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembangunan Partisipatif
Sejak awal pemerintahan Orde Baru telah memberikan komitmen yang kuat
untuk melaksanakan pembangunan nasional yang terencana secara
berkesinambungan. Pembangunan ini dimaksudkan bukan hanya sekedar untuk
melepaskan bangsa Indonesia dari krisis ekonomi dan politik yang sedang
berkembang pada waktu itu. Pembangunan berencana dalam periode waktu cukup
panjang diharapkan dapat menciptakan bangsa yang sejahtera, kuat dan stabil. Upaya
mengajar idealisme ini dirumuskan dalam suatu konsep pembangunan nasional, yang
merupakan manifestasi dari model pembangunan Lewis (Tambunan, M., 1999).
Dalam model Lewis yang sangat populer sebagai model pembangunan
nasional di negara-negara dunia ketiga pada periode 1960-an dan 1970-an, tujuan
akhir proses pembangunan adalah transformasi perekonomian nasional dari
perekonomian yang berlandaskan pertanian dengan surplus tenaga kerja menjadi
perekonomian yang berlandaskan industri berteknologi maju. Transformasi ini akan
dicapai melalui ekstraksi berbagai surplus pertanian/pedesaan, termasuk surplus
tenaga kerja, untuk digunakan membangun sektor industri di kawasan perkotaan
secara berkelanjutan dengan cara ini, maka akhirnya sektor industri akan menjadi
sektor yang dominan dalam perekonomian nasional, baik dalam hal penyerapan
sektor pertanian. Singkatnya, dengan mengikuti strategi pembangunan sebagaimana
direkomendasikan oleh model pembangunan Lewis, perekonomian negara-negara
dunia ketiga akan mengalami suatu transformasi struktural, dari suatu struktur
perekonomian yang didominasi pertanian dengan laju pertumbuhan ekonomi yang
sangat rendah ke suatu struktur perekonomian yang didominasi industri perkotaan
dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi (Todaro, M.P, 1994).
Jadi, untuk negara seperti Indonesia yang sedang mengalami berbagai
permasalahan ekonomi, termasuk pengangguran, model pembangunan Lewis sangat
memikat untuk diimplementasikan. Laju pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi
selama Pembangunan Jangka Panjang Pertama dan kecenderungan penurunan pangsa
sektor pertanian yang diikuti dengan peningkatan sektor dalam PDB nasional telah
diterima secara luas sebagai indikasi yang kuat dari implementasi model
pembangunan Lewis selama periode ini. Dalam kenyataannya Indonesia telah
mengalami transformasi perekonomian nasional yang tidak seimbang di mana sektor
pertanian masih tetap dominan dalam penyerapan tenaga kerja nasional meskipun
pangsanya dalam PDB nasional telah merosot secara signifikan. Transformasi yang
tidak seimbang inilah salah satu faktor kunci dibalik fenomena pengangguran dan
kemiskinan yang telah melanda pedesaan bahkan sebelum krisis moneter terjadi.
Model pembangunan Lewis menyebabkan mayoritas penduduk miskin
di Indonesia ada di sektor pertanian/pedesaan. Semestinya, keadaan seperti ini tidak
perlu terjadi apabila pemerintah menerapkan konsep pembangunan yang tepat. Sebab,
bagi bangsa Indonesia. Hal ini dapat direalisasikan bila tadinya pembangunan sektor
pertanian dilakukan dengan konsep agribisnis (Saragih, B, 1995).
Pemerintah Orde Baru juga melakukan pembangunan sarana dan prasarana
pertanian/pedesaan secara ektensif dengan biaya investasi yang sangat besar.
Meskipun fasilitas-fasilitas ini vital untuk perekonomian dan kehidupan masyarakat
pertanian/pedesaan tampak bahwa pada umumnya partisipasi dan komitmen
masyarakat dalam pemeliharaan dan pengembangannya sangat rendah. Sebagai
akibatnya, pada umumnya fasilitas-fasilitas tersebut kurang terawat dan bahkan
banyak yang terlantar dan tidak berfungsi lagi. Masyarakat memandang
fasilitas-fasilitas yang dibangun pemerintah sebagai “public goods”, bukan sebagai “collective
goods”. Pandangan tersebut membuat masyarakat mempergunakan fasilitas-fasilitas
cenderung berlebihan sehingga kemampuannya akan merosot dan akhirnya hilang
bila tidak ada upaya pemeliharaan.
Strategi pembangunan sarana dan prasarana pertanian/pedesaan yang dianut
oleh Pemerintah Orde Baru secara tidak disadari telah menghancurkan semangat
kerja sama dan kemandirian masyarakat pertanian/pedesaan yang cukup kental
di masa lalu. Pendekatan yang lebih bersifat “top-down”, bukan berlandaskan pada
inisiatif dan kebutuhan masyarakat pengguna, menghasilkan institusi-institusi yang
tidak efektif dalam menggalang kerjasama antaranggota masyarakat pedesaan.
Berbeda dengan sistem pembangunan pada era Orde Baru yang bertitik tolak
dari GBHN yang berisi garis besar rencana pembangunan yang ditetapkan oleh
Nasional (Propenas) yang berisi rencana pembangunan (lima tahun) yang disusun
oleh Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat dan setelah mendapatkan
persetujuan dari DPR. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah memberikan cakrawala yang luas kepada daerah, khususnya kabupaten dan
kota, dalam melaksanakan otonomi secara utuh dan bulat. Otonomi yang
seluas-luasnya terlihat dari jumlah urusan yang diserahkan, di mana daerah diberikan
seluruh kewenangan pemerintahan, kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal. Dengan perubahan ini, bandul manajemen
pemerintahan dan pembangunan bergeser dari model memusat (sentrifugal) menuju
pada model memencar (sentripetal). Pergeseran ini mengakibatkan banyak hal yang
sebelumnya sentralis sekarang menjadi desentralis. Sentralisasi menjadi
desentralisasi. Karena itu, boleh dikatakan otonomi daerah sama dengan
desentralisasi. Dan dalam konteks pembangunan, sudah lama desentralisasi menjadi
impian. Desentralisasi pembangunan mengharuskan dan mengandalkan pemerintah
dan masyarakat daerah untuk merumuskan bersama konsep-konsep pembangunan.
Masyarakat harus dilibatkan dalam merancang-bangun item-item pembangunan.
Masyarakat tidak boleh diposisikan sebagai objek saja, melainkan harus aktif. Sejauh
ini konsep desentralisasi pembangunan, bahkan juga otonomi daerah, mengalami
begitu banyak distorsi. Pembangunan sebagai rekayasa sosial untuk mempercepat
perubahan sosial, dari keadaan serba kurang menjadi lebih baik, seringkali
di mana pembangunan dilaksanakan. Masyarakat menjadi merasa aneh di tengah
pembangunan yang dirancang atas namanya, didesain untuk kebutuhannya.
Saat ini, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dalam melaksanakan
pembangunan mengacu pada UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah atau dikenal dengan UU Otonomi Daerah. Di samping itu berbagai UU
lainnya seperti UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional, UU Nomor 2 Tahun 1992 tentang Rencana
Tata Ruang, dan UU lainnya yang telah mendapatkan persetujuan DPR-RI digunakan
sebagai acuan dalam melaksanakan pembangunan sehingga pembangunan wilayah
menjadi terarah dan melalui tahapan yang benar sesuai dengan kemampuan fisik dan
sosial wilayah tersebut.
Namun demikian pada prakteknya sistem pembangunan saat ini tidak berbeda
dengan masa yang lalu karena masih menggunakan istilah pembangunan sektoral dan
pembangunan daerah. Bidang pembangunan dijabarkan dalam sektor, dan proyek
pembangunan. Proyek merupakan jenjang terendah dari hirarki istilah dalam
pembangunan dan pada tahap ini pelaksanaannya membutuhkan dana dan tanah. Dan
dapat dimengerti, hasil pelaksanaan dari proyek pembangunan tahap inilah yang akan
merubah kualitas lingkungan hidup dan kehidupan sosial, apakah semakin baik atau
sebaliknya malah banyak menimbulkan masalah baru bagi masyarakat.
Menurut Hutagaol, P. (2000), masyarakat dan kawasan pedesaan yang
dan bukan sebagai pendukung pembangunan nasional. Hal ini menuntut paradigma
baru dalam pembangunan nasional, termasuk pembangunan pedesaan. Pembangunan
pedesaan dengan paradigma baru yang dimaksud tentunya menempatkan masyarakat
pedesaan sebagai subjek yang berpartisipasi aktif dalam seluruh proses pembangunan
pedesaan baik dalam perencanaan, implementasi, pemeliharaan serta anggaran.
Melihat potensi sumber daya kehidupan yang ada di desa dan berbagai
permasalahan yang muncul terkait dengan persentasi masyarakat miskin yang
sebagian besar berdomisili di desa, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan
pembangunan desa seharusnya mampu dibangkitkan dari potensi-potensi yang ada
tersebut. Selain itu, pengaruh lingkungan eksternal perlu diperhatikan, agar potensi
yang dimiliki dapat dibangkitkan secara optimal, efektif, efisien dan mencapai tujuan
yaitu kesejahteraan masyarakat desa. Menurut Kohar, A. dkk (2004), jika potensi
sumber daya kehidupan di desa dibangkitkan maka akan menghasilkan lima potensi
kekuatan utama yaitu:
1. Rasa kekeluargaan dan kebiasaan gotong royong jika dibangkitkan akan
menghasilkan kekuatan kerja sama kelompok (K1) yang dinamis.
2. Kebersamaan latar belakang budaya dan adat istiadat jika dibangkitkan akan
menghasilkan kekuatan mencintai tempat kelahirannya (K2), merupakan modal
dasar untuk mengembangkan kehidupan di desa.
3. Adanya mata pencaharian dasar (petani, nelayan, pengrajin, dan sebagainya) jika
4. Adanya tetua-tetua adat yang dianggap sebagai orang yang disegani di desa,
menandai adanya kepemimpinan dalam masyarakat desa, jika dibangkitkan akan
menghasilkan kekuatan kepemimpinan (K4) dalam masyarakat, yang akan sangat
berperan dalam membuat suasana yang kondusif, menjalankan fungsi koordinasi
dan sebagai organisator pembangunan di desa, yang benar-benar dipercaya
masyarakat.
5. Lahan dan sumber daya alam yang dapat digarap dan dikelola sebagai wadah
produksi masyarakat, jika dibangkitkan dan dikelola dengan baik akan
menghasilkan kekuatan produksi masyarakat (K5).
Kekuatan-kekuatan yang dimiliki disinergikan dengan tuntutan lingkungan
eksternal akan menghasilkan hubungan-hubungan yang positif dan merupakan dasar
bagi hadirnya modal pembangunan desa berbasis kekuatan sumber daya masyarakat,
K2
K3
K4
K5
DUKUNGAN KEBIJAKAN
PROSES PEMBANGUNAN K1
Tuntutan Lingkungan
Eksternal
MASYARAKAT DESA MANDIRI
DAN SEJAHTERA
Sumber: Makalah Kohar dkk (2004)
Gambar 2.1. Model Pembangunan Desa Berbasis Kekuatan Sumber Daya Masyarakat
Friedmann dalam bukunya Planning In The Public Domain (1987)
menginterpretasikan tradisi perencanaan yang berkembang di dunia sebagai dua buah
aspek fungsi formal societal guidance dan societal transformation. Dalam societal
guidance perencanaan diartikulasikan oleh pemerintah dengan menekankan
perubahan yang sistematis. Aspek ini dikenal dengan sebutan top-down planning,
yang menekankan kepada peran pemerintah dan elit pengambil keputusan politik
sebagai aktor yang paling tahu dan mengerti kebutuhan masyarakat yang
direfleksikan ke dalam produk perencanaan yang dibuat. Aspek ini dibagi dalam dua
Aspek societal transformation merupakan tradisi perencanaan yang bergeser
dari societal guidance dan menginginkan terbentuknya sebuah tatanan masyarakat
yang menentukan nasibnya sendiri dan segala sesuatu yang diarahkan dari bawah
(bottom-up planning). Tradisi ini secara ekstrem ingin mengeliminir peran
pemerintah dalam perencanaan, sehingga membutuhkan sebuah transformasi dalam
sruktur kekuatan (power) untuk menghasilkan sesuatu yang seimbang dalam
distribusi kekuasaan. Aspek ini menghasilkan dua tradisi perencanaan, yaitu social
learning dan social mobilisation.
Perencanaan dengan pendekatan partisipatif atau biasa disebut sebagai
Participatory Planning ini, jika dikaitkan dengan pendapat Friedmann, sebenarnya
merupakan suatu proses politik untuk memperoleh kesepakatan bersama (collective
agreement) melalui aktivitas negosiasi atau urun rembuk antarseluruh pelaku
pembangunan (stakeholders). Proses politik ini dilakukan secara transparan dan
aksesibel sehingga masyarakat memperoleh kemudahan setiap proses pembangunan
yang dilakukan serta setiap tahap pengambilan keputusan yang diharapkan dapat
meminimalisasi konflik antar-stakeholder. Perencanaan partisipatif juga dapat
dipandang sebagai instrumen pembelajaran masyarakat (social learning) secara
kolektif melalui interaksi antarseluruh pelaku pembangunan atau stakeholders
tersebut (Samsura dalam Hardiansah, E. C., 2004). Pembelajaran ini pada akhirnya
akan meningkatkan kapasitas seluruh stakeholders dalam upaya memobilisasi sumber
daya yang dimiliki secara luas. Oleh karena itu, dalam memahami perencanaan maka
membuat pengetahuan dan tindakan teknis dalam perencanaan yang secara efektif
akan mendorong tindakan-tindakan publik (Friedmann, J, 1987). Sehingga spektrum
perencanaan yang lahir adalah perencanaan sebagai sebuah proses dalam
meningkatkan kapasitas masyarakat untuk ikut terlibat dalam proses perencanaan itu
sendiri.
2.2. Pengembangan Wilayah
Pembangunan wilayah merupakan bagian integral dan penjabaran dari
pembangunan nasional dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan yang
disesuaikan dengan potensi, aspirasi dan permasalahan di daerah, yang diarahkan
untuk lebih mengembangkan dan menyerasikan laju pertumbuhan antardaerah,
antarkota, antardesa, dan antarkota dengan desa. Pembangunan daerah bertujuan
untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat di wilayah atau daerah
melalui pembangunan yang serasi antarsektor maupun antarpembangunan sektoral
dengan perencanaan pembangunan oleh daerah yang efisien dan efektif menuju
tercapainya kemandirian daerah dan kemajuan yang merata di seluruh pelosok Tanah
Air (Soegijoko, B.T.S dan Kusbiantoro, B.S, 1997).
Sasaran pembangunan menurut Todaro (1994), yaitu:
1. Meningkatkan persediaan dan memperluas pembagian/pemerataan bahan pokok
yang dibutuhkan untuk bisa hidup, seperti perumahan, kesehatan dan lingkungan.
2. Mengangkat taraf hidup termasuk menambah dan mempertinggi pendapatan dan
besar terhadap nilai-nilai budaya manusiawi, yang semata-mata bukan hanya untuk
memenuhi kebutuhan materi, tetapi untuk meningkatkan kesadaran harga diri baik
individu maupun nasional.
3. Memperluas jangkauan pilihan ekonomi dan sosial bagi semua pilihan individu
dan nasional dengan cara membebaskan mereka dari sikap budak dan
ketergantungan, tidak hanya hubungan dengan orang lain dan negara lain, tetapi
juga dari sumber-sumber kebodohan dan penderitaan.
Untuk mencapai sasaran pembangunan tersebut pembangunan ekonomi harus
diarahkan kepada:
1. Meningkatkan output nyata/produktivitas yang tinggi harus terus menerus
meningkat. Karena dengan output yang tinggi ini akhirnya akan dapat
meningkatkan persediaan dan memperluas pembagian bahan kebutuhan pokok
untuk hidup, termasuk penyediaan perumahan, pendidikan, dan kesehatan.
2. Tingkat penggunaan tenaga kerja yang tinggi dan pengangguran yang rendah yang
ditandai dengan ketersediaan lapangan kerja yang cukup.
3. Pengurangan dan pemberantasan ketimpangan.
4. Perubahan sosial, sikap mental, dan tingkah laku masyarakat dan lembaga
pemerintah.
Pada kenyataannya, tidak semua wilayah dapat mewujudkan hal tersebut,
sehingga pembangunanpun tidak merata di seluruh wilayah. Suatu proyek
pembangunan daerah dilaksanakan pada tingkat kabupaten/kota sebagai unit terendah
dana disediakan maka tahap berikutnya adalah menetapkan di bagian mana dari
daerah kabupaten/kota proyek tersebut akan dilaksanakan. Ada beberapa cara untuk
menetapkan proyek pembangunan. Cara penetapan proyek biasanya dilakukan, pada
tahap awal, melalui suatu kajian akademis antara lain berdasarkan pendekatan
geografi, pendekatan ekonomi dan lainnya.
Pengembangan wilayah secara realistis memperhatikan tuntutan dunia usaha
dan masyarakat dalam rangka pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana sehingga
aktivitas perekonomian dalam wilayah atau kawasan dapat berjalan dengan baik,
yang selanjutnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Strategi
pembangunan wilayah mempunyai prinsip dasar pembangunan dari masyarakat,
untuk masyarakat dan oleh masyarakat. Hal ini dapat tercapai apabila proses
pembangunan berdasarkan pada kemampuan sumber daya alamnya dan kreativitas
seluruh pelaku pembangunan.
Pengembangan wilayah dilakukan dengan menitikberatkan pada aspek ruang
atau lokasi untuk mengoptimalisasi sumber daya alam yang ada dalam rangka
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tujuan pengembangan wilayah itu sendiri
ialah pembangunan wilayah di mana kondisi wilayah menjadi lebih baik di segala
sektor yang meliputi sektor jasa, industri dan pertanian, atau paling tidak pengelolaan
hasil pertanian dan di segi penerimaan masyarakatnya, pengeluaran masyarakatnya,
investasi serta ekspor dan impor barang produksi.
Secara umum teori pengembangan wilayah maupun penataan ruang sudah
pengembangan wilayah menganut berbagai azas atau dasar dari tujuan penerapan dari
masing-masing teori. Kelompok pertama adalah teori yang memberi penekanan
kepada kemakmuran wilayah (local prosperity). Kelompok kedua menekankan pada
sumber daya lingkungan dan faktor alam yang dinilai sangat mendampaki
keberlanjutan sistem kegiatan produksi di suatu daerah (sustainable production
activity). Kelompok ini sering disebut sebagai sangat peduli dengan pembangunan
berkelanjutan (sustainable development). Kelompok ketiga memberikan perhatian
kepada kelembagaan dan proses pengambilan keputusan di tingkat lokal sehingga
kajian terfokus kepada governance yang bisa bertanggung jawab (responsible) dan
berkinerja bagus. Kelompok empat perhatiannya tertuju kepada kesejahteraan
masyarakat yang tinggal di suatu lokasi (people prosperity).
Pembangunan selayaknya dilakukan sesuai dengan kondisi masyarakat dan
lingkungan wilayah. Perbedaan pembangunan antarwilayah dapat dijelaskan oleh
sejumlah teori, yakni teori basis ekonomi, teori lokasi dan teori daya tarik industri
(Tambunan, T, 2001):
1. Teori Basis Ekonomi
Teori ini menjelaskan bahwa faktor utama penentu pertumbuhan ekonomi
suatu wilayah dipengaruhi oleh hubungan langsung permintaan barang dan jasa dari
luar daerah. Proses produksi sektor industri di suatu wilayah yang menggunakan
sumberdaya produksi lokal (tenaga kerja, bahan baku dan produk unggulan yang
diekspor) akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan
2. Teori Lokasi
Teori ini digunakan untuk menentukan pengembangan kawasan industri
di suatu wilayah. Lokasi usaha ditempatkan pada suatu tempat yang mendekati bahan
baku/pasar. Hal ini ditentukan berdasarkan tujuan perusahaan dalam rangka
memaksimumkan keuntungan dengan biaya serendah mungkin.
3. Teori Daya Tarik Industri
Teori ini dilatarbelakangi oleh adanya pembangunan industri di suatu wilayah.
Sehingga faktor-faktor daya tarik usaha antara lain produktivitas, industri-industri
kaitan, daya saing masa depan, spesialisasi industri, potensi ekspor dan prospek
permintaan domestik.
Dengan demikian, konsep pembangunan wilayah secara mendasar
mengandung prinsip pelaksanaan kebijaksanaan desentralisasi dalam kerangka
peningkatan pelaksanaan pembangunan untuk mencapai sasaran nasional yang
bertumpu pada trilogi pembangunan, yaitu pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas.
Keseluruhan kelompok teori tersebut tidak seluruhnya bertentangan satu dengan yang
lainnya, namun dalam penggunaannya dapat dijadikan suatu sinergi. Hal ini sejalan
dengan prinsip dasar yang terkandung dalam Undang-Undang Penataan Ruang yang
menyatakan bahwa penataan ruang merupakan suatu proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang serta pengendaliannya. Konsep dasar penataan ruang wilayah dan
kota dengan pendekatan pengembangan wilayah pada dasarnya adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjamin lingkungan hidup yang
mengurangi kesenjangan pembangunan dengan mengurangi kawasan-kawasan yang
miskin, kumuh dan tertinggal.
Peningkatan pada kawasan dapat pula diartikan sebagai peristiwa
pengembangan pada wilayah yang bersangkutan. Tujuan pengembangan wilayah
ialah pembangunan wilayah itu sendiri dalam arti bahwa kondisi wilayah menjadi
lebih baik di segala sektor yang meliputi sektor jasa, industri dan pertanian, atau
paling tidak pengelolaan hasil pertanian dan di segi penerimaan masyarakatnya atau
di segi pengeluaran konsumsi, investasi serta ekspor-impornya.
Menurut Hadjisaroso (1993), pengembangan wilayah itu merupakan suatu
tindakan mengembangkan wilayah atau membangun daerah/kawasan dalam rangka
usaha memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup masyarakat. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Soegijoko, dkk (1997), bahwa pengembangan wilayah merupakan upaya
pemerataan pembangunan dengan mengembangkan wilayah-wilayah tertentu melalui
berbagai kegiatan sektoral secara terpadu, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan
ekonomi daerah secara efektif dan efisien serta dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya.
Menurut Siagian, H. (1982), pengembangan wilayah adalah merupakan suatu
rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang terencana dan dilaksanakan secara
sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah menuju modernisasi dalam rangka
pembinaan bangsa. Dari pengertian tersebut, pertumbuhan dan perubahan yang
dimaksud yaitu perubahan menuju modernisasi di mana tercapainya peningkatan
2.3. Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat sebagai konsep dalam pembangunan memiliki
perspektif yang luas. Menurut Pranarka dalam Roesmidi dan Riza R. (2006),
pemberdayaan diartikan pembangunan kekuasaan yang adil (equitable sharing
power) sehingga meningkatkan kesadaran politis dan kekuasaan kelompok yang
lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap sumber daya alami dan
pengelolaannya secara berkelanjutan. Dari hal tersebut dapat kita pahami bahwa
pemberdayaan menuntut kekuasaan yang adil sesuai dengan kelompok manapun baik
kelompok lemah maupun kelompok yang tergolong kuat. Jadi, pembangunan tidak
hanya sekedar ditanggung oleh kelompok yang kuat dan besar, namun segala pihak
yang terlibat.
Menurut konsep John Friedmann (1987), pemberdayaan masyarakat harus
berawal dari pemberdayaan rumah tangga yang mencakup tiga hal, yaitu:
a. Pemberdayaan sosial ekonomi yang difokuskan pada upaya menciptakan akses
bagi setiap rumah tangga dalam proses produksi seperti akses informasi,
pengetahuan dan ketrampilan, akses untuk berpartisipasi dalam organisasi sosial
dan akses kepada sumber-sumber keuangan.
b. Pemberdayaan politik difokuskan pada upaya menciptakan akses bagi setiap
rumah tangga ke dalam proses pengambilan keputusan publik yang
mempengaruhi masa depannya. Pemberdayaan politik masyarakat tidak hanya
mengemukakan pendapat, melakukan kegiatan kolektif atau bergabung dalam
berbagai asosiasi politik, gerakan sosial atau kelompok kepentingan.
c. Pemberdayaan psikologis difokuskan pada upaya membangun kepercayaan diri
bagi setiap rumah tangga yang lemah. Kepercayaan diri pada hakikatnya
merupakan hasil dari proses pemberdayaan sosial ekonomi dan pemberdayaan
politik.
Konsep pemberdayaan merupakan sebuah konsep yang masih terlalu umum
dan tidak menyentuh akar permasalahan. Namun yang terpenting dari konsep
pemberdayaan adalah memberikan power kepada yang powerless, karena hanya
apabila memiliki power maka mereka akan dapat melaksanakan proses aktualisasi
eksistensi. Konsep ini menjadi pola dasar dari gerakan pemberdayaan atau
empowerment, yang mengamanatkan kepada peluang power dan menekankan
keberpihakan kepada yang thepowerless. Pada dasarnya gerakan pemberdayaan ingin
agar semua dapat memiliki kekuatan yang menjadi modal dasar dari proses
aktualisasi eksistensi.
Pemberdayaan masyarakat pada hakekatnya tidak hanya ditujukan secara
individual, akan tetapi juga secara kolektif, sebagai bagian dari aktualisasi eksistensi
manusia. Dengan demikian manusia menjadi tolok ukur normatif, yang menempatkan
konsep pemberdayaan masyarakat sebagai bagian dari upaya membangun eksistensi
pribadi, keluarga dan masyarakat bahkan bangsa sebagai aktualisasi kemanusiaan
pengenalan akan hakikat manusia yang diharapkan dapat memberi sumbangan
ataupun menambah wawasan ketika menerapkan konsep atau pada masyarakat.
Secara spesifik pemberdayaan masyarakat juga tertuang dalam Pembangunan
Nasional (Propenas) yang menjelaskan tentang peningkatan pemberdayaan
masyarakat melalui penguatan organisasi, pemberdayaan masyarakat miskin, dan
pemberdayaan keswadayaan masyarakat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Pembangunan Nasional. Di dalam
Undang-Undang tersebut dinyatakan tentang prinsip-prinsip demokratisasi berdasar
kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian
dengan menjaga keseimbangan, kemajuan dan kesatuan nasional.
Kelembagaan yang menangani pemberdayaan masyarakat di tingkat pusat
dibentuk Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Desa yang berada
di lingkungan Departemen Dalam Negeri. Sedangkan di daerah dibentuk Dinas atau
Lembaga Teknis Daerah, Badan atau Kantor Pemberdayaan Masyarakat sesuai
dengan kondisi daerah masing-masing.
2.4. Gerakan Pembangunan Swadaya Rakyat (Gerbang Swara)
Gerbang Swara adalah suatu gerakan pembangunan untuk mewujudkan
tercapainya semangat membangun yang tinggi dengan menumbuhkan prakarsa serta
menggerakkan Swadaya Gotong Royong masyarakat dalam pembangunan prasarana
Adapun pokok-pokok pikiran dalam pelaksanaan Gerbang Swara, yaitu:
1. Gerakan Pembangunan Swadaya Masyarakat (Gerbang Swara) berarti
membangun daerah dengan memotivasi dan menggali dari rasa bertanggung
jawab kemanusiaan di mana setiap manusia hakikatnya mencintai daerahnya,
mencintai tempatnya bekerja dan merasa tergugah untuk membangun ke arah
yang lebih baik.
2. Bertitik tolak dari rasa cinta akan daerah dan tempat mengabdi sebagai motivasi
membangun daerah akan melahirkan pola praktis bahwa dengan membangun
daerah dengan Gerakan Pembangunan Swadaya Masyarakat (Gerbang Swara)
akan menggugah dan menggali:
a. Menjalin hubungan rasa persatuan dan kebersamaan antara sesama
masyarakat, antara masyarakat dan komunitas yang menjadi satu potensi riel
yang dapat dijadikan sumber daya pembangunan.
b. Memperluas keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan yang berdomisili
di Desa/Kelurahan Serdang Bedagai maupun masyarakat yang tinggal di luar
Desa ataupun Kabupaten Serdang Bedagai.
3. Pada umumnya masing-masing desa/kelurahan mempunyai simpatisan di luar
desa tanpa memandang status kedudukannya serta besar kecilnya kemampuan
yang dimiliki akan tetapi mempunyai niat dan keikhlasan untuk berpartisipasi
membangun dengan tetap berada dalam bingkai wawasan nasional dan wawasan
4. Menumbuhkan pola pikir dari bawah, dari dusun/lingkungan dan desa/kelurahan
sebagai basis pembangunan daerah dan pembangunan nasional.
5. Menggali dan menggerakkan semaksimal mungkin potensi yang dimiliki
masyarakat baik potensi alam maupun potensi sumber daya manusia.
Mendinamisir lembaga-lembaga yang pernah hidup dan atau masih berkembang
di tengah-tengah masyarakat seperti Arisan, Markampung-kampung, Dalihan
Natolu, Serayan, Aron sebagai wadah kegotong royongan yang kesemuanya itu
dapat dikembangkan untuk digerakkan/diarahkan dalam rangka membangun
daerah Kabupaten Serdang Bedagai ini.
6. Mempercepat terwujudnya Kabupaten Serdang Bedagai sebagai salah satu
kabupaten terbaik di Indonesia dengan masyarakatnya yang pancasilais, religius,
modern dan kompetitif.
7. Mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat dengan memanfaatkan dinamika
kemajemukan dengan menggunakan potensi sumber daya manusia dan sumber
daya alam secara optimal.
8. Menciptakan rasa kebersamaan dan memiliki rasa terhadap hasil-hasil
pembangunan yang telah dicapai dan bertanggung jawab dalam pemanfaatan dan
pemeliharaannya dengan prinsip Dari, Oleh dan untuk Masyarakat (DOM).
Pokok-pokok pikiran di atas telah tampak jelas menunjukkan bahwa Gerbang
Swara mengandalkan peranan masyarakat dalam pembangunan sehingga
dirawat oleh masyarakat setempat. Pembangunan di Kabupaten Serdang Bedagai pun
mempunyai arah, tujuan dan sasaran yang jelas.
Adapun arah pembangunan Kabupaten Serdang Bedagai, yaitu:
a. Melakukan pemulihan (recovery) secara bersungguh-sungguh bagi segenap
permasalahan pembangunan yang terjadi.
b. Melakukan percepatan pembangunan di segala bidang, dengan tetap
memperhatikan konsistensi terhadap lingkungan hidup dan sustainabilitas
(berkelanjutan) pembangunan itu sendiri.
Sedangkan tujuan dari Gerbang Swara yaitu untuk mewujudkan tercapainya
semangat membangun yang tinggi dengan menumbuhkan prakarsa serta
menggerakkan swadaya gotong royong masyarakat dalam pembangunan prasarana
dan sarana yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Sasaran dari Gerbang Swara meliputi:
a. Melestarikan semangat dan jiwa gotong royong dalam membangun desa/
kelurahan berdasarkan kekeluargaan dan kebersamaan guna memperkuat
persatuan dan kesatuan sesama masyarakat yang merupakan sendi kekuatan dan
kesatuan bangsa.
b. Menumbuhkan rasa tanggung jawab dan rasa memiliki kecintaan terhadap desa/
kelurahan dan kampung halaman.
c. Mewujudkan peranan lembaga-lembaga yang ada di desa/kelurahan (BPD,
LKMD, Lembaga Agama, Adat, Lembaga Masyarakat lainnya) dalam rangka
Gerbang Swara ini mempunyai landasan hukum yang dituangkan dalam
Instruksi Bupati Serdang Bedagai Nomor 04 Tahun 2005 tanggal 19 Desember 2005
tentang Gerakan Pembangunan Swadaya Rakyat (Gerbang Swara). Di dalam
Instruksi Bupati tersebut diminta agar seluruh aparat jajaran Pemerintah Kabupaten
Serdang Bedagai untuk:
a. Mensosialisasikan Gerakan Pembangunan Swadaya Masyarakat (Gerbang Swara)
kepada seluruh jajarannya beserta seluruh lapisan masyarakat.
b. Secara terpadu menyusun rencana dan melaksanakan kegiatan ini dengan seluruh
instansi pemerintah bersama-sama masyarakat di Kabupaten Serdang Bedagai,
BUMN, perusahaan swasta termasuk masyarakat luar Kabupaten Serdang
Bedagai sebagai simpatisan untuk membangun Kabupaten Serdang Bedagai baik
melalui kegiatan Jumat bersih maupun kegiatan sadar lingkungan dan kegiatan
pembangunan lainnya.
c. Melaksanakan pengadministrasian yang tertib dan berkesinambungan serta
melakukan sosialisasi setiap tahunnya.
d. Mempersiapkan dukungan dana melalui APBD Kabupaten Serdang Bedagai
setiap tahun berjalan sesuai dengan kemampuan Keuangan Daerah.
2.5. Penelitian Terdahulu
Penelitian Agung Witjaksono (2004) yang berjudul “Partisipatif dalam
Pembangunan Desa Miskin” dengan studi kasus berlokasi di Desa Benjor Kecamatan
pembangunan masyarakat desa adalah menciptakan kondisi untuk tumbuhnya suatu
masyarakat yang bertumbuh dan berkembang dengan terjadinya pembelajaran dan
kemandirian, agar masyarakat dapat dan mampu menetralisir belenggu-belenggu
sosial seperti adat, tradisi, budaya dan cara bersikap hidup yang dapat menahan laju
perkembangan. Strategi partisipasi masyarakat harus mencakup hal-hal pokok
berikut:
1. Harus ada komitmen (political will) yang tegas dan jelas. Upaya peran serta harus
dilakukan dengan langkah-langkah nyata, dan dalam skala yang memadai untuk
menggerakkan proses transformasi dan memecah belenggu ketertinggalan dan
kekurangberdayaan. Kebijaksanaan dan tindakan basa-basi, yang bersifat simbolis
apalagi sporadis harus dihindari. Upaya ini harus dilakukan secara berlanjut dan
berdampak luas serta langsung kepada masyarakat dalam peningkatan aspek fisik,
sosial, dan ekonomi.
2. Upaya itu harus terarah dan ditujukan langsung kepada yang dirancang untuk
mengatasi masalah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. itu harus
mengikutsertakan masyarakat mulai tahap awal sampai tahap pelaksanaan oleh
masyarakat atau kelompok yang menjadi sasaran.
Sedangkan penelitian Ari Djatmiko (2004) yang berjudul “Identifikasi
Hubungan Faktor-faktor Kemampuan dan Kemauan Masyarakat dengan Tingkat
Partisipasinya dalam Penataan Kawasan Kumuh Perkotaan (P2K2P)” dengan studi
kasus di Kelurahan Sukapura, Cigondewah Kidul, Cibangkong, dan Kebun Jeruk
kemauan masyarakat untuk berpartisipasi dalam program. Faktor kemampuan
masyarakat yang berhubungan dengan tingkat partisipasi adalah kemampuan bersikap
dan bertindak, organisasi sosial kemasyarakatan dan kemampuan mengorganisasikan
diri dalam program. Sedangkan indikator kemauan masyarakat yang memiliki
hubungan nyata dengan tingkat partisipasi adalah interaksi dan komunikasi, persepsi
terhadap kegiatan kolektif sebelumnya dan perspektif terhadap program. Penelitian
ini didukung oleh penelitian Fadly Usman (2004) yang berjudul “Partisipatif (= aktif
berperanserta): Perspektif Masyarakat Awam dan Ke-ajegan-nya dalam Proses
Perencanaan” dengan lokasi penelitian di sekitar tepi Sungai Musi, Palembang,
Sumatera Selatan yang menyimpulkan bahwa masyarakat masih bisa berpartisipasi
dalam proses perencanaan dalam skala apapun walaupun peran serta masyarakat tidak
lebih dari “ada”, tetapi tetap harus ada karena hal ini merupakan proses pembelajaran
dan pendidikan panjang pada masyarakat Indonesia mengenai lingkungan dan tempat
tinggal mereka sendiri.
2.6. Kerangka Pemikiran
Adapun realisasi gerakan pembangunan swadaya rakyat di Kecamatan
Tanjung Beringin yang telah terlaksana yaitu pembuatan sumur bor, perehaban jalan
dan pengorekan tali air. Studi ini difokuskan pada kajian yang menyangkut perubahan
pendapatan masyarakat, perubahan pertumbuhan dan kepadatan penduduk
diikuti oleh laju pertumbuhan penduduk yang meningkat mula-mula secara
perlahan-lahan kemudian naik pesat.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam perencanaan wilayah perlu ditopang
dengan 4 (empat) analisis yaitu: sosial kultural, sumber daya, ekonomi wilayah dan
analisa lokasi (Nasution, I. L, 1985). Realisasi pelaksanaan Gerakan Pembangunan
Swadaya Rakyat berupa perehaban jalan tentunya akan mempengaruhi biaya produksi
suatu produk di mana harga produksi semakin menurun sebagai akibat dari
membaiknya prasarana transportasi ke lokasi sumber daya produksi maupun ke lokasi
pasar. Dengan menurunnya biaya produksi maka keuntungan diperoleh meningkat.
Keuntungan yang diperoleh dari penghematan biaya produksi merupakan nilai yang
didapat yang merupakan peningkatan pendapatan masyarakat. Pembangunan sarana
dan prasarana secara swadaya seperti dibukanya jalan desa tentunya akan
meningkatkan aksesibilitas masyarakat, mengeliminir keterisolasian daerah-daerah
terpencil serta meningkatkan peluang terbukanya usaha di sektor jasa dan
perdagangan. Tentunya hal tesebut seharusnya menjadi daya tarik terjadinya migrasi
penduduk dari berbagai daerah ke Kecamatan Tanjung Beringin, dengan tujuan untuk
mendapatkan fasilitas dan prasarana yang lebih baik.
Secara logika, hal yang sama juga didapatkan dengan pembuatan sumur bor
dan pengorekan tali air. Selain peningkatan pendapatan, peningkatan pertumbuhan
dan kepadatan penduduk juga terjadi dikarenakan semakin baiknya prasarana
membangun rumah atau gedung lainnya di sekitar wilayah kecamatan tersebut.
Kerangka pemikiran ini dapat dilihat secara sederhana pada Gambar 2.2.
Gerbang Swara Kecamatan Tanjung Beringin
Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai Masyarakat
Pembangunan dan Pemeliharaan Sarana dan Prasarana Umum
Pengorekan Tali Air Pembuatan Sumur Bor Rehab Jalan
Pendapatan Masyarakat
Pengembangan Wilayah
Produksi Pertanian Aksesibilitas
Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk
2.7. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini dapat diungkapkan sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaan pendapatan masyarakat di Kecamatan Tanjung Beringin
sebelum dan setelah realisasi pelaksanaan gerakan pembangunan swadaya
rakyat.
2. Pertumbuhan dan kepadatan penduduk semakin meningkat setelah
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten
Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara. Kecamatan ini memiliki luas ± 7.357,37
Ha dan terdiri dari 8 (delapan) desa yaitu Desa Tebing Tinggi, Desa Pematang
Cermai, Desa Mangga Dua, Desa Pematang Terang, Desa Pekan Tanjung Beringin,
Desa Bagan Kuala, Desa Nagur dan Desa Suka Jadi. Kecamatan Tanjung Beringin
merupakan salah satu kecamatan yang memiliki semangat gotong royong yang cukup
tinggi dibandingkan dengan kecamatan lainnya.
3.2. Populasi dan Sampel 3.2.1. Populasi Penelitian
Berdasarkan data Kantor Camat Tanjung Beringin pada tahun 2009 terdapat
8.440 KK dari 8 (delapan) desa. Gerakan Pembangunan Swadaya Rakyat telah
dicanangkan sejak tahun 2005 dengan diterbitkannya Instruksi Bupati Serdang
Bedagai Nomor 04 Tahun 2005 tentang Gerakan Pembangunan Swadaya Rakyat.
Pelaksanaan kegiatan gerakan pembangunan swadaya rakyat di wilayah Kecamatan
Tanjung Beringin sampai saat ini baru melibatkan 4 (empat) desa, yaitu: Desa Tebing
Secara lebih rinci populasi dalam satuan KK (Kepala Keluarga) pada 4 (empat) desa
dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Populasi Penelitian
No. Nama Desa Jenis Bantuan Jumlah
Pembuatan Sumur Bor dan Rehab Jalan Dsn I s/d IV
899
719
4 Pematang Terang Pengorekan Tali Air
841 672
Total 3.841 1.393
Sumber: Kantor Camat Tanjung Beringin (2009)
Berdasarkan data di atas, populasi penelitian ini adalah seluruh masyarakat
yang melakukan kegiatan gerakan swadaya rakyat di 4 (empat) desa sebanyak 1.393
KK.
3.2.2. Sampel Penelitian
Karena populasi yang begitu besar untuk 2 desa yaitu Desa Mangga Dua dan
Desa Pematang Terang maka dipilih sejumlah sampel. Untuk mempermudah
penelitian ini perlu diambil sampel penelitian mengingat besarnya jumlah anggota
populasi. Banyaknya sampel dapat dihitung dengan menggunakan Rumus Slovin,
Di mana:
n = jumlah sampel
N = jumlah populasi
e = persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel
yang masih dapat ditolerir atau diinginkan (10%)
Dengan rumus tersebut maka jumlah sampel untuk Desa Mangga Dua adalah:
( )
2Jumlah sampel untuk Desa Pematang Terang adalah:
( )
2Jumlah sampel untuk Desa Pematang Cermai adalah:
( )
2Jumlah sampel untuk Desa Tebing Tinggi adalah: