• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJUAN PUSTAKA

2.4. Peranan Kelembagaan dan Pemberdayaan Masyarakat

Reorientasi pembangunan pertanian yang ditempuh oleh Departemen Pertanian untuk mewujudkan pertanian modern secara mendasar merubah pola usaha tani (proses produksi pertanian) termasuk yang menyangkut alokasi Sumberdaya lahan dan air. Secara umum kelembagaan agribisnis belum secara terpadu memberi

dukungan kepada sentra-sentra pengembangan agribisnis komoditi unggulan untuk terciptanya iklim usaha yang kondusif. Sejarah telah membuktikan bahwa rapuhnya kelembagaan di Afrika menimbulkan persoalan pangan yang sampai saat ini belum terpecahkan. Oleh karena itu, pembangunan kelembagaan agribisnis perlu mendapat perhatian dan penanganan yang serius, terencana dan terus menerus.

Sementara itu, peran pemerintah dalam hal ini, bertindak selaku fasilitator yang menfasilitasi berbagai prakarsa masyarakat, dengan memberikan stimilasi dana, sesuai dengan kemampuan anggarannya. Selain itu, sesuai dengan fungsi penyelenggaraan pelayanan, pemberdayaan dan pembangunan, juga memberikan contoh nyata untuk mengembangkan berbagai komiditi unggulan, yang diharapkan berdampak positif untk menghela kesadaran motivasi masyarakat, dengan berusaha mengembangkan dan meningkatkan produksi komoditi pertanian unggulan tersebut, sesuai dengan potensi dan minat masing-masing anggota masyarakat di wilayahnya (Departemen Pertanian, 2002).

Kelembagaan mempunyai arti seperangkat aturan yang mengatur masyarakat, yang mana masyarakat tersebut telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia dan bentuk–bentuk aktifitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggung jawab yang harus mereka lakukan diantara kelembagaan memudahkan koordinasi dan kerjasama penduduk dalam pemakaian Sumberdaya yang ada, dengan membantu mereka membentuk harapan-harapan yang sewajarnya dimiliki di setiap orang dalam hubungan dengan orang lain (Soesilo, 2001).

Analisis kelembagaan merupakan salah satu upaya memahami dinamika struktur masyarakat. pemahaman ini perlu dilakukan agar orang luar yang akan melakukan intervensi mecapai tujuanya. Pengabaian terhadap lembaga lokal ini sering mengakibatkan kegagalan program-program yang sebenarnya dirancang untuk meningkatkankesejahteraan masyarakat. Analisis kelembagaan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

1. Pemetaan kelembagaan, dilakukan dengan menyusun daftar kelembagaan dengan

mempertimbangkan beberapa hal, yaitu: a) Status kelembagaan, apakah sebagai kelembagaan yang bersifat formal atau informal. b) Bidang gerak kelembagaan, apakah bergerak di bidang ekonomi, sosial dan bidang lain. c) Keanggotaan, apakah berjumlah sedikit atau banyak. d) Cakupan kerja kelembagaan, apakah berdimensi lokal, regional dan internasional. e) Aset yang dimiliki dalam bentuk benda fisik atau maupun uang tunai. f) Norma kelembagaan yang mengatur prilaku aktor dalam kelembagaan tersebut.

2. Pemetaan jaringan, dari daftar panjang yang dibuat, kemudian disusun jaringan

kelembagaan yang ada untuk menelusuri keterkaitannya, sehingga dapat dilakukan analisis adanya saling menguatkan sebagai suatu sistem atau

kebalikanya sebagai sesuatu yang counter produktif. Pemetaan jaringan ini

dilakukan untuk menilai tingkat kompleksitas kelembagaan.

Penguatan kelembagaan dilakukan dengan cara sebagai berikut:

alam, pemetaan aktivitas pengolaan Sumberdaya, pemetaan potensi konflik penggunaan Sumberdaya, pemetaan politik lokal dan jaringanya di lingkngan sosial luar yang berkaitan dengan pengolaan Sumberdaya alam.

2. Pendekatan Stakeholders Consultation Analysis (SCA), pendekatan ini dilakukan

dengan pertimbangan: Apakah sebagai suatu pengguna Sumberdaya (user).

Bagaimana dengan kedekatan tempat tinggal (residential) dengan rencana

kegiatan. Apakah memiliki jiwa kepemimpinan (leadership). memiliki

kewenangan formal (authority). Sampai seberapa jauh memiliki pengalaman

(experience) dengan rencana kegiatan dan bagaimana dengan suatu kegiatan

(Soesilo, 2001).

Dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan secara terintegrasi, perlu disusun master plan pengembangan kawasan agropolitan yang akan menjadi acuan penyusunan program pengembangan. Adapun muatan-muatan yang terkandung didalamnya diantaranya:

1. Penetapan pusat agropolitan yang berfungsi sebagai pusat perdagangan dan

tranportasi pertanian (agricultural trade or transport center), penyedia jasa

pendukung pertanian (agriculture support services), pasar konsumen produk non

pertanian (non agriculture consumers market), pusat industri pertanian (agro

based industry), Penyedia pekerjaan non pertanian (non agricultural employment)

dan pusat agropolitan serta hinterlannya terkait dengan sistem permukiman nasional, propinsi dan kabupaten.

2. Penetapan unit-unit kawasan pengembangan yang berfungsi sebagai pusat produksi pertanian (agricultural production), intensifikasi pertanian (agricultural

intensification), pusat pendapatan pedesaan dan permintaan untuk barang-barang

dan jasa non pertanian (rural income and demand fo agricultural goods and

services) dan produksi tanaman siap jual dan diversifikasi pertanian (cash crop

production and agricultural diversivication).

3. Penetapan sektor unggulan, yaitu merupakan sektor unggulan yang sudah

berkembang dan didukung oleh sektor hilirnya, kegiatan agibisnis yang banyak melibatkan pelaku dan masyarakat yang paling besar dan mempunyai skala ekonomi yang memungkinkan untuk dikembangakan dengan orientasi ekspor.

4. Dukungan infrastruktur yang membentuk struktur ruang yang mendukung

pengembangan kawasan agropolitan di antaranya jaringan jalan, irigasi, Sumber- Sumber air dan jaringan utilitas (listrik dan telekomunikasi)

5. Dukungan sistem kelembagaan, yaitu dukungan kelembagaan pengelola

pengembangan kawasan agropolitan yang merupakan bagian dari pemerintah daerah dengan fasilitasi pemerintah pusat dan pengembangan sistem kelembagaan insentif dan disinsentif pengembangan kawasan agropolitan. Melalui keterkaitan tersebut, pusat agropolitan dan kawasan pedesaan berinteraksi satu sama lainnya secara menguntungkan. Dengan adanya pola interaksi ini diharapkan dapat

meningkatkan nilai tambah (value added) produksi kawasan agropolitan sehingga

pembangunan pedesaan dapat dipacu dan migrasi desa kota yang terjadi dapat dikendalikan (Rivai, 2003).

Pemberdayaan yang diadaptasikan dari istilah empowerment berkembang di Eropa mulai abad pertengahan, terus berkembang hingga diakhir 70-an, 80-an, dan awal 90-an. Konsep pemberdayaan tersebut kemudian mempengaruhi teori-teori yang berkembang belakangan.

Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru

pembangunan, yakni yang bersifat “people centered, participatory, empowering, and

sustainable” (Chambers, 1995 dalam Subejo dan Supriyanto, 2004). Konsep ini lebih

luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau

menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan di masa yang lalu.

Dalam upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu: pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat

berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap

manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena jika demikian akan sudah

punah. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat

(empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari

hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata,

dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke

berdaya.

Dalam rangka pemberdayaan ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses ke dalam Sumber-Sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar. Masukan berupa pemberdayaan ini menyangkut pembangunan prasarana dan sarana dasar fisik, seperti irigasi, jalan, listrik, maupun sosial seperti sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan, yang dapat dijangkau oleh masyarakat pada lapisan paling bawah, serta ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di perdesaan, di mana terkonsentrasi penduduk yang keberdayaannya amat kurang. Untuk itu, perlu ada program khusus bagi masyarakat yang kurang berdaya, karena program-program umum yang berlaku tidak selalu dapat menyentuh lapisan masyarakat ini.

Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya. Yang terpenting disini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan, pengamalan demokrasi.

Friedmann, (1992) menyatakan “The empowerment approach, which is fundamental to an altenative development, places the emphasis an autonomy in the decesion marking of territorially organized communities, local self-reliance (but not

autachy), direct (participatory) democracy, and experiential sosial learning”.

Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses

pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity).

Masalah sosial ekonomi masyarakat petani merupakan suatu fenomena yang mempunyai berbagai dimensi. Begitu banyaknya dimensi yang terkandung di dalamnya mengakibatkan berbagai permasalahan walaupun gejala ini telah sejak lama menjadi objek kajian tapi sampai sekarang belum diperoleh rumusan yang disepakati berbagai pihak. Pada umumnya masyarakat sosial ditafsirkan sebagai suatu kondisi yang tidak diinginkan oleh sebagian warga masyarakat. Hal ini disebabkan karena gejala tersebut merupakan kondisi yang tidak sesuai dengan harapan atau tidak sesuai dengan norma nilai serta standar moral yang berlaku. Lebih dari itu suatu kondisi

juga dapat dianggap sebagai masalah sosial karena menimbulkan penderitaan dan kerugian baik fisik maupun non fisik bagi masyarakat petani (Soetomo, 1995).

Pengembangan kawasan agropolitan melalui konsep pendekatan pemberdayaan Sumberdaya manusia atau masyarakat juga harus seiring dan sejalan. Pemberdayaan Sumberdaya manusia merupakan hal yang sangat penting, karena tanpa didukung oleh Sumberdaya manusia yang berkualitas maka pengembangan kawasan agropolitan dengan pendekatan wilayah akan kurang bisa mencapai hasil yang optimal.

Beberapa aspek penting yang perlu mendapatkan perhatian dalam pemberdayaan masyarakat petani dan nelayan, antara lain:

a. Pengembangan organisasi/kelompok masyarakat yang dikembangkan dan berfungsi dalam mendinamisir kegiatan produktif masyarakat, misalnya berfungsinya HKTI, HNSI , dan organisasi lokal lainya.

b. Pengembangan jaringan strategis antar kelompok/organisasi masyarakat yang terbentuk dan berperan dalam pengembangan masyarakat tani dan nelayan, misalnya asosiasi dari organisasi petani dan nelayan, baik dalam skala nasional, wilayah, maupun lokal.

c. Kemampuan kelompok petani dan nelayan kecil dalam mengakses Sumber- Sumber luar yang dapat mendukung pengembangan mereka, baik dalam bidang informasi pasar, permodalan, serta teknologi dan manajemen, termasuk didalamnya kemampuan lobi ekonomi. Di sinilah maka perlunya ekonomi jaringan dipembangkan. Ekonomi jaringan adalah suatu perekonomian yang

menghimpun para pelaku ekomomi, baik dari produsen, konsumen, service

provider, equipment provider, cargo, dan sebagainya di dalam jaringan yang

terhubung baik secara elektronik maupun melalui berbagai forum usaha yang aktif dan dinamis. Ekonomi jaringan ini harus didukung oleh jaringan telekomunikasi, jaringan pembiayaan, jaringan usaha dan perdagangan, jaringan advokasi usaha, jaringan saling belajar, serta jaringan lainnya seperti hasil temuan riset dan teknologi/inovasi baru, jaringan pasar, infomasi kebijakan dan pendukung lainnya yang dapat diakses oleh semua dan tidak dimonopoli oleh kelompok tertentu (Sasono, 2000).

d. Pengembangan kemampuan-kemampuan teknis dan manajerial kelompok- kelompok masyarakat, sehingga berbagai masalah teknis dan organisasi dapat dipecahkan dengan baik. Di sini, selain masyarakat sasaran (petani dan nelayan), juga para petugas penyuluh/pendamping pemberdayaan masyarakat harus meningkatkan kompetensi diri sebagai petugas yang mampu memberdayakan, karena banyak diantara mereka justru ketinggalan kemampuannya dengan kelompok sasarannya. (Ravik. K, 2002)

Dokumen terkait