• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian terhadap pendapatan petani dan harga tanah di Kawasan Agropolitan: studi kasus di Kawasan Agropolitan Kecamatan Pacet dan Cipanas Kabupaten Cianjur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian terhadap pendapatan petani dan harga tanah di Kawasan Agropolitan: studi kasus di Kawasan Agropolitan Kecamatan Pacet dan Cipanas Kabupaten Cianjur"

Copied!
240
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN TERHADAP PENDAPATAN PETANI

DAN HARGA TANAH DI KAWASAN AGROPOLITAN

Studi Kasus di Kawasan Agropolitan Kecamatan Pacet dan Cipanas

Kabupaten Cianjur

SRI MULYAM

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOCOR

BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER lNFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian terhadap Pendapatan Petani dan Harga Tanah di Kawasan Agropolitan: Studi Kasus di Kecamatan Pacet dan Cipanas Kabupaten Cianjur adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Dafkv Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Maret 2007

Sri Mulyani

(3)

ABSTRAK

SRI MULYANI. Kajian Terhadap Pendapatan Petani dan Harga Tanah di Kawasan Agropolitan: Studi Kasus di Kecamatan Pacet dan Cipanas Kabupatzn Cianjur. Dibimbing oleh KOMARSA GANDASASMITA dan MOENTOHA SELARI.

Dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan pada tahun anggaran

2002 diluncurkan program rintisan pengembangan kawasan agropolitan di delapan kabupaten pada delapan provinsi di Indonesia, salah satu kawasan rintisan agropolitan adalah Kabupaten Cianjur yang berlokasi di Kecamatan Pacet dan Cipanas. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui pengaruh pengembangan kawasan agropolitan terhadap pendapatan usahatani petani, (2) mengetahui pengaruh pembangunan infrastruktur di dalam kawasan agropolitan terhadap harga tanah dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, dan (3) mengetahui pengaruh pengembangan kawasan agropolitan terhadap perkembangan nilai PDRB Kecamatan Pacet dan Cipanas.

Hasil analisis menunjukkan program pengembangan kawasan agropolitan belum signifikan dalam pencapaian manfaat jangka menengah, yaitu meningkatkan pendapatan usahatani petani. Kondisi ini terjadi karena pertama, meskipun terjadi peningkatan intensitas penyuluhan pertanian namun belum terjadi peningkatan produktivitas, karena keterbatasan petani dalam ha1 permodalan. Kedua, pembangunan idrastruktur transportasi di kawasan agropolitan tidak menurunkan biaya transportasi dan tidak mengubah pola pemasaran komoditi pertanian, karena petani tetap menjual komoditi pertaniannya pada tengkulak. Ketiga, petani belum melaksanakan proses pengolahan komoditi pertanian (agroprosesing) yang merupakan subsistem yang memberikan nilai tambah terbesar dalam sistem agribisnis. Namun terdapat kecenderungan program pengembangan kawasan agropolitan di Kecamatan Pacet dan Cipanas meningkatkan jumlah petani dengan tingkat pendapatan tinggi dan sedang serta meningkatkan rata-rata tingkat pendapatan petani di wilayah inti dibandingkan wilayah transisi dan hinterland.

(4)

ABSTRACT

SRI MULYANI. Analysis of Farmer Income and Land Price in Agropolitm Area: A Case Study in Pacet and Cipanas Sub District, Cianjur District. Under the direction of KOMARSA GANDASASMITA and MOENTOHA SELARI.

Agropolitan regional development program was launched in 2002. This initial program was conducted in eight districts at eight provinces of Indonesia, including Cianjur District in West Java. Agropolitan regional development program in Cianjur District is located in Pacet and Cipanas Sub District. This research was aimed (1) to analyze the impact of agropolitan regional development in farmers income, (2) to analyze the impact of infrastructure development in agropolitan regional development to land price and its influenced factors, and (3)

know effect of agropolitan regional development to Gross Domestik Product (GDP) value in Pacet and Cipanas Sub District.

Analysis result showed, agropolitan regional development program has not been significantly yet in increasing f m e r incomes. This condition was occurred because, firstly, there was no productivity increase although intencity of agricultural socialization was increasing due to capitally limited. Secondly, transportation infrastructure building was not chase marketing pattern because farmer still sell their commodities to suppliers. Thirdly, farmer has not done agroproccesing yet which will shine the biggest added value in agribisnis system. But, trend of agropolitan regional development program in Pacet and Cipanas Sub District showed an increased to farmer sum whose high and moderate income rate also improving the average of farmer income rate in core region than that transition region and hinterland region.

(5)

KAJIAN TERHADAP PENDAPATAN PETANI

DAN HARGA TANAH DI KAWASAN AGROPOLITAN

Studi Kasus di Kawasan Agropolitan Kecamatan Pacet dan Cipanas

Kabupaten Cianjur

SRI MULYANI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Tesis : Kajian terhadap Pendapatan Petani dan Harga Tanah di Kawasan Agropolitan: Studi Kasus di Kecamatan Pacet dan Cipanas Kabupaten Cianjur

Nama : Sri Mulyani

NRP

: A253050174

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc. Ir. Moentoha Selari, M.S.

Ketua Anggota

Diketahui

(7)

Kupersembahkan untuk :

Masku ... happy birthday dun anak-anakku terkasih

Ghifari, Baihaqi, Khansa, Nabil, dun Kylla dukungan, pengorbanan, kesabaran, kehangatan, dun keceriaan keluarga

merupakan inspirasi dun dian yang mengiringi langkahku

Ibu, abah, ibu dun ayah mertua, adik serta k a h k

(8)

FUWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Cirebon Provinsi Jawa Barat pada tanggal 12 Maret 1973 sebagai putri kelima dari enam bersaudara dari pasangan Raden Mochtar Asdilah Sardiwinata (almarhum), dan Hunaenah. Jenjang pendidikan SD hingga SMA diselesaikan penulis dikota kelahiran Cirebon. Tahun 1991 penulis menyelesaikan jenjang pendidikan SMA, dan pada tahun yang sama diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Agronomi pada Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, gelar Sarjana Pertanian diraih penulis pada tahun 1996. Tahun 1996 penulis menikah dengan Syaflizar Zain St. Sati dan dikaruniai 3 orang putra, yaitu Ghifari Muhammad Syani (9 tahun), Baihaqi Muhammad Syani (6 tahun), Nabil Muhammad Syani (2 tahun), dan 2 orang putri yaitu Khansa Aisyah Mutia Syani (5 tahun), dan Khaira Nisa Mutia Syani (2 bulan). Kesempatan melanjutkan p e n d i d h pada Sekolah Pascasarjana diperoleh tahun 2005 dan diterima di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah melalui beasiswa pendidikan yang diberikan Pusat Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan Perencana, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).

(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli hingga September 2006 ini menitikberatkan pada Kajian terhadap Pendapatan Petani dan Harga Tanah di Kawasan Agropolitan: Studi Kasus di Kecamatan Pacet dan Cipanas Kabupaten Cianjur.

Penulisan karya ilmiah ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Karenanya dengan kerendahan dan ketulusan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr.Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Moentoha Selari M.S. selaku Anggota Komisi Pembimbing atas arahan, motivasi, dan bimbingannya, sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr.Ir. Setia Hadi M.Sc. selaku penguji luar yang telah banyak memberi saran demi perbaikan tesis ini. Kepada rekan-rekan mahasiswa PWL angkatan 2005 terimakasih atas keja samanya. Disarnping itu penghargaan juga penulis sam~aikan kepada rekan-rekan Penyuluh Pertanian Kecamatan Pacet dan Cipanas dan para petani responden di Kecamatan Pacet dan Cipanas yang telah membantu selama proses pengumpulan data.

Akhimya penulis mengharapkan semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2007

Sri Mulyani

(10)

DAFTAR

IS1

..

DAFTAR TABEL

...

11

...

DAFTAR GAMBAR

...

111

DAFTAR LAMPIRAN

...

iv

PENDAHULUAN Latar Belakang

...

1

Perumusan Masalah

...

3

Tujuan dan Manfaat Penelitian

...

5

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Wilayah dan Wilayah Perdesaan

...

6

Disparitas antar Wilayah dan Perlunya Pembangunan Perdesaan

...

7

Pengenlbangan Kawasan Agropolitan

...

10

Pembangunan Infrastruktur dalam Pengembangan Kawasan Agropolitan 12 Akses Terhadap Lahan

...

14

Konsep Nilai Tanah dan Harga Tanah

...

18

Partisipasi Masyarakat dalam Pembangun an

...

19

Indikator Pembangunan Wilayah

...

21

Teknologi Sistem Informasi Geografis

...

23

METODE PENELITIAN

. .

Kerangka Pemikiran

...

24

Hipotesis

...

. .

28

Lokasi dan Waktu Penelltian

...

28

Pengumpulan Data

...

28

Jenis dan Sumber Data

...

29

Penentuan Responden

...

30

Metode Analisis

. .

...

33

Analisis Usahatani

...

33

...

Teknologi SIG, Analisis Cross Tab dan Analisis Chi-square 33

...

Teknologi SIG Untuk Menghitung Jarak 34 Analisis Regresi Berganda Untuk Melihat Faktor- faktor yang

...

Mempengaruhi Harga Tanah 34

...

Analisis Skalogram untuk Menentukan Hirarki Wilayah 36 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

. .

Wilayah Penelitian

. .

...

38

Topografi dan F ~ s l o g ~

...

38

IMim

...

38

Jenis Tanah

...

40

Kependudukan

. .

...

. . .

40

Fasilitas dan Aksesibil~tas

...

42

Penggunaan Lahan

...

43

...

Karakteristik Umum Kawasan Agropolitan Cianjur 43

...

(11)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Pengembangan Kawasan Agropolitan terhadap Pendapatan

...

Usahatani Petani

...

Pola Spasial Pendapatan Usahatani Petani

Pengaruh Program Agropolitan terhadap Tingkat Pendapatan Usahatani Petani

...

...

Nilai PDRB Kecamatan Pacet dan Cipanas

...

Perkembangan Sektor Pertanian

Pengaruh Pengembangan Kawasan Agropolitan terhadap Harga Tanah

...

Pola Spasial Harga Tanah

...

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Tanah

...

SIMPULAN DAN SARAN

...

(12)

DAFTAR TABEL

Aspek, variabel, dan sumber data..

...

Variabel analisis regresi berganda pada fungsi harga tanah

...

J m l a h penduduk dan jumlah keluarga

...

Akses petani terhadap lahan

...

. .

. .

J m l a h fas~l~tas pend~d~kan

...

Persepsi pengaruh agropolitan terhadap intensitas penyuluhan

...

Persepsi pengaruh agropolitan terhadap penyediaan infiastruktur

pengruran

...

Persepsi pengaruh agropolitan terhadap penyediaan infrastruktur

...

transportasi

Tingkat modal petani di kawasan agropolitan

...

Status kepemilikan lahan petani di kawasan agropolitan

...

Karakteristik pola pemasaran sayur di kawasan agropolitan

...

Pelaksanaan agroprocessing setelah agropolitan

...

Produk Domestik Regional Bmto WPU atas Dasar Harga Konstan

Tahun 1999-2003

...

Produk Domestik Regional Bmto Kecamatan Pacet Dan Cipanas atas

...

Dasar Harga Konstan Tahun 1999-2003

Hasil analisis regresi berganda faktor-faktor yang mempengaruhi

harga tanah

Hasil analisis regresi variabel jarak terhadap jalan negara dengan

harga tanah

...

Hasil analisis regresi variabel jarak terhadap Pasar Cipanas dengan

harga tanah

...

Hasil analisis regresi variabel jarak terhadap pusat agropolitan dengan

(13)

DAFTAR

GAMBAR

Keterkaitan antar indikator Pembangunan Daerah

...

...

Diagmm alir kerangka pemikiran penelitian

...

Strata pada wilayah penarikan sampel

...

Diagram alir metodologi penelitian

...

Wilayah penelitian Kecamatan Pacet Dan Cipanas

...

Pemandangan yang indah di Desa Pusat Pertumbuhan

...

Beberapa program pengembangan kawasan agropolitan

...

Tingkat perkembangan desa hasil analisis skalogram

Persentase jumlah petani pada berbagai tingkat pendapatan

...

Pola spasial pendapatan petani

...

Rata-rata tingkat pendapatan petani

...

Pola pemasaran sayur di kawasan agropolitan

...

Aktifitas penjualan basil pertanian kepada pedagang pengumpul

...

Aktifitas di tempat pengumpulan

...

Aktifitas penjualan sayur di STA

...

Aktifitas Cleanning. Grading. Packaging. dun Packing

...

Perkembangan PDRB sektor pertanian dan perdagangan di

...

Kecamatan Pacet-Cipanas dan WPU Tahun 1999-2003

Perkembangan PDRB sektor pertanian di Kecamatan Pacet.Cipanas.

....

Kecamatan Sukaresmi dan Kecamatan Cugenang Tahun 1999-2003

Pola spasial harga tanah di kawasan agropolitan

...

Hubungan variabel jarak terhadap jalan kabupaten dengan harga tanah

.

.

...

dl wlayah sample

Hubungan variabel jarak terhadap jalan negara dengan harga tanah di

...

wilayah sample

Sample yang digunakan untuk melihat pengaruh jalan negara terhadap

...

harga tanah

Hubungan variabel jarak terhadap jalan negara dengan harga tanah di

(14)

Hubungan variabel jarak terhadap pemukiman dengan harga tanah di

wilayah sample

...

Hubungan variabel jarak terhadap Pasar Cipanas di wilayah sample

dengan harga tanah

...

Sample yang digunakan untuk melihat pengaruh Pasar Cipanas

...

terhadap harga tanah

Hubungan variabel jarak terhadap Pasar Cipanas dengan harga tanah

. .

dl wlayah sample yang diseleksi

...

Hubungan variabel jarak terhadap pusat agropolitan di wilayah

...

sample dengan harga tanah

Sample yang digunakan untuk melihat pengaruh agropolitan terhadap harga tanah

...

Hubungan variabel jarak terhadap pusat agropolitan dengan harga

.

.

. .

tanah dl wilayah Inti

...

Hubungan variabel jarak terhadap tingkat perkembangan desa dengan

.

.

(15)

DAPTAR LAMPIRAN

1 Kuisioner

...

91

2 Data base responden di wilayah sample

...

100

3 Pendapatan petani

...

103

4 Metode klasifikasi pendapatan petani dengan perangkat GIs

...

105

5 Hasil analisis jarak dengan perangkat

GIs

...

105

6 Variabel-variabel yang mempengaruhi harga tanah

...

106
(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Prioritas pembangunan selama ini cenderung mendahulukan pertumbuhan

ekonomi dengan melakukan investasi yang besar pada industri di pusat kota

melalui kutub-kutub pertumbuhan (growth poles). Kecenderungan penlbangunan

tersebut yang semuia diramalkan akan menciptakan trickle down effect

(penetesan) dan spread effect (dampak penyebaran) dari kutub pusat pertumbuhan

ke wilayah hinterland-nya, temyata net-effect-nya malah menimbulkan

pengurasan besar (massive backwash efect), (Myrdal, 1968). Menurut Mercado

(2002) kegagalan strategi kutub pertumbuhan yaitu tidak terjadinya trickle down

effect dan spread effect disebabkan karena aktifitas industri yang dikembangkan

temyata sebagian besar tidak mempunyai hubungan dengan basis sumberdaya di

wilayah hinterland.

Dalam konteks spasial proses pembangunan tersebut menimbulkan

berbagai pernasalahan yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan antar wilayah

yang tidak berimbang. Kesenjangan ini pada akhimya menimbulkan berbagai

pernasalahan yang dalam konteks makro sangat merugikan keseluruhan proses

pembangunan. Potensi konflik menjadi sedemikian besar karena wilayah-

wilayah yang dulunya kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-

haknya. Demikian pula hubungan antar wilayah telah membentuk suatu interaksi

yang saling memperlemah. Wilayah-wilayah hinterland (perdesaan) menjadi

lemah karena pengurasan sumberdaya yang berlebihan, sedangkan pusat-pusat

pertumbuhan (kota) pada akhimya juga menjadi lemah karena proses urbanisasi

yang terus meningkat. Perkembangan perkotaan pada akhimya sarat dengan

pernasalahan sosial, lingkungan dan ekonomi yang semakin kompleks, sementara

desa mengalami pengurasan sumber daya manusia berpendidikan, karena

perkembangan ekonomi di wilayah ~erkotaan mendorong perpindahan tenaga

keja dari desa ke kota.

Dengan berkembangnya pernasalahan tersebut maka pembangunan

wilayah perdesaan menjadi suatu alternatif untuk mengurangi disparitas antar

(17)

menjadi lebih efisien, berkeadilan dan berkelanjutan. Sehubungan dzngan ide ini

Friedman dan Douglass (1976), menyarankan suatu bentuk pendekatan

agropolitan sebagai aktifitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah

perdesaan dengan jumlah penduduk antara 50.000 sampai 150.000 orang.

Menurut Anwar (2005), pembangunan agropolitan pada hakekatnya

mempakan pembangunan kota-kota kecil menengah dengan membangun

infrastruktur fasilitas publik perkotaan untuk mendorong dan mendukung

pencapaian strategi pembangunan pertanian dan ekonomi perdesaan.

Pembangunan tersebut diharapkan dapat menyumbang kepada peningkatan

kinerja sistem perekonomian nasional. Rustiadi dan Setiahadi (2006) juga

menyatakan bahwa konsep agropolitan dengan membangun kutub pertumbuhan di

wilayah perdesaan, secara spasial dampaknya dapat dinikmati oleh wilayah lokal.

Penciptaan nilai tambah dari aktifitas ekonomi terutama pertanian dapat ditangkap

dalam wilayah tersebut.

Adapun tujuan dari pengembangan agropolitan sebagai konsep

pembangunan wilayahdan perdesaan dapat dimmuskan antara lain sebagai

berikut:(l) menciptakan pembangunan desa-kota secara berimbang,

(2) meningkatkan keterkaitan desa-kota yang sinergis, (3) mengembangkan ekonomi dan lingkungan pemukiman perdesaan berbasis aktifitas pertanian, dan

(4) meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat perdesaan (Rustiadi

et al. 2005). Sedangkan menurut Rondinelli (1985), pengembangan kawasan agropolitan di wilayah perdesaan pada dasarnya lebih ditujukan untuk

meningkatkan produksi pertanian dan penjualan hasil-hasil pertanian, mendukung

turnbuhnya industri agroprocessing skala kecil-menengah dan mendorong

keberagaman aktifitas ekonomi dari pusat pasar.

Dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan pada tahun anggaran

2002 diluncurkan program rintisan pengembangan kawasan agropolitan di

delapan kabupaten pada delapan provinsi di Indonesia, meliputi Kabupaten Agam

(Provinsi Sumatera Barat), Kabupaten Rejang Lebong (Provinsi Bengkulu),

Kabupaten Cianjur (Provinsi Jawa Barat), Kabupaten Kulon Progo (Provinsi D.I.

Yogyakarta), Kabupaten Bangli (Provinsi Bali), Kabupaten Barn (Provinsi

(18)

Kabupaten Boalemo (Provinsi Gorontalo). Pada tahap selanjutnya jumlah daerah

yang mengembangkan agropolitan mencapai 52 kabupaten di 29 provinsi.

Program pengembangan kawasan agropolitan di Kecamatan Pacet

Kabupaten Cianjur masif relatif muda dan baru berjalan sekitar 3 tahun, sehingga belum signifikan pencapaian manfaat dan dampak jangka menengah maupun

jangka panjang berdasarkan indikator pembangunan daerah, karena program

pengembangan kawasan agropolitan termasuk ke dalam program pembangunan

jangka menengah. Namun demikian untuk mengetahui apakah program

pengembangan kawasan agropolitan sudah berjalan sebagaimana mestinya (on the

track) perlu dilakukan kajian dengan melihat indikator input dasar (capital)

diantaranya infrastruktur, dan pencapaian indikator jangka pendek berdasarkan

indikator pembangunan daerah, diantaranya Produk Domestik Regional Bmto

(PDRB) (Rustiadi et al. 2005).

Perumusan Masalah

Master Plan Kawasan Agropolitan menerangkan bahwa, cakupan wilayah

Kawasan Agropolitan Cianjur meliputi Kecamatan Pacet sebagai kecamatan inti,

serta Kecamatan Cugenang dan Kecamatan Sukaresmi sebagai wilayah

hinterland-nya. Secara administrasi kawasan agropolitan ini di sebelah Utara dan

Barat berbatasan dengan Kabupaten Bogor, sebelah Selatan dengan Kecamatan

Warungkondang dan Kecamatan Cianjur, serta sebelah Timur dengan Kecamatan

Cikalong Kulon dan Kecamatan Mande. Kecamatan Pacet sebagai kecamatan inti

dari kawasan agropolitan terdiri dari 14.desa, dengan Desa Sukatani dan Desa

Sindangjaya sebagai Desa Pusat Perhmbuhan (DPP).

Pelaksanaan program pengembangan kawasan agropolitan di Kecamatan

Pacet secara teknis difasilitasi oleh beberapa instansi terkait diantaranya Dinas

Pertanian, Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil), serta Dinas

Perindustrian dan Perdagangan (Perindag). Dinas Pertanian bertanggung jawab

terhadap penguatan kelembagaan, baik kelembagaan petani maupun pengelola

kawasan agropolitan, budidaya komoditi unggulan dan peningkatan surnber daya

(19)

sedangkan Dinas kimpraswil bertanggung jawab terhadap pembangunm

infiastruktur dasar untuk pembangunan agribisnis.

Berdasarkan data yang dikumpulkan di lapangan dan wawancara dengm

pengelola kawasan dalam rangka program pengembangan kawasan agropolitan

telah terbentuk struktur pengelola kawasan agropolitan yang berbentuk Kelompok

Keja (Pokja) yang diketuai oleh Asisten Daerah 11 bidang ekonomi, dengan

sekretaris Kepala Dinas Pertanian, dan anggota berasal dari Dinas Kimpraswil,

Dinas Perindag dan dinas terkait lainnya. Sedangkan untuk kelembagaan petani

telah terbentuk 9 kelompok tani, yaitu 4 kelompok tani berada di Desa Sukatani

dan 5 kelompok tani berada di Desa Sindang Jaya. Kelompok tani tersebut

sebulan sekali mengadakan pertemuan untuk mendapatkan penyuluhan dari

Penyuluh Pertanian Lapangan sebagai koordinator pemadu kawasan agropolitan.

Pembangunan infkastruktur yang telah dilaksanakan diantaranya adalah

pembangunan gedung pengelola kawasan agropolitan, sarana transportasi, jalan

usaha tani, instalasi irigasi ke hamparan petani, packing house yang berfimgsi

sebagai tempat penanganan pasca panen (pencucian, sortasi, dan packing), dan

Stasiun Terminal Agribisnis (STA) Cigombong yang diiengkapi dengan cool

storage. Infrastruktur tersebut semuanya berlokasi di Desa Pusat Perhunbuhan,

kecuali STA Cigombong yang berlokasi di Pasar Cigombong Desa Ciherang

Kecamatan Pacet. Sedangkan kegiatan yang berkembang diantaranya

berkembangnya agribisnis sayuran dataran tinggi, penurnbuhan pos pela~anan

agen hayati, pengembangan pupuk Bokashi, penurnbuhan agroindustri dalam

skala home industri.

Beberapa pernasalahan yang tejadi dalam pengembangan kawasan

agropolitan di Kecamatan Pacet dan penting untuk dikaji diantaranya

pengembangan kawasan agropolitan belum signifikan meningkatkan pendapatan

petani (Rusastra et al. 2004), pemanfaatan beberapa infrastruktur di kawasan agropolitan belum optimal, sebagai contoh petani lebih suka untuk melakukan

penanganan pasca panen di rumah daripada di packing house. Disamping itu juga

pembangunan STA Cigombong masih perlu dipertanyakan karena sampai saat ini

pemanfaatannya masih under capacify. Diduga adanya ketidaksesuaian antara

(20)

aspirasi masyarakat dan program pengembangan kawasan agropolitan yang belum

marnpu menjawab kebutuhan masyarakat. Perrnasalahan yang juga sangat urgent

dan dapat mengancam sustainability kawasan adalah adanya alih kepemilikan lahan petmi dan alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian, diduga ha1 ini

terjadi karena pengelola kawasan agropolitan dan instansi terkait belum berfUngsi

optimal.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui pengaruh pengembangan kawasan agropolitan terhadap

pendapatan petani, ditinjau dari pendapatan usahataninya.

2. Mengetahui pengaruh pembangunan infrastruktur di dalam kawasan

agropolitan terhadap harga tanah dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Sedangkan manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dengan

dilaksanakannya penelitian ini adalah:

1. Memberikan inferensin (pencerahan) terhadap kegiatan pengembangan kawasan agropolitan di Kecamatan Pacet atau kegiatan lain yang lebih luas.

2. Merupakan proses pembelajaran yang bersifat analogik pada kasus sejenis

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Wilayah dan Wilayah Perdesaan

Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey, 1977 dalam

Rustiadi et al. 2005) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep

wiayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogen (unform/homogenous

region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Pengembangan kawasan agropolitan

berdasarkan tipologi wilayah termasuk kedalam wilayah homogen.

Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan pada

kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen,

sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan dapat beragam (heterogen).

Pada dasarnya terdapat beberapa faktor penyebab homogenitas wiiayah.

Secara umum terdiri atas penyebab alamiah dan penyebab artzjicial. Faktor

alamiah yang dapat menyebabkan homogenitas wilayah adalah kelas kemampuan

lahan, iklim dan berbagai faktor lainnya. Sedangkan homogenitas yang bersifat

artificial adalah homogenitas yang didasarkan pada pengklasifikasian berdasarkan

aspek tertentu yang dibuat oleh manusia. Contoh wilayah homogen artificial

adalah wilayah homogen atas dasar kemiskinan @eta kemiskinan).

Karena pada umumnya wilayah homogen sangat dipengaruhi oleh potensi

sumberdaya alam dan permasalahan spesifik yang seragam, maka menurut

Rustiadi et al. (2005) wilayah homogen sangat bermanfaat dalam: (1) penentuan

sektor basis perekonomian wilayah sesuai dengan potensildaya dukung utama

yang ada (comparative advantage), (2) pengembangan pola kebijakan yang tepat

sesuai dengan permasalahan masing-masing wilayah.

Dalam prakteknya di Indonesia terdapat beberapa istilah yang memjuk

kepada pengertian wilayah, diantaranya adalah pemakaian istilah daerah dan

kawasan. Menurut Rustiadi et al. (2005) meskipun pengertian daerah tidak

disebutkan secara eksplisit namun umurnnya dipahami sebagai unit wilayah

berdasarkan aspek administrasif. Sedangkan penggunaan istilah kawasan di

Indonesia digunakan karena adanya penekanan-penekanan fungsional dari suatu

(22)

karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi dan komponen-komponen di dalam

suatu unit wilayah, sehingga batas dan sisternnya ditentukan berdasarkan aspek

hngsional. Dengan demikian, setiap kawasan atau sub-kawasan memiliki hngsi-

fungsi khusus yang tentunya memerlukan pendekatan program tertentu sesuai

dengan fungsi yang dikembangkan tersebut.

Selanjutnya wilayah perdesaan menurut UU No. 24 tahun 1992 yang dalam

ha1 ini dinyatakan sebagai kawasan perdesaan adalah kawasan yang mempunyai

kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumberdaya dam dengan susunan

fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perdesaan, pelayanan jasa

pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Secara demografi dan

kriteria ekonomi batasan wilayah perdesaan (rural) dan wilayah perkotaan

(urban) sangat bervariasi antara negara satu dengan lainnya. Di Filipina wilayah

perkotaan didefinisikan sebagai wilayah dengan jumlah penduduk kurang dari 500

orang/km2, dilengkapi dengan infrastruktur transportasi, industri komersial, dan

fasilitas publik (Tacoli 1998).

Disparitas antar Wilayah dan Perlunya Pembangunan Perdesaan

Dalam konteks spasial, proses pembangunan yang telah dilaksanakan selama

ini temyata telah menimbulkan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan

tingkat kesejahteraan antar wilayah yang tidak berimbang. Pendekatan yang

sangat menekankan pada perhmbuhan ekonomi dengan membangun pusat-pusat

pertumbuhan telah mengakibatkan investasi dan sumberdaya terserap dan

terkonsentrasi di perkotaan sebagai pusat-pusat pertumbuhan, sementara wilayah-

wilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan (massive

backwash effect) (Anwar 2001).

Secara makro dapat kita lihat terjadinya ketimpangan pembangunan yang

signifikan misalnya antara wilayah desa-kota, antara wilayah Indonesia Timur dan

Indonesia Barat, antara wilayah Jawa dan non Jawa dan sebagainya. Menurut

Tadjoedin et al. (2001), beberapa wilayah di Indonesia yang berada di luar Jawa

memiliki nilai PDRB tinggi dan memberikan kontribusi yang besar terhadap

perekonomian nasional namun memiliki tingkat kesejahteraan yang tidak lebih

(23)

Menurut Alvarez et al. (2002), kesenjangan di dalam negara biasanya lebih besar dibandingkan kesenjangan antar negara. Kesenjangan wilayah di Asia Timur diantaranya disebabkan oleh perbedaan pendapatan percapita, kepadatan

penduduk, tingkat aktifitas ekonomi, pola kepemilikan sumber daya alam dan

struktur ekonomi, serta indikator sosial. Ada perbedaan yang sangat besar dalam

pendapatan perkapita antara kota dan wilayah. Sebagian besar negara di Asia

Timur yang memiliki pendapatan percapita tertinggi adalah ibukota negara,

wilayah yang memiliki kekayaan sumber daya dam, dan wilayah industri.

Sebagai contoh Kota Jakarta memiliki pendapatan perkapita sepuluh kali lebih

besar dibadingkan provinsi termiskin di Indonesia yaitu Nusa Tenggara Timur.

Provinsi dengan sumber daya alam terkaya di Indonesia yaitu Kalimantan Timur,

memiliki pendapatan percapita lebih besar dibandingkan Kota Jakarta. Distribusi

wilayah dengan kepadatan penduduk dan aktifitas ekonomi yang tinggi tidak

merata di negara-negara di Asia Timur. Sebagai contoh, Jawa dengan luas

wilayah hanya 6% dari total wilayah Indonesia memiliki kepadatan penduduk

60% dari total penduduk Indonesia, dan memiliki GDP yang sama dengan

wilayah di luar Jawa (Hi11 2002 dalam Alvarez el al. 2002).

Kesenjangan ini pada akhimya menimbulkan berbagai permasalahan yang

dalam konteks makro sangat merugikan bagi keseluruhan proses pembangunan.

Potensi konflik menjadi sedemikian besar karena wilayah-wilayah yang dulunya

kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya. Demikian pula

hubungan antar wilayah telah membentuk suatu intemksi yang saling

memperlemah (Rustiadi dan Setia Hadi 2006). Wilayah-wilayah hinterland

menjadi lemah karena pengurasan sumberdaya yang berlebihan, sedangkan pusat-

pusat pertumbuhan pada akhimya juga menjadi lemah karena proses urbanisasi

yang luar biasa. Fenomena urbanisasi yang mampu memperlemah perkembangan

kota ini dapat kita lihat di kota-kota besar di Indonesia yang dipenuhi oleh daerah-

daetah kumuh (slum area), tingginya tingkat polusi, tejadinya kemacetan dan sebagainya. Perkembangan perkotaan pada akhimya sarat dengan pernasalahan-

permasalahan sosial, lingkungan, dan ekonomi yang makin kompieks dan rumit

(24)

Menurut Anwar (2001), selama ini pertumbuhan angkatan kerja perdesaan

yang terus meningkat ternyata tidak diikuti oleh meningkatnya ketersediaan lahan.

Hal ini tejadi karena masalah institusional yang lemah dalam kebijakan

pertanahan yang mengakibatkan banyak lahan-lahan pertanian di perdesaan yang

terkonversi maupun yang berpindah hak kepemilikannya karena rnaraknya

aktifitas investasi dan spekulasi atas lahan. Kondisi ini rnengakibatkan terjadinya

peningkatan jumlah tenaga keja yang tidak berlahan (landless laborer) sehingga pada akhimya terjadi migrasi besar-besaran dari wilayah perdesaan ke wilayah

perkotaan.

Namun seperti yang dikemukakan oleh Anwar (2001), dari tenaga keja

migran ini temyata hanya sedikit saja yang dapat memperoleh kesempatan ke j a di

sektor industri modem. Akibatnya, tejadilah bentuk-bentuk ketergantungan

struktu~al dualistik (shucrural dualistic dependency) dimana tejadi lepasnya keterkaitan antara sektor urban modem (industri dan jasa) dan urban informal

(pedagang kecil, buruh, pekerja bangunan dan kegiatan informal lain) di wilayah

perkotaan, dan lepasnya keterkaitan antara sektor perdesaan tradisional yang

mayoritas miskin dengan sektor rural enclave yang pada umumnya menimbulkan kebocoran wilayah karena tidak mampu melahirkan dampak multiplier kepada masyarakat di sekitamya. Dengan kata lain, pembangunan sektor modem di

perkotaan maupun di dalam rural enclave tidak memberikan dampak multiplier

tenaga keja dan pendapatan kepada sektor urban informal dan mayoritas

penduduk di wilayah perdesaan. Bahkan seringkali tejadi sektor-sektor modem

tersebut banyak memberikan dampak eksternalitas dalam bentuk biaya-biaya

sosial kepada golongan masyarakat kecil dalam bentuk pencemaran air dan udara,

erosi tanah, banjir dan perampasan hak-hak tanah penduduk lokal. Karena itu, kesenjangan sosial semakin tinggi dan secara spasial juga tejadi disparitas antara

wilayah perkotaan dan perdesaan

~ e l i h a t kondisi yang demikian dan dampak negatifnya terhadap

~erkembangan wilayah perdesaan dan perkotaan serta perturnbuhan perekonomian

nasional secara agregat, maka dirasa perlu untuk mengurangi disparitas antar

wilayah dengan mulai berupaya untuk meningkatkan pernbangunan wilayah

(25)

(2000), pembangunan wilayah yang berimbang merupakan sebuah pertumbuhan

yang merata dari wilayah yang berbeda untuk meningkatkan pengembangan

kapabilitas dan kebutuhan mereka. Hal ini tidak selalu berarti bahwa semua

wilayah harus mempunyai perkembangan yang sama, atau mempunyai tingkst

industrialisasi yang sama, atau mempunyai pola ekonomi yang sama, atau

mempunyai kebutuhan pembangunan yang sama. Akan tetapi yang lebih penting

adalah adanya pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi yang dimiliki

oleh setiap wilayah sesuai dengan kapasitasnya. Dengan demikian diharapkan

keuntungan dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan merupakan hasil dari

sumbangan interaksi yang saling memperkuat diantara semua wilayah yang

terlibat.

Pengembangan Kawasan agropolitan

Salah satu ide yang mengemuka dalam mengatasi permasalahan

pembangunan ini adalah perlunya mewujudkan kemandirian perdesaan yang

didasarkan pada potensi wilayah desa itu sendiri, dimana keterkaitan dengan

perekonomian perkotaan harus bisa diminimalkan. Sehubungan dengan ide ini

Friedman dan Douglass (1976), menyarankan suatu bentuk pendekatan

agropolitan sebagai aktifitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah

perdesaan dengan jurnlah penduduk antara 50.000 sampai 150.000 orang.

Friedman (1996) mengusulkan modifikasi dari konsep pembangunan agropolitan

yang disebutnya sebagai modular cities. Selain persyaratan jurnlah penduduk,

persyaratan utama yang harus dimiliki sebuah modular cities diantaranya mempunyai kelengkapan pusat pelay&an yang dapat ditempuh dengan

berkendaraan sepeda atau bejalan kaki kurang dari 20 menit, memiliki fasilitas

publik, dan industri kecil.

Agropolitan menjadi relevan dengan wilayah perdesaan karena pada

umumnya sektor pertanian dan pengelolaan surnberdaya alam memang menjadi

mata pencaharian utama dari sebagian besar masyarakat perdesaan. Otoritas

perencanaan dan pengambilan keputusan akan didesentralisasikan sehingga

(26)

Dari berbagai altematif model pembangunan, konsep agropolitan

dipandang sebagai konsep yang menjanjikan teratasinya permasalahan

ketidakseimbangan perdesaan-perkotaan selama ini. Secara singkat agropolitan

menurut Rustiadi dan Setia Hadi (2006) adalah: (1) suatu model pembangunan yang mengandalkan desentralisasi, mengandalkan pembangunan infrastruktur

setara kota di wilayah perdesaan, sehingga mendorong turnbuhnya pengkotaan

dalam arti positif, (2) menanggulangi dampak negatif pembangunan seperti

migrasi desa-kota yang tak terkendali, polusi, kemacetan lalu lintas, pengkumuhan

kota, kehancuran massif sumber daya alam, pemiskinan desa.

Menurut Anwar (2005), pada hakekatnya merupakan pembangunan kota-

kota kecil menengah yang diberikan infrastruktur fasilitas publik perkotaan.

Fasilitas-fasilitas tersebut diperlukan untuk mendorong dan mendukung

pencapaian strategi pembangunan pertanian dan ekonomi perdesaan yang dapat

menyumbang kepada peningkatan kinerja sistem perekonomian nasional. Karena

pembangunan kota - kota besar sudah cenderung mengarah kepada pertumbuhan

yang tidak terkendali, maka dengan pembangunan kota-kota kecil menengah

diharapkan dapat mengurangi darnpak dari dari aglomerasi berlebihan.

Berkembangnya kota-kota kecil menengah dapat secara positif mendorong

perkembangan dari wilayah hinterland-nya, terutama untuk mentransformasikan

pola pertanian perdesaan yang subsisten menjadi pola pertanian komersial dan

mengintegrasikan ekonomi perkotaan dan perdesaan di negara-negara

berkembang. Pembangunan pusat-pusat industri yang telah dilakukan di negara-

negara berkembang sejak tahun 1960, pada dasamya kwang sesuai dan tidak

mencukupi untuk menciptakan efek penyebaran (spread effect). Pengembangan

sektor jasa, distribusi, perdagangan, marketing, agroprocessing, dan berbagai

fungsi lainnya bisa berdampak lebih baik dalam menstimulasi pertumbuhan kota-

kota kecil menengah di wilayah perdesaan daripada pengembangan industri

manufaktur dalam skala besar.

Menurut Departemen Pertanian Agropolitan adalah kota pertanian yang

tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta

mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan

(27)

agropolitan adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat

melalui percepatan pengembangan wilayah dan peningkatan keterkaitan desa kota

dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya

saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan (tidak merusak lingkungan) dan

terdesentralisasi (wewenang berada di Pemerintah Daerah dan masyarakat) di

kawasan Agropolitan. Tujuan ini sejalan dengan amanat yang telah digariskan

dalam PROPENAS 2000 - 2004, dimana tujuan dari program pembangunan

perdesaan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mempercepat

pertumbuhan kegiatan ekonomi perdesaan yang berkeadilan dan mempercepat

industrialisasi perdesaan.

Pembangunan Infrastruktur dalam Pengembangan Kawasan Agropolitan

Pembangunan infrastruktur agropolitan timbul karena tingginya migrasi

rural urban akibat dari kurangnya kesempatan k e j a dan kenyamanan di wilayah perdesaan. Konsep agropolitan adalah manifestasi dari growth pole theory namun berbeda dalam perspektif. Growth pole theory mengutamakan pembangunan infrastruktur di wilayah perkotaan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan

menciptakan trickle down effect ke wilayah perdesaan. Pembangunan infrastruktur agropolitan di wilayah pedesan mendukung sektor pertanian sebagai

sektor ekonomi utama di perdesaan (Elestiano 2005). Pengembangan infrastruktur

di dalam pengembangan kawasan agropolitan meliputi (1) pengembangan

infrastruktur pemukiman, (2) pengembangan infrastruktur sistem produksi

pertanian, dan (3) pengembangan infrastruktur pasar dan sistem infomasi (Anonim 2004).

Pengembangan infrastruktur pemukiman menjadi penting selain untuk

mencegah tejadinya urbanisasi juga penting untuk membangun akurnulasi nilai

tambah di dalam wilayah. Dengan infrastruktur wilayah yang memadai orang

tidak perlu pergi ke luar wilayah untuk memenuhi kebutuhannya. Disamping

kedua aspek diatas, ketersediaan berbagai sarana dan prasarana pemukiman yang

meliputi jaringan telekomunikasi, jaringan listrik, air bersih dan sarana

transportasi ini diharapkan bisa menjadi insentif bagi investor untuk menanamkan

(28)

Pengembangan infrastruktur sistem produksi pertanian merupakan ha1

yang sangat penting dalam mendukung sistem agribisnis. Infiastruktur sistem

produksi pertanian meliputi pengembangan sarana produksi pertanian (saprotan),

sarana pengolahan (agroprocessing), sarana transportasi, dan sarana irigasi.

Infrastruktur pasar dalam pengembangan kawasan agropolitan merupakan

salah satu infrastruktur yang sangat dibutuhkan. Pasar yang dibutuhkan yaitu

pasar sebagai tempat transaksi fisik bagi input faktor produksi dan pasar bagi

produk petani dan bagi produk olahan, serta pasar jasa pelayanan bagi masyarakat

sekitar wilayah pengembangan kawasan agropolitan.

Hasil penelitian Pribadi (2005), dengan menggunakan analisis skalogram

dimana jumlah jenis fasilitas, jumlah unit fasilitas dan jumlah penduduk

digunakan sebagai variabel penentu hirarki, terlihat bahwa desa-desa di

Kecamatan Pacet menempati hirarki paling atas. Dengan demikian apabila dilihat

pada level kecamatan, masterplan pengembangan Kawasan Agropolitan Cianjur

yang telah disusun oleh Departemen Kimpraswil dan Pemda Cianjur sudah

menempatkan secara benar lokasi wilayah inti dan hinterland-nya dimana wilayah

inti terdapat di Kecamatan Pacet sedangkan wilayah hinterland terdapat di

Kecamatan Sukaresmi dan Cugenang.

Namun lebih lanjut Pribadi (2005) menyebutkan apabila dilihat secara

lebih detail sampai ke level desa, nampak bahwa penentuan lokasi desa pusat

perhmbuhan yaitu Desa Sukatani dan Desa Sindangjaya sebenarnya kurang

sesuai dengan karakteristik hirarki wilayah dan keterkaitan antar hirarki yang

telah berkembang di kawasan agropolitan dimana Desa Cipanas dan Cipendawa

menduduki urutan pertarna dari sisi ketersediaan fasilitas. Hal ini memang sesuai

dengan kondisi nil di lapangan dimana Desa Cipanas dan Cipendawa merupakan

desa yang paling maju dan bahkan menjadi outlet terbesar bagi hasil produksi

sayuran dari ketiga kecamatan yang termasuk dalam Kawasan Agropolitan

Cianjur.

Demikian pula apabila dilihat dengan menggunakan analisis yang

didasarkan pada hitungan indeks hirarki ~erkembangan desa dan standardisasi

karakteristik perkembangan wilayah juga menunjukkan ha1 yang konsisten bahwa

(29)

dapat dikatakan bahwa Desa Cipanas dan Cipendawa memang secara realitas di

lapangan telah menjadi pusat bagi berbagai aktifitas, baik itu berkaitan dengan

permukiman, pendidikan, kesebatan, perdagangan dan sebagainya. Khusus untuk

Cipanas aktifitas ekonomi yang cukup menonjol dan terkait dengan

pengembangan kawasan agropolitan adalah perdagangan sayur hasil produksi dari

wilayah-wilayah desa di sekitamya.

Menurut Maulana (2006), dari hasil analisis skalogram di Kawasan

agropolitan dapat diketahui bahwa Desa Cipanas dan Desa Sindanglaya memiliki

tingkat perkembangan yang paling tinggi. Tersedianya berbagai sarana dan

prasarana yang memadai baik dari segi kualitas maupun kuantitas menjadikan

kedua desa tersebut sebagai pusat pelayanan bagi desa-desa di sekitamya. Lokasi

Desa Cipanas dan Desa Sindanglaya yang secara geografis terletak di tengah-

tengah Kawasan Agropolitan menjadikan kedua desa tersebut strategis sebagai

daerah pusat pelayanan. Berdasarkan hirarki dari hasil analisis skalogram, Desa

Cipanas dan Desa Sindanglaya termasuk ke dalam hirarki I, Desa Cimacan, Desa

Palasari, Desa Ciherang, Desa Cipendawa dan Desa Gadog merupakan desa-desa

yang memiliki tingkat perkembangan sedang (hirarki 11). Sedangkan desa-desa

yang memiliki tingkat perkembangan rendah (hirarki 111) antara lain Desa

Batulawang, Desa Ciloto, Desa Sindangjaya, Desa Cibodas, Desa Sukatani, Desa

Sukanagalih dan Desa Ciputri.

Perkembangan desa-desa di kawasan agropolitan secara urnum menurut

Pribadi (2005), banyak dipengaruhi oleh keberadaan sarana transportasi terutama

jalan provinsi dan jalan kabupaten.

Akses Terhadap Lahan

Lahan merupakan salah satu aset produktif yang sangat penting di dalam

kegiatan usaha pertanian di perdesaan. Namun seringkali akses masyarakat

perdesaan terhadap iahan menjadi semakin terbatas karena adanya kelangkaan

(land scarcity). Menurut Saehlhakim (2001), kelangkaan lahan ini bisa

dibedakan menjadi dua, yaitu kelangkaan lahan absolut dan relatif. Kelangkaan

lahan absolut terjadi apabila faktor status kepemilikan dan aksesibilitas tidak

(30)

lahan relatif terjadi apabila faktor status kepemilikan dan aksesibilitas

diperhatikan dan sifatnya dapat balik. Di wilayah perdesaan yang lebih dominan

terjadi adalah kelangkaan lahan relatif.

Mengingat sifatnya yang dapat balik, maka untuk mengatasinya ada tiga

ha1 yang bisa dilakukan, yaitu melakukan land reform untuk mengatasi masalah kepemilikan lahan yang timpang, melakukan penataan mang untuk mengatasi

ke1angkat-m lahan akibat terbatasnya aksesibilitas, dan mendorong tejadinya

pembahan prilaku yang bisa mendorong menigkatnya produktivitas lahan.

Sementara itu satu-satunya jalan yang perlu dilakukan untuk mengatasi

kelangkaan lahan absolut adalah dengan meningkatkan kemampuan teknologi.

Terjadinya kelangkaan lahan di wilayah perdesaan seringkali terjadi

karena dua hal, yaitu proses fragmentasi lahan akibat meningkatnya jumlah

populasi penduduk di perdesaan dan terjadinya proses alih kepemilikan atau alih

fungsi lahan. Namun seringkali yang lebih dominan terjadi adalah proses alih

kepemilikan dan alih fungsi lahan lahan sehingga akhirnya terjadi penguasaan

lahan yang timpang.

Menurut Rustiadi et al. (2005), di satu sisi proses alih fungsi lahan dapat dipandang mempakan suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan

dan transfomasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang

berkembang. Perkembangan yang dimaksud tercermin dari adanya: (1)

pertumbuhan aktifitas pemanfaatan sumberdaya dam akibat meningkatnya

pemintaan kebutuhan terhadap penggunaan lahan sebagai dampak dari

peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan per kapita; dan (2) adanya

pergeseran kontribusi sektor-sektor pembangunan dari sektor-sektor primer

(sektor-sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam) ke aktifitas sektor-

sektor sekunder (industri manufaktw dan jasa).

Dalam hukum ekonomi pasar sebenarnya alih fungsi lahan berlangsung

dari aktifitas dengan land rent yang lebih rendah ke aktifitas-aktifitas dengan land rent yang lebih tinggi, dimana land rent diartikan sebagai nilai keuntungan bersih dari aktifitas pemanfaatan lahan per satuan lahan per satuan luas dalam waktu

tertentu. Karena itu alih fungsi lahan mempakan suatu konsekuensi logis dari

(31)

bagian dari pergeseran-pergeseran dinamika alokasi dan distribusi sumber daya

menuju keseimbangan-keseimbangan baru yang lebih optimal.

Namun menurut Rustiadi et al. (2005), seringkali terjadi distorsi yang menyebabkan alokasi pemanfaatan lahan menjadi tidak efisien karena (1)

economic land rent aktifitas-aktifitas tertentu, khususnya aktifitas pertanian dan non-budidaya tidak sepenuhnya mencerminkan manfaat ekonomi yang

dihasilkannya akibat berbagai eksternalitas yang ditimbulkannya tidak terlihat

dalam nilai pasar yang berlangsung, dan (2) struktur permintaan atas lahan

seringkali terdistorsi akibat sifat nilai lahan yang juga sangat ditentukan oleh

expected value-nya di masa yang akan datang, akibatnya struktur permintaan akan lahan perumahan dan sektor properti terdistorsi yaitu tidak mencerminkan tingkat

permintaan yang sebenamya akibat adanya permintaan investasi dan spekulasi

lahan. Akibatnya proses alih fungsi lahan tidak disertai dengan meningkatnya

produktivitas lahan melainkan justru te jadi menurunnya produktivitas lahan.

Berkaitan dengan pengembangan kawasan agropolitan, pengembangan

infrastruktur perkotaan akan bisa meningkatkan nilai land rent dan meningkatkan

expected value dari lahan di masa yang akan datang. Hal ini bisa mendorong terjadinya proses alih kepemilikan dan alih fungsi lahan di kawasan-kawasan

agropolitan. Karena itu tentunya diperlukan langkah-langkah untuk

mengendalikan proses alih kepemilikan dan alih fungsi lahan di kawasan

agropolitan yang telah mempunyai infrastruktur perkotaan.

Dengan membuat penurunan lebih lanjut terhadap model Von Thuenen,

Saefulhakim dan Nasution (1995), merumuskan beberapa faktor penting yang

mendorong konversi penggunaan lahan dan perusakan lingkungan, antara lain

sebagai berikut (1) perkembangan standar tuntutan hidup yang tidak seimbang

dengan kemampuan masyarakat meningkatkan produktifitas, nilai tambah, dan

pendapatan, (2) struktur harga-harga yang timpang misalnya term of trade antara output sektor pertanian dengan output sektor-sektor non pertanian, (3) struktur biaya produksi yang timpang dengan struktur harga-harga yang juga terkait

dengan pola spasial kualitas lahan, struktur skala penguasaanlpengusahaan lahan,

sistem infrastruktur dan sistem kelembagaan, (4) kemandegan perkembangan

(32)

perkotaan, (5) pola spasial aksesibilitas, (6) tingginya resiko dan ketidakpastian,

dan (7) sistem nilai masyarakat tentang sumberdaya lahan.

Sementara itu menurut Anwar (2001), tingginya proses alih kepemilikan dan alih f h g s i lahan ini temtama tejadi karena kurangnya penegasan terhadap

hak-hak (property right) masyarakat tehadap lahan. ~ k i b a t n ~ a seringkali te jadi penyerobotan-penyerobotan lahan atau lahan yang ada dihargai sangat murah

karena posisi tawar masyarakat perdesaan yang masih sangat lemah. Dalam

kondisi seperti ini Saefulhakim (2001) menyatakan bahwa tipe-tipe k e p e m i l i i lahan yang tidak menjamin kepastian (uncertain ownership of land) akan mendorong setiap aktifitas ke arah pola pemanfaatan yang bersifat eksploitatif

yang mempercepat degradasi sumberdaya d a m dan kemsakan lingkungan.

Berdasarkan penelitian Pribadi (2005) diketahui bahwa akses petani lokal terhadap lahan yang sifatnya certain karena masih berstatus milik di Kawasan Agropolitan Kabupaten Cianjur temyata sudah relatif berkurang. Sementara itu

akses kepada lahan yang mempunyai tingkat uncertainty yang lebih tinggi karena petani hanya sebagai penggarap atau penyewa sudah relatif banyak ditemui. Sisa

lahan pertanian yang ada temyata banyak dimiliki baik oleh orang luar maupun

orang dalam kawasan agropolitan, tetapi petani penggarap pada tingkat lokal tidak

memiliki akses untuk menggarap lahan tersebut. Kemungkinan lahan ini banyak

didominasi oleh pertanian skala besar atau lahan terlantar sehingga petani lokal

tidak mempunyai akses untuk menggarap lahan tersebut.

Salah satu titik lemah dalam pengembangan kawasan agropolitan adala

belum diantisipasinya kemungkinan percepatan konversi lahan pertanian ke

penggunaan lain akibat adanya peningkatan pembangunan infrasbuktur dari

proses pengkotaan yang tejadi dari pengembangan agropolitan. Bila ha1 ini

tejadi, maka tujuan dari pengembangan agropolitan tidak tercapai, karena ha1 ini

mengulang proses pengembangan wilayah dari desa menjadi kota seperti laiknya

pembangunan selama ini, yang secara perlahan tapi pasti akan mengikis peran

sektor pertanian. Dengan demikian antisipasi dalam bentuk penyusunan produk

Penataan Ruang Kawasan Agropolitan yang diperkuat oleh legalitas seperti

penetapan Peraturan Daerah (Perda) menjadi syarat utama dalam pengembangan

(33)

Menurut Ruswandi (2005), proses konversi lahan pertanian menjadi non

pertanian umumnya diawali oleh penjualan lahan milik petani kepada pihak lain

yang kemudian oleh pihak lain digunakan untuk aktifitas non pertanian. Damp&

dari konversi lahan tersebut jumlah penduduk yang bekeja pada sektor pertanian

men- sedangkan pada lapangan usaha perdagangan justru te jadi peningkatan.

Dengan melihat berbagai faktor yang berpengaruh terhadap semakin

terbatasnya akses masyarakat terhadap lahan, maka upaya-upaya

untuk

mengendalikan tejadinya konversi lahan dapat lebih difokuskan pada faktor-

faktor dominan yang tentunya bisa berbeda di setiap wilayah. Selain itu dalam

kaitannya dengan pengembangan kawasan agropolitan, peningkatan akses

masyarakat terhadap lahan dan penegasan hak-hak mereka atas lahan tersebut

perlu untuk dilakukan dalam upaya untuk meningkatkan produktivitas dan

sekaligus menurunkan resiko dan ketidakpastian.

Konsep Nilai Tanah dan Harga Tanah

Pengertian dari nilai tanah adalah nilai sekarang sebagai nilai diskonto dari

total rente tanah yang diharapkan diperoleh dimasa yang akan datang. Artinya

nilai tanah berkaitan erat dengan akumulasi rente tanah dalam suatu periode

tertentu. Pengertian rente tanah adalah surplus ekonomi suatu tanah yang dapat

dibedakan atas: (1) surplus yang selalu tetap, dan (2) surplus sebagai hasil dari

investasi. Surplus yang selalu tetap dimaksudkan sebagai imbalan bagi pemilik

tanah dimana tanahnya dibiarkan tidak berproduksi, artinya rente adalah adalah

surplus yang selalu tetap atau mendapat hasil tanpa b e ~ s a h a , yang semata-mata

diperoleh karena monopoli pemilikan tanah tersebut. Sedangkan surplus dari

investasi memandang tanah sebagai faktor produksi. Rente tanah banyak

diterapkan untuk kepentingan antara lain: (1) kontrak sewa, (2) penilaian properti,

(3) pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan investasi (Barlowe 1978). Sumitro (1986) menyatakan harga tanah dapat diartikan sebagai nilai jual

atau harga rata-rata dari tanah yang diperoleh dari transaksi jual beli secara wajar.

Harga tanah rata-rata, diperoleh jika tejadi beberapa kali penjualan, jumlah itu

digabung menjadi satu kemudian dibagi dengan angka yang menunjukan berapa

(34)

merupakan suatu pengukuran nilai tanah yang didasarkan kepada kemampuan

tanah secara ekonomis yang berhubungan dengan produktivitas dan nilai strategis

ekonomisnya. Ukuran produktivitas misalnya tingkat kesuburan, sedangkan

ukuran strategis ekonomisnya adalah letaknya secara ekonomis. Sedangkan

pengertian harga tanah adalah penilaian atas tanah yang diukur berdasarkan harga

nominal dalam satuan uang untuk satuan Iuas tertentu menurut harga pasaran

tanah.

Istilah harga tanah lebih mencerminkan nilai pasar atas harga kontrak,

harga jual, dan biaya pemilikan. Harga jual adalah harga yang sanggup dibayar

oleh pembeli setelah mempertimbangkan berbagai altematif dan merupakan nilai

diskonto dari total nilai sewa di masa yang akan datang. Sedangkan biaya

pemilikan tanah adalah fungsi dari harga jual dan harga kontrak. Dengan

demikian dapat dinyatakan bahwa terdapat hubungan fungsional antara nilai tanah

dan harga tanah, yaitu harga tanah merupakan fimgsi dari nilai tanah. Hubungan

fungsional antara harga tanah dan nilai tanah bermanfaat dalam penentuan Nilai

Jual Obyek Pajak Bumi untuk keperluan PBB, yaitu dengan berpedoman pada

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE.69/PJ.6/1990. Harga tanah

merupakan fungsi penyesuaian dari faktor-faktor waktu, lebar jalan, akses ke jalan

besar, fasilitas yang tersedia, frekuensi banir, peruntukkan, dan tingkat kesuburan,

dimana faktor-faktor tersebut dihitung dalm bentuk persentase. Dari tahapan-

tahapan tersebut akan menghasilkan harga tanah yang mencerminkan nilai tanah

yang sebenamya.

Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan

Seperti telah diketahui bahwa pada awalnya pembangunan di lakukan

untuk mendorong pertumbuhan. Seiring dengan berjalannya waktu upaya ini

mulai menampakkan hasil ketika pertumbuhan GDP Indonesia telah mencapai

rata-rata 6% sampai 7% per tahun. Namun temyata pertumbuhan yang dicapai seolah-olah hilang dengan munculnya krisis ekonomi tahun pada tahun

199711998.

Mulailah terjadi pergeseran pemikiran pembangunan dimana selain

(35)

diperhatikan. Dengan bertambahnya tujuan-tujuan yang hams dicapai maka perencanaan yang dulunya ditujukan untuk mendorong terjadinya perturnbuhan,

sekarang mulai dilakukan untuk memanajemen konflik diantara ketiga tujuan

tersehut agar bisa mencapai suatu kondisi yang optimal.

Realitanya kondisi yang optimal dan ideal ini susah untuk dirumuskan.

Setiap pihak mempunyai pandangan yang masing-masing berbeda sehingga

kondisi yang ideal pada dasarnya bersifat relatif. Karena itu pendekatan yang

terbaik adalah perlunya suatu kompromi dan konsensus diantara pihak-pihak yang

terlibat untuk mencapai suatu tujuan yang telah disepakati bersama.

Berkaitan dengan upaya untuk mencapai suatu kesepakatan bersama

inilah, maka proses partisipasi dari semua pihak menjadi penting. Partisipasi akan

mendorong terjadinya pemkaran infomasi sehingga infomasi yang didapatkan

menjadi lebih akurat dan komprehensif. Informasi ini penting untuk digunakan

sebagai dasar dalam melakukan manajemen konflik antar tujuan pembangunan

yang lebih optimal. Selain itu, partisipasi juga menjadi penting karena keterlibatan

berbagai pihak dalam setiap tahapan proses pembangunan akan menyebabkan rasa

kepemilikan mereka terhadap proses pembangunan cukup tinggi. Karena adanya

rasa ikut memiliki tersebut maka kemauan untuk memperlancar proses

pembangunan d m menjaga hasil-hasil pembangunan pun juga menjadi cukup

tinggi (Darmawan et al. 2003).

Berbagai keuntungan dari pendekatan partisipasi ini telah mengakibatkan

mainstream penyelenggaraan pembangunan di hampir semua negara dengan menekankan pengembangan partisipasi. Namun sampai sekarang ternyata masih

terjadi kesulitan dalam mewujudkan proses partisipasi di lapangan. Pernbahan

paradigma pembangunan memang mempakan suatu proses yang memerlukan

waktu. Berbagai perangkat, mekanisme, peraturan dan sebagainya h m s dipersiapkan untuk mencapai suatu proses partisipasi yang optimal. Tanpa itu

semua, perubahan di level paradigma tidak akan bisa diterapkan dengan baik di

lapangan (Darmawan et al. 2003).

Sebenarnya sejak tahun 1970-an, minat para analis dan ahli sosiologi

pembangunan perdesaan terhadap konsep partisipasi terns meningkat. Kenyataan

(36)

interpretasi konsep partisipasi. Dalam kerangka pembangunan perdesaan (rural

development), COHEN dan UPHOFF dalam Darmawan et al. (2003) memaknai

konsep partisipasi sebagai keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan

keputusan, dalam implementasi program yang dirumuskan secara bersama-sama,

dan menikmati secara bersama-sama pula setiap benefit yang diterima dari

keberhasilan program dimana mereka juga terlibat dalam proses evaluasi termasuk

proses monitoring.

Dari batasan di atas, partisipasi bekerja pada setiap tahap pengelolaan

program, yaitu sejak perencanaan, pemutusan kebijakan, implementasi dan

eksekusi, sampai dengan monitoring dan evaluasi.

Sementara itu OECD dalam Darmawan et al. (2003), melihit partisipasi

sebagai sebuah proses kemitraan dimana kerjasama dan pertukaran potensi antar

pihak berlangsung secara kondusif. Batasan pembangunan yang partisipatif

(participatory development) dari OECD adalah: kemitraan (partnership) yang

dibangun atas dasar dialog di antara beragam aktor pada saat mereka menyusun

agenda kerja, dimana pandangan lokal dan pengetahuan asli dicari dan dihargai.

Hal ini berimplikasi pada berlangsungnya proses negosiasi daripada sekedar

dominasi keputusan dari luar sistem sosial masyarakat atau externaNy set project

agenda. Artinya, masyarakat berperan sebagai aktor-penentu dan bukan sekedar

penerima sebuah program.

Dari pemahaman konsep-konsep partisipasi seperti di atas, maka

pembangunan yang partisipatif selalu ditandai dengan terdapatnya prinsip-prinsip:

keterlibatan masyarakat luas dalam pengelolaan program (sejak perencanaan

hingga evaluasi), negosiasi atau dialog (komunikasi), kerjasama-kemitraan,

pengembangan sikap saling percaya, kesederajatan-kesetaraan, serta peran aktor-

aktif masyarakat.

Indikator Pembangunan Wilayah

Indikator adalah ukuran kuantitatif dan atau kualitatif yang

menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah

ditetapkan. Oleh karena itu, indikator kinerja hams mempakan sesuatu yang akan

(37)

tingkat kinerja baik dalam tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, maupun tahapan

setelah kegiatan selesai dan berfungsi.

Secara umum indikator kineja memiliki fungsi untuk (1) mempejelas

tentang apa, berapa dan kapan suatu kegiatan dilaksanakan, (2) menciptakan

konsensus yang dibangun oleh berbagai pihak terkait untuk menghindari

kesalahan interpretasi selama pelaksanaan kegiatantprogram dan dalam menilai

kinerjanya, dan (3) membangun dasar bagi pengukuran, analisis, dan evaluasi

kinerja organisasi (Rustiadi et al. 2005)

Sampai saat ini indikator yang umum digunakan sebagai tolok ukur

kemajuan dan pembangunan wilayah adalah nilai Produk Domestik Regional

Bruto (PDRB) baik untuk tingkat kecamatan maupun kabupaten. Nilai PDRB ini

menggambarkan jumlah produk barang dan jasa yang dihasilkan suatu wilayah

dalam satu tahun. Dalam skala nasional PDRB dikenal dengan istilah Gross

Domestic Product (GDP) dapat dikatakan sebagai ukuran produktivitas wilayah

yang paling umum dan paling diterima secara luas sebagai standar ukuran

pembangunan dalam skala wilayah dan negara. Nilai PDRB dihitung berdasarkan

harga pasar yang berlaku. Penggunan nilai PDRB sering digunakan mengingat

sebagian besar PDRB yang berlaku diperoleh satu wilayah pada akhimya akan

menjadi pendapatan wilayah (Rustiadi et al. 2005).

Pembangunan menghendaki terjadinya peningkatq kualitas hidup

penduduk yang lebih baik secara fisik, mental maupun secara spiritual. Bahkan

secara eksplisit disebutkan bahwa pembangunan yang dilakukan menitikberatkan

pada pembangunan sumber daya manusia secara fisik dan mental mengandung

makna peningkatan kapasitas dasar penduduk yang kemudian akan memperbesar

kesempatan 'untuk dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan yang

berkelanjutan.

Menurut Tadjoedin et al. (2001), diantara 291 kabupatenlkota di

Indonesia, terdapat beberapa kabupatenlkota yang memiliki nilai PDRB perkapita

yang sangat tinggi sehingga daerah-daerah ini merupakan daerah kantong (enclave

regions). Keberadaan dan perkembangan enclave regions ini disebabkan oleh dua

ha1 (1) kekayaan sumber daya alam (natural resolrrces endowment driven) seperti

(38)

komparatif atau karena adanya dukungan kebijakan khusus (comparative

advantages andpolicy driven), karena lokasi yang strategis dan aksesibilitas yang

memadai.

Teknologi Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem informasi yang

dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat

geografi. Dengan kata lain suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan

kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan

seperangkat operasi kerja

.

Intinya SIG dapat diasosiasikan sebagai peta yang

berorde tinggi, yang juga mengopersaikan dan menyimpan data spasial (Star dan

Estes 1990 dalam Barus dan Wiradisastra 2000).

Menunut Prahasta (2004), SIG merupakan suatu sistem berbasiskan

komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi infonnasi-

informasi geografis. Suatu SIG dirancang untuk menyimpan dan menganalisis

obyek-obyek dan fenomena-fenomena dimana lokasi geografis m e ~ p a k a n

karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis.

Sistem informasi geografis berdasarkan operasinya dapat dibedakan

menjadi dua kelompok, yaitu: (1) SIG secara manual, yang beroperasi

memanfaatkan peta cetak (kertasltransparan), bersifat data analog, dan (2) SIG

secara terkomputer atau SIG otomatis prinsip kejanya sudah dengan

menggunakan komputer sehingga datanya merupakan data digital. Namun

pengertian SIG saat ini lebih diterapkd bagi teknologi informasi spasial atau

geografi yang berorientasi pada penggunaaan teknologi komputer. SIG secara

terkomputer mempakan alat yang handal untuk menangani data spasial karena

data dipelihara dalam bentuk digital, sehingga lebih padat dibandingkan dalam

bentuk konvensional lainnya @eta cetak atau tabel). Dengan demikian data dalam

jumlah yang besar dapat dipanggil dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi,

mempunyai kemampuan memanipulasi data spasial dan mengaitkan atribut serta

mengintegrasikannya dengan berbagai tipe data dan prosedur dalam suatu analisis

(39)

METODE PENELITIAN

Kerangka Pemikiran

Setiap perencanaan pembangunan wilayah memerlukan batasan praktikal

yang dapat digunakan secara operasional untuk mengukur tingkat pengembangan

wilayahnya. Secara praktikal pemahaman filosofis demikian sukar diterapkan

sehinga perlu dicarikan berbagai tolok ukur yang multidimensional.

Indikator adalah ukuran kuantitatif dan atau kualitatif yang

menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah

ditetapkan. Oleh karena itu, indikator kine rja harus mempakan sesuatu yang akan

dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat

tingkat kine rja baik dalam tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, maupun tahapan

setelah kegiatan selesai dan berfbgsi.

Secara umurn indikator kinerja memiliki fungsi untuk (1) memperjelas

tentang apa, berapa dan kapan suatu kegiatan dilaksanakan, (2) menciptakan

konsensus yang dibangun oleh berbagai pihak terkait untuk menghindari

kesalahan interpretasi selama pelaksanaan kegiatanlprogram dan dalam menilai

kinejanya, dan (3) membangun dasar bagi pengukuran, analisis, dan evaluasi

kine j a organisasi (Rustiadi et al. 2005).

Dari berbagai pendekatan yang ada, setidaknya terdapat tiga kelompok

cara dalam menetapkan indikator pembangunan yaitu: (1) indikator berbasis

tujuan pembangunan, (2) indikator berbasis kapasitas sumberdaya, dan (3)

indikator berbasis proses pembangunan.

Berdasarkan indikator berbasis proses pembangunan, struktur proses

pembangunan terdiri dari input, implementasi/proses, output, outcome, benefit, dan impact (Rustiadi et al. 2005). Keterkaitan antar indikator pembangunan seperti ditampilkan pada Gambar 1 menunjukkan, pendapata

Gambar

Gambar 1 Keterkaitan antar Indikator Pembangunan Daerah
Gambar 2 Diagram alir kerangka pemikiran penelitian
Tabel I Aspek, Variabel dan Sumber Data
Gambar 3 Strata pada wilayah penarikan sample dan sebaran responden
+7

Referensi

Dokumen terkait

Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama R.I, menyatakan bahwa lembaga di bawah ini telah melakukan updating data Pendidikan Islam (EMIS) Periode Semester GENAP

Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama R.I, menyatakan bahwa lembaga di bawah ini telah melakukan updating data Pendidikan Islam (EMIS) Periode Semester GENAP

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XLI-B5, 2016 XXIII ISPRS Congress, 12–19 July 2016, Prague, Czech

Dengan demikian untuk mengetahui pengaruh dinamika kelompok terhadap kemandirian anggota kelompok tani dalam berusahatani, analisis yang digunakan adalah pendekatan

The most common route to take when going from San José down to Jacó is to drive via Alajuela, continue to Atenas and further down the dark green slopes of the west side of Costa

1) Setiap sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya ( adaptation ). Tidak ada cara yang sama dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum oleh para pemegang peranan,

Hasil yang diperoleh dari kegiatan PPL ini adalah pengalaman mengajar maupun pengalaman dalam mengenali dan mengatasi berbagai permasalahan yang timbul di lingkungan

[r]