KAJIAN TERHADAP PENDAPATAN PETANI
DAN HARGA TANAH DI KAWASAN AGROPOLITAN
Studi Kasus di Kawasan Agropolitan Kecamatan Pacet dan Cipanas
Kabupaten Cianjur
SRI MULYAM
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOCOR
BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER lNFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian terhadap Pendapatan Petani dan Harga Tanah di Kawasan Agropolitan: Studi Kasus di Kecamatan Pacet dan Cipanas Kabupaten Cianjur adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Dafkv Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Maret 2007
Sri Mulyani
ABSTRAK
SRI MULYANI. Kajian Terhadap Pendapatan Petani dan Harga Tanah di Kawasan Agropolitan: Studi Kasus di Kecamatan Pacet dan Cipanas Kabupatzn Cianjur. Dibimbing oleh KOMARSA GANDASASMITA dan MOENTOHA SELARI.
Dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan pada tahun anggaran
2002 diluncurkan program rintisan pengembangan kawasan agropolitan di delapan kabupaten pada delapan provinsi di Indonesia, salah satu kawasan rintisan agropolitan adalah Kabupaten Cianjur yang berlokasi di Kecamatan Pacet dan Cipanas. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui pengaruh pengembangan kawasan agropolitan terhadap pendapatan usahatani petani, (2) mengetahui pengaruh pembangunan infrastruktur di dalam kawasan agropolitan terhadap harga tanah dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, dan (3) mengetahui pengaruh pengembangan kawasan agropolitan terhadap perkembangan nilai PDRB Kecamatan Pacet dan Cipanas.
Hasil analisis menunjukkan program pengembangan kawasan agropolitan belum signifikan dalam pencapaian manfaat jangka menengah, yaitu meningkatkan pendapatan usahatani petani. Kondisi ini terjadi karena pertama, meskipun terjadi peningkatan intensitas penyuluhan pertanian namun belum terjadi peningkatan produktivitas, karena keterbatasan petani dalam ha1 permodalan. Kedua, pembangunan idrastruktur transportasi di kawasan agropolitan tidak menurunkan biaya transportasi dan tidak mengubah pola pemasaran komoditi pertanian, karena petani tetap menjual komoditi pertaniannya pada tengkulak. Ketiga, petani belum melaksanakan proses pengolahan komoditi pertanian (agroprosesing) yang merupakan subsistem yang memberikan nilai tambah terbesar dalam sistem agribisnis. Namun terdapat kecenderungan program pengembangan kawasan agropolitan di Kecamatan Pacet dan Cipanas meningkatkan jumlah petani dengan tingkat pendapatan tinggi dan sedang serta meningkatkan rata-rata tingkat pendapatan petani di wilayah inti dibandingkan wilayah transisi dan hinterland.
ABSTRACT
SRI MULYANI. Analysis of Farmer Income and Land Price in Agropolitm Area: A Case Study in Pacet and Cipanas Sub District, Cianjur District. Under the direction of KOMARSA GANDASASMITA and MOENTOHA SELARI.
Agropolitan regional development program was launched in 2002. This initial program was conducted in eight districts at eight provinces of Indonesia, including Cianjur District in West Java. Agropolitan regional development program in Cianjur District is located in Pacet and Cipanas Sub District. This research was aimed (1) to analyze the impact of agropolitan regional development in farmers income, (2) to analyze the impact of infrastructure development in agropolitan regional development to land price and its influenced factors, and (3)
know effect of agropolitan regional development to Gross Domestik Product (GDP) value in Pacet and Cipanas Sub District.
Analysis result showed, agropolitan regional development program has not been significantly yet in increasing f m e r incomes. This condition was occurred because, firstly, there was no productivity increase although intencity of agricultural socialization was increasing due to capitally limited. Secondly, transportation infrastructure building was not chase marketing pattern because farmer still sell their commodities to suppliers. Thirdly, farmer has not done agroproccesing yet which will shine the biggest added value in agribisnis system. But, trend of agropolitan regional development program in Pacet and Cipanas Sub District showed an increased to farmer sum whose high and moderate income rate also improving the average of farmer income rate in core region than that transition region and hinterland region.
KAJIAN TERHADAP PENDAPATAN PETANI
DAN HARGA TANAH DI KAWASAN AGROPOLITAN
Studi Kasus di Kawasan Agropolitan Kecamatan Pacet dan Cipanas
Kabupaten Cianjur
SRI MULYANI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Kajian terhadap Pendapatan Petani dan Harga Tanah di Kawasan Agropolitan: Studi Kasus di Kecamatan Pacet dan Cipanas Kabupaten Cianjur
Nama : Sri Mulyani
NRP
: A253050174Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc. Ir. Moentoha Selari, M.S.
Ketua Anggota
Diketahui
Kupersembahkan untuk :
Masku ... happy birthday dun anak-anakku terkasih
Ghifari, Baihaqi, Khansa, Nabil, dun Kylla dukungan, pengorbanan, kesabaran, kehangatan, dun keceriaan keluarga
merupakan inspirasi dun dian yang mengiringi langkahku
Ibu, abah, ibu dun ayah mertua, adik serta k a h k
FUWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Cirebon Provinsi Jawa Barat pada tanggal 12 Maret 1973 sebagai putri kelima dari enam bersaudara dari pasangan Raden Mochtar Asdilah Sardiwinata (almarhum), dan Hunaenah. Jenjang pendidikan SD hingga SMA diselesaikan penulis dikota kelahiran Cirebon. Tahun 1991 penulis menyelesaikan jenjang pendidikan SMA, dan pada tahun yang sama diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Agronomi pada Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, gelar Sarjana Pertanian diraih penulis pada tahun 1996. Tahun 1996 penulis menikah dengan Syaflizar Zain St. Sati dan dikaruniai 3 orang putra, yaitu Ghifari Muhammad Syani (9 tahun), Baihaqi Muhammad Syani (6 tahun), Nabil Muhammad Syani (2 tahun), dan 2 orang putri yaitu Khansa Aisyah Mutia Syani (5 tahun), dan Khaira Nisa Mutia Syani (2 bulan). Kesempatan melanjutkan p e n d i d h pada Sekolah Pascasarjana diperoleh tahun 2005 dan diterima di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah melalui beasiswa pendidikan yang diberikan Pusat Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan Perencana, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli hingga September 2006 ini menitikberatkan pada Kajian terhadap Pendapatan Petani dan Harga Tanah di Kawasan Agropolitan: Studi Kasus di Kecamatan Pacet dan Cipanas Kabupaten Cianjur.
Penulisan karya ilmiah ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Karenanya dengan kerendahan dan ketulusan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr.Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Moentoha Selari M.S. selaku Anggota Komisi Pembimbing atas arahan, motivasi, dan bimbingannya, sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr.Ir. Setia Hadi M.Sc. selaku penguji luar yang telah banyak memberi saran demi perbaikan tesis ini. Kepada rekan-rekan mahasiswa PWL angkatan 2005 terimakasih atas keja samanya. Disarnping itu penghargaan juga penulis sam~aikan kepada rekan-rekan Penyuluh Pertanian Kecamatan Pacet dan Cipanas dan para petani responden di Kecamatan Pacet dan Cipanas yang telah membantu selama proses pengumpulan data.
Akhimya penulis mengharapkan semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2007
Sri Mulyani
DAFTAR
IS1
..
DAFTAR TABEL
...
11...
DAFTAR GAMBAR...
111DAFTAR LAMPIRAN
...
ivPENDAHULUAN Latar Belakang
...
1Perumusan Masalah
...
3Tujuan dan Manfaat Penelitian
...
5TINJAUAN PUSTAKA Konsep Wilayah dan Wilayah Perdesaan
...
6Disparitas antar Wilayah dan Perlunya Pembangunan Perdesaan
...
7Pengenlbangan Kawasan Agropolitan
...
10Pembangunan Infrastruktur dalam Pengembangan Kawasan Agropolitan 12 Akses Terhadap Lahan
...
14Konsep Nilai Tanah dan Harga Tanah
...
18Partisipasi Masyarakat dalam Pembangun an
...
19Indikator Pembangunan Wilayah
...
21Teknologi Sistem Informasi Geografis
...
23METODE PENELITIAN
. .
Kerangka Pemikiran...
24Hipotesis
...
. .
28Lokasi dan Waktu Penelltian
...
28Pengumpulan Data
...
28Jenis dan Sumber Data
...
29Penentuan Responden
...
30Metode Analisis
. .
...
33Analisis Usahatani
...
33...
Teknologi SIG, Analisis Cross Tab dan Analisis Chi-square 33...
Teknologi SIG Untuk Menghitung Jarak 34 Analisis Regresi Berganda Untuk Melihat Faktor- faktor yang...
Mempengaruhi Harga Tanah 34...
Analisis Skalogram untuk Menentukan Hirarki Wilayah 36 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN. .
Wilayah Penelitian. .
...
38Topografi dan F ~ s l o g ~
...
38IMim
...
38Jenis Tanah
...
40Kependudukan
. .
...
. . .
40Fasilitas dan Aksesibil~tas
...
42Penggunaan Lahan
...
43...
Karakteristik Umum Kawasan Agropolitan Cianjur 43
...
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Pengembangan Kawasan Agropolitan terhadap Pendapatan
...
Usahatani Petani...
Pola Spasial Pendapatan Usahatani PetaniPengaruh Program Agropolitan terhadap Tingkat Pendapatan Usahatani Petani
...
...
Nilai PDRB Kecamatan Pacet dan Cipanas...
Perkembangan Sektor PertanianPengaruh Pengembangan Kawasan Agropolitan terhadap Harga Tanah
...
Pola Spasial Harga Tanah
...
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Tanah...
SIMPULAN DAN SARAN
...
DAFTAR TABEL
Aspek, variabel, dan sumber data..
...
Variabel analisis regresi berganda pada fungsi harga tanah
...
J m l a h penduduk dan jumlah keluarga
...
Akses petani terhadap lahan
...
. .
. .
J m l a h fas~l~tas pend~d~kan
...
Persepsi pengaruh agropolitan terhadap intensitas penyuluhan
...
Persepsi pengaruh agropolitan terhadap penyediaan infiastruktur
pengruran
...
Persepsi pengaruh agropolitan terhadap penyediaan infrastruktur
...
transportasiTingkat modal petani di kawasan agropolitan
...
Status kepemilikan lahan petani di kawasan agropolitan
...
Karakteristik pola pemasaran sayur di kawasan agropolitan
...
Pelaksanaan agroprocessing setelah agropolitan
...
Produk Domestik Regional Bmto WPU atas Dasar Harga KonstanTahun 1999-2003
...
Produk Domestik Regional Bmto Kecamatan Pacet Dan Cipanas atas
...
Dasar Harga Konstan Tahun 1999-2003Hasil analisis regresi berganda faktor-faktor yang mempengaruhi
harga tanah
Hasil analisis regresi variabel jarak terhadap jalan negara dengan
harga tanah
...
Hasil analisis regresi variabel jarak terhadap Pasar Cipanas dengan
harga tanah
...
Hasil analisis regresi variabel jarak terhadap pusat agropolitan dengan
DAFTAR
GAMBAR
Keterkaitan antar indikator Pembangunan Daerah
...
...
Diagmm alir kerangka pemikiran penelitian...
Strata pada wilayah penarikan sampel...
Diagram alir metodologi penelitian...
Wilayah penelitian Kecamatan Pacet Dan Cipanas...
Pemandangan yang indah di Desa Pusat Pertumbuhan...
Beberapa program pengembangan kawasan agropolitan
...
Tingkat perkembangan desa hasil analisis skalogramPersentase jumlah petani pada berbagai tingkat pendapatan
...
Pola spasial pendapatan petani
...
Rata-rata tingkat pendapatan petani
...
Pola pemasaran sayur di kawasan agropolitan
...
Aktifitas penjualan basil pertanian kepada pedagang pengumpul
...
Aktifitas di tempat pengumpulan
...
Aktifitas penjualan sayur di STA
...
Aktifitas Cleanning. Grading. Packaging. dun Packing
...
Perkembangan PDRB sektor pertanian dan perdagangan di
...
Kecamatan Pacet-Cipanas dan WPU Tahun 1999-2003Perkembangan PDRB sektor pertanian di Kecamatan Pacet.Cipanas.
....
Kecamatan Sukaresmi dan Kecamatan Cugenang Tahun 1999-2003Pola spasial harga tanah di kawasan agropolitan
...
Hubungan variabel jarak terhadap jalan kabupaten dengan harga tanah
.
.
...
dl wlayah sample
Hubungan variabel jarak terhadap jalan negara dengan harga tanah di
...
wilayah sampleSample yang digunakan untuk melihat pengaruh jalan negara terhadap
...
harga tanahHubungan variabel jarak terhadap jalan negara dengan harga tanah di
Hubungan variabel jarak terhadap pemukiman dengan harga tanah di
wilayah sample
...
Hubungan variabel jarak terhadap Pasar Cipanas di wilayah sample
dengan harga tanah
...
Sample yang digunakan untuk melihat pengaruh Pasar Cipanas
...
terhadap harga tanahHubungan variabel jarak terhadap Pasar Cipanas dengan harga tanah
. .
dl wlayah sample yang diseleksi
...
Hubungan variabel jarak terhadap pusat agropolitan di wilayah...
sample dengan harga tanah
Sample yang digunakan untuk melihat pengaruh agropolitan terhadap harga tanah
...
Hubungan variabel jarak terhadap pusat agropolitan dengan harga
.
.
. .
tanah dl wilayah Inti
...
Hubungan variabel jarak terhadap tingkat perkembangan desa dengan
.
.
DAPTAR LAMPIRAN
1 Kuisioner
...
912 Data base responden di wilayah sample
...
1003 Pendapatan petani
...
1034 Metode klasifikasi pendapatan petani dengan perangkat GIs
...
1055 Hasil analisis jarak dengan perangkat
GIs
...
1056 Variabel-variabel yang mempengaruhi harga tanah
...
106PENDAHULUAN
Latar Belakang
Prioritas pembangunan selama ini cenderung mendahulukan pertumbuhan
ekonomi dengan melakukan investasi yang besar pada industri di pusat kota
melalui kutub-kutub pertumbuhan (growth poles). Kecenderungan penlbangunan
tersebut yang semuia diramalkan akan menciptakan trickle down effect
(penetesan) dan spread effect (dampak penyebaran) dari kutub pusat pertumbuhan
ke wilayah hinterland-nya, temyata net-effect-nya malah menimbulkan
pengurasan besar (massive backwash efect), (Myrdal, 1968). Menurut Mercado
(2002) kegagalan strategi kutub pertumbuhan yaitu tidak terjadinya trickle down
effect dan spread effect disebabkan karena aktifitas industri yang dikembangkan
temyata sebagian besar tidak mempunyai hubungan dengan basis sumberdaya di
wilayah hinterland.
Dalam konteks spasial proses pembangunan tersebut menimbulkan
berbagai pernasalahan yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan antar wilayah
yang tidak berimbang. Kesenjangan ini pada akhimya menimbulkan berbagai
pernasalahan yang dalam konteks makro sangat merugikan keseluruhan proses
pembangunan. Potensi konflik menjadi sedemikian besar karena wilayah-
wilayah yang dulunya kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-
haknya. Demikian pula hubungan antar wilayah telah membentuk suatu interaksi
yang saling memperlemah. Wilayah-wilayah hinterland (perdesaan) menjadi
lemah karena pengurasan sumberdaya yang berlebihan, sedangkan pusat-pusat
pertumbuhan (kota) pada akhimya juga menjadi lemah karena proses urbanisasi
yang terus meningkat. Perkembangan perkotaan pada akhimya sarat dengan
pernasalahan sosial, lingkungan dan ekonomi yang semakin kompleks, sementara
desa mengalami pengurasan sumber daya manusia berpendidikan, karena
perkembangan ekonomi di wilayah ~erkotaan mendorong perpindahan tenaga
keja dari desa ke kota.
Dengan berkembangnya pernasalahan tersebut maka pembangunan
wilayah perdesaan menjadi suatu alternatif untuk mengurangi disparitas antar
menjadi lebih efisien, berkeadilan dan berkelanjutan. Sehubungan dzngan ide ini
Friedman dan Douglass (1976), menyarankan suatu bentuk pendekatan
agropolitan sebagai aktifitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah
perdesaan dengan jumlah penduduk antara 50.000 sampai 150.000 orang.
Menurut Anwar (2005), pembangunan agropolitan pada hakekatnya
mempakan pembangunan kota-kota kecil menengah dengan membangun
infrastruktur fasilitas publik perkotaan untuk mendorong dan mendukung
pencapaian strategi pembangunan pertanian dan ekonomi perdesaan.
Pembangunan tersebut diharapkan dapat menyumbang kepada peningkatan
kinerja sistem perekonomian nasional. Rustiadi dan Setiahadi (2006) juga
menyatakan bahwa konsep agropolitan dengan membangun kutub pertumbuhan di
wilayah perdesaan, secara spasial dampaknya dapat dinikmati oleh wilayah lokal.
Penciptaan nilai tambah dari aktifitas ekonomi terutama pertanian dapat ditangkap
dalam wilayah tersebut.
Adapun tujuan dari pengembangan agropolitan sebagai konsep
pembangunan wilayahdan perdesaan dapat dimmuskan antara lain sebagai
berikut:(l) menciptakan pembangunan desa-kota secara berimbang,
(2) meningkatkan keterkaitan desa-kota yang sinergis, (3) mengembangkan ekonomi dan lingkungan pemukiman perdesaan berbasis aktifitas pertanian, dan
(4) meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat perdesaan (Rustiadi
et al. 2005). Sedangkan menurut Rondinelli (1985), pengembangan kawasan agropolitan di wilayah perdesaan pada dasarnya lebih ditujukan untuk
meningkatkan produksi pertanian dan penjualan hasil-hasil pertanian, mendukung
turnbuhnya industri agroprocessing skala kecil-menengah dan mendorong
keberagaman aktifitas ekonomi dari pusat pasar.
Dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan pada tahun anggaran
2002 diluncurkan program rintisan pengembangan kawasan agropolitan di
delapan kabupaten pada delapan provinsi di Indonesia, meliputi Kabupaten Agam
(Provinsi Sumatera Barat), Kabupaten Rejang Lebong (Provinsi Bengkulu),
Kabupaten Cianjur (Provinsi Jawa Barat), Kabupaten Kulon Progo (Provinsi D.I.
Yogyakarta), Kabupaten Bangli (Provinsi Bali), Kabupaten Barn (Provinsi
Kabupaten Boalemo (Provinsi Gorontalo). Pada tahap selanjutnya jumlah daerah
yang mengembangkan agropolitan mencapai 52 kabupaten di 29 provinsi.
Program pengembangan kawasan agropolitan di Kecamatan Pacet
Kabupaten Cianjur masif relatif muda dan baru berjalan sekitar 3 tahun, sehingga belum signifikan pencapaian manfaat dan dampak jangka menengah maupun
jangka panjang berdasarkan indikator pembangunan daerah, karena program
pengembangan kawasan agropolitan termasuk ke dalam program pembangunan
jangka menengah. Namun demikian untuk mengetahui apakah program
pengembangan kawasan agropolitan sudah berjalan sebagaimana mestinya (on the
track) perlu dilakukan kajian dengan melihat indikator input dasar (capital)
diantaranya infrastruktur, dan pencapaian indikator jangka pendek berdasarkan
indikator pembangunan daerah, diantaranya Produk Domestik Regional Bmto
(PDRB) (Rustiadi et al. 2005).
Perumusan Masalah
Master Plan Kawasan Agropolitan menerangkan bahwa, cakupan wilayah
Kawasan Agropolitan Cianjur meliputi Kecamatan Pacet sebagai kecamatan inti,
serta Kecamatan Cugenang dan Kecamatan Sukaresmi sebagai wilayah
hinterland-nya. Secara administrasi kawasan agropolitan ini di sebelah Utara dan
Barat berbatasan dengan Kabupaten Bogor, sebelah Selatan dengan Kecamatan
Warungkondang dan Kecamatan Cianjur, serta sebelah Timur dengan Kecamatan
Cikalong Kulon dan Kecamatan Mande. Kecamatan Pacet sebagai kecamatan inti
dari kawasan agropolitan terdiri dari 14.desa, dengan Desa Sukatani dan Desa
Sindangjaya sebagai Desa Pusat Perhmbuhan (DPP).
Pelaksanaan program pengembangan kawasan agropolitan di Kecamatan
Pacet secara teknis difasilitasi oleh beberapa instansi terkait diantaranya Dinas
Pertanian, Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil), serta Dinas
Perindustrian dan Perdagangan (Perindag). Dinas Pertanian bertanggung jawab
terhadap penguatan kelembagaan, baik kelembagaan petani maupun pengelola
kawasan agropolitan, budidaya komoditi unggulan dan peningkatan surnber daya
sedangkan Dinas kimpraswil bertanggung jawab terhadap pembangunm
infiastruktur dasar untuk pembangunan agribisnis.
Berdasarkan data yang dikumpulkan di lapangan dan wawancara dengm
pengelola kawasan dalam rangka program pengembangan kawasan agropolitan
telah terbentuk struktur pengelola kawasan agropolitan yang berbentuk Kelompok
Keja (Pokja) yang diketuai oleh Asisten Daerah 11 bidang ekonomi, dengan
sekretaris Kepala Dinas Pertanian, dan anggota berasal dari Dinas Kimpraswil,
Dinas Perindag dan dinas terkait lainnya. Sedangkan untuk kelembagaan petani
telah terbentuk 9 kelompok tani, yaitu 4 kelompok tani berada di Desa Sukatani
dan 5 kelompok tani berada di Desa Sindang Jaya. Kelompok tani tersebut
sebulan sekali mengadakan pertemuan untuk mendapatkan penyuluhan dari
Penyuluh Pertanian Lapangan sebagai koordinator pemadu kawasan agropolitan.
Pembangunan infkastruktur yang telah dilaksanakan diantaranya adalah
pembangunan gedung pengelola kawasan agropolitan, sarana transportasi, jalan
usaha tani, instalasi irigasi ke hamparan petani, packing house yang berfimgsi
sebagai tempat penanganan pasca panen (pencucian, sortasi, dan packing), dan
Stasiun Terminal Agribisnis (STA) Cigombong yang diiengkapi dengan cool
storage. Infrastruktur tersebut semuanya berlokasi di Desa Pusat Perhunbuhan,
kecuali STA Cigombong yang berlokasi di Pasar Cigombong Desa Ciherang
Kecamatan Pacet. Sedangkan kegiatan yang berkembang diantaranya
berkembangnya agribisnis sayuran dataran tinggi, penurnbuhan pos pela~anan
agen hayati, pengembangan pupuk Bokashi, penurnbuhan agroindustri dalam
skala home industri.
Beberapa pernasalahan yang tejadi dalam pengembangan kawasan
agropolitan di Kecamatan Pacet dan penting untuk dikaji diantaranya
pengembangan kawasan agropolitan belum signifikan meningkatkan pendapatan
petani (Rusastra et al. 2004), pemanfaatan beberapa infrastruktur di kawasan agropolitan belum optimal, sebagai contoh petani lebih suka untuk melakukan
penanganan pasca panen di rumah daripada di packing house. Disamping itu juga
pembangunan STA Cigombong masih perlu dipertanyakan karena sampai saat ini
pemanfaatannya masih under capacify. Diduga adanya ketidaksesuaian antara
aspirasi masyarakat dan program pengembangan kawasan agropolitan yang belum
marnpu menjawab kebutuhan masyarakat. Perrnasalahan yang juga sangat urgent
dan dapat mengancam sustainability kawasan adalah adanya alih kepemilikan lahan petmi dan alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian, diduga ha1 ini
terjadi karena pengelola kawasan agropolitan dan instansi terkait belum berfUngsi
optimal.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui pengaruh pengembangan kawasan agropolitan terhadap
pendapatan petani, ditinjau dari pendapatan usahataninya.
2. Mengetahui pengaruh pembangunan infrastruktur di dalam kawasan
agropolitan terhadap harga tanah dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Sedangkan manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dengan
dilaksanakannya penelitian ini adalah:
1. Memberikan inferensin (pencerahan) terhadap kegiatan pengembangan kawasan agropolitan di Kecamatan Pacet atau kegiatan lain yang lebih luas.
2. Merupakan proses pembelajaran yang bersifat analogik pada kasus sejenis
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Wilayah dan Wilayah Perdesaan
Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey, 1977 dalam
Rustiadi et al. 2005) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep
wiayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen (unform/homogenous
region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Pengembangan kawasan agropolitan
berdasarkan tipologi wilayah termasuk kedalam wilayah homogen.
Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan pada
kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen,
sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan dapat beragam (heterogen).
Pada dasarnya terdapat beberapa faktor penyebab homogenitas wiiayah.
Secara umum terdiri atas penyebab alamiah dan penyebab artzjicial. Faktor
alamiah yang dapat menyebabkan homogenitas wilayah adalah kelas kemampuan
lahan, iklim dan berbagai faktor lainnya. Sedangkan homogenitas yang bersifat
artificial adalah homogenitas yang didasarkan pada pengklasifikasian berdasarkan
aspek tertentu yang dibuat oleh manusia. Contoh wilayah homogen artificial
adalah wilayah homogen atas dasar kemiskinan @eta kemiskinan).
Karena pada umumnya wilayah homogen sangat dipengaruhi oleh potensi
sumberdaya alam dan permasalahan spesifik yang seragam, maka menurut
Rustiadi et al. (2005) wilayah homogen sangat bermanfaat dalam: (1) penentuan
sektor basis perekonomian wilayah sesuai dengan potensildaya dukung utama
yang ada (comparative advantage), (2) pengembangan pola kebijakan yang tepat
sesuai dengan permasalahan masing-masing wilayah.
Dalam prakteknya di Indonesia terdapat beberapa istilah yang memjuk
kepada pengertian wilayah, diantaranya adalah pemakaian istilah daerah dan
kawasan. Menurut Rustiadi et al. (2005) meskipun pengertian daerah tidak
disebutkan secara eksplisit namun umurnnya dipahami sebagai unit wilayah
berdasarkan aspek administrasif. Sedangkan penggunaan istilah kawasan di
Indonesia digunakan karena adanya penekanan-penekanan fungsional dari suatu
karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi dan komponen-komponen di dalam
suatu unit wilayah, sehingga batas dan sisternnya ditentukan berdasarkan aspek
hngsional. Dengan demikian, setiap kawasan atau sub-kawasan memiliki hngsi-
fungsi khusus yang tentunya memerlukan pendekatan program tertentu sesuai
dengan fungsi yang dikembangkan tersebut.
Selanjutnya wilayah perdesaan menurut UU No. 24 tahun 1992 yang dalam
ha1 ini dinyatakan sebagai kawasan perdesaan adalah kawasan yang mempunyai
kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumberdaya dam dengan susunan
fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perdesaan, pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Secara demografi dan
kriteria ekonomi batasan wilayah perdesaan (rural) dan wilayah perkotaan
(urban) sangat bervariasi antara negara satu dengan lainnya. Di Filipina wilayah
perkotaan didefinisikan sebagai wilayah dengan jumlah penduduk kurang dari 500
orang/km2, dilengkapi dengan infrastruktur transportasi, industri komersial, dan
fasilitas publik (Tacoli 1998).
Disparitas antar Wilayah dan Perlunya Pembangunan Perdesaan
Dalam konteks spasial, proses pembangunan yang telah dilaksanakan selama
ini temyata telah menimbulkan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan
tingkat kesejahteraan antar wilayah yang tidak berimbang. Pendekatan yang
sangat menekankan pada perhmbuhan ekonomi dengan membangun pusat-pusat
pertumbuhan telah mengakibatkan investasi dan sumberdaya terserap dan
terkonsentrasi di perkotaan sebagai pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah-
wilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan (massive
backwash effect) (Anwar 2001).
Secara makro dapat kita lihat terjadinya ketimpangan pembangunan yang
signifikan misalnya antara wilayah desa-kota, antara wilayah Indonesia Timur dan
Indonesia Barat, antara wilayah Jawa dan non Jawa dan sebagainya. Menurut
Tadjoedin et al. (2001), beberapa wilayah di Indonesia yang berada di luar Jawa
memiliki nilai PDRB tinggi dan memberikan kontribusi yang besar terhadap
perekonomian nasional namun memiliki tingkat kesejahteraan yang tidak lebih
Menurut Alvarez et al. (2002), kesenjangan di dalam negara biasanya lebih besar dibandingkan kesenjangan antar negara. Kesenjangan wilayah di Asia Timur diantaranya disebabkan oleh perbedaan pendapatan percapita, kepadatan
penduduk, tingkat aktifitas ekonomi, pola kepemilikan sumber daya alam dan
struktur ekonomi, serta indikator sosial. Ada perbedaan yang sangat besar dalam
pendapatan perkapita antara kota dan wilayah. Sebagian besar negara di Asia
Timur yang memiliki pendapatan percapita tertinggi adalah ibukota negara,
wilayah yang memiliki kekayaan sumber daya dam, dan wilayah industri.
Sebagai contoh Kota Jakarta memiliki pendapatan perkapita sepuluh kali lebih
besar dibadingkan provinsi termiskin di Indonesia yaitu Nusa Tenggara Timur.
Provinsi dengan sumber daya alam terkaya di Indonesia yaitu Kalimantan Timur,
memiliki pendapatan percapita lebih besar dibandingkan Kota Jakarta. Distribusi
wilayah dengan kepadatan penduduk dan aktifitas ekonomi yang tinggi tidak
merata di negara-negara di Asia Timur. Sebagai contoh, Jawa dengan luas
wilayah hanya 6% dari total wilayah Indonesia memiliki kepadatan penduduk
60% dari total penduduk Indonesia, dan memiliki GDP yang sama dengan
wilayah di luar Jawa (Hi11 2002 dalam Alvarez el al. 2002).
Kesenjangan ini pada akhimya menimbulkan berbagai permasalahan yang
dalam konteks makro sangat merugikan bagi keseluruhan proses pembangunan.
Potensi konflik menjadi sedemikian besar karena wilayah-wilayah yang dulunya
kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Demikian pula
hubungan antar wilayah telah membentuk suatu intemksi yang saling
memperlemah (Rustiadi dan Setia Hadi 2006). Wilayah-wilayah hinterland
menjadi lemah karena pengurasan sumberdaya yang berlebihan, sedangkan pusat-
pusat pertumbuhan pada akhimya juga menjadi lemah karena proses urbanisasi
yang luar biasa. Fenomena urbanisasi yang mampu memperlemah perkembangan
kota ini dapat kita lihat di kota-kota besar di Indonesia yang dipenuhi oleh daerah-
daetah kumuh (slum area), tingginya tingkat polusi, tejadinya kemacetan dan sebagainya. Perkembangan perkotaan pada akhimya sarat dengan pernasalahan-
permasalahan sosial, lingkungan, dan ekonomi yang makin kompieks dan rumit
Menurut Anwar (2001), selama ini pertumbuhan angkatan kerja perdesaan
yang terus meningkat ternyata tidak diikuti oleh meningkatnya ketersediaan lahan.
Hal ini tejadi karena masalah institusional yang lemah dalam kebijakan
pertanahan yang mengakibatkan banyak lahan-lahan pertanian di perdesaan yang
terkonversi maupun yang berpindah hak kepemilikannya karena rnaraknya
aktifitas investasi dan spekulasi atas lahan. Kondisi ini rnengakibatkan terjadinya
peningkatan jumlah tenaga keja yang tidak berlahan (landless laborer) sehingga pada akhimya terjadi migrasi besar-besaran dari wilayah perdesaan ke wilayah
perkotaan.
Namun seperti yang dikemukakan oleh Anwar (2001), dari tenaga keja
migran ini temyata hanya sedikit saja yang dapat memperoleh kesempatan ke j a di
sektor industri modem. Akibatnya, tejadilah bentuk-bentuk ketergantungan
struktu~al dualistik (shucrural dualistic dependency) dimana tejadi lepasnya keterkaitan antara sektor urban modem (industri dan jasa) dan urban informal
(pedagang kecil, buruh, pekerja bangunan dan kegiatan informal lain) di wilayah
perkotaan, dan lepasnya keterkaitan antara sektor perdesaan tradisional yang
mayoritas miskin dengan sektor rural enclave yang pada umumnya menimbulkan kebocoran wilayah karena tidak mampu melahirkan dampak multiplier kepada masyarakat di sekitamya. Dengan kata lain, pembangunan sektor modem di
perkotaan maupun di dalam rural enclave tidak memberikan dampak multiplier
tenaga keja dan pendapatan kepada sektor urban informal dan mayoritas
penduduk di wilayah perdesaan. Bahkan seringkali tejadi sektor-sektor modem
tersebut banyak memberikan dampak eksternalitas dalam bentuk biaya-biaya
sosial kepada golongan masyarakat kecil dalam bentuk pencemaran air dan udara,
erosi tanah, banjir dan perampasan hak-hak tanah penduduk lokal. Karena itu, kesenjangan sosial semakin tinggi dan secara spasial juga tejadi disparitas antara
wilayah perkotaan dan perdesaan
~ e l i h a t kondisi yang demikian dan dampak negatifnya terhadap
~erkembangan wilayah perdesaan dan perkotaan serta perturnbuhan perekonomian
nasional secara agregat, maka dirasa perlu untuk mengurangi disparitas antar
wilayah dengan mulai berupaya untuk meningkatkan pernbangunan wilayah
(2000), pembangunan wilayah yang berimbang merupakan sebuah pertumbuhan
yang merata dari wilayah yang berbeda untuk meningkatkan pengembangan
kapabilitas dan kebutuhan mereka. Hal ini tidak selalu berarti bahwa semua
wilayah harus mempunyai perkembangan yang sama, atau mempunyai tingkst
industrialisasi yang sama, atau mempunyai pola ekonomi yang sama, atau
mempunyai kebutuhan pembangunan yang sama. Akan tetapi yang lebih penting
adalah adanya pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi yang dimiliki
oleh setiap wilayah sesuai dengan kapasitasnya. Dengan demikian diharapkan
keuntungan dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan merupakan hasil dari
sumbangan interaksi yang saling memperkuat diantara semua wilayah yang
terlibat.
Pengembangan Kawasan agropolitan
Salah satu ide yang mengemuka dalam mengatasi permasalahan
pembangunan ini adalah perlunya mewujudkan kemandirian perdesaan yang
didasarkan pada potensi wilayah desa itu sendiri, dimana keterkaitan dengan
perekonomian perkotaan harus bisa diminimalkan. Sehubungan dengan ide ini
Friedman dan Douglass (1976), menyarankan suatu bentuk pendekatan
agropolitan sebagai aktifitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah
perdesaan dengan jurnlah penduduk antara 50.000 sampai 150.000 orang.
Friedman (1996) mengusulkan modifikasi dari konsep pembangunan agropolitan
yang disebutnya sebagai modular cities. Selain persyaratan jurnlah penduduk,
persyaratan utama yang harus dimiliki sebuah modular cities diantaranya mempunyai kelengkapan pusat pelay&an yang dapat ditempuh dengan
berkendaraan sepeda atau bejalan kaki kurang dari 20 menit, memiliki fasilitas
publik, dan industri kecil.
Agropolitan menjadi relevan dengan wilayah perdesaan karena pada
umumnya sektor pertanian dan pengelolaan surnberdaya alam memang menjadi
mata pencaharian utama dari sebagian besar masyarakat perdesaan. Otoritas
perencanaan dan pengambilan keputusan akan didesentralisasikan sehingga
Dari berbagai altematif model pembangunan, konsep agropolitan
dipandang sebagai konsep yang menjanjikan teratasinya permasalahan
ketidakseimbangan perdesaan-perkotaan selama ini. Secara singkat agropolitan
menurut Rustiadi dan Setia Hadi (2006) adalah: (1) suatu model pembangunan yang mengandalkan desentralisasi, mengandalkan pembangunan infrastruktur
setara kota di wilayah perdesaan, sehingga mendorong turnbuhnya pengkotaan
dalam arti positif, (2) menanggulangi dampak negatif pembangunan seperti
migrasi desa-kota yang tak terkendali, polusi, kemacetan lalu lintas, pengkumuhan
kota, kehancuran massif sumber daya alam, pemiskinan desa.
Menurut Anwar (2005), pada hakekatnya merupakan pembangunan kota-
kota kecil menengah yang diberikan infrastruktur fasilitas publik perkotaan.
Fasilitas-fasilitas tersebut diperlukan untuk mendorong dan mendukung
pencapaian strategi pembangunan pertanian dan ekonomi perdesaan yang dapat
menyumbang kepada peningkatan kinerja sistem perekonomian nasional. Karena
pembangunan kota - kota besar sudah cenderung mengarah kepada pertumbuhan
yang tidak terkendali, maka dengan pembangunan kota-kota kecil menengah
diharapkan dapat mengurangi darnpak dari dari aglomerasi berlebihan.
Berkembangnya kota-kota kecil menengah dapat secara positif mendorong
perkembangan dari wilayah hinterland-nya, terutama untuk mentransformasikan
pola pertanian perdesaan yang subsisten menjadi pola pertanian komersial dan
mengintegrasikan ekonomi perkotaan dan perdesaan di negara-negara
berkembang. Pembangunan pusat-pusat industri yang telah dilakukan di negara-
negara berkembang sejak tahun 1960, pada dasamya kwang sesuai dan tidak
mencukupi untuk menciptakan efek penyebaran (spread effect). Pengembangan
sektor jasa, distribusi, perdagangan, marketing, agroprocessing, dan berbagai
fungsi lainnya bisa berdampak lebih baik dalam menstimulasi pertumbuhan kota-
kota kecil menengah di wilayah perdesaan daripada pengembangan industri
manufaktur dalam skala besar.
Menurut Departemen Pertanian Agropolitan adalah kota pertanian yang
tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta
mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan
agropolitan adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat
melalui percepatan pengembangan wilayah dan peningkatan keterkaitan desa kota
dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya
saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan (tidak merusak lingkungan) dan
terdesentralisasi (wewenang berada di Pemerintah Daerah dan masyarakat) di
kawasan Agropolitan. Tujuan ini sejalan dengan amanat yang telah digariskan
dalam PROPENAS 2000 - 2004, dimana tujuan dari program pembangunan
perdesaan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mempercepat
pertumbuhan kegiatan ekonomi perdesaan yang berkeadilan dan mempercepat
industrialisasi perdesaan.
Pembangunan Infrastruktur dalam Pengembangan Kawasan Agropolitan
Pembangunan infrastruktur agropolitan timbul karena tingginya migrasi
rural urban akibat dari kurangnya kesempatan k e j a dan kenyamanan di wilayah perdesaan. Konsep agropolitan adalah manifestasi dari growth pole theory namun berbeda dalam perspektif. Growth pole theory mengutamakan pembangunan infrastruktur di wilayah perkotaan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan
menciptakan trickle down effect ke wilayah perdesaan. Pembangunan infrastruktur agropolitan di wilayah pedesan mendukung sektor pertanian sebagai
sektor ekonomi utama di perdesaan (Elestiano 2005). Pengembangan infrastruktur
di dalam pengembangan kawasan agropolitan meliputi (1) pengembangan
infrastruktur pemukiman, (2) pengembangan infrastruktur sistem produksi
pertanian, dan (3) pengembangan infrastruktur pasar dan sistem infomasi (Anonim 2004).
Pengembangan infrastruktur pemukiman menjadi penting selain untuk
mencegah tejadinya urbanisasi juga penting untuk membangun akurnulasi nilai
tambah di dalam wilayah. Dengan infrastruktur wilayah yang memadai orang
tidak perlu pergi ke luar wilayah untuk memenuhi kebutuhannya. Disamping
kedua aspek diatas, ketersediaan berbagai sarana dan prasarana pemukiman yang
meliputi jaringan telekomunikasi, jaringan listrik, air bersih dan sarana
transportasi ini diharapkan bisa menjadi insentif bagi investor untuk menanamkan
Pengembangan infrastruktur sistem produksi pertanian merupakan ha1
yang sangat penting dalam mendukung sistem agribisnis. Infiastruktur sistem
produksi pertanian meliputi pengembangan sarana produksi pertanian (saprotan),
sarana pengolahan (agroprocessing), sarana transportasi, dan sarana irigasi.
Infrastruktur pasar dalam pengembangan kawasan agropolitan merupakan
salah satu infrastruktur yang sangat dibutuhkan. Pasar yang dibutuhkan yaitu
pasar sebagai tempat transaksi fisik bagi input faktor produksi dan pasar bagi
produk petani dan bagi produk olahan, serta pasar jasa pelayanan bagi masyarakat
sekitar wilayah pengembangan kawasan agropolitan.
Hasil penelitian Pribadi (2005), dengan menggunakan analisis skalogram
dimana jumlah jenis fasilitas, jumlah unit fasilitas dan jumlah penduduk
digunakan sebagai variabel penentu hirarki, terlihat bahwa desa-desa di
Kecamatan Pacet menempati hirarki paling atas. Dengan demikian apabila dilihat
pada level kecamatan, masterplan pengembangan Kawasan Agropolitan Cianjur
yang telah disusun oleh Departemen Kimpraswil dan Pemda Cianjur sudah
menempatkan secara benar lokasi wilayah inti dan hinterland-nya dimana wilayah
inti terdapat di Kecamatan Pacet sedangkan wilayah hinterland terdapat di
Kecamatan Sukaresmi dan Cugenang.
Namun lebih lanjut Pribadi (2005) menyebutkan apabila dilihat secara
lebih detail sampai ke level desa, nampak bahwa penentuan lokasi desa pusat
perhmbuhan yaitu Desa Sukatani dan Desa Sindangjaya sebenarnya kurang
sesuai dengan karakteristik hirarki wilayah dan keterkaitan antar hirarki yang
telah berkembang di kawasan agropolitan dimana Desa Cipanas dan Cipendawa
menduduki urutan pertarna dari sisi ketersediaan fasilitas. Hal ini memang sesuai
dengan kondisi nil di lapangan dimana Desa Cipanas dan Cipendawa merupakan
desa yang paling maju dan bahkan menjadi outlet terbesar bagi hasil produksi
sayuran dari ketiga kecamatan yang termasuk dalam Kawasan Agropolitan
Cianjur.
Demikian pula apabila dilihat dengan menggunakan analisis yang
didasarkan pada hitungan indeks hirarki ~erkembangan desa dan standardisasi
karakteristik perkembangan wilayah juga menunjukkan ha1 yang konsisten bahwa
dapat dikatakan bahwa Desa Cipanas dan Cipendawa memang secara realitas di
lapangan telah menjadi pusat bagi berbagai aktifitas, baik itu berkaitan dengan
permukiman, pendidikan, kesebatan, perdagangan dan sebagainya. Khusus untuk
Cipanas aktifitas ekonomi yang cukup menonjol dan terkait dengan
pengembangan kawasan agropolitan adalah perdagangan sayur hasil produksi dari
wilayah-wilayah desa di sekitamya.
Menurut Maulana (2006), dari hasil analisis skalogram di Kawasan
agropolitan dapat diketahui bahwa Desa Cipanas dan Desa Sindanglaya memiliki
tingkat perkembangan yang paling tinggi. Tersedianya berbagai sarana dan
prasarana yang memadai baik dari segi kualitas maupun kuantitas menjadikan
kedua desa tersebut sebagai pusat pelayanan bagi desa-desa di sekitamya. Lokasi
Desa Cipanas dan Desa Sindanglaya yang secara geografis terletak di tengah-
tengah Kawasan Agropolitan menjadikan kedua desa tersebut strategis sebagai
daerah pusat pelayanan. Berdasarkan hirarki dari hasil analisis skalogram, Desa
Cipanas dan Desa Sindanglaya termasuk ke dalam hirarki I, Desa Cimacan, Desa
Palasari, Desa Ciherang, Desa Cipendawa dan Desa Gadog merupakan desa-desa
yang memiliki tingkat perkembangan sedang (hirarki 11). Sedangkan desa-desa
yang memiliki tingkat perkembangan rendah (hirarki 111) antara lain Desa
Batulawang, Desa Ciloto, Desa Sindangjaya, Desa Cibodas, Desa Sukatani, Desa
Sukanagalih dan Desa Ciputri.
Perkembangan desa-desa di kawasan agropolitan secara urnum menurut
Pribadi (2005), banyak dipengaruhi oleh keberadaan sarana transportasi terutama
jalan provinsi dan jalan kabupaten.
Akses Terhadap Lahan
Lahan merupakan salah satu aset produktif yang sangat penting di dalam
kegiatan usaha pertanian di perdesaan. Namun seringkali akses masyarakat
perdesaan terhadap iahan menjadi semakin terbatas karena adanya kelangkaan
(land scarcity). Menurut Saehlhakim (2001), kelangkaan lahan ini bisa
dibedakan menjadi dua, yaitu kelangkaan lahan absolut dan relatif. Kelangkaan
lahan absolut terjadi apabila faktor status kepemilikan dan aksesibilitas tidak
lahan relatif terjadi apabila faktor status kepemilikan dan aksesibilitas
diperhatikan dan sifatnya dapat balik. Di wilayah perdesaan yang lebih dominan
terjadi adalah kelangkaan lahan relatif.
Mengingat sifatnya yang dapat balik, maka untuk mengatasinya ada tiga
ha1 yang bisa dilakukan, yaitu melakukan land reform untuk mengatasi masalah kepemilikan lahan yang timpang, melakukan penataan mang untuk mengatasi
ke1angkat-m lahan akibat terbatasnya aksesibilitas, dan mendorong tejadinya
pembahan prilaku yang bisa mendorong menigkatnya produktivitas lahan.
Sementara itu satu-satunya jalan yang perlu dilakukan untuk mengatasi
kelangkaan lahan absolut adalah dengan meningkatkan kemampuan teknologi.
Terjadinya kelangkaan lahan di wilayah perdesaan seringkali terjadi
karena dua hal, yaitu proses fragmentasi lahan akibat meningkatnya jumlah
populasi penduduk di perdesaan dan terjadinya proses alih kepemilikan atau alih
fungsi lahan. Namun seringkali yang lebih dominan terjadi adalah proses alih
kepemilikan dan alih fungsi lahan lahan sehingga akhirnya terjadi penguasaan
lahan yang timpang.
Menurut Rustiadi et al. (2005), di satu sisi proses alih fungsi lahan dapat dipandang mempakan suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan
dan transfomasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang
berkembang. Perkembangan yang dimaksud tercermin dari adanya: (1)
pertumbuhan aktifitas pemanfaatan sumberdaya dam akibat meningkatnya
pemintaan kebutuhan terhadap penggunaan lahan sebagai dampak dari
peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan per kapita; dan (2) adanya
pergeseran kontribusi sektor-sektor pembangunan dari sektor-sektor primer
(sektor-sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam) ke aktifitas sektor-
sektor sekunder (industri manufaktw dan jasa).
Dalam hukum ekonomi pasar sebenarnya alih fungsi lahan berlangsung
dari aktifitas dengan land rent yang lebih rendah ke aktifitas-aktifitas dengan land rent yang lebih tinggi, dimana land rent diartikan sebagai nilai keuntungan bersih dari aktifitas pemanfaatan lahan per satuan lahan per satuan luas dalam waktu
tertentu. Karena itu alih fungsi lahan mempakan suatu konsekuensi logis dari
bagian dari pergeseran-pergeseran dinamika alokasi dan distribusi sumber daya
menuju keseimbangan-keseimbangan baru yang lebih optimal.
Namun menurut Rustiadi et al. (2005), seringkali terjadi distorsi yang menyebabkan alokasi pemanfaatan lahan menjadi tidak efisien karena (1)
economic land rent aktifitas-aktifitas tertentu, khususnya aktifitas pertanian dan non-budidaya tidak sepenuhnya mencerminkan manfaat ekonomi yang
dihasilkannya akibat berbagai eksternalitas yang ditimbulkannya tidak terlihat
dalam nilai pasar yang berlangsung, dan (2) struktur permintaan atas lahan
seringkali terdistorsi akibat sifat nilai lahan yang juga sangat ditentukan oleh
expected value-nya di masa yang akan datang, akibatnya struktur permintaan akan lahan perumahan dan sektor properti terdistorsi yaitu tidak mencerminkan tingkat
permintaan yang sebenamya akibat adanya permintaan investasi dan spekulasi
lahan. Akibatnya proses alih fungsi lahan tidak disertai dengan meningkatnya
produktivitas lahan melainkan justru te jadi menurunnya produktivitas lahan.
Berkaitan dengan pengembangan kawasan agropolitan, pengembangan
infrastruktur perkotaan akan bisa meningkatkan nilai land rent dan meningkatkan
expected value dari lahan di masa yang akan datang. Hal ini bisa mendorong terjadinya proses alih kepemilikan dan alih fungsi lahan di kawasan-kawasan
agropolitan. Karena itu tentunya diperlukan langkah-langkah untuk
mengendalikan proses alih kepemilikan dan alih fungsi lahan di kawasan
agropolitan yang telah mempunyai infrastruktur perkotaan.
Dengan membuat penurunan lebih lanjut terhadap model Von Thuenen,
Saefulhakim dan Nasution (1995), merumuskan beberapa faktor penting yang
mendorong konversi penggunaan lahan dan perusakan lingkungan, antara lain
sebagai berikut (1) perkembangan standar tuntutan hidup yang tidak seimbang
dengan kemampuan masyarakat meningkatkan produktifitas, nilai tambah, dan
pendapatan, (2) struktur harga-harga yang timpang misalnya term of trade antara output sektor pertanian dengan output sektor-sektor non pertanian, (3) struktur biaya produksi yang timpang dengan struktur harga-harga yang juga terkait
dengan pola spasial kualitas lahan, struktur skala penguasaanlpengusahaan lahan,
sistem infrastruktur dan sistem kelembagaan, (4) kemandegan perkembangan
perkotaan, (5) pola spasial aksesibilitas, (6) tingginya resiko dan ketidakpastian,
dan (7) sistem nilai masyarakat tentang sumberdaya lahan.
Sementara itu menurut Anwar (2001), tingginya proses alih kepemilikan dan alih f h g s i lahan ini temtama tejadi karena kurangnya penegasan terhadap
hak-hak (property right) masyarakat tehadap lahan. ~ k i b a t n ~ a seringkali te jadi penyerobotan-penyerobotan lahan atau lahan yang ada dihargai sangat murah
karena posisi tawar masyarakat perdesaan yang masih sangat lemah. Dalam
kondisi seperti ini Saefulhakim (2001) menyatakan bahwa tipe-tipe k e p e m i l i i lahan yang tidak menjamin kepastian (uncertain ownership of land) akan mendorong setiap aktifitas ke arah pola pemanfaatan yang bersifat eksploitatif
yang mempercepat degradasi sumberdaya d a m dan kemsakan lingkungan.
Berdasarkan penelitian Pribadi (2005) diketahui bahwa akses petani lokal terhadap lahan yang sifatnya certain karena masih berstatus milik di Kawasan Agropolitan Kabupaten Cianjur temyata sudah relatif berkurang. Sementara itu
akses kepada lahan yang mempunyai tingkat uncertainty yang lebih tinggi karena petani hanya sebagai penggarap atau penyewa sudah relatif banyak ditemui. Sisa
lahan pertanian yang ada temyata banyak dimiliki baik oleh orang luar maupun
orang dalam kawasan agropolitan, tetapi petani penggarap pada tingkat lokal tidak
memiliki akses untuk menggarap lahan tersebut. Kemungkinan lahan ini banyak
didominasi oleh pertanian skala besar atau lahan terlantar sehingga petani lokal
tidak mempunyai akses untuk menggarap lahan tersebut.
Salah satu titik lemah dalam pengembangan kawasan agropolitan adala
belum diantisipasinya kemungkinan percepatan konversi lahan pertanian ke
penggunaan lain akibat adanya peningkatan pembangunan infrasbuktur dari
proses pengkotaan yang tejadi dari pengembangan agropolitan. Bila ha1 ini
tejadi, maka tujuan dari pengembangan agropolitan tidak tercapai, karena ha1 ini
mengulang proses pengembangan wilayah dari desa menjadi kota seperti laiknya
pembangunan selama ini, yang secara perlahan tapi pasti akan mengikis peran
sektor pertanian. Dengan demikian antisipasi dalam bentuk penyusunan produk
Penataan Ruang Kawasan Agropolitan yang diperkuat oleh legalitas seperti
penetapan Peraturan Daerah (Perda) menjadi syarat utama dalam pengembangan
Menurut Ruswandi (2005), proses konversi lahan pertanian menjadi non
pertanian umumnya diawali oleh penjualan lahan milik petani kepada pihak lain
yang kemudian oleh pihak lain digunakan untuk aktifitas non pertanian. Damp&
dari konversi lahan tersebut jumlah penduduk yang bekeja pada sektor pertanian
men- sedangkan pada lapangan usaha perdagangan justru te jadi peningkatan.
Dengan melihat berbagai faktor yang berpengaruh terhadap semakin
terbatasnya akses masyarakat terhadap lahan, maka upaya-upaya
untuk
mengendalikan tejadinya konversi lahan dapat lebih difokuskan pada faktor-
faktor dominan yang tentunya bisa berbeda di setiap wilayah. Selain itu dalam
kaitannya dengan pengembangan kawasan agropolitan, peningkatan akses
masyarakat terhadap lahan dan penegasan hak-hak mereka atas lahan tersebut
perlu untuk dilakukan dalam upaya untuk meningkatkan produktivitas dan
sekaligus menurunkan resiko dan ketidakpastian.
Konsep Nilai Tanah dan Harga Tanah
Pengertian dari nilai tanah adalah nilai sekarang sebagai nilai diskonto dari
total rente tanah yang diharapkan diperoleh dimasa yang akan datang. Artinya
nilai tanah berkaitan erat dengan akumulasi rente tanah dalam suatu periode
tertentu. Pengertian rente tanah adalah surplus ekonomi suatu tanah yang dapat
dibedakan atas: (1) surplus yang selalu tetap, dan (2) surplus sebagai hasil dari
investasi. Surplus yang selalu tetap dimaksudkan sebagai imbalan bagi pemilik
tanah dimana tanahnya dibiarkan tidak berproduksi, artinya rente adalah adalah
surplus yang selalu tetap atau mendapat hasil tanpa b e ~ s a h a , yang semata-mata
diperoleh karena monopoli pemilikan tanah tersebut. Sedangkan surplus dari
investasi memandang tanah sebagai faktor produksi. Rente tanah banyak
diterapkan untuk kepentingan antara lain: (1) kontrak sewa, (2) penilaian properti,
(3) pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan investasi (Barlowe 1978). Sumitro (1986) menyatakan harga tanah dapat diartikan sebagai nilai jual
atau harga rata-rata dari tanah yang diperoleh dari transaksi jual beli secara wajar.
Harga tanah rata-rata, diperoleh jika tejadi beberapa kali penjualan, jumlah itu
digabung menjadi satu kemudian dibagi dengan angka yang menunjukan berapa
merupakan suatu pengukuran nilai tanah yang didasarkan kepada kemampuan
tanah secara ekonomis yang berhubungan dengan produktivitas dan nilai strategis
ekonomisnya. Ukuran produktivitas misalnya tingkat kesuburan, sedangkan
ukuran strategis ekonomisnya adalah letaknya secara ekonomis. Sedangkan
pengertian harga tanah adalah penilaian atas tanah yang diukur berdasarkan harga
nominal dalam satuan uang untuk satuan Iuas tertentu menurut harga pasaran
tanah.
Istilah harga tanah lebih mencerminkan nilai pasar atas harga kontrak,
harga jual, dan biaya pemilikan. Harga jual adalah harga yang sanggup dibayar
oleh pembeli setelah mempertimbangkan berbagai altematif dan merupakan nilai
diskonto dari total nilai sewa di masa yang akan datang. Sedangkan biaya
pemilikan tanah adalah fungsi dari harga jual dan harga kontrak. Dengan
demikian dapat dinyatakan bahwa terdapat hubungan fungsional antara nilai tanah
dan harga tanah, yaitu harga tanah merupakan fimgsi dari nilai tanah. Hubungan
fungsional antara harga tanah dan nilai tanah bermanfaat dalam penentuan Nilai
Jual Obyek Pajak Bumi untuk keperluan PBB, yaitu dengan berpedoman pada
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE.69/PJ.6/1990. Harga tanah
merupakan fungsi penyesuaian dari faktor-faktor waktu, lebar jalan, akses ke jalan
besar, fasilitas yang tersedia, frekuensi banir, peruntukkan, dan tingkat kesuburan,
dimana faktor-faktor tersebut dihitung dalm bentuk persentase. Dari tahapan-
tahapan tersebut akan menghasilkan harga tanah yang mencerminkan nilai tanah
yang sebenamya.
Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Seperti telah diketahui bahwa pada awalnya pembangunan di lakukan
untuk mendorong pertumbuhan. Seiring dengan berjalannya waktu upaya ini
mulai menampakkan hasil ketika pertumbuhan GDP Indonesia telah mencapai
rata-rata 6% sampai 7% per tahun. Namun temyata pertumbuhan yang dicapai seolah-olah hilang dengan munculnya krisis ekonomi tahun pada tahun
199711998.
Mulailah terjadi pergeseran pemikiran pembangunan dimana selain
diperhatikan. Dengan bertambahnya tujuan-tujuan yang hams dicapai maka perencanaan yang dulunya ditujukan untuk mendorong terjadinya perturnbuhan,
sekarang mulai dilakukan untuk memanajemen konflik diantara ketiga tujuan
tersehut agar bisa mencapai suatu kondisi yang optimal.
Realitanya kondisi yang optimal dan ideal ini susah untuk dirumuskan.
Setiap pihak mempunyai pandangan yang masing-masing berbeda sehingga
kondisi yang ideal pada dasarnya bersifat relatif. Karena itu pendekatan yang
terbaik adalah perlunya suatu kompromi dan konsensus diantara pihak-pihak yang
terlibat untuk mencapai suatu tujuan yang telah disepakati bersama.
Berkaitan dengan upaya untuk mencapai suatu kesepakatan bersama
inilah, maka proses partisipasi dari semua pihak menjadi penting. Partisipasi akan
mendorong terjadinya pemkaran infomasi sehingga infomasi yang didapatkan
menjadi lebih akurat dan komprehensif. Informasi ini penting untuk digunakan
sebagai dasar dalam melakukan manajemen konflik antar tujuan pembangunan
yang lebih optimal. Selain itu, partisipasi juga menjadi penting karena keterlibatan
berbagai pihak dalam setiap tahapan proses pembangunan akan menyebabkan rasa
kepemilikan mereka terhadap proses pembangunan cukup tinggi. Karena adanya
rasa ikut memiliki tersebut maka kemauan untuk memperlancar proses
pembangunan d m menjaga hasil-hasil pembangunan pun juga menjadi cukup
tinggi (Darmawan et al. 2003).
Berbagai keuntungan dari pendekatan partisipasi ini telah mengakibatkan
mainstream penyelenggaraan pembangunan di hampir semua negara dengan menekankan pengembangan partisipasi. Namun sampai sekarang ternyata masih
terjadi kesulitan dalam mewujudkan proses partisipasi di lapangan. Pernbahan
paradigma pembangunan memang mempakan suatu proses yang memerlukan
waktu. Berbagai perangkat, mekanisme, peraturan dan sebagainya h m s dipersiapkan untuk mencapai suatu proses partisipasi yang optimal. Tanpa itu
semua, perubahan di level paradigma tidak akan bisa diterapkan dengan baik di
lapangan (Darmawan et al. 2003).
Sebenarnya sejak tahun 1970-an, minat para analis dan ahli sosiologi
pembangunan perdesaan terhadap konsep partisipasi terns meningkat. Kenyataan
interpretasi konsep partisipasi. Dalam kerangka pembangunan perdesaan (rural
development), COHEN dan UPHOFF dalam Darmawan et al. (2003) memaknai
konsep partisipasi sebagai keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan, dalam implementasi program yang dirumuskan secara bersama-sama,
dan menikmati secara bersama-sama pula setiap benefit yang diterima dari
keberhasilan program dimana mereka juga terlibat dalam proses evaluasi termasuk
proses monitoring.
Dari batasan di atas, partisipasi bekerja pada setiap tahap pengelolaan
program, yaitu sejak perencanaan, pemutusan kebijakan, implementasi dan
eksekusi, sampai dengan monitoring dan evaluasi.
Sementara itu OECD dalam Darmawan et al. (2003), melihit partisipasi
sebagai sebuah proses kemitraan dimana kerjasama dan pertukaran potensi antar
pihak berlangsung secara kondusif. Batasan pembangunan yang partisipatif
(participatory development) dari OECD adalah: kemitraan (partnership) yang
dibangun atas dasar dialog di antara beragam aktor pada saat mereka menyusun
agenda kerja, dimana pandangan lokal dan pengetahuan asli dicari dan dihargai.
Hal ini berimplikasi pada berlangsungnya proses negosiasi daripada sekedar
dominasi keputusan dari luar sistem sosial masyarakat atau externaNy set project
agenda. Artinya, masyarakat berperan sebagai aktor-penentu dan bukan sekedar
penerima sebuah program.
Dari pemahaman konsep-konsep partisipasi seperti di atas, maka
pembangunan yang partisipatif selalu ditandai dengan terdapatnya prinsip-prinsip:
keterlibatan masyarakat luas dalam pengelolaan program (sejak perencanaan
hingga evaluasi), negosiasi atau dialog (komunikasi), kerjasama-kemitraan,
pengembangan sikap saling percaya, kesederajatan-kesetaraan, serta peran aktor-
aktif masyarakat.
Indikator Pembangunan Wilayah
Indikator adalah ukuran kuantitatif dan atau kualitatif yang
menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah
ditetapkan. Oleh karena itu, indikator kinerja hams mempakan sesuatu yang akan
tingkat kinerja baik dalam tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, maupun tahapan
setelah kegiatan selesai dan berfungsi.
Secara umum indikator kineja memiliki fungsi untuk (1) mempejelas
tentang apa, berapa dan kapan suatu kegiatan dilaksanakan, (2) menciptakan
konsensus yang dibangun oleh berbagai pihak terkait untuk menghindari
kesalahan interpretasi selama pelaksanaan kegiatantprogram dan dalam menilai
kinerjanya, dan (3) membangun dasar bagi pengukuran, analisis, dan evaluasi
kinerja organisasi (Rustiadi et al. 2005)
Sampai saat ini indikator yang umum digunakan sebagai tolok ukur
kemajuan dan pembangunan wilayah adalah nilai Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) baik untuk tingkat kecamatan maupun kabupaten. Nilai PDRB ini
menggambarkan jumlah produk barang dan jasa yang dihasilkan suatu wilayah
dalam satu tahun. Dalam skala nasional PDRB dikenal dengan istilah Gross
Domestic Product (GDP) dapat dikatakan sebagai ukuran produktivitas wilayah
yang paling umum dan paling diterima secara luas sebagai standar ukuran
pembangunan dalam skala wilayah dan negara. Nilai PDRB dihitung berdasarkan
harga pasar yang berlaku. Penggunan nilai PDRB sering digunakan mengingat
sebagian besar PDRB yang berlaku diperoleh satu wilayah pada akhimya akan
menjadi pendapatan wilayah (Rustiadi et al. 2005).
Pembangunan menghendaki terjadinya peningkatq kualitas hidup
penduduk yang lebih baik secara fisik, mental maupun secara spiritual. Bahkan
secara eksplisit disebutkan bahwa pembangunan yang dilakukan menitikberatkan
pada pembangunan sumber daya manusia secara fisik dan mental mengandung
makna peningkatan kapasitas dasar penduduk yang kemudian akan memperbesar
kesempatan 'untuk dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan yang
berkelanjutan.
Menurut Tadjoedin et al. (2001), diantara 291 kabupatenlkota di
Indonesia, terdapat beberapa kabupatenlkota yang memiliki nilai PDRB perkapita
yang sangat tinggi sehingga daerah-daerah ini merupakan daerah kantong (enclave
regions). Keberadaan dan perkembangan enclave regions ini disebabkan oleh dua
ha1 (1) kekayaan sumber daya alam (natural resolrrces endowment driven) seperti
komparatif atau karena adanya dukungan kebijakan khusus (comparative
advantages andpolicy driven), karena lokasi yang strategis dan aksesibilitas yang
memadai.
Teknologi Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem informasi yang
dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat
geografi. Dengan kata lain suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan
kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan
seperangkat operasi kerja
.
Intinya SIG dapat diasosiasikan sebagai peta yangberorde tinggi, yang juga mengopersaikan dan menyimpan data spasial (Star dan
Estes 1990 dalam Barus dan Wiradisastra 2000).
Menunut Prahasta (2004), SIG merupakan suatu sistem berbasiskan
komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi infonnasi-
informasi geografis. Suatu SIG dirancang untuk menyimpan dan menganalisis
obyek-obyek dan fenomena-fenomena dimana lokasi geografis m e ~ p a k a n
karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis.
Sistem informasi geografis berdasarkan operasinya dapat dibedakan
menjadi dua kelompok, yaitu: (1) SIG secara manual, yang beroperasi
memanfaatkan peta cetak (kertasltransparan), bersifat data analog, dan (2) SIG
secara terkomputer atau SIG otomatis prinsip kejanya sudah dengan
menggunakan komputer sehingga datanya merupakan data digital. Namun
pengertian SIG saat ini lebih diterapkd bagi teknologi informasi spasial atau
geografi yang berorientasi pada penggunaaan teknologi komputer. SIG secara
terkomputer mempakan alat yang handal untuk menangani data spasial karena
data dipelihara dalam bentuk digital, sehingga lebih padat dibandingkan dalam
bentuk konvensional lainnya @eta cetak atau tabel). Dengan demikian data dalam
jumlah yang besar dapat dipanggil dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi,
mempunyai kemampuan memanipulasi data spasial dan mengaitkan atribut serta
mengintegrasikannya dengan berbagai tipe data dan prosedur dalam suatu analisis
METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Setiap perencanaan pembangunan wilayah memerlukan batasan praktikal
yang dapat digunakan secara operasional untuk mengukur tingkat pengembangan
wilayahnya. Secara praktikal pemahaman filosofis demikian sukar diterapkan
sehinga perlu dicarikan berbagai tolok ukur yang multidimensional.
Indikator adalah ukuran kuantitatif dan atau kualitatif yang
menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah
ditetapkan. Oleh karena itu, indikator kine rja harus mempakan sesuatu yang akan
dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat
tingkat kine rja baik dalam tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, maupun tahapan
setelah kegiatan selesai dan berfbgsi.
Secara umurn indikator kinerja memiliki fungsi untuk (1) memperjelas
tentang apa, berapa dan kapan suatu kegiatan dilaksanakan, (2) menciptakan
konsensus yang dibangun oleh berbagai pihak terkait untuk menghindari
kesalahan interpretasi selama pelaksanaan kegiatanlprogram dan dalam menilai
kinejanya, dan (3) membangun dasar bagi pengukuran, analisis, dan evaluasi
kine j a organisasi (Rustiadi et al. 2005).
Dari berbagai pendekatan yang ada, setidaknya terdapat tiga kelompok
cara dalam menetapkan indikator pembangunan yaitu: (1) indikator berbasis
tujuan pembangunan, (2) indikator berbasis kapasitas sumberdaya, dan (3)
indikator berbasis proses pembangunan.
Berdasarkan indikator berbasis proses pembangunan, struktur proses
pembangunan terdiri dari input, implementasi/proses, output, outcome, benefit, dan impact (Rustiadi et al. 2005). Keterkaitan antar indikator pembangunan seperti ditampilkan pada Gambar 1 menunjukkan, pendapata